Uji Toksisitas Subkronik Herba Selada Air (Nasturtium officinale, R.Br) pada Organ Hati Mencit

(1)

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL

HERBA SELADA AIR (

Nasturtium officinale

R.Br

)

PADA ORGAN HATI MENCIT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SITI KHOLIJAH

NIM 111501026

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL

HERBA SELADA AIR (

Nasturtium officinale

R.Br

)

PADA ORGAN HATI MENCIT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SITI KHOLIJAH

NIM 111501026

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL HERBA SELADA AIR (Nasturtium officinale R.Br)

PADA ORGAN HATI MENCIT OLEH:

SITI KHOLIJAH NIM 111501026

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal: 18 Desember 2015 Disetujui oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195112231980032002 NIP 195301011983031004

Pembimbing II, Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. NIP 195112231980032002

Aminah Dalimunthe, M.Si., Apt. Marianne, S.Si., M.Si., Apt. NIP 197806032005012004 NIP 198005202005012006

Hari Ronaldo Tanjung, M.Si., Apt. NIP 197803142005011002

Medan, Januari 2016 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pejabat Dekan,

Dr. Masfria, M.S., Apt.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Uji Toksisitas Subkronik Herba Selada Air (Nasturtium officinale, R.Br) pada Organ Hati Mencit. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Pejabat Dekan Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt., dan Ibu Aminah Dalimunthe, M.Si., Apt., yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab, memberikan petunjuk dan saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., selaku ketua penguji, Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., dan Bapak Hari Ronaldo Tanjung, M.Si., Apt., selaku anggota penguji yang telah memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini, dan Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku dosen pembimbing akademik serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.

Penulis juga mempersembahkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada keluarga tercinta, Ayahanda Saparno dan Ibunda maryati, Abang-abang,


(5)

kakak-kakak dan adik-adikku atas limpahan kasih sayang, semangat dan doa yang tak ternilai dengan apa pun. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat terdekat terutama Fitri Falah, Ananda Paradita, Afina Faza, Eka Dharma Isni, Annisa Mulia Hapsari, Laili Safitri, teman-teman Asisten Farmakologi Fakultas Farmasi USU yang telah banyak membantu serta teman-teman mahasiswa/i Farmasi Stambuk 2011 yang selalu mendoakan dan memberi semangat yang tiada henti.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, 18 Desember 2015 Penulis,

Siti Kholijah NIM 111501026


(6)

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL HERBA SELADA AIR (Nasturtium officinale R.Br)

PADA ORGAN HATI MENCIT ABSTRAK

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama 28 atau 90 hari. Selada air (Nasturtium officinale R.Br) merupakan salah satu tanaman sayur dari suku Brassicaceae. Selada air memiliki efek sebagai antialergi, antidiabetes, pengobatan tuberkulosis dan antikanker. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek toksik dan mengetahui batas keamanan dosis ekstrak etanol herba selada air (EEHSA) selama 90 hari.

Ekstrak diuji toksisitas subkroniknya menggunakan mencit sebanyak 40 ekor dibagi dalam 4 kelompok terdiri dari jantan dan betina. kelompok kontrol diberi suspensi CMC-Na 0,5%, perlakuan diberi EEHSA dosis 25, 50, 200 mg/kgbb yang diberi secara oral setiap 6 hari dalam seminggu selama 90 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi gejala toksik, berat badan, kematian, pengukuran kadar AST, ALT, makropatologi dan histopatologi organ hati, kemudian dianalisis statistik dengan ANOVA menggunakan statistical program service solution (SPSS) versi 17.

Hasil pengamatan tidak ditemukan gejala toksik pada kelompok kontrol maupun pada kelompok dosis perlakuan. Hasil uji statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara kenaikan berat badan dengan pemberian EEHSA (p≥0,05). Selama perlakuan tidak ada kematian mencit. Hasil rata-rata kadar ALT terdapat perbedaan signifikan pada tiap kelompok perlakuan (p<0,05). Rata-rata kadar ALT dari tiap kelompok tersebut masih dalam batas normal. Hasil rata-rata kadar AST terdapat perbedaan signifikan pada tiap kelompok perlakuan (p<0,05). Rata-rata kadar AST dari tiap kelompok tersebut masih dalam batas normal. Hasil makropatologi dan histopatologi pada dosis 25, 50 dan 200 mg/kgbb terjadi perubahan inti sel dan nekrosis. Tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok jantan dengan kelompok betina. Hal ini dapat disimpulkan bahwa EEHSA berpotensi menimbulkan gejala toksik, namun pada pemberian 90 hari pada dosis 25, 50 dan 200 mg/kgbb masih dikategorikan aman digunakan.

Kata kunci: uji toksisitas subkronik, ekstrak etanol herba selada air, organ hati mencit


(7)

SUBCHRONIC TOXICITY TEST OF WATERCRESS HERB ETHANOLIC EXTRACT (Nasturtium offinale R.Br)

ON THE MICE LIVER ABSTRACT

Subcronic toxicity test is a test to detect the toxic effects that arise after the administration of the test preparation with repeated doses were given orally to the tested animals for 28 or 90 days. Watercress (Nasturtium Officinalle R.Br) is one of the vegetable plants of the Brassicaceae family. Watercress has the abilities such as hypo-allergenic, anti-diabetes, tuberculosis, and anticancer treatment. The purpose of this study was to determine the toxic effects and determine the safety limit dose of ethanol extract of watercress herb (EEHSA) for 90 days.

Fourty mice were divided into 4 groups: control group were given CMC-Na suspension 0.5%, the treatments were given EEHSA dose of 25, 50, 200 mg/kgbw orally every 6 days in every week for 90 days. Observations have been done every day included toxic symptoms, weight loss, mortality, measurement of the levels of AST, ALT, macropathology and liver histopathology, then statistically analyzed by ANOVA using the statistical program service solution (SPSS) version 17.

The observations found that there’s no toxic symptoms in the control group and the treatment dose groups. The statistic test results shows that there’s no significant difference on weight gain by administering the EEHSA (p≥0.05) The test results were not statistically . During the treatments there were no death mice. There’s difference on the average yield ALT levels results in each treatment group (p<0.05). The average of each group ALT levels are still within normal limits. The average yield AST significant difference in each treatment group (p<0.05). The average of AST of each group is still within normal limits. Macropathology and histopathology result at doses of 25, 50 and 200 mg/kg bw changes in the nucleus of cells and necrosis. No significant differences between groups of males with a group of females. It can be concluded that EEHSA potential to cause toxic symptoms, but on giving 90 days at doses of 25, 50 and 200 mg/kgbw is still considered safe to use.

Keywords: subcronic toxicity tests, the ethanol extract of watercress herb, the liver of mice.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 3

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

1.6 Kerangka Pikir ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTKA ... 5

2.1 Uraian Tumbuhan ... 5

2.1.1 Sistematika tumbuhan ... 5

2.1.2 Sinonim tumbuhan ... 6

2.1.3 Nama daerah ... 6


(9)

2.1.5 Daerah tumbuhan ... 6

2.1.6 Kegunaan ... 6

2.2 Toksisitas ... 8

2.1.1 Toksisitas umum ... 9

2.1.1.1 Toksisitas akut ... 9

2.1.1.2 Toksisitas subkronik ... 9

2.1.1.3 Toksisitas kronik ... 11

2.3 Biologi Mencit ... 11

2.4 Hati ... 13

2.4.1 Anatomi hati ... 13

2.4.2 Fisiologi hati ... 14

2.4.3 Histologi hati ... 15

2.4.4 Intoksikasi hati ... 16

2.5 ALT (Alanin Transferase) ... 17

2.6 AST (Aspartat Transferase) ... 18

BAB III METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Jenis Penelitian ... 19

3.2 Alat ... 19

3.3 Bahan ... 19

3.4 Tahapan Penelitian ... 20

3.4.1 Penyiapan ekstrak etanol herba selada air (EEHSA) .. 20

3.5 Penyiapan Hewan Percobaan ... 20

3.6 Pembuatan Pereaksi ... 20

3.6.1 Pembuatan suspensi Na-CMC 0.5% b/v ... 20


(10)

3.7 Pengujian Efek Toksisitas ... 21

3.7.1 Pengujian toksisitas subkronik ... 21

3.8 Pengamatan ... 22

3.8.1 Gejala toksik ... 22

3.8.2 Berat badan ... 23

3.8.3 Jumlah makanan ... 23

3.8.4 Kematian hewan ... 23

3.8.5 Penimbangan organ ... 23

3.8.6 Pengukuran kadar ALT dan AST ... 23

3.8.7 Makropatologi ... 24

3.8.8 Histopatologi organ hati ... 24

2.8.9 Analisis statistik ... 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1 Bahan Baku Ekstrak ... 25

4.2 Hasil Pengujian Toksisitas Subkronis ... 25

4.2.1 Hasil pengamatan gejala toksik ... 26

4.2.2 Hasil pengamatan berat badan ... 26

4.2.3 Hasil pengamatan jumlah makanan ... 28

4.2.4 Hasil pengamatan kematian ... 29

4.2.5 Hasil berat organ relatif ... 29

4.2.6 Hasil pengukuran kadar ALT ... 30

4.2.7 Hasil pengukuran kadar AST ... 32

4.2.8 Hasil pengamatan makropatologi ... 34


(11)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

5.1 Kesimpulan ... 43

5.2 Saran ... 43


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Data hasil pengamatan gejala klinis ... 26

4.2 Data rata-rata berat badan ... 27

4.3 Data rata-rata jumlah makanan ... 28

4.7 Data pengamatan kematian hewan ... 29

4.4 Data berat organ relatif ... 29

4.5 Data pengukuran kadar ALT ... 30

4.6 Data pengukuran kadar AST ... 32

4.8 Data pengamatan makropatologi organ hati ... 34


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian ... 4

4.1 Grafik rata-rata hasil pengukuran kadar ALT ... 31

4.2 Grafik rata-rata hasil pengukuran kadar AST ... 33

4.3 Makropatologi organ hati ... 35

4.4 Gambar hitopatologi organ hati perlakuan kontrol CMC-Na 0,5% ... 38

4.5 Gambar hitopatologi organ hati perlakuan dosis 25 mg/kgbb ... 39

4.6 Gambar hitopatologi organ hati perlakuan dosis 50 mg/kgbb ... 40

4.7 Gambar hitopatologi organ hati perlakuan dosis 200 mg/kgbb ... 41


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil identifikasi tumbuhan ... 49

2. Surat ethical clearance ... 50

3. Tumbuhan selada air ... 51

4. Bagian alur penelitian toksisitas subkronik ... 52

5. Contoh perhitungan dosis ... 53

6. Hasil pengukuran kadar ALT ... 54

7. Hasil pengukuran kadar AST ... 55

8. Skema prosedur pembuatan preparat histopatologi ... 56

9. Gambar alat dan objek yang digunakan ... 57

10. Hasil analisis spss ALT ... 58

11. Hasil analisis spss AST ... 60

12. Signifikansi rata-rata berat makanan mencit selama 90 hari . ... 62

13. Signifikansi rata-rata berat makanan yang dikonsumsi mencit selama 90 hari ... .. 63


(15)

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL HERBA SELADA AIR (Nasturtium officinale R.Br)

PADA ORGAN HATI MENCIT ABSTRAK

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama 28 atau 90 hari. Selada air (Nasturtium officinale R.Br) merupakan salah satu tanaman sayur dari suku Brassicaceae. Selada air memiliki efek sebagai antialergi, antidiabetes, pengobatan tuberkulosis dan antikanker. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek toksik dan mengetahui batas keamanan dosis ekstrak etanol herba selada air (EEHSA) selama 90 hari.

