Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Herba Selada Air (Nasturtium officinale R. Br.) Pada Organ Hati Mencit

(1)

UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK ETANOL

HERBA SELADA AIR (Nasturtium officinale R. Br.)

PADA ORGAN HATI MENCIT

SKRIPSI

OLEH:

MARTHA R. S. MENDROFA

NIM 111501110

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK ETANOL

HERBA SELADA AIR (Nasturtium officinale R. Br.)

PADA ORGAN HATI MENCIT

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

MARTHA R. S. MENDROFA

NIM 111501110

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK ETANOL

HERBA SELADA AIR (Nasturtium officinale R. Br.)

PADA ORGAN HATI MENCIT

OLEH:

MARTHA R. S. MENDROFA NIM 111501110

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 04 September 2015 Disetujui oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.S., Apt. NIP 195112231980032002 NIP 195103261978022001

Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt.

Pembimbing II, NIP 195112231980032002

Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. Marianne, S.Si., M.Si., Apt. NIP 197806032005012004 NIP 198005202005012006

Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt. NIP 1952082411983031001 Medan, Oktober 2015

Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pejabat Dekan,

Dr. Masfria, M.S., Apt. NIP 195707231986012001


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Herba Selada Air (Nasturtium officinale R. Br.) Pada Organ Hati Mencit”. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Pejabat Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt., dan Ibu Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, memberikan petunjuk, saran-saran dan motivasi selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Bapak Dr. Martua Pandapotan Nasution, M.P.S., Apt. selaku penasehat akademik yang memberikan bimbingan kepada penulis selama ini. Bapak dan Ibu staff pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan. Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., selaku Kepala Laboratorium Farmakologi yang telah memberikan fasilitas, petunjuk dan membantu selama penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., selaku ketua penguji, Ibu Marianne, M.Si., Apt. dan Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt., selaku anggota penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini .


(5)

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang tulus kepada Ayahanda Bazisochi Mendrofa, Ibunda Riniati Wa’u, abang-abang, kakak-kakak dan adek tercinta, yang senantiasa memberikan doa, dukungan, semangat dan kasih sayang yang tak ternilai. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat yaitu Nenny, Desma, Rany, Yohanna, Sucantyk, Lina, Ririn, Rika, teman-teman Farmasi S-1 Reguler, serta kakak dan abang Farmasi Ekstensi atas doa dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, 04 September 2015 Penulis,

Martha R. S. Mendrofa NIM 111501110


(6)

UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK ETANOL HERBA SELADA AIR (Nasturtium officinale R. Br. )

PADA ORGAN HATI MENCIT ABSTRAK

Selada air (Nasturtium officinale R. Br.) termasuk suku Brassicaceae. Selada air memiliki khasiat dalam pengobatan sebagai antialergi, antidiabetes, antioksidan, antikanker dan pengobatan tuberkulosis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui toksisitas akut ekstrak etanol herba selada air.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental, dilakukan secara in

vivo menggunakan mencit jantan dan betina berjumlah 60 ekor, yang dibagi dalam

6 kelompok. Kelompok kontrol (K) diberi Na-CMC 0,5%, kelompok perlakuan (P) diberi ekstrak etanol herba selada air dengan dosis 50 mg/kg bb, 500 mg/kg bb, 1000 mg/kg bb, 2000 mg/kg bb dan 4000 mg/kg bb yang diberikan dalam dosis tunggal secara oral pada hari pertama. Dilakukan pengamatan terhadap gejala toksik, berat badan, berat organ relatif dan kematian mencit selama 14 hari, kemudian dilakukan pemeriksaan makropatologi dan histopatologi organ hati mencit. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan metode Two Way

Analysis of Variance (ANOVA) dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey

menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mencit jantan dan betina pada semua kelompok tidak menunjukkan gejala toksik pada uji panggung, uji katalepsi, uji urinasi, uji defekasi, uji salivasi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ekstrak etanol herba selada air tidak berpengaruh terhadap perkembangan berat badan dan berat organ relatif mencit. Hasil pemeriksaan histopatologi organ hati mencit jantan dan betina menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol herba selada air dosis 4000 mg/kg bb dapat menyebabkan ketoksikan pada organ hati, tetapi tidak menyebabkan kematian pada mencit jantan dan betina sehingga ekstrak etanol herba selada air termasuk dalam kriteria “Praktis Tidak Toksik”. Tidak ada perbedaan efek toksik pada mencit jantan dan betina. Dalam penelitian ini, LD50 tidak dapat ditentukan.


(7)

ACUTE TOXICITY TEST OF THE ETHANOLIC EXTRACT OF WATERCRESS HERB (Nasturtium officinale R. Br.)

IN THE LIVER OF MICE ABSTRACT

Watercress (Nasturtium officinale R. Br.) including Brassicaceae family. Watercress has efficacy in the treatment of a hypo-allergenic, anti-diabetic, antioxidant,anticancer, and treatment of tuberculosis. The purpose of this research was to determine the potential for acute toxicity of ethanolic extract of watercress.

This research used experimental method, performed in vivo using male and female mice totaled 60 tails, which are divided into 6 groups. The control group (K) was given Na-CMC 0.5%, the treatment groups (P) were given ethanolic extract of watercress herb with dose 50 mg/kg bw, 500 mg/kg bw, 1000 mg/kg bw, 2000 mg/kg bw and 4000 mg/kg bw that given orally in a single dose on the first day. Observation of toxic symptoms, body weight, relative organ weight and death of the mice for 14 days, then examined the macropathology and histopathology of mice’s liver. Data were analyzed by using Two Way Analysis of

Variance (ANOVA) method and continued by Post Hoc Tukey test with using

SPSS (Statistical Product and Service Solution).

The results showed that male and female mice in all groups showed no toxic symptoms in stage test, catalepsy test, urination test, defecation test, and salivation test. Statistical analysis showed that ethanolic extract of watercress herb has no effect on the development of body weight and relative organ weight in mice. Histopatological examination of liver male ad female mice showed that administration the ethanolic extract of watercress herb with dose 4000 mg/kg bw can cause toxicity in the liver, but no cause of death in male and female mice, so that the ethanolic extract of watercress herb included in the criteria of “Practical Not Toxic”. There was no difference in toxic effect in male and female mice. In this research, LD50 can not be determined.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1Uraian Tumbuhan ... 5

2.1.1 Sistematika Tumbuhan ... 5

2.1.2 Sinonim Tumbuhan ... 5

2.1.3 Nama Lokal ... 5


(9)

2.1.5 Morfologi Tumbuhan ... 6

2.1.6 Kandungan Kimia ... 6

2.1.7 Khasiat Tumbuhan ... 6

2.2 Toksikologi ... 7

2.3 Paparan Umum Toksikologi ... 7

2.4 Toksisitas ... 8

2.4.1 Uji Toksisitas Akut ... 9

2.4.2 Uji Toksisitas Subkronik ... 16

2.4.3 Uji Toksisitas Kronik ... 17

2.5 Hati ... 18

2.6 Proses Biotransformasi Obat di Hati ... 21

2.7 Mekanisme Kerusakan Hati Akibat Obat ... 23

2.8 Hewan Percobaan ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

3.1 Alat dan Bahan . ... 26

3.1.1 Alat - Alat ... 26

3.1.2 Bahan - Bahan ... 26

3.2 Hewan Penelitian ... 27

3.3 Tahap Penelitian ... 27

3.3.1 Penyiapan EEHSA ... 27

3.3.2 Pembuatan Suspensi Na-CMC 0,5 % b/v ... 27

3.3.3 Pembuatan Suspensi EEHSA ... 27

3.3.4 Penyiapan dan Pengelompokan Hewan Uji ... 28

3.3.5 Pemberian Sediaan Uji dan Pengamatan Gejala Toksik ... 28


(10)

3.3.6 Pengamatan Berat Badan ... 29

3.3.7 Pengamatan Kematian Hewan ... 30

3.3.8 Penimbangan Organ Hati ... 30

3.3.9 Makropatologi Organ Hati ... 30

3.3.10 Histopatologi Organ Hati ... 30

3.3.11 Analisis Data ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Hasil Pengamatan Gejala Toksik ... 32

4.2 Hasil Pengamatan Berat Badan ... 37

4.3 Hasil Pengamatan Kematian Hewan ... 39

4.4 Hasil Berat Organ Relatif Hati ... 40

4.5 Hasil Pemeriksaan Makropatologi Organ Hati ... 41

4.6 Hasil Pemeriksaan Histopatologi Organ Hati ... 43

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

5.1 Kesimpulan ... 52

5.1 Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil Uji Panggung ... 33

4.2 Hasil Uji Katalepsi ... 34

4.3 Hasil Uji Urinasi ... 35

4.4 Hasil Uji Defekasi ... 36

4.5 Hasil Uji Salivasi ... 37

4.6 Hasil Rata - Rata Berat Badan ... 38

4.7 Hasil Pengamatan Kematian ... 39

4.8 Hasil Berat Organ Relatif Hati ... 40

4.9 Hasil Pemeriksaan Makropatologi Organ Hati ... 41


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian ... 4 4.1 Pengamatan Makropatologi Organ Hati Mencit Jantan ... 42 4.2 Pengamatan Makropatologi Organ Hati Mencit Betina ... 42 4.3 Histopatologi Organ Hati Kelompok Kontrol Na-CMC 0,5% . 45 4.4 Histopatologi Organ Hati Kelompok Dosis 500 mg/kg bb ... 46 4.5 Histopatologi Organ Hati Kelompok Dosis 1000 mg/kg bb .... 47 4.6 Histopatologi Organ Hati Kelompok Dosis 2000 mg/kg bb .... 48 4.7 Histopatologi Organ Hati Kelompok Dosis 4000 mg/kg bb .... 49


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 57

2. Rekomendasi Persetujuan Etik Penelitian Kesehatan ... 58

3. Tumbuhan Selada Air ... ... 59

4. Alat - Alat yang Digunakan ... 60

5. Hewan Penelitian dan Pengamatan Gejala Toksik ... 63

6. Pengukuran Organ Hati Mencit Jantan dan Betina ... 65


(14)

UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK ETANOL HERBA SELADA AIR (Nasturtium officinale R. Br. )

PADA ORGAN HATI MENCIT ABSTRAK

Selada air (Nasturtium officinale R. Br.) termasuk suku Brassicaceae. Selada air memiliki khasiat dalam pengobatan sebagai antialergi, antidiabetes, antioksidan, antikanker dan pengobatan tuberkulosis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui toksisitas akut ekstrak etanol herba selada air.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental, dilakukan secara in

vivo menggunakan mencit jantan dan betina berjumlah 60 ekor, yang dibagi dalam

6 kelompok. Kelompok kontrol (K) diberi Na-CMC 0,5%, kelompok perlakuan (P) diberi ekstrak etanol herba selada air dengan dosis 50 mg/kg bb, 500 mg/kg bb, 1000 mg/kg bb, 2000 mg/kg bb dan 4000 mg/kg bb yang diberikan dalam dosis tunggal secara oral pada hari pertama. Dilakukan pengamatan terhadap gejala toksik, berat badan, berat organ relatif dan kematian mencit selama 14 hari, kemudian dilakukan pemeriksaan makropatologi dan histopatologi organ hati mencit. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan metode Two Way