Ekstrak diuji toksisitas subkroniknya menggunakan mencit sebanyak 40 ekor dibagi dalam 4 kelompok terdiri dari jantan dan betina. kelompok kontrol diberi suspensi CMC-Na 0,5%, perlakuan diberi EEHSA dosis 25, 50, 200 mg/kgbb yang diberi secara oral setiap 6 hari dalam seminggu selama 90 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi gejala toksik, berat badan, kematian, pengukuran kadar AST, ALT, makropatologi dan histopatologi organ hati, kemudian dianalisis statistik dengan ANOVA menggunakan statistical program service solution (SPSS) versi 17.

Hasil pengamatan tidak ditemukan gejala toksik pada kelompok kontrol maupun pada kelompok dosis perlakuan. Hasil uji statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara kenaikan berat badan dengan pemberian EEHSA (p≥0,05). Selama perlakuan tidak ada kematian mencit. Hasil rata-rata kadar ALT terdapat perbedaan signifikan pada tiap kelompok perlakuan (p<0,05). Rata-rata kadar ALT dari tiap kelompok tersebut masih dalam batas normal. Hasil rata-rata kadar AST terdapat perbedaan signifikan pada tiap kelompok perlakuan (p<0,05). Rata-rata kadar AST dari tiap kelompok tersebut masih dalam batas normal. Hasil makropatologi dan histopatologi pada dosis 25, 50 dan 200 mg/kgbb terjadi perubahan inti sel dan nekrosis. Tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok jantan dengan kelompok betina. Hal ini dapat disimpulkan bahwa EEHSA berpotensi menimbulkan gejala toksik, namun pada pemberian 90 hari pada dosis 25, 50 dan 200 mg/kgbb masih dikategorikan aman digunakan.

Kata kunci: uji toksisitas subkronik, ekstrak etanol herba selada air, organ hati mencit


(16)

SUBCHRONIC TOXICITY TEST OF WATERCRESS HERB ETHANOLIC EXTRACT (Nasturtium offinale R.Br)

ON THE MICE LIVER ABSTRACT

Subcronic toxicity test is a test to detect the toxic effects that arise after the administration of the test preparation with repeated doses were given orally to the tested animals for 28 or 90 days. Watercress (Nasturtium Officinalle R.Br) is one of the vegetable plants of the Brassicaceae family. Watercress has the abilities such as hypo-allergenic, anti-diabetes, tuberculosis, and anticancer treatment. The purpose of this study was to determine the toxic effects and determine the safety limit dose of ethanol extract of watercress herb (EEHSA) for 90 days.

Fourty mice were divided into 4 groups: control group were given CMC-Na suspension 0.5%, the treatments were given EEHSA dose of 25, 50, 200 mg/kgbw orally every 6 days in every week for 90 days. Observations have been done every day included toxic symptoms, weight loss, mortality, measurement of the levels of AST, ALT, macropathology and liver histopathology, then statistically analyzed by ANOVA using the statistical program service solution (SPSS) version 17.

The observations found that there’s no toxic symptoms in the control group and the treatment dose groups. The statistic test results shows that there’s no significant difference on weight gain by administering the EEHSA (p≥0.05) The test results were not statistically . During the treatments there were no death mice. There’s difference on the average yield ALT levels results in each treatment group (p<0.05). The average of each group ALT levels are still within normal limits. The average yield AST significant difference in each treatment group (p<0.05). The average of AST of each group is still within normal limits. Macropathology and histopathology result at doses of 25, 50 and 200 mg/kg bw changes in the nucleus of cells and necrosis. No significant differences between groups of males with a group of females. It can be concluded that EEHSA potential to cause toxic symptoms, but on giving 90 days at doses of 25, 50 and 200 mg/kgbw is still considered safe to use.

Keywords: subcronic toxicity tests, the ethanol extract of watercress herb, the liver of mice.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam menimbulkan kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan. Secara umum toksisitas dibedakan menjadi toksisitas akut, toksisitas subkronik dan toksisitas kronik. Uji toksisitas subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan (Priyanto, 2009). Uji toksisitas bertujuan untuk mengetahui efek toksik dan menentukan batas keamanan suatu senyawa yang terdapat dalam zat-zat kimia, termasuk dalam tumbuh-tumbuhan (Widyastuti, 2008).

Uji toksisitas subkronik adalah salah satu uji praklinik untuk mengidentifikasi ciri fisik maupun organ yang diberikan senyawa uji secara berulang dalam waktu tertentu yaitu selama 28 atau 90 hari (Casarett dan Doull, 2008). Prinsip uji toksisitas subkronik yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji. Tujuan uji toksisitas subkronik adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut (OECD, 1998).

Pengobatan tradisional saat ini kembali diminati oleh masyarakat sebagai pengobatan alternatif. Hal ini disebabkan pengobatan tradisional tidak membutuhkan biaya yang besar, sedangkan pengobatan modern menggunakan obat kimia, membutuhkan biaya yang relatif mahal, disamping itu obat tradisional dapat diperoleh tanpa resep dokter, dapat diramu sendiri, bahan bakunya tidak perlu diimpor dan tanaman obat dapat ditanam sendiri oleh pemakainya, serta


(18)

resiko efek sampingnya sedikit dibandingkan obat-obatan kimia. Pemakaian obat tidak dapat dihindarkan dari efek samping yang ditimbulkan. Obat-obatan kimia biasanya mempunyai kontra indikasi dengan efek samping yang tidak diharapkan begitu juga dengan obat yang berasal dari alam namun hal itu jarang dipublikasikan (Dalimartha, 2002). Informasi adanya ketoksikan dari suatu bahan alam yang biasa digunakan untuk pengobatan sangat dibutuhkan.

Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan obat adalah tanaman selada air (Nasturtium officinale R.Br). Sayuran ini telah diuji aktivitas antikankernya yakni untuk kanker kolon dengan menggunakan jus selada air dengan konsentrasi paling efektif 50 μl/ml terhadap kerusakan DNA pada sel HT29 (Boyd, dkk., 2006). Herba selada air digunakan untuk pengobatan tuberkulosis (Corona, dkk., 2008), antidiabetes (Hoseini, dkk., 2009), antialergi (Lingga, 2012) dan obat diuretik (Ginting, dkk., 2014).

Selada air adalah salah satu tanaman sayur dari suku Brassicaceae banyak dijumpai dikawasan beriklim sederhana dan di dataran tinggi kawasan iklim tropik termasuk Indonesia. Obat tradisional dalam bentuk bahan baku ekstrak agar dapat menjadi obat herbal terstandar, maka harus dilakukan uji praklinik termasuk uji keamanan yaitu uji toksisitas akut, subkronik dan kronik (BPOM RI, 2004).

Penelitian sebelumnya mengenai uji toksisitas akut diketahui bahwa ekstrak etanol herba selada air memiliki nilai dosis aman tertinggi adalah 4000 mg/kgbb (Ginting, dkk., 2014). Berdasarkan informasi tersebut maka peneliti tertarik melakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui toksisitas subkronik dari pemberian ekstrak etanol herba selada air (Nasturtium officinale R.Br) dengan menggunakan parameter gejala toksik, kematian hewan, Kadar ALT, kadar AST, penimbangan organ hati dan perubahan berat badan pada mencit putih jantan dan


(19)

betina. Selama waktu pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ekstrak etanol herba selada air (EEHSA) dapat menimbulkan gejala toksik pada mencit selama pemberian 90 hari?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis pada penelitian ini diduga EEHSA menimbulkan gejala toksik pada mencit selama pemberian 90 hari.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui EEHSA dapat menimbulkan gejala toksik mencit selama pemberian 90 hari.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai efek toksik yang ditimbulkan dari EEHSA dan memberikan informasi mengenai batas keamanan dosis dari EEHSA serta sebagai acuan uji klinik untuk dijadikan sebagai obat.


(20)

1.5Kerangka Pikir Penelitian

Adapun kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

Simplisia herba selada air

Ekstrak etanol herba selada air:

dosis 25 mg/kgbb dosis 50 mg/kgbb dosis 200 mg/kgbb

Suspensi Na-CMC 0.5 %

1. Salivasi 2. Diare 3. Tremor 4. Lemas

5. Perubahan bulu 6. Jalan mundur 7. Jalan dengan

perut Efek toksik Kadar ALT & AST Histopatologi organ hati Ekstrak Etanol Herba Selada

Air

Waktu pengamatan 90 hari Mencit jantan & betina Gejala toksik

1. ALT normal 17-77 IU/L 2. AST normal

54-298 IU/L 1. Degenerasi hidropik 2. Kariopiknotik 3. Karioreksis 4. Kariolisis 5. Nekrosis 1. Jumlah kematian hewan 2. Berat badan 3. Jumlah berat

makanan 4. Indeks berat

organ hati relatif

Makropatologi

organ hati 1. Warna 2. Konsistensi 3. permukaan


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Tanaman selada air (Nasturtium officinale R.Br) tidak terlalu mirip dengan selada dari genus lactuce. Tanaman ini berupa herba aquatik menjalar atau tegak, bisa mencapai ketinggiaan 1m, mempunyai akar tunjang dan sering menghasilkan akar pada buku. Tanaman ini memiliki banyak cabang dan berbatang licin, banyak cairan serta berongga dalam batang (Muhlisah dan Sapta, 2009).

Daun selada air adalah jenis majemuk ganda dua bentuknya agak bulat dengan diameter 1,5-3 cm. Selada air sangat mudah tumbuh dan sering ditemukan tumbuh liar di aliran sungai kecil, kolam, rawa, atau bagian danau yang dangkal, oleh karena itu, tanaman ini sangat jarang dibudidayakan secara khusus oleh petani. Biasanya selada air yang dijual masih diandalkan dari hasil tanaman yang tumbuh liar di perairan sekitar rumah penduduk (Muhlisah dan Sapta, 2009).