Analysis of Variance (ANOVA) dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey

menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mencit jantan dan betina pada semua kelompok tidak menunjukkan gejala toksik pada uji panggung, uji katalepsi, uji urinasi, uji defekasi, uji salivasi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ekstrak etanol herba selada air tidak berpengaruh terhadap perkembangan berat badan dan berat organ relatif mencit. Hasil pemeriksaan histopatologi organ hati mencit jantan dan betina menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol herba selada air dosis 4000 mg/kg bb dapat menyebabkan ketoksikan pada organ hati, tetapi tidak menyebabkan kematian pada mencit jantan dan betina sehingga ekstrak etanol herba selada air termasuk dalam kriteria “Praktis Tidak Toksik”. Tidak ada perbedaan efek toksik pada mencit jantan dan betina. Dalam penelitian ini, LD50 tidak dapat ditentukan.


(15)

ACUTE TOXICITY TEST OF THE ETHANOLIC EXTRACT OF WATERCRESS HERB (Nasturtium officinale R. Br.)

IN THE LIVER OF MICE ABSTRACT

Watercress (Nasturtium officinale R. Br.) including Brassicaceae family. Watercress has efficacy in the treatment of a hypo-allergenic, anti-diabetic, antioxidant,anticancer, and treatment of tuberculosis. The purpose of this research was to determine the potential for acute toxicity of ethanolic extract of watercress.

This research used experimental method, performed in vivo using male and female mice totaled 60 tails, which are divided into 6 groups. The control group (K) was given Na-CMC 0.5%, the treatment groups (P) were given ethanolic extract of watercress herb with dose 50 mg/kg bw, 500 mg/kg bw, 1000 mg/kg bw, 2000 mg/kg bw and 4000 mg/kg bw that given orally in a single dose on the first day. Observation of toxic symptoms, body weight, relative organ weight and death of the mice for 14 days, then examined the macropathology and histopathology of mice’s liver. Data were analyzed by using Two Way Analysis of

Variance (ANOVA) method and continued by Post Hoc Tukey test with using

SPSS (Statistical Product and Service Solution).

The results showed that male and female mice in all groups showed no toxic symptoms in stage test, catalepsy test, urination test, defecation test, and salivation test. Statistical analysis showed that ethanolic extract of watercress herb has no effect on the development of body weight and relative organ weight in mice. Histopatological examination of liver male ad female mice showed that administration the ethanolic extract of watercress herb with dose 4000 mg/kg bw can cause toxicity in the liver, but no cause of death in male and female mice, so that the ethanolic extract of watercress herb included in the criteria of “Practical Not Toxic”. There was no difference in toxic effect in male and female mice. In this research, LD50 can not be determined.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai keanekaragaman hayati berupa tumbuhan yang banyak digunakan sebagai obat tradisional. Penelitian untuk mengevaluasi tingkat keamanannya belum banyak dilakukan, sedangkan pengetahuan tentang potensi efek toksik yang ada dalam tumbuhan obat adalah penting untuk menjamin keamanan dalam penggunaannya (Soemardji et al., 2002).

Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat adalah selada air (Nasturtium officinale R. Br.), termasuk suku Brassicaceae, sangat mudah tumbuh dan sering dijumpai di aliran sungai kecil, kolam, rawa dan danau yang dangkal (Smith, 2002). Selada air termasuk sayuran yang mudah ditemui di pasar tradisional maupun pasar swalayan. Tanaman ini banyak digunakan sebagai sumber pangan dan bahan tambahan pada pembuatan pakan (Permatasari, 2011).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa selada air dapat digunakan sebagai antioksidan (Lubis et al., 2013), antidiabetes (Hoseini et al., 2009), antialergi (Lingga, 2012), diuretik (Ginting et al., 2014), antikanker yakni kanker kolon (Boyd et al., 2006) dan pengobatan tuberkulosis (Corona et al., 2008).

Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan percobaan diperlukan untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian suatu zat dalam dosis tunggal atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu tidak lebih dari 24 jam, apabila pemberian dilakukan secara


(17)

berulang, maka interval tidak kurang dari 3 jam. Penilaian toksisitas akut ditentukan dari kematian hewan uji sebagai parameter akhir. Hewan yang mati selama percobaan dan yang hidup sampai akhir percobaan diotopsi untuk dievaluasi adanya gejala-gejala toksisitas dan selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap organ (OECD, 2001).

Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk membuktikan keamanan suatu bahan/sediaan pada manusia, namun dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan pada manusia (OECD, 2001). Pengujian ini juga dapat menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik spesifiknya, serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan dalam pengujian yang lebih lama (Lu, 1994).

Uji toksisitas akut digunakan untuk menetapkan nilai LD50 suatu zat (OECD, 2001). Penentuan LD50 merupakan tahap awal untuk mengetahui keamanan bahan yang akan digunakan manusia dengan menentukan besarnya dosis yang menyebabkan kematian 50% pada hewan uji setelah pemberian dosis tunggal. LD50 bahan obat mutlak harus ditentukan karena nilai ini digunakan dalam penilaian rasio manfaat (khasiat) dan daya racun yang dinyatakan sebagai indeks terapi obat (LD50/ED50). Indeks terapi yang semakin besar menunjukkan semakin aman obat tersebut jika digunakan (Soemardji et al., 2002).

Pemeriksaan terhadap organ hati dilakukan karena hati merupakan pusat metabolisme seluruh zat asing yang masuk ke dalam tubuh dan jika zat tersebut bersifat toksik maka ia dapat merusak hati secara langsung ataupun sebagai konsekuensi dari perubahan metabolisme yang terjadi pada hati sehingga


(18)

terjadinya kerusakan pada hati dapat menjadi petunjuk apakah suatu zat bersifat toksik atau tidak (Elya et al., 2010).

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan uji toksisitas akut terhadap herba selada air. Penggunaan tumbuhan ini untuk pengobatan pada manusia harus melalui serangkaian uji, selain uji khasiat harus dilakukan uji toksisitas.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian adalah apakah ekstrak etanol herba selada air berpotensi toksik terhadap mencit jantan dan betina setelah pemberian dosis tunggal secara oral yang diamati selama 14 hari?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah ekstrak etanol herba selada air berpotensi toksik terhadap mencit jantan dan betina setelah pemberian dosis tunggal secara oral yang diamati selama 14 hari.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ekstrak etanol herba selada air berpotensi toksik terhadap mencit jantan dan betina setelah pemberian dosis tunggal secara oral yang diamati selama 14 hari.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi tentang potensi toksisitas akut pada ekstrak etanol herba selada air sebagai salah satu


(19)

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1

Variable Bebas Variable Terikat Parameter

Gambar 1.1 Diagram kerangka pikir penelitian EEHSA dosis

4000 mg/kg BB Larutan suspensi Na-CMC 0,5 %

Potensi ketoksikan

akut

EEHSA dosis 50 mg/kg BB

EEHSA dosis 1000 mg/kg BB

EEHSA dosis 2000 mg/kg BB

Mencit jantan dan betina Kematian hewan Gejala toksik: -uji panggung -uji katalepsi -uji urinasi -uji defekasi -uji salivasi Gambaran histopatologi organ hati EEHSA dosis

500 mg/kg BB

Berat badan Berat organ relatif hati Gambaran makropatologi organ hati


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Selada air (Nasturtium officinale R. Br.) termasuk suku Brassicaceae. Selada air sering dikonsumsi sebagai sayur tumis dan rasanya agak mirip dengan kangkung atau bayam. Tumbuhnya menjalar seperti tanaman kangkung dan biasa ditanam di rawa-rawa. Daerah asalnya adalah wilayah timur Mediterania dan wilayah yang berbatasan dengan Asia (Permatasari, 2011).

2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Tumbuhan selada air memiliki sistematika sebagai berikut (Lubis et al., 2013) :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Brassicales Suku : Brassicaceae Marga : Nasturtium

Jenis : Nasturtium officinale R. Br. 2.1.2 Sinonim Tumbuhan

Sinonim Rorippa nasturtium-aquaticum (Linn.) Hayek (Novia, 2009). 2.1.3 Nama Lokal


(21)

2.1.4 Nama Asing

Watercress (Inggris), sai yeung ts’oi (China) (Novia, 2009), Alafe-Cheshmeh (Persia) (Hoseini, 2009).

2.1.5 Morfologi

Daun tumbuhan selada air merupakan daun majemuk gasal, warna hijau sampai hijau kecoklatan; batang dan tangkai daun berwarna muda kehijauan, anak daun sebanyak 3 lembar sampai 9 lembar, anak daun di ujung umumnya berbentuk jorong melebar sampai bundar, pangkal berbentuk jantung, membundar atau tumpul; panjang helaian anak daun di ujung 1,5 cm sampai 4,5 cm dan lebar 1 cm sampai 3 cm; anak daun dibawahnya berukuran lebih kecil (Ditjen POM, 1989).

2.1.6 Kandungan Kimia

Selada air mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid/steroid, glikosida dan tanin (Ginting et al., 2014), juga kaya akan kandungan vitamin C, vitamin A, vitamin E, vitamin K (Costain, 2007), asam folat, iodin, besi, protein dan kalsium (Gonçalves et al., 2009).

2.1.7 Khasiat Tumbuhan

Selada air digunakan sebagai antikanker yakni kanker kolon dengan menggunakan jus selada air dengan konsentrasi paling efektif 50 μl/ml (Boyd et al., 2006), antidiabetes dengan dosis paling efektif 100 mg/kg bb (Hoseini et al., 2009), obat tuberkulosis dengan konsentrasi paling efektif 1000 μg/ml (Corona et al., 2008) dan untuk mengobati iritasi pada saluran urin efferen (Gruenwald et al., 2000). Penelitian Özen (2009), menunjukkan bahwa ekstrak selada air memiliki


(22)

aktivitas antioksidan yang kuat sehingga dapat menghambat peroksidasi lipid pada hati, otak dan ginjal dengan dosis 500 mg/ml.