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Tumbuhan selada air memiliki sistematika sebagai berikut (Lubis, et al., 2013)

Kingdom : Plantae

Devisi : Spermatophyta Sub devisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Suku : Brassicaceae Marga : Nasturtium


(22)

2.1.2 Sinonim tumbuhan

Sinonim Rorippa nasturtium aquaticum (Linn.) Hayek (Novia, 2014).

2.1.3 Nama daerah

Indonesia : selada air

2.1.4 Nama asing

Watercress (Inggris), sal yeung ts’ol (China) (Novia, 2014). 2.1.5 Daerah tumbuhan

Selada air sangat mudah tumbuh dan sering ditemukan tumbuh liar di aliran sungai kecil, kolam, rawa, atau bagian danau yang dangkal (Muhlisah dan Sapta, 2009).

2.1.6 Kegunaan

Selada air memiliki aktivitas antibiotika, antitumor dan diuretik. Sebagai obat selada air meningkatkan selera makan dan pencernaan. Selada air digunakan untuk mengobati iritasi dari saluran urin efferen (Gruenwald, dkk., 2000), antikanker (Boyd, dkk., 2006). Selada air juga telah diteliti aktivitasnya sebagai obat tuberculosis (Corona, dkk., 2008) dan antidiabetes (Hoseini, dkk., 2009). Penelitian Özen (2009) menunjukkan aktivitas ekstrak selada air dapat melawan dan mengurangi peroksidasi lipid pada hati, otak dan ginjal.

Panen selada air dilakukan dengan cara memotong sebagian batangnya. Sisa dari batang yang ditinggalkan saat panen akan muncul tunas dan daun yang baru. Perbanyakan selada air dilakukan dengan memanfaatkan batangnya untuk dijadikan setek batang lalu ditanam di lokasi yang tergenang air. Tanaman ini dapat di panen dalam waktu sekitar 40 hari setelah tanam. Panen secara periode memnbantu pertumbuhan baru pada tanaman. Hindari pemotongan lebih dari sepertiga tanaman agar tanaman memiliki daun yang cukup bagus. Cara memanen


(23)

selada air, sama dengan memanen kangkung air. Pertama-tama, gulma yang tumbuh di sela-sela selada air diambil dan dibuang, kemudian selada air itu dipotong dengan menggunakan sabit yang tajam. Tinggi tanaman yang layak dipotong sekitar 20 cm (Muhlisah dan Sapta, 2009).

Bangsa Yunani Kuno dan Romawi menganggap selada air dapat memberikan kekuatan, keberanian, karakter dan bahkan kecerdasan. Selada air di abad pertengahan dipercaya dapat mencegah kebotakan, menyembuhkan sakit gigi, serta membersihkan darah dan kulit. Selada air memang banyak mengandung vitamin A dan C yang menyehatkan ditambah pula dengan sejumlah kalori yang sedikit. Seporsi 10 batang hanya mengandung 5g kalori (Joseph, dkk., 2002).

Selada air dikenal sebagai selada hijau yang “menggigit balik” dan sekarang seharusnya bukan suatu kejutan bahwa rasa pahit dalam selada air merupakan akibat dari isothiocyanates. Selada air memiliki isothiocyanate yang berbeda bernama phenethyl isothiocyanate atau singkatnya PEITC. PEITC dapat ditemukan di dalam lobak, lobak hijau, namun sejauh ini sumber terbaiknya adalah selada air (Joseph, dkk., 2002).

PEITC ternyata sangat baik dalam melawan serangkaian nitrosamine penyebab kanker pada asap tembakau. PEITC berarti tidak hanya melawan kanker paru-paru, tetapi juga tumor kerongkongan yang disebabkan oleh karsinogen spesifik tembakau. Suatu penelitian, Stephen Hecht, ahli biokimia di University of Minnoseta Cancer Center di Minneapoli, memberi nitrosamin ampuh bernama NNK pada sekelompok tikus. Lebih dari 70% tikus menderita kanker paru-paru. Kelompok tikus kedua menerima NNK pemicu kanker dan PEITC pelindung. Hasilnya kurang dari 10 persen tikus yang dilindungi PEITC yang dilindungi PEITC menderita tumor (Joseph, dkk., 2002).


(24)

2.2 Toksisitas

Toksisitas adalah kemampuan suatu xenobiotik (zat yang berasal dari luar tubuh organisme) dalam menimbulkan kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan (Priyanto, 2009)

Paracelcus yang dianggap sebagai bapak toksikologi tidak membedakan antara obat dengan zat beracun berdasarkan toksisitasnya. Paracelcus berpendapat, yang membedakan antara obat dengan racun atau zat yang bukan racun dengan racun adalah dosisnya. Paracelcus menyimpulkan bahwa obat bukan racun sebagaimana anggapan banyak pihak, karena penggunaan obat diberikan berdasarkan aturan dosis tertentu. Obat dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan yang berkaitan dengan dosis yang diberikan yaitu efek toksik (toxic effet) (Priyanto, 2009)

Zat kimia di reseptornya akan berinteraksi dan menimbulkan efek interaksi secara berlebihan yang dapat menimbulkan efek toksik. Penentu ketoksikan suatu zat kimia adalah sampainya zat kimia utuh atau metabolit aktifnya di sel sasaran dalam jumlah yang berlebihan. Zat kimia dapat mengalami metabolisme menjadi senyawa non aktif dan diekskresikan yang dapat mengurangi sampainya atau jumlah zat kimia dalam sel sasarannya. Uji toksisitas subkronis bertujuan memperoleh info tentang perkembangan efek toksik yang lambat yang tidak teramati pada uji ketoksikan akut. Respon terhadap bahan toksik antara lain tergantung kepada sifat fisik dan kimia, situasi paparan, kerentanan sistem biologis, sehingga bila ingin mengklasifiksikan toksisitas suatu bahan harus mengetahui macam efek yang timbul dan dosis yang dibutuhkan serta keterangan mengenai paparan dan sasarannya. Timbulnya efek toksik dipengaruhi juga oleh selisih antara absorpsi dan distribusi dengan eliminasinya. Kondisi


(25)

paparan zat kimia meliputi: jalur paparan (intravaskuler atau ekstravaskuler), lama dan kekerapan paparan, dosis paparan, paparan akut atau kronis. Kondisi makhluk hidup meliputi: keadaan fisiologi (berat badan, jenis kelamin, dll), keadaan patologi (penyakit saluran pencernaan, kardiovaskuler, hati, dan ginjal (Priyanto, 2009).

2.2.1 Toksisitas umum 2.2.1.1 Toksisitas akut

Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji secara oral dalam dosis tunggal yang diberikan dalam waktu 24 jam (Lu, 1995). Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan LD50 (potensi

ketoksikan) akut dari suatu senyawa. Semakin kecil harga LD50 maka semakin

besar potensi ketoksikannya (Priyanto, 2009).

Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis yang diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian (OECD, 2001).

2.2.1.2 Toksisitas subkronik

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji (BPOM, RI., 2014).

Tujuan toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu, informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik


(26)

dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut (OECD, 1998). Tujuan lain dari uji toksisitas oral adalah untuk menentukan organ sasaran yang menjadi target zat toksik (Priyanto, 2009).

Prinsip uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari. Selama pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Selama waktu dan pada akhir periode pemberian sediaan uji, hewan yang mati dan masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap organ dan jaringan. Pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi juga dilakukan untuk mendukung hasil uji (BPOM, RI., 2014).

Dosis uji pada uji toksisitas subkronik sekurang-kurangnya digunakan tiga kelompok dosis dan satu kelompok kontrol untuk setiap jenis kelamin. Dosis toksik harus menyebabkan gejala toksik pada beberpa hewan uji dan terjadinya kematian tidak boleh lebih dari 10%, sedangkan dosis tidak berefek tidak boleh menyebabkan gejala toksik. Uji pendahuluan yang diperoleh perlu dipertimbangkan hasilnya. Tingkat dosis lain ditetapkan dengan faktor perkalian tetap 2 sampai 10 (Harmita, 2006).

2.2.1.3 Toksisitas kronik

Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji berulang-ulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa hidupnya (Priyanto, 2009). Prinsip toksisitas kronik oral pada umumnya sama dengan uji toksisitas subkronik, hanya sediaan uji yang diberikan lebih lama tidak kurang dari 12 bulan. Pengamatan juga dilakukan secara lengkap seperti gejala toksik, monitoring berat badan dan konsumsi makanan, pemeriksaan hematologi,


(27)

biokimia klinis, makropatologi, penimbangan organ dan histopatologi (BPOM, RI., 2014).

2.3 Biologi Mencit

Mencit merupakan salah satu hewan percobaan yang sering digunakan dalam penelitian. Tujuan penggunaan hewan percobaan adalah untuk mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dan serta penelitian laboratorium. Hewan percobaan harus mempunyai persyaratan tertentu antara lain persyaratan genetis dan lingkungan yang memadai (Dolokasaribu, 2008).

Mencit termasuk hewan pengerat yang cepat berkembangbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak dan variasi genetiknya cukup besar. Mencit merupakan hewan percobaan yang efisien karena mudah dipelihara, tidak memerlukan tempat yang luas, waktu kebuntingan yang singkat dan banyak memiliki anak. Mencit dan tikus putih memiliki banyak data toksikologi, sehingga mempermudah membandingkan toksisitas zat-zat kimia (Lu, 1995). Sistem taksonomi mencit termasuk golongan

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Bangsa : Rodentia Marga : Mus

Jenis : Mus musculus

Mencit yang sudah dipelihara di laboratorium sebenarnya masih satu suku dengan mencit liar. Mencit yang sering digunakan untuk penelitian adalah Mus


(28)

musculus. Berbeda dengan hewan-hewan lainnya, mencit tidak memiliki kelenjar keringat (Dolokasaribu, 2008).

Umur empat minggu berat badannya mencapai 18-20 g. Jantung terdiri dari empat ruang dengan dinding atrium yang tipis dan dinding ventrikel yang lebih tebal. Peningkatan temperatur tubuh tidak dipengaruhi tekanan darah, sedangkan frekuensi jantung, cardiac output berkaitan dengan ukuran tubuhnya. Hewan ini memiliki karakter lebih aktif pada malam hari dibanding siang hari (nokturnal). Mencit adalah hewan yang paling banyak digunakan untuk penelitian medis (60-80%) karena murah dan mudah berkembang biak (Dolokasaribu, 2008).

Kondisi ruangan dan pemeliharaan hewan uji untuk hewan pengerat digunakan ruangan dengan suhu 220C (±30C), kelembapan relatif 30-70% dan penerangan 12 jam terang dan 12 jam gelap. Hewan dikelompokkan dalam kandang berdasarkan jenis kelamin. Ukuran kandang yang digunakan sesuai dengan jumlah hewan per kandang. Hewan diberi makanan hewan laboratorium yang sesuai, makanan dan minuman diberikan tanpa batas (Harmita, 2006).