2.2 Toksikologi

Toksikologi adalah kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya (Lu, 1994). Menurut Hodgson dan Levi (2000), toksikologi didefinisikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan erat dengan senyawa racun dimana racun yang dimaksud adalah senyawa-senyawa yang menimbulkan efek merugikan tubuh bila dikonsumsi baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Menurut Donatus (1996), toksikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pengaruh kuantitatif zat kimia atas sistem-sistem biologi dengan pusat perhatiannya terletak pada aksi berbahaya zat kimia tersebut.

2.3 Paparan Umum Toksikologi

Peristiwa timbulnya pengaruh berbahaya atau efek toksik racun terhadap makhluk hidup terjadi melalui beberapa proses. Menurut Donatus (1996), pertama kali makhluk hidup mengalami paparan dengan toksikan, setelah mengalami absorpsi dari tempat paparannya maka toksikan atau metabolitnya akan terdistribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau reseptor) tertentu yang ada di dalam diri makhluk hidup. Di tempat aksi ini kemudian terjadi interaksi antara toksikan atau metabolitnya dengan komponen penyusun sel sasaran atau reseptor sehingga timbul pengaruh berbahaya atau efek toksik dengan wujud serta sifat tertentu.

Ada dua kemungkinan toksikan masuk ke dalam tubuh, yakni secara


(23)

secara intravaskuler meliputi intravena, intrakardial dan intraarteri dimana toksikan langsung masuk ke dalam sirkulasi darah, sedangkan masuknya toksikan secara ekstravaskuler meliputi peroral, intramuskular, intraperitonial, subkutan dan inhalasi dimana toksikan tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi darah. Toksikan yang masuk secara ekstravaskuler selanjutnya akan masuk ke dalam sirkulasi darah setelah melalui tahap absorpsi terlebih dahulu. Toksikan yang berada dalam sirkulasi darah akan mengalami distribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau reseptor).

Tubuh makhluk hidup memiliki sistem pertahanan terhadap zat-zat asing atau xenobiotik yang masuk ke dalam tubuhnya. Tubuh makhluk hidup akan menolak dan mengekskresikan toksikan atau metabolitnya yang masuk di dalam tubuhnya secara alami. Kapasitas toksikan yang melebihi sistem pertahanan tubuh menyebabkan toksikan yang berlebih tersebut selanjutnya akan bereaksi dengan sel sasaran atau reseptor dimana reaksi antara toksikan atau metabolitnya dengan sel sasaran atau reseptor dapat bersifat dapat balik (reversible) maupun tidak balik (irreversible). Hal tersebut berakibat timbulnya efek toksik yang tidak diinginkan (Donatus, 1996).

2.4 Toksisitas

Toksisitas adalah potensi bahan kimia untuk meracuni tubuh orang yang terpapar. Toksisitas adalah kemampuan suatu zat asing dalam menimbulkan kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan (Priyanto, 2009).

Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu senyawa pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon dari sediaan uji.


(24)

Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia sehingga dapat ditentukan dosis penggunaan dan keamanannya (OECD, 2001).

Penelitian toksisitas konvensional pada hewan coba sering mengungkapkan serangkaian efek akibat pajanan toksikan dalam berbagai dosis untuk berbagai masa pajanan. Penelitian toksikologi biasanya dibagi menjadi tiga kategori (Lu, 1994):

a. Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan bahan kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam.

b. Uji toksisitas jangka pendek (dikenal dengan subkronik) dilakukan dengan memberikan bahan kimia berulang-ulang, biasanya setiap hari, selama jangka waktu kurang lebih tiga bulan untuk tikus dan satu atau dua tahun untuk anjing.

c. Uji toksisitas jangka panjang dilakukan dengan memberikan bahan kimia berulang-ulang selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya sebagian besar dari masa hidupnya, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet.

2.4.1 Uji Toksisitas Akut

Uji toksisitas akut adalah salah satu uji praklinik untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi pada waktu yang singkat setelah pemberiannya dalam takaran tertentu (Lu, 1994). Prinsip toksisitas akut yaitu pemberian secara oral suatu zat dalam beberapa tingkatan dosis kepada beberapa kelompok hewan uji (OECD, 2001).


(25)

Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan percobaan diperlukan untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian suatu zat dalam dosis tunggal atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu tidak lebih dari 24 jam; apabila pemberian dilakukan secara berulang, maka interval tidak kurang dari 3 jam. Penilaian toksisitas akut ditentukan dari kematian hewan uji sebagai parameter akhir. Hewan yang mati selama percobaan dan yang hidup sampai akhir percobaan diotopsi untuk dievaluasi adanya gejala-gejala toksisitas dan selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap organ (OECD, 2001).

Takaran dosis yang dianjurkan pada toksisitas akut paling tidak terdapat empat peringkat dosis. Dari dosis terendah yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji sampai dengan dosis tertinggi yang dapat mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji (Donatus, 1996).

Tujuan uji toksisitas akut adalah untuk mengidentifikasi bahan kimia yang toksik dan memperoleh informasi tentang bahaya terhadap manusia bila terpajan. Uji toksisitas akut digunakan untuk menetapkan nilai LD50 suatu zat (OECD, 2001). Tujuan lain dilakukannya uji toksisitas akut yaitu untuk mengetahui hubungan antara dosis dengan timbulnya efek seperti perubahan perilaku, koma, dan kematian serta mengetahui gejala-gejala toksisitas akut sehingga bermanfaat untuk membantu diagnosis adanya kasus keracunan dan untuk memenuhi persyaratan regulasi jika zat uji akan dikembangkan menjadi obat (Priyanto, 2009).

Penelitian uji toksisitas akut sebagian besar dirancang untuk menentukan


(26)

menyebabkan kematian sampai 50% dari jumlah hewan yang diuji (Retnomurti, 2008). LD50 yaitu dosis tunggal suatu bahan yang secara statistik diharapkan akan membunuh 50% hewan coba. Pengujian ini dapat menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan dalam pengujian yang lebih lama (Lu, 1994).

LD50 adalah dosis perkiraan bahwa ketika racun itu diberikan langsung kepada hewan uji, menghasilkan kematian 50% dari populasi di bawah kondisi yang ditentukan dari tes atau LC50 merupakan konsentrasi perkiraan, dalam lingkungan hewan yang terpapar, yang akan membunuh 50% dari populasi di bawah kondisi yang ditentukan dari tes (Hodgson dan Levi, 2000).

Pada umumnya, semakin kecil nilai LD50, semakin toksik senyawa tersebut. Demikian juga sebaliknya, semakin besar nilai LD50, semakin rendah toksisitasnya (Sulastry, 2009). Nilai LD50 sangat berguna untuk mengklasifikasikan zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya. Tingkat

Toksisitas

LD50 Klasifikasi

1 ≤ 1 mg/kg Sangat toksik

2 1-50 mg/kg Toksik

3 50- 500 mg/kg Toksik sedang

4 500-5000 mg/kg Toksik ringan

5 5-15 g/kg Praktis tidak toksik

6 ≥15 g/kg Relatif tidak membahayakan (Hodge dan sterner, 1995)


(27)

Metode Penentuan LD50

Penentuan LD50 merupakan tahap awal untuk mengetahui keamanan bahan yang akan digunakan manusia dengan menentukan besarnya dosis yang menyebabkan kematian 50% pada hewan uji setelah pemberian dosis tunggal (Lu, 1994).

a. Metode Aritmatik Reed dan Muench

Metode ini menggunakan nilai-nilai kumulatif. Asumsi yang dipakai adalah bahwa seekor hewan yang mati oleh dosis tertentu akan mati juga oleh dosis yang lebih besar, sedangkan hewan bertahan hidup pada dosis tertentu juga akan tetap bertahan hidup pada dosis yang lebih rendah. Kematian kumulatif diperoleh dengan menambahkan secara suksesif kebawah dan hidup kumulatif diperoleh dengan menambahkan secara suksesif keatas persen hidup dari dosis-dosis yang berdekatan dengan LD50dihitung (Rasyid, 2012).

Penentuan LD50 didapatkan berdasarkan persamaan berikut:

�.� = ��− % ������������LD50

% �����������LD50− % ������������LD50,�=

dosisdiatasLD50 dosisdibawahLD50

Adapun: P.D (ProportionalDistance) = jarak proporsional P = proporsionasi peningkatan dosis.

Perhitungan LD50 yang dianalisis dengan metode Reed dan Muench ini dilakukan dengan cara menghitung jarak proporsi kemudian ditentukan logaritma perbandingan dosis. LD50 ditentukan dengan menambah logaritma dosis yang rendah dan hasil kali jarak proporsi dengan perbandingan dosis yang tinggi dengan dosis yang tinggi dengan dosis yang rendah (Rasyid, 2012).


(28)

b. Perhitungan Nilai LD50 Berdasarkan Cara Thomson dan Weil

Dalam mencari harga LD50 diperlukan ketepatan atau jika dilihat dari taraf kepercayaan tertentu, harga tersebut hanya sedikit sekali bergeser dari harga sebenarnya, atau berada pada rentang atau interval yang sempit. Untuk mencapai tujuan, digunakan tabel yang dibuat oleh Thompson dan Weil. Pada penggunaan tabel, percobaan harus memenuhi beberapa syarat berikut (Priyanto, 2009):

i. jumlah hewan uji tiap kelompok peringkat dosis sama ii. interval merupakan kelipatan (d) tetap.

iii. jumlah kelompok paling tidak 4 peringkat dosis. Rumus :

Log m = log D + d (f + 1) Dimana :

m = nilai LD50

D = Dosis terkecil yang digunakan d = log dari kelipatan dosis

f = suatu nilai dalam tabel Weil, karena angka kematian tertentu (r)

c. Cara Farmakope Indonesia III (FI III)

Untuk menghitung LD50 berdasarkan FI III, uji harus memenuhi syarat-syarat seperti (Priyanto, 2009):

i. Menggunakan seri dosis atau konsentrasi yang berkelipatan tetap ii. Jumlah hewan percobaan tiap kelompok harus sama

iii. Dosis harus diatur sedemikian rupa supaya memberikan respon dari 0-100% dan hitungan dibatasi direntang tersebut.


(29)

Rumus perhitungan LD50 adalah :

m = a – b (∑ pi – 0,5) m = log LD50

a = logaritma dosis terendah yang masih menyebabkan jumlah kematian 100% tiap kelompok

b = beda log dosis yang berurutan pi = jumlah hewan yang mati

d. Metode Perhitungan Cara Grafik (Graphical Calculation) Miller dan Tainter Metode ini merupakan metoda yang paling umum dipakai dalam penghitungan efektif dosis. Namun dibutuhkan kertas khusus berkoordinat yaitu kertas probit logaritma, dengan absis dalam skala logaritma dan ordinat sebelah kiri dalam skala probit atau ordinat sebelah kanan dibuat dalam skala persen yang setara dengan skala probit (skala ini nonlinier) atau nilai persen dapat dilihat didalam table probit. Kurva sigmoid dapat ditransformasi menjadi garis lurus dengan memplotkan respon kuantal terhadap logaritma dosis. Dalam cara perhitungan ini diperlukan tabel Probit.