Mencit digunakan sebagai model karena sebagian besar gen mencit melakukan fungsi yang sama pada mencit seperti gen manusia berfungsi pada manusia, maka mencit dipandang sebagai hewan ideal untuk studi penelitian, pengembangan dan penyakit manusia (Brookes, 2005). Reproduksi mencit yang cepat membuat hewan ini menjadi mudah ditemukan dan dikembang biakan. Oleh karena itulah mencit sering sekali menjadi hewan percobaan oleh para peneliti atau ahli biologi. Mencit juga memiliki julukan lain yaitu hewan eksperimen. Mencit dan tikus putih memiliki banyak data toksikologi, sehingga mempermudah membandingkan toksisitas zat-zat kimia. Mencit bersifat penakut, fotofobia,


(29)

cenderung berkumpul sesamanya dan lebih aktif pada malam hari dibandingkan siang hari (nokturnal) (Harmita, 2006).\

2.4 Hati

Salah satu organ yang sering menderita karena adanya zat-zat toksik adalah hati. Bahan kimia kebanyakan mengalami metabolisme dalam hati oleh karenanya berpotensi merusak sel-sel hati (Wicaksono, 2002).

2.4.1 Anatomi hati

Hati merupakan organ tubuh terbesar kedua di dalam tubuh, dengan berat rata-rata sekitar 1,5 kg. Organ ini terletak dalam rongga perut sebelah kanan di bawah diafragma (Junqueira and Carneiro, 2007). Hati terbagi dalam dua belahan utama kanan dan kiri yang dipisahkan oleh fisura longitudinal (Irianto, 2004). Warnanya dalam keadaan segar merah kecoklatan, warna tersebut terutama disebabkan oleh adanya darah yang amat banyak (Lee, et al., 1997). Gambar anatomi hati dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut


(30)

Secara anatomi hati terdiri dari beberapa lobus tergantung pada spesiesnya, untuk mencit terdapat empat lobus (lobus medial, kaudal, lateral kiri dan lateral kanan). Setiap lobus hati terdiri dari beberapa lobulus yang terdiri dari berbagai komponen, yaitu sel-sel hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang-cabang-cabang arteri hepatika, sel kupffer dan kanalikuli biliaris (Junqueira and Carneiro, 2007).

2.4.2 Fisiologi hati

Organ hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan (Lu, 1995). Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat ekskresi. Hati membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun. Hati mempunyai fungsi yang sangat banyak dan kompleks yang penting untuk mempertahankan hidup (Husadha, 1996) yaitu : a. Fungsi pembentukan dan ekskresi empedu

Hal ini merupakan fungsi utama hati yaitu mengekskresikan sekitar satu liter empedu setiap hari. Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorbsi lemak dalam usus halus.

b. Fungsi metabolik

Hati berperaan penting dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan juga memproduksi energi. Hati mengubah ammonia menjadi urea, untuk dikeluarkan melalui ginjal dan usus.

c. Fungsi pertahanan tubuh

Apabila hati mengalami peradangan dan terinfeksi, maka kemampuan dan kinerja dari fungsi hati akan menurun dan melemah. Hati mempunyai fungsi detoksifikasi dan perlindungan yang dilakukan oleh enzim-enzim hati untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis atau konjugasi zat yang kemungkinan


(31)

membahayakan dan mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif. Fungsi perlindungan dilakukan oleh sel kupffer yang terdapat di dinding sinusoid hati.

2.4.3 Histologi hati

Hati terdiri atas unit-unit heksagonal yaitu lobulus hati. Bagian tengah setiap lobulus hati terdapat sebuah vena sentralis yang dikelilingi secara radial oleh sel-sel hati (hepatosit). Sel hati memiliki kemampuan regenerasi yang cukup tinggi. Sel parenkim pada hati disebut hepatosit, menempati sekitar 80% volume hati dan melakukan berbagai fungsi utama hati. 40% sel hati terdapat pada lobus sinusoid. Sel non-parenkimal menempati sekitar 6,5% volume hati dan memproduksi berbagai substansi yang mengendalikan banyak fungsi hepatosit (Junqueira dan Corneiro, 2007)

Sel hati berbentuk polihedral dengan inti bulat yang terletak di tengah dan kadang tampak lebih dari satu inti akibat pembelahan sitoplasma yang tidak sempurna. Sel tersebut terletak di antara sinusoid yang berisi darah dan saluran empedu (Lu, 1995). Darah yang mengandung toksin dibawa dari usus kemudian masuk ke hati melalui vena porta kemudian melewati sinusoid menuju vena sentralis (Macfarlane, et al., 2000).

Hati menerima darah dari dua sumber yaitu darah arteri dari arteri hepatika kiri dan kanan dan darah vena dari vena porta hepatika yang mengalir dari saluran pencernaan dan limpa (Underwood, 1994). Sebanyak 80% dari aliran darahnya berasal dari vena porta yang mengangkut darah rendah oksigen. Sisanya (20%) berasal dari arteri hepatika yang mensuplai darah kaya oksigen. Darah meninggalkan hati melalui vena hepatika yang mengalir menuju vena kava inferior (Underwood, 1994).


(32)

2.4.4 Intoksikasi hati

Metabolisme umumnya berlangsung di hati karena di hati banyak terdapat enzim pemetabolisme. Tujuannya adalah membuat senyawa menjadi lebih polar sehingga mudah dieksresikan dan menjadi kurang toksik, namun ada senyawa tertentu yang setelah mengalami metabolisme menjadi lebih toksik, misalnya fenasetin menjadi paracetamol, faration menjadi paraokson dan protonsil menjadi silfa. Hati adalah tempat banyak proses metabolisme penting, termasuk sintesis protein, detoksifikasi, dan produksi bahan kimia pencernaan. Metabolisme hati adalah sumber dari banyak zat penting untuk kesehatan lanjutan dan kelangsungan hidup (Priyanto, 2009).

Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu onset pemaparan yang terlalu lama, durasi pemaparan, dosis dan sel inang yang rentan. Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat sementara (reversible) dan tetap atau tidak bisa kembali pulih (irreversible) (Wicaksono, 2002). Sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidupnya, perubahan ini biasa disebut degenerasi. Degenerasi terjadi karena adanya gangguan biokimiawi yang disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang bersifat toksik (Cheville, 1999).

Degenerasi hidropik merupakan peristiwa meningkatnya kadar air di intraseluler yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel membengkak dan membentuk vakuola-vakuola. Rusaknya permeabilitas membran sel menyebabkan terhambatnya aliran Na+ keluar dari sel sehingga menyebabkan ion-ion dan air masuk secara berlebihan kedalam sel. Degenerasi hidropik merupakan respon awal sel terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik, serta merupakan proses awal dari kematian sel (Jones, et al., 1997; Cheville, 1999). Kadar Na+ intrasel diatur


(33)

oleh pompa Na+ yang memerlukan ATP, jika ATP berkurang maka akan mengakibatkan masuknya Na+ ke intrasel melebihi jumlah normalnya (Priyanto, 2009).

Kerusakan sel secara terus-menerus akan mencapai suatu titik sehingga terjadi kematian sel (Lu, 1995). Paparan zat toksik pada sel apabila cukup hebat atau berlangsung cukup lama, maka sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan tidak dapat melanjutkan metabolisme (Priyanto, 2009). Inti sel yang mati dapat terlihat lebih kecil dan menjadi lebih padat (kariopiknosis), setelah itu menjadi hancur bersegmen-segmen (karioreksis) dan kemudian inti sel menghilang (kariolisis) (Underwood, 1994). Nekrosis hati dapat bersifat reversible maupun irreversible. Nekrosis hati adalah kematian hepatosit yang umumnya merupakan kerusakan akut (Lu, 1995).

2.5 ALT (Alanine Aminotransferase)

Tes fungsi hati yang umum untuk mengetahui adanya gangguan dalam organ hati adalah dengan mengukur serum aminotransferase yaitu ALT (Alanine Aminotransferase) atau SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) (Wibowo, dkk., 2005). ALT memindahkan satu gugus amino antara alanin dan asam alfa keto-glutamat, fungsi ini penting untuk pembentukan asam-asam amino yang dibutuhkan untuk menyusun protein di hati (Sacher dan Richard, 2004).

ALT merupakan enzim aminotransferase yang dibuat dalam sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim lain. ALT sering dijumpai dalam hati, sedangkan AST terdapat lebih banyak di jantung, otot rangka, otak dan ginjal dibandingkan di hati (Sagita, dkk., 2012). ALT memberikan hasil yang lebih spesifik dari pada AST (Sherlock, 1981; Bauer, 1982; Murray, et al., 1995). Kadarnya dalam serum meningkat terutama pada


(34)

kerusakan dalam hati dibandingkan dengan AST (Hadi, 1995). ALT darah mencit normal adalah 17-77 IU/L (Murtini, dkk., 2010).

2.6 AST (Aspartat Aminotransferase)

AST (Aspartat Aminotransferase) atau juga dinamakan SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) merupakan enzim yang dijumpai dalam otot jantung dan hati, sementara dalam konsentrasi sedang dijumpai pada otot rangka, ginjal dan pankreas. Konsentrasi rendah dijumpai dalam darah, kecuali jika terjadi cedera seluler, kemudian dalam jumlah banyak dilepaskan ke dalam sirkulasi. Kadar AST/AST biasanya dibandingkan dengan kadar enzim jantung lainnya, seperti CK (creatin kinase), LDH (lactat dehydrogenase). Pada penyakit hati, kadarnya akan meningkat 10 kali lebih dan akan tetap demikian dalam waktu yang lama (Wibowo, dkk., 2005). Saat terjadi kerusakan hati akut, jumlah enzim transaminase alanin (ALT) dan transaminase aspartat (AST) meningkat dalam darah. Penderita nekrosis hati (kematian sel) seperti yang diderita oleh pecandu alkohol dan penderita infeksi virus hepatitis juga menunjukkan kenaikan konsentrasi AST dalam darah. Hal ini dikarenakan AST yang berada di dalam mitokondria dilepaskan sel yang mati ke peredaran darah dalam jumlah yang yang banyak sehingga bisa dijadikan parameter untuk mendeteksi kerusakaan sel hati (Wibowo, dkk., 2005). Enzim ini dapat diukur di laboratorium menggunakan metode fotometrik ataupun kolorimetrik. Nilai normal (rujukan) untuk enzim ini berbeda tergantung pada metode yang digunakan. Kerusakan pada sel hati yang sedang berlangsung dapat diketahui dengan mengukur parameter fungsi hati salah satunya zat dalam peredaran darah yang dibentuk oleh sel hati yang rusak atau mengalami nekrosis yaitu enzim AST dan lain lain. AST darah mencit normal adalah 54-298 IU/L (Murtini, dkk., 2010).


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan penelitian meliputi penyiapan bahan, penyiapan hewan percobaan, pengamatan gejala klinis, berat badan, jumlah makanan, kematian, pengukuran kadar ALT dan AST, serta histopatologi organ hati dan analisis data menggunakan statistik metode two-way analysis of variance (ANOVA). Penelitian ini dilakukan di laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi USU, laboratorium Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dan laboratorium Rumah Sakit Murni Teguh Medan.

3.2 Alat

Alat-alat yang digunakan terdiri dari neraca hewan (GW-1500), neraca listrik (Mettler Toledo), alat-alat gelas laboratorium, mortir dan stamfer, alat bedah (Wells spencer), kaca objek, kaca penutup, kertas perkamen, kaca arloji, oral sonde, pipet tetes dan spuit 1 ml (Terumo), mikrotube, sentrifuse (Velocity 18-R) dan mikroskop (Olympus).

3.3 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan tumbuhan, hewan dan bahan kimia. Bahan tumbuhan yang digunakan yaitu selada air (Nasturtium officinale, R.Br.). Bahan kimia yang digunakan yaitu Na-CMC (natrium carboxy methyl cellulose), akuades, formalin 10%, natrium klorida 0,9% dan pelet (allfeed).


(36)

3.4 Tahap Penelitian

3.4.1 Penyiapan ekstrak etanol herba selada air (EEHSA)

Ekstrak etanol herba selada air (EEHSA) diperoleh dari penelitian sebelumnya yang berjudul Ekstrak Etanol Selada Air (Nasturtium officinale R.Br) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Tablet Diuretika (Ginting, dkk., 2014)

3.5 Penyiapan Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah mencit putih jantan dan betina dengan berat badan 15–25 g berumur sekitar 4 minggu, sebanyak 40 ekor mencit dibagi dalam 4 kelompok. Mencit diaklimatisasi terlebih dahulu dalam sebuah kandang untuk tiap kelompok dan dipisahkan berdasarkan jenis kelaminnya, diberi makan pelet dan minum air suling selama 7-14 hari.

3.6 Pembuatan Pereaksi

Pembuatan pereaksi mencakup pembuatan suspensi Na-CMC 0,5% b/v, pembuatan suspensi EEHSA dengan dosis 25 mg/kgbb, 50 mg/kgbb dan 200 mg/kgbb.

3.6.1 Pembuatan suspensi Na-CMC 0,5% b/v

Sebanyak 0,5 g Na-CMC ditaburkan dalam lumpang yang berisi 10 ml air suling panas. Didiamkan selama 15 menit lalu digerus hingga diperoleh massa yang transparan, kemudian digerus sampai homogen, diencerkan dengan air suling dan dimasukkan ke labu tentukur 100 ml, dicukupkan volumenya dengan air suling hingga 100 ml.

3.6.2 Pembuatan suspensi ekstrak etanol herba selada air (EEHSA)

Dalam pengujian akan digunakan 3 variasi dosis yakni dosis 25 mg/kgbb, 50 mg/kgbb, 200 mg/kgbb. Sejumlah 25 mg, 50 mg, dan 200 mg ekstrak etanol herba selada air dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan suspensi


(37)

Na-CMC 0,5% b/v sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen kemudian dicukupkan hingga 10 ml.

3.7 Pengujian Efek Toksisitas

Pengujian efek toksisitas meliputi pembuatan suspensi ekstrak etanol herba selada air, pengujian toksisitas subkronik meliputi gejala-gejala klinis, perubahan berat badan, kematian hewan, pengukuran kadar ALT dan AST serta histopatologi organ hati.

3.7.1 Pengujian toksisitas subkronik

Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor yaitu 5 jantan dan 5 betina. Dosis dalam penelitian ini berdasarkan dosis efektif untuk indikasi diuresis yaitu 50 mg/kgbb (Ginting, 2014). Kelompok tersebut adalah:

Kelompok 1 (K1) : Kelompok kontrol, diberi CMC Na 0,5% b/v

Kelompok 2 (K2) : Kelompok perlakuan, diberi EEHSA dosis 25 mg/kgbb Kelompok 3 (K3) : Kelompok perlakuan, diberi EEHSA dosis 50 mg/kgbb Kelompok 4 (K4) : Kelompok perlakuan, diberi EEHSA dosis 200 mg/kgbb

Hari ke-1 mulai dilakukan penimbangan pada mencit, kemudian diberikan sediaan uji dan diamati aktivitasnya. Sediaan uji tersebut diberikan secara oral setiap hari selama 90 hari dan dilakukan pengamatan.

3.8 Pengamatan 3.8.1 Gejala toksik

Pengamatan dilakukan 3 jam pertama setelah pemberian sediaan uji secara intensif namun tetap diamati dalam satu hari penuh, dilakukan setiap hari selama


(38)

90 hari, meliputi adanya tremor, salivasi, diare, lemas, perubahan bulu, gerak-gerik hewan seperti berjalan mundur dan berjalan dengan perut (OECD, 1998). Adapun cara pengamatannya, yaitu:

a. Salivasi

Pengeluaran salivasi mencit yang telah diberi ekstrak etanol herba selada air dibandingkan dengan kontrol, menggunakan kertas saring.

b. Diare

Pengeluaran tinja mencit yang telah diberi ekstrak etanol herba selada air dibandingkan dengan kontrol, menggunakan kertas saring.

c. Tremor

Hewan yang telah diberi ekstrak etanol herba selada air, diamati tremor atau tubuh hewan bergetar.

d. Lemas

Hewan yang telah diberi ekstrak etanol herba selada air diamati aktivitasnya secara umum.

e. Gerak-gerik hewan

Hewan yang telah diberi ekstrak etanol herba selada air diamati gerak-geriknya seperti berjalan mundur dan berjalan menggunakan perut (Supriningrum, dkk., 2014).

3.8.2 Berat badan

Mencit ditimbang setiap hari selama 90 hari untuk menentukan volume sediaan uji yang akan diberikan. Perubahan berat badan harus dianalisis dua minggu sekali. Penurunan berat badan menjadi salah satu efek toksik yang perlu diamati. Akhir penelitian, hewan yang masih bertahan hidup ditimbang dan kemudian diotopsi (BPOM RI, 2014).


(39)

2.8.3 Jumlah makanan

Makanan diberikan setiap hari sebanyak 25-30 g untuk tiap kelompoknya. Makanan yang tersisa pada hari berikutnya ditimbang sehingga diperoleh jumlah makanan yang dikonsumsi mencit. Data jumlah makanan dianalisis setiap dua minggu sekali (BPOM RI, 2014).

3.8.4 Kematian hewan

Mencit diamati kematiannya dari hari pertama sampai hari terakhir. Mencit yang mati selama waktu pemberian sediaan uji segera diotopsi dan organ diamati secara histopatologi (BPOM RI, 2014).

3.8.5 Penimbangan organ

Organ yang akan ditimbang (bobot absolut) harus dikeringkan terlebih dahulu dengan kertas penyerap, kemudian segera ditimbang, sedangkan yang dianalisis adalah bobot relatif, yaitu bobot organ absolut dibagi bobot badan dikali 100% (BPOM RI, 2014).

3.8.6 Pengukuran kadar ALT dan AST

Akhir periode pemberian sediaan uji, semua mencit yang masih hidup diotopsi. Pengukuran kadar ALT (Alanin Transferase) dan AST (Aspartat Transferase) dilakukan dengan cara mengambil darah menggunakan alat suntik steril. ALT dan AST adalah dua parameter yang digunakan untuk mendekeksi kerusakan hati. Darah diambil melalui jantung (intra cardiac) secara perlahan-lahan menggunakan alat suntik steril sebanyak 1 ml, satu alat suntik digunakan untuk satu hewan. Sebanyak 0,5 ml darah dimasukkan kedalam tabung mikrosentrifus dan didiamkan pada suhu kamar (±30oC) selama 10 menit dan segera disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm, selanjutnya serum dipisahkan dan disimpan dalam lemari beku (-20oC) (BPOM RI, 2014).


(40)

3.8.7 Makropatologi

Mencit yang mati segera diotopsi dan dilakukan pengamatan (BPOM RI, 2014). Pengamatan meliputi warna, permukaan dan konsistensi organ hati secara visual (Anggraini, 2008).

3.8.8 Histopatologi organ hati

Mencit yang mati segera diambil organnya. Akhir periode pemberian sediaan uji, semua mencit yang masih hidup diotopsi, selanjutnya diambil organ hati dicuci dengan natrium klorida kemudian dimasukkan dalam larutan dapar formaldehida 10% dan dibuat preparat histopatologi selanjutnya dilihat di bawah mikroskop (BPOM RI, 2014; Hendriani, 2007).

3.8.9 Analisis statistik

Pengukuran dianalisis statistik dengan menggunakan Two-way analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey HSD pada program Statistic Product and Service Solutions (SPSS) versi 17.


(41)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Bahan Baku Ekstrak

Penelitian ini digunakan ekstrak etanol herba selada air (EEHSA) yang sama dengan ekstrak dari penelitian sebelumnya yang berjudul Ekstrak Etanol Selada Air (Nasturtium officinale R.Br) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Tablet Diuretika (Ginting, dkk., 2014) oleh karena itu identifikasi tumbuhan tidak dilakukan lagi.

EEHSA disimpan di lemari pendingin dalam wadah tertutup rapat sehingga EEHSA terhindar dari kontaminasi zat-zat asing. Penyimpanaan di lemari pendingin bertujuan untuk mencegah tumbuhnya jamur, mencegah ekstrak terkena sinar matahari langsung. Secara organoleptik, EEHSA yang disimpan tidak ada ditumbuhi kapang dan jamur.

4.2 Hasil Pengujian Toksisitas Subkronik

Pengujian efek toksik ekstrak etanol herba selada air (Nasturtium officinalle R.Br,), dilakukan terhadap mencit jantan dan betina. Dosis ekstrak etanol herba selada air yang digunakan: 25, 50, dan 200 mg/kgbb. Pengamatan dilakukan selama 90 hari meliputi gejala klinis, berat badan, jumlah makanan, kematian hewan, kadar ALT, kadar AST dan histopatologi organ hati.