Menurut Retnomurti (2008), faktor-faktor yang berpengaruh pada LD50 sangat bervariasi antara jenis yang satu dengan jenis yang lain dan antara individu satu dengan individu yang lain dalam satu jenis. Beberapa faktor tersebut antara lain:

a. Spesies, Strain dan Keragaman Individu

Setiap spesies dan strain yang berbeda memiliki sistem metabolisme dan detoksikasi yang berbeda. Setiap spesies mempunyai perbedaan kemampuan


(30)

bioaktivasi dan toksikasi suatu zat. Semakin tinggi tingkat keragaman suatu spesies dapat menyebabkan perbedaan nilai LD50. Variasi strain hewan percobaan menunjukkan perbedaan yang nyata dalam pengujian LD50.

b. Perbedaan Jenis Kelamin

Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi toksisitas akut yang disebabkan oleh pengaruh langsung dari kelenjar endokrin. Hewan betina mempunyai sistem hormonal yang berbeda dengan hewan jantan sehingga menyebabkan perbedaan kepekaan terhadap suatu toksikan. Hewan jantan dan betina yang sama dari strain dan spesies yang sama biasanya bereaksi terhadap toksikan dengan cara yang sama, tetapi ada perbedaan kuantitatif yang menonjol dalam kerentanan terutama pada tikus.

c. Umur

Hewan-hewan yang lebih muda memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap obat karena enzim untuk biotransformasi masih kurang dan fungsi ginjal belum sempurna. Perbedaan aktivitas biotransformasi akibat suatu zat menyebabkan perbedaan reaksi dalam metabolisme. Sedangkan pada hewan tua kepekaan individu meningkat karena fungsi biotransformasi dan ekskresi sudah menurun.

d. Berat Badan

Penentuan dosis dalam pengujian toksisitas akut dapat didasarkan pada berat badan. Pada spesies yang sama, berat badan yang berbeda dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda pula. Semakin besar berat badan maka jumlah dosis yang diberikan semakin besar.


(31)

e. Cara Pemberian

Lethal dosis dipengaruhi pula oleh cara pemberian. Pemberian obat melalui suatu cara yang berbeda pada spesies yang sama akan memberikan hasil yang berbeda. Pemberian obat peroral tidak langsung didistribusikan ke seluruh tubuh. Pemberian obat atau toksikan peroral didistribusikan ke seluruh tubuh setelah terjadi penyerapan di saluran cerna sehingga mempengaruhi kecepatan metabolisme suatu zat di dalam tubuh.

f. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi toksisitas akut antara lain temperatur, kelembaban, iklim, perbedaan siang dan malam. Perbedaan temperatur suatu tempat akan mempengaruhi keadaan fisiologis suatu hewan. g. Kesehatan hewan

Status hewan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap suatu toksikan. Kesehatan hewan sangat dipengaruhi oleh kondisi hewan dan lingkungan. Hewan yang tidak sehat dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda dibandingkan dengan nilai LD50 yang didapatkan dari hewan sehat.

h. Diet

Komposisi makanan hewan percobaan dapat mempengaruhi nilai LD50. Komposisi makanan akan mempengaruhi status kesehatan hewan percobaan. Defisiensi zat makanan tertentu dapat mempengaruhi nilai LD50.

2.4.2 Uji Toksisitas Subkronik

Uji toksisitas subkronik adalah uji ketoksikan sesuatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Uji toksisitas subkronik sesuatu zat uji, utamanya ditujukan untuk


(32)

mengungkapkan efek toksik dan jenis organ yang terkena, maupun hubungan antara dosis dan efek toksik. Selain itu, dengan uji toksisitas subkronik, memungkinkan terlihatnya wujud dan sifat efek toksik yang munculnya lambat dan tidak dapat terdeteksi pada uji toksisitas akut (Donatus, 1996).

Prinsip dari uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari. Selama waktu pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang mati selama periode pemberian sediaan uji segera diotopsi dan organ serta jaringan diamati secara makropatologi dan histopatologi. Pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi dan histopatologi pada setap organ dan jaringan (OECD, 2001).

Tujuan uji toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, memperoleh informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu, memperoleh informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik dan mempelajari adanya efek kumulatif dan reversibilitas atau irreversibiltas zat uji (OECD, 2001). Uji toksisitas subkronik bertujuan untuk menentukan organ sasaran (organ yang rentan) (Priyanto, 2009). 2.4.3 Uji Toksisitas Kronik

Uji toksisitas kronik oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh umur hewan. Perlu dilakukan uji toksisitas kronik mengingat pemakaian obat


(33)

seringkali memerlukan waktu yang relatif panjang, bahkan mungkin sepanjang masa hidup si pemakai. Uji toksisitas kronik pada prinsipnya sama dengan uji toksisitas subkronik, tetapi sediaan uji diberikan selama tidak kurang dari 12 bulan (OECD, 2001).

Tujuan dari uji toksisitas kronik oral adalah untuk mengetahui profil efek toksik setelah pemberian sediaan uji secara berulang selama waktu yang panjang, memperoleh informasi efek toksik zat uji yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas subkronik dan untuk menetapkan tingkat dosis yang tidak menimbulkan efek toksik (OECD, 2001).