4.2.1 Hasil pengamatan gejala klinis

Pengamatan gejala klinis dilakukan 3 jam pertama setelah pemberian sediaan uji secara intensif namun tetap diamati dalam satu hari penuh, dilakukan setiap hari selama 90 hari meliputi tremo, salivasi, diare, lemas, dll dapat dilihat pada Tabel 4.1


(42)

Tabel 4.1 Data hasil pengamatan gejala toksik

Kelompok Tremor Salivasi Diare Lemas

Perubahan bulu

Jalan mundur

Jalan dengan

perut

J B J B J B J B J B J B J B

K1 - - - -

K2 - - - -

K3 - - - -

K4 - - - -

Keterangan : K1= kontrol CMC-Na 0.5%, K2= dosis 25 mg/kgbb, K3= dosis 50 mg/kgbb, K4= dosis 200 mg/kgbb, (-) = menunjukkan tidak adanya gejala, (+) = menunjukkan adanya gejala, j= jantan, B= betina

Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa ekstrak etanol herba selada air yang diberikan secara oral pada mencit selama 90 hari pada kelompok kontrol dan kelompok dosis 25, 50 dan 200 mg/kgbb tidak terdapat gejala toksik. Konsep utama toksikologi adalah tergantung pada dosis. Suatu zat dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan berkaitan dengan dosis yang diberikan yaitu efek samping, efek merugikan dan efek toksik yang dapat diamati dengan parameter gejala toksik (Priyanto, 2009).

4.2.2 Hasil pengamatan berat badan

Penimbangan berat badan dilakukan setiap hari dari hari ke 0 sampai hari ke 90 untuk menentukan volume sediaan uji yang diberikan, sedangkan data berat badan yang dianalisis secara statistik menggunakan two way anova dilakukan tiap dua minggu sekali. Parameter yang merupakan indikator sensitif adalah berat badan dan gejala toksik. Hewan uji diamati setiap hari untuk gejala toksik dan berat badan diukur secara berkala. Penurunan berat badan yang drastis dan bermakna merupakan salah satu indikator pengamatan adanya potensi gejala toksik pada hewan mencit yang diteliti, biasanya merupakan pertanda kesehatan yang buruk sehingga menjadi parameter yang sensitif untuk diamati selain pengamatan gejala klinis. Rata-rata berat badan dapat dilihat pada Tabel 4.2.


(43)

Tabel 4.2 Data rata-rata berat badan

Hari

Rata-rata berat badan (g) ± SD

K1 K2 K3 K4

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina 0 18,36

±1,16 18,24 ±1,00 22,34 ±1,13 20,86 ±0,89 21,02± 0,81 25,08± 0,21 21,84± 0,50 22,92 ±0,73 15 23,56

±4,03 21,28 ±2,53 28,02 ±1,38 21,78 ±2,77 27,88± 1,80 26,96± 1,15 24,22± 2,11 26,26 ±1,61 30 27,21

±5,61 24,78 ±2,08 31,73 ±1,15 22,28 ±1,58 29,46± 6,10 28,88± 2,50 28,76± 3,62 26,28 ±1,78 45 28,30

±7,25 25,14 ±1,83 31,82 ±1,26 24,22 ±2,03 30,04± 7,35 29,48± 3,37 29,24± 3,94 27,96 ±3,96 60 30,94

±7,25 26,66 ±2,06 32,88 ±1,78 25,80 ±1,77 32,42± 4,16 29,72± 3,10 30,24± 1,98 27,80 ±1,96 75 30,22

±7,19 26,80 ±1,98 35,90 ±1,64 25,14 ±1,14 32,38± 6,15 32,38± 6,15 31,10± 2,27 27,66 ±1,25 90 30,22

±7,19 28,62 ±2,39 37,22 ±2,32 26,18 ±1,40 31,50± 3,17 29,90± 2,80 31,50± 3,17 28,86 ±1,50 Keterangan : K1= kontrol CMC-Na 0.5%, K2= dosis 25 mg/kgbb, K3= dosis 50 mg/kgbb, K4= dosis 200 mg/kgbb, SD = standar deviasi

Berdasarkan Tabel 4.2 di atas yang dianalisis secara statistik menggunakan two way anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kenaikan berat badan kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol herba selada air.

Hal ini dapat ditunjukkan dengan tingkat signifikansi p≥0,05 dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pemberian ekstrak etanol herba selada air selama 90 hari tidak berpengaruh terhadap penurunan berat badan mencit yang diteliti, sebaliknya berat badan mencit menunjukkan peningkatan disebabkan mencit tidak mengalami gejala toksik maka perkembangan berat badan mencit normal. Penurunan berat badan yang cepat dan bermakna biasanya merupakan pertanda kesehatan yang buruk. Penurunan berat badan dapat pula disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan dan minuman, penyakit ataupun tanda toksik spesifik yang bisa di jadikan parameter untuk mengamati adanya gejala toksisisitas (Wilson, dkk., 2001).


(44)

4.2.3 Hasil pengamatan jumlah makanan

Jumlah makanan yang dikonsumsi ditimbang setiap 2 minggu sekali. Penghitungan secara statistik dilakukan setelah akhir periode perlakuan. Rata-rata jumlah makanan yang dikonsumsi dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Data rata-rata jumlah makanan

Hari

Rata-rata jumlah makanan (g) ± SD

K1 K2 K3 K4

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina 0 22,32±

7,00 16,56± 3,36 23,66 ±6,18 20,16± 9,00 24,02± 6,80 25,46 ±5,01 24,64 ±4,73 22,66 ±3,04 15 18,44±

1,79 19,96± 3,47 24,32 ±4,33 22,52± 4,88 23,80± 4,14 19,60 ±3,28 24,40 ±4,39 25,60 ±2,60 30 20,40±

5,77 18,40± 2,30 18,60 ±2,19 18,20± 2,48 16,80± 2,48 18,60 ±2,19 20,20 ±4,76 16,80 ±3,11 45 15,60±

2,60 20,00± 0,00 17,60 ±1,67 18,40± 2,30 17,60± 1,57 19,00 ±2,23 18,80 ±2,16 20,60 ±2,60 60 14,60±

3,84 18,00± 2,12 17,40 ±1,94 18,20± 2,16 17,20± 1,92 17,80 ±2,28 17,80 ±1,64 17,80 ±2,28 75 14,04±

1,22 15,20± 2,16 14,60 ±1,14 15,20± 1,78 14,60± 0,54 15,20 ±1,30 14,40 ±3,36 15,80 ±3,11 90 14,60±

1,51 14,60± 0,89 16,24 ±1,78 16,60± 0,89 14,80± 2,38 14,40 ±1,51 15,40 ±1,14 16,00 ±1,41 Berdasarkan Tabel 4.3 di atas yang dianalisis secara statistik menggunakan two way anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah makanan kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi ekstrak etanol herba selada air selama 90 hari. Hal ini dapat ditunjukkan dengan tingkat signifikansi p≥0,05 dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pemberian ekstrak etanol herba selada air selama 90 hari tidak berpengaruh terhadap penurunan jumlah makanan mencit. Penurunan berat badan dapat pula disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan dan minuman, penyakit ataupun tanda toksik spesifik (Wilson, dkk., 2001).


(45)

4.2.4 Hasil pengamatan kematian

Mencit diamati kematiannya dari hari pertama sampai hari terakhir. Mencit yang mati selama waktu pemberian sediaan uji segera diotopsi dan organ diamati secara histopatologi. Pengamatan kematian hewan dapat dilihat pada Tabel 4.4

Tabel 4.4 Data pengamatan kematian hewan

Kelompok Jumlah

mencit Dosis (mg/kgbb)

Jumlah kematian Jantan Betina

K1 10 - 0 0

K2 10 25 0 0

K3 10 50 0 0

K4 10 200 0 0

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas tidak terdapat hewan yang mati selama waktu pemberian sediaan uji. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol herba selada air tidak menyebabkan kematian selama 90 hari pemberian. Semua keracunan terjadi akibat reaksi antara zat beracun dengan reseptor dalam tubuh (Katzung, 2002).

3.4.5 Hasil berat organ relatif

Semua mencit diotopsi dan ditimbang berat organ hatinya. Hasil berat organ relatif yang didata pada akhir perlakuan ditunjukkan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Data berat organ relatif mencit

Kelompok

Rata-rata berat organ relatif hati ± SD

Signifikansi (p) Jantan Betina

Kontrol CMC Na 5,766±0,527 5,218±0,362

Dosis 25 mg 4,676±0,320 5,520±0,425 0,99

Dosis 50 mg 5,560±1,246 5,228±0,160 0,35

Dosis 200 mg 5,154±0,519 3,712±2,474 1,00 Keterangan : SD = Standar Deviasi

Berdasarkan hasil berat organ relatif mencit pada Tabel 4.5 yang dianalisis secara statistik menggunakan two way anova menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan pada berat organ relatif pada setiap kelompok. Hal ini berarti tidak


(46)

adanya pengaruh berat organ relatif mencit yang diberi ektrak etanol herba selada air dengan mencit yang normal. Berat organ relatif yang diukur pada penelitian ini yaitu organ hati. Organ tersebut dipilih karena merupakan organ penting dalam metabolisme, detoksifikasi, penyimpanan dan ekskresi xenobiotik dan metabolitnya, serta organ ini rentan terhadap kerusakan akibat metabolit yang bersifat toksik (Brzoska, dkk., 2003).

4.2.6 Hasil pengukuran kadar ALT

Pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua mencit diotopsi. Pengukuran kadar ALT (Alanin Transferase) dilakukan pada hari ke 91. Pemeriksaan ALT adalah indikator yang lebih sensitif terhadap kerusakan hati dibanding AST. Enzim ALT sumber utamanya di hati, sedangkan enzim AST banyak terdapat pada jaringan terutama jantung, otot rangka, ginjal dan otak (Cahyono, 2009).

Hati membuat beberapa produk, termasuk jenis protein yang disebut sebagai enzim. Produk ini dapat keluar dari hati dan masuk ke aliran darah. Tingkat produk tersebut dapat diukur dalam darah. Kerusakan pada hati yang disebabkan oleh zat toksik dapat memungkinkan produk tersebut masuk ke aliran darah dalam tingkat yang lebih tinggi. Jadi, tes ini dapat menunjukkan tingkat kerusakan pada hati. Rata-rata kadar ALT dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Data pengukuran kadar ALT

Kelompok Dosis (mg/kgbb)

Rata-rata ± SD Signifikansi (p)

Jantan Betina

K1 - 42,20±4,20 32,00±4,69

K2 25 58,60±4,77 52,60±4,56 0,00

K3 50 65,80±7,69 66,20±4,81 0,00


(47)

Gambar 4.1 Grafik rata-rata hasil pengukuran kadar ALT

Berdasarkan Tabel 4.6 di atas yang dianalisis secara statistik dengan menggunakan Two way anova, kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Test berupa uji Tukey HSD memberikan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara semua kelompok perlakuan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan tingkat signifikansi p<0,05. Kelompok kontrol rata-rata kadar ALT (Serum Glutamic piruvic Transminase) jantan (42,20UI/l) betina (32,00UI/l), dosis 25 mg/kgbb jantan (58,60UI/l) betina (52,60UI/l), dosis 50 mg/kgbb jantan (65,80UI/l) betina (66,20UI/l), dosis 200 mg/kgbb jantan (78,60UI/l) betina (71,00UI/l). Rata-rata kadar ALT dari tiap kelompok tersebut masih dalam batas normal. Kadar ALT darah mencit normal adalah 1777 IU/L (Murtini, dkk., 2010).

Pengamatan fungsi hati adalah dengan mengamati aktivitas enzim ALT. Hati sering menjadi organ sasaran karena sebagian toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal dan setelah diserap toksikan dibawa oleh vena porta ke hati. Toksikan kemudian akan dimetabolisme menjadi radikal bebas yang

42,2

58,6

65,8

78,6

32

52,6

66,2 71

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

K1 K2 K3 K4

K

ad

ar

AL

T

(

IU/L

)

Kelompok Perlakuan


(48)

akan memecah sel hati (Lu, 1995). Sel hati jika mengalami nekrosis dapat segera dideteksi melalui peningkatan aktivitas enzim. Salah satu enzim yang dihasilkan oleh hati dan peka terhadap kelainan fungsi hati adalah enzim ALT. Enzim ALT ini lebih spesifik terhadap kerusakan hati dan merupakan enzim yang banyak terdapat di sitosol dalam hati dibandingkan pada jantung dan otot tubuh (Cahyono, 2009).

4.2.7 Hasil pengukuran kadar AST

Akhir periode pemberian sediaan uji, semua mencit diotopsi. Pengukuran kadar AST dilakukan diliakukan pada hari ke 91. AST atau juga dinamakan SGOT (Serum Glutamat Oxaloacetat Transminase) merupakan enzim yang dijumpai dalam otot jantung dan hati, sementara dalam konsentrasi sedang dijumpai pada otot rangka, ginjal dan pankreas. Konsentrasi rendah dijumpai dalam darah, kecuali jika terjadi cedera seluler, kemudian dalam jumlah banyak dilepaskan ke dalam sirkulasi. Hati dalam tubuh mempunyai multifungsi maka tes faal hati pun beraneka ragam sesuai dengan apa yang hendak dinilai. Dan ketika sel-sel atau jaringan hati mengalami kerusakan dapat dilakukan pemeriksaan AST dan ALT

Kadar AST akan meningkat apabila terjadi kerusakan sel yang akut seperti nekrosis hepatoseluler seperti gangguan fungsi hati dan saluran empedu, penyakit jantung dan pembuluh darah, serta gangguan fungsi ginjal dan pankreas (Price & Wilson,1995). Rata-rata kadar AST dapat dilihat pada Tabel 4.7

Tabel 4.7 Data hasil pengukuran AST

Kelompok Dosis (mg/kgbb)

Rata-rata ± SD Signifikansi (p) Jantan Betina

K1 - 32,80±2,94 29,40±5,63

K2 25 48,40±10,72 49,60±7,23 0,03

K3 50 62,40±12,44 58,60±13,74 0,00


(49)

Gambar 4.2 Grafik rata-rata hasil pengukuran kadar AST

Berdasarkan Tabel 4.7 di atas yang dianalisis secara statistik dengan menggunakan two way anova, kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Test berupa uji Tukey HSD memberikan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara semua kelompok perlakuan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan tingkat signifikansi p<0,05. Kelompok kontrol rata-rata kadar AST jantan (32,80UI/l) betina (29,40UI/l), dosis 25 mg/kgbb jantan (48,40UI/l), betina (49,60UI/l), dosis 50 mg/kgbb jantan (62,40UI/l) betina (58,60UI/l), dosis 200 mg/kgbb jantan (72,20UI/l) betina (60,00UI/l). Rata-rata kadar AST dari tiap kelompok tersebut dalam batas normal. Kadar AST normal dalam darah mencit adalah 54-298 IU/L (Murtini, dkk., 2010).

AST merupakan enzim yang banyak ditemukan pada organ hati terutama pada sitosol. Peranan yang cukup penting dari jenis enzim ini utamanya dalam organ hati, maka kemudian digunakan dalam pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya kelainan fungsi hati. Peningkatan Serum Glutamic Oksaloasetic Transaminase (AST) dalam darah, maka dapat diduga bahwa telah

32,8

48,4

62,4

72,2

29,4

49,6

58,6 60

0 10 20 30 40 50 60 70 80

K1 K2 K3 K4

K

ad

ar

AST

(IU

/L

)

Kelompok perlakuan


(50)

terjadi kelainan pada hati (Handoko, 2003). Ketika terjadi kerusakan pada hati, maka sel-sel hepatositnya akan lebih permeabel sehingga enzim ini bocor ke dalam pembuluh darah sehingga menyebabkan kadarnya meningkat pada serum. Enzim aspartat aminotransferase (AST) disebut juga serum glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT) merupakan enzim mitokondria yang berfungsi mengkatalisis pemindahan bolak-balik gugus amino dari asam aspartat ke asam α -oksaloasetat membentuk asam glutamat dan -oksaloasetat. Enzim AST dan ALT mencerminkan keutuhan atau intergrasi sel-sel hati. Peningkatan enzim hati tersebut dapat mencerminkan tingkat kerusakan sel-sel hati (Schumann, dkk., 2002).

4.2.8 Hasil pengamatan makropatologi

Organ hati pada mencit yang mati segera diambil dan pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua mencit yang masih hidup diotopsi. Tujuan pengamataan ini adalah untuk melihat gambaran langsung keadaan hati setelah perlakuan pemberian ekstrak etanol herba selada air secara oral selama 90 hari sebagai salah satu parameter sensitif yang bisa dijadikan salah satu faktor penentu efek gejala toksik yang ditimbulkan secara.

Hasil pengamatan makropatologi meliputi pengamatan warna, permukaan dan konsistensi organ hati dapat dilihat pada Tabel 4.8 dan Gambar 4.3.

Tabel 4.8 Data pengamatan makropatologi organ hati

Kelompok Dosis mg/kgbb

Pengamatan

Warna Konsistensi Permukaan jantan Betina jantan Betina jantan Betina

K1 - Merah

kecoklatan

Merah

kecoklatan Kenyal Kenyal Licin Licin

K2 25 Merah

kecoklatan

Merah

kecoklatan Kenyal Kenyal Licin Licin

K3 50 Merah

kecoklatan

Merah

kecoklatan Kenyal Kenyal Licin Licin

K4 200 Merah

kecoklatan

Merah

kecoklatan Kenyal Kenyal Licin Licin Keterangan: K1= kontrol CMC-Na 0.5%, K2= dosis 25 mg/kgbb, K3= dosis 50 mg/kgbb, K4= dosis 200 mg/kgbb


(51)

betina jantan Kelompok kontrol CMC-Na 0.5%

betina jantan

K2 dosis 25 mg/kgbb

betina jantan

K3 dosis 50 mg/kgbb

betina jantan

K4 dosis 200 mg/kgbb


(52)

Berdasarkan Tabel 4.8 terlihat pada kelompok kontrol dan dosis 25, 50 dan 200 mg/kgbb organ hati masih dalam keadaan normal yang berwarna merah kecoklatan, permukaannya licin dan konsistensinya kenyal. Kriteria normal pada organ hati bila tidak ditemukan perubahan warna, perubahan struktur permukaan dan perubahan konsistensi (Anggraini, 2008). Perubahan warna menjadi salah satu parameter terjadinya efek toksik yang bertujuan mendapatkan informasi mengenai toksisitas zat uji yang berkaitan dengan organ sasaran dan efek terhadap organ tersebut (Lu, 1995).

4.5.9 Hasil histopatologi organ hati

Pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua mencit diotopsi. Organ hati kemudian diambil lalu organ tersebut dibuat preparat histopatologi lalu dilihat dibawah mikroskop pada perbesaran (10 x 40), hasil kerusakan dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Hasil histopatologi berdasarkan kerusakan hepatosit

Kelompok Dosis mg/kgbb

Jenis kerusakan

Degenerasihidropik Nekrosis Jantan Betina Jantan Betina

K1 - - - - -

K2 25 + + ++ ++

K3 50 + + - +

K4 200 + + - ++

Keterangan : (-) = normal; (+) = ringan; (++) = sedang; (+++) = parah

Tabel 4.9 terlihat pada kelompok kontrol tidak terlihat adanya kerusakan hepatosit. Dosis 25, 50 dan 200 mg/kg terdapat kerusakan hepatosit yaitu degenerasi hidropik dan nekrosis dengan tingkat keparahan ringan sampai sedang. Kerusakan hati karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis zat kimia, dosis yang diberikan dan lamanya paparan zat tersebut seperti akut, subkronik atau kronik. Kerusakan hati dapat terjadi segera atau setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Kerusakan dapat berbentuk nekrosis hepatosit,


(53)

kolestasis, atau timbulnya disfungsi hati secara perlahan-lahan (Amalina, 2009). kerusakan pada sel hati dapat bersifat sementara (reversible) atau tetap (irreversible) (Wicaksono, 2002).

Gambaran histopatologi organ hati sesuai dengan pengamatan hematologi AST dan ALT dimana pada kelompok perlakuan dosis 25, 50 dan 200 mg/kgbb mulai terjadi peningkatan dibanding kelompok kontrol meskipun masih dalam rentang normal. Kerusakan pada gambaran histopatologi juga mulai terjadi pada dosis 25, 50 dan 200 mg/kgbb namun masih dalam kategori ringan hingga sedang artinya sudah mulai terjadinya gejala toksik pada kelompok dosis perlakuan ditandai mulai terjadinya kerusakan hepatoit dan kadar hematologi AST dan ALT meningkat namun hati masih dapat mengatasinya dengan kemampuan regenerasi sel hati sehingga gejala toksik belum terlihat parah. Sel hati mengalami nekrosis dapat segera dideteksi melalui peningkatan aktivitas enzim. Kerusakan membran sel menyebabkan enzim AST keluar dari sitoplasma sel yang rusak, dan jumlahnya meningkat di dalam darah. Sehingga dapat dijadikan indikator kerusakan hati. Salah satu enzim yang dihasilkan oleh hati dan peka terhadap kelainan fungsi hati adalah enzim ALT ddan AST (Elisma, dkk., 2009).

Penggunaan bahan obat yang sama dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan penumpukan metabolit dalam hati yang bersifat toksik terhadap hepatosit (Donatus, 2001). Perjalanan zat kimia dalam tubuh diawali masuknya at tersebut kedalam tubuh melalui intravaskuler maupun ekstravaskuler. Tubuh sendiri mempunyai mekanisme pertahanan jika didalam tubuh terdapat zat toksik baik itu pada tahap absorpsi metabolisme maupun ekskresi. Organ-organ tubuh akan bekerja keras untuk menyaring dan membuang senyawa-senyawa yang tidak dibutuhkan oleh tubuh (Nisa, dkk., 2012).


(54)

Betina

Jantan

Gambar 4.4 Gambar histoptologi organ hati perlakuan kontrol Na-CMC 0.5%

Keterangan : Perlakuan kontrol Na-CMC 0.5%

1 = Vena central; 2 = Sinusoid; 3 = Hepatosit

1

2 3

2

1 3


(55)

Betina

jantan

Gambar 4.5 Gambar histopatologi organ hati perlaakuan dosis 25 mg/kgbb

Keterangan : Perlakuan dosis 25 Mg/kgbb

1 = Degenerasi hidropik; 2 = Karioreksis; 3 = Vena central; 4 = Kariolisis; 5. Kariopiknosis; 6 =Sinusoid

3 1

2 3

6 5 4

2 5

4

6 1


(56)

Betina

Jantan

Gambar 4.6 Gambar histopatologi organ hati perlakuan dosis 50 mg/kgbb

Keterangan : Perlakuan dosis 50 Mg/kgbb

1 = Degenerasi hidropik; 2 = Karioreksis; 3 = Vena central; 4 = Kariopiknosis 5 = Sinusoid; 6 = Kariolisis

2

3

5 4 1

2

3 1

5

4 6


(57)

Betina

Jantan

Gambar 4.7 Gambar histopatologi organ hati perlakuan dosis 200 mg/kgbb

Keterangan : Perlakuan dosis 200 Mg/kgbb

1 = Degenasi hidropik; 2 = Karioreksis; 3 = Vena central; 4 = Kariopiknisis; 5 =. Kariolisis; 6 = Sinusoid.

2

3

5 1 6

4

2

3 1

4 5


(1)

Descriptive Statistics Dependent Variable:kadar ALT

jenis

kelamin dosis ekstrak Mean

Std.

Deviation N

jantan

cm 0.5% 42.2000 4.20714 5 25 mg/kgbb 58.6000 4.77493 5 50 mg/kgbb 65.8000 7.69415 5 200 mg/kgbb 78.6000 5.59464 5 Total 61.3000 14.47721 20

betina

cm 0.5% 32.0000 4.69042 5 25 mg/kgbb 52.6000 4.56070 5 50 mg/kgbb 66.2000 4.81664 5 200 mg/kgbb 71.0000 6.85565 5 Total 55.4500 16.26904 20

Total

cm 0.5% 37.1000 6.82235 10 25 mg/kgbb 55.6000 5.42013 10 50 mg/kgbb 66.0000 6.05530 10 200 mg/kgbb 74.8000 7.13053 10 Total 58.3750 15.48645 40

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:kadar ALT

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Corrected

Model

8377.375a 7 1196.768 39.238 .000 Intercept 136305.625 1 136305.625 4469.037 .000

gender 342.225 1 342.225 11.220 .002

dosis 7882.475 3 2627.492 86.147 .000 gender * dosis 152.675 3 50.892 1.669 .193

Error 976.000 32 30.500

Total 145659.000 40 Corrected Total 9353.375 39


(2)

Multiple Comparisons kadar ALT

Tukey HSD (I) dosis

ekstrak

(J) dosis ekstrak

Mean Difference

(I-J)

Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval Lower

Bound

Upper Bound

cm 0.5%

25 mg/kgbb -18.5000* 2.46982 .000 -25.1916 -11.8084 50 mg/kgbb -28.9000* 2.46982 .000 -35.5916 -22.2084

200

mg/kgbb -37.7000

*

2.46982 .000 -44.3916 -31.0084

25 mg/kgbb

cm 0.5% 18.5000* 2.46982 .000 11.8084 25.1916 50 mg/kgbb -10.4000* 2.46982 .001 -17.0916 -3.7084

200

mg/kgbb -19.2000

*

2.46982 .000 -25.8916 -12.5084

50 mg/kgbb

cm 0.5% 28.9000* 2.46982 .000 22.2084 35.5916 25 mg/kgbb 10.4000* 2.46982 .001 3.7084 17.0916

200

mg/kgbb -8.8000

*

2.46982 .006 -15.4916 -2.1084 200

mg/kgbb

cm 0.5% 37.7000* 2.46982 .000 31.0084 44.3916 25 mg/kgbb 19.2000* 2.46982 .000 12.5084 25.8916 50 mg/kgbb 8.8000* 2.46982 .006 2.1084 15.4916 Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 30,500. *. The mean difference is significant at the ,05 level.


(3)

Descriptive Statistics Dependent Variable:kadar AST jenis kelamin dosis ekstrak Mean Std.

Deviation N

jantan

cmc 0.5% 32.8000 2.94958 5 25 mg/kgbb 48.4000 10.73778 5 50 mg/kgbb 62.4000 12.44186 5 200 mg/kgbb 72.2000 12.33694 5 Total 53.9500 17.97213 20

betina

cmc 0.5% 29.4000 5.63915 5 25 mg/kgbb 49.6000 7.23187 5 50 mg/kgbb 58.6000 13.74045 5 200 mg/kgbb 60.0000 12.40967 5 Total 49.4000 15.71590 20

Total

cmc 0.5% 31.1000 4.60555 10 25 mg/kgbb 49.0000 8.65384 10 50 mg/kgbb 60.5000 12.51887 10 200 mg/kgbb 66.1000 13.32041 10 Total 51.6750 16.82243 40

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:kadar AST

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Corrected

Model

7605.175a 7 1086.454 10.131 .000 Intercept 106812.225 1 106812.225 996.034 .000

gender 207.025 1 207.025 1.931 .174

dosis 7164.475 3 2388.158 22.270 .000

gender * dosis 233.675 3 77.892 .726 .544

Error 3431.600 32 107.237

Total 117849.000 40

Corrected Total 11036.775 39 a. R Squared = ,689 (Adjusted R Squared = ,621)


(4)

Multiple Comparisons kadar AST Tukey HSD (I) dosis

ekstrak

(J) dosis ekstrak

Mean Difference

(I-J)

Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper

Bound

cmc 0.5%

25

mg/kgbb -17.9000

*

4.63114 .003 -30.4474 -5.3526 50

mg/kgbb -29.4000

*

4.63114 .000 -41.9474 -16.8526 200

mg/kgbb -35.0000

*

4.63114 .000 -47.5474 -22.4526

25 mg/kgbb

cmc 0.5% 17.9000* 4.63114 .003 5.3526 30.4474 50

mg/kgbb -11.5000 4.63114 .082 -24.0474 1.0474 200

mg/kgbb -17.1000

*

4.63114 .004 -29.6474 -4.5526

50 mg/kgbb

cmc 0.5% 29.4000* 4.63114 .000 16.8526 41.9474 25

mg/kgbb 11.5000 4.63114 .082 -1.0474 24.0474 200

mg/kgbb -5.6000 4.63114 .626 -18.1474 6.9474

200 mg/kgbb

cmc 0.5% 35.0000* 4.63114 .000 22.4526 47.5474 25

mg/kgbb 17.1000

*

4.63114 .004 4.5526 29.6474 50

mg/kgbb 5.6000 4.63114 .626 -6.9474 18.1474 Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 107,238. *. The mean difference is significant at the ,05 level.


(5)

Hari

Rata-rata berat badan (g) ± SD K1

p K2 p K3 p K4 p

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

0 18,36± 1,16 18,24± 1,00 22,34± 1,13 20,86±

0,89 0,89

21,02± 0,81

25,08±

0,21 0,80

21,84± 0,50

22,92±

0,73 0,99 15 23,56±

4,03 21,28± 2,53 28,02± 1,38 21,78±

2,77 0,77

27,88± 1,80

26,96±

1,15 0,90

24,22± 2,11

26,26±

1,61 0,76 30 27,21±

5,61 24,78± 2,08 31,73± 1,15 22,28±

1,58 0,99

29,46± 6,10

28,88±

2,50 0,99

28,76± 3,62

26,28±

1,78 0,86 45 28,30±

7,25 25,14± 1,83 31,82± 1,26 24,22±

2,03 0,91

30,04± 7,35

29,48±

3,37 0,43

29,24± 3,94

27,96±

3,96 0,78 60 30,94±

7,25 26,66± 2,06 32,88± 1,78 25,80±

1,77 0.98

32,42± 4,16

29,72±

3,10 0.99

30,24± 1,98

27,80±

1,96 0,99 75 30,22±

7,19 26,80± 1,98 35,90± 1,64 25,14±

1,14 0,71

32,38± 6,15

32,38±

6,15 0,19

31,10± 2,27

27,66±

1,25 0,96 90 30,22±

7,19 28,62± 2,39 37,22± 2,32 26,18±

1,40 0,53

31,50± 3,17

29,90±

2,80 0,40

31,50± 3,17

28,86±


(6)

Lampiran 13. Signifikansi rata-rata berat makanan yang dikonsumsi mencit selama 90 hari

Hari

Rata-rata jumlah makanan (g) ± SD K1 p K2 p K3 p K4 p Janta n Betin a Janta

n Betina Jantan Betina Jantan Betina

0 22,32 ±7,00 16,56 ±3,36 23,66 ±6,18 20,16±

9,00 0,80

24,02± 6,80

25,46±

5,01 0,37

24,64± 4,73

22,66±

3,04 0,92 15 18,44

±1,79 19,96 ±3,47 24,32 ±4,33 22,52±

4,88 0,90

23,80± 4,14

19,60±

3,28 0,53

24,40± 4,39

25,60±

2,60 0,99 30 20,40

±5,77 18,40 ±2,30 18,60 ±2,19 18,20±

2,48 0,99

16,80± 2,48

18,60±

2,19 0,85

20,20± 4,76

16,80±

3,11 0.97 45 15,60

±2,60 20,00 ±0,00 17,60 ±1,67 18,40±

2,30 0,80

17,60± 1,57

19,00±

2,23 0,78

18,80± 2,16

20,60±

2,60 0,75 60 14,60

±3,84 18,00 ±2,12 17,40 ±1,94 18,20±

2,16 0,99

17,20± 1,92

17,80±

2,28 0,66

17,80± 1,64

17,80±

2,28 0,48 75 14,04

±1,22 15,20 ±2,16 14,60 ±1,14 15,20±

1,78 0,97

14,60± 0,54

15,20±

1,30 0,85

14,40± 3,36

15,80±

3,11 0,51 90 14,60

±1,51 14,60 ±0,89 16,24 ±1,78 16,60±

0,89 0,99

14,80± 2,38

14,40±

1,51 0,44

15,40± 1,14

16,00±