2.5 Hati

Hati merupakan organ terbesar pada tubuh, menyumbang sekitar 2 persen berat tubuh total, atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa. Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter. Hati manusia mengandung 50.000 sampai 100.000 lobulus (Guyton dan Hall, 2007).

Hati terletak di bawah diafragma kanan, dilindungi bagian bawah tulang iga kanan. Lobus kiri hati berada di dalam epigastrium, tidak dilindungi oleh tulang iga. Hati normal kenyal dengan permukaan yang licin (Chandrasoma dan Taylor, 2005).

Hati mempunyai fungsi yang sangat banyak dan kompleks yang penting untuk mempertahankan hidup (Husadha, 1996) yaitu :


(34)

a. Fungsi pembentukan dan ekskresi empedu

Hal ini merupakan fungsi utama hati yaitu mengekskresikan sekitar satu liter empedu setiap hari. Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorbsi lemak dalam usus halus.

b. Fungsi metabolik

Hati berperan penting dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan juga memproduksi energi. Hati mengubah ammonia menjadi urea, untuk dikeluarkan melalui ginjal dan usus.

c. Fungsi pertahanan tubuh

Hati mempunyai fungsi detoksifikasi dan perlindungan yang dilakukan oleh enzim-enzim hati untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau konjugasi zat yang kemungkinan membahayakan dan mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif. Fungsi perlindungan dilakukan oleh sel kupffer yang terdapat di dinding sinusoid hati.

Pemeriksaan kerusakan hati dilakukan karena hati merupakan organ yang sangat berperan dalam proses metabolisme sehingga organ ini sering terpapar zat kimia yang akan mengalami detoksifikasi dan inaktivasi sehingga zat kimia tersebut menjadi tidak berbahaya bagi tubuh. Kerusakan hati karena obat dan zat kimia dapat terjadi akibat hilangnya kemampuan regenerasi sel hati, sehingga hati akan mengalami kerusakan permanen yang dapat menimbulkan kematian (Elya et al., 2010).

Organ hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan (Lu, 1994). Kerusakan hepar karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis zat kimia yang terlibat, dosis yang diberikan, dan


(35)

lamanya paparan zat tersebut. Kerusakan hepar dapat terjadi segera atau setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Kerusakan dapat berbentuk nekrosis hepatosit, kolestasis, atau timbulnya disfungsi hepar secara perlahan-lahan. Obat-obatan yang menyebabkan kerusakan hepar pada umumnya diklasifikasikan sebagai hepatotoksik yang dapat diduga dan yang tak dapat diduga, tergantung dari mekanisme dengan cara mana mereka menyebabkan kerusakan hepar (Amalina, 2009).

Perubahan struktur hati yang terjadi pada kerusakan hepar dapat berupa (Amalina, 2009) :

1. Inflamasi (hepatitis)

Yaitu peradangan pada hati yang dapat dicetuskan oleh benda asing, organisme atau obat-obatan (akibat langsung toksin).

2. Degenerasi dan penimbunan intraseluler.

Cedera karena toksik dapat menyebabkan pembengkakan dan edema hepatosit. Pada degenerasi hidropik tampak sel-sel yang sitoplasmanya pucat, bengkak dan timbul vakuola-vakuola di dalam sitoplasma, karena penimbunan cairan. Hepatotoksik dan obat juga dapat menyebabkan penimbunan tetesan lipid (steatosis). Hati secara mikroskopis terlihat gambaran vakuola lemak kecil dalam sitoplasma di sekitar inti (mikrovesikular steatosis), yang dapat berlanjut membentuk vakuola besar yang mendesak inti ke tepi sel (makrovesikular steatosis).

Penimbunan lemak ringan dalam hati dapat tidak berpengaruh pada penampakan makro. Bila penimbunan progresif, hati membesar dan bertambah


(36)

kuning, pada keadaan ekstrim, hati dapat seberat tiga sampai enam kg dan berubah menjadi hati yang kuning, lunak, dan berminyak.

3. Nekrosis

Adalah kematian sel atau jaringan pada organisme hidup. Inti menjadi lebih padat (piknotik) yang dapat hancur bersegmen-segmen (karioreksis) dan kemudian sel menjadi eosinofilik. Nekrosis dapat bersifat:

a. Nekrosis fokal, adalah kematian sebuah sel atau kelompok kecil sel dalam satu lobus.

b. Nekrosis zonal, adalah kerusakan sel hepar pada satu lobus. Nekrosis zonal dapat dibedakan menjadi nekrosis sentral, midzonal, dan perifer.

c. Nekrosis masif, yaitu nekrosis yang terjadi pada daerah yang luas.

d. Nekrosis pembentukan jembatan (bridging necrosis), yaitu dengan jejas inflamasi yang lebih berat, nekrosis hepatosit dapat menjangkau lobus yang berdekatan dengan cara porta ke porta, porta ke central, atau central ke central. 4. Fibrosis

Terjadi sebagai respons terhadap radang atau akibat langsung toksin. Fibrosis yang berkepanjangan menyebabkan sirosis. Pada sirosis, morfologi hepar tampak makronoduler, mikronoduler, atau campuran. Bila berlangsung progresif, hepar menjadi berwarna coklat, tidak berlemak, mengecil, terkadang berat hepar kurang dari satu kg.

2.6 Proses Biotransformasi Obat di Hati

Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non-polar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu.


(37)

Reaksi metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif atau kurang aktif. Reaksi fase II merupakan reaksi konyugasi dengan substrat endogen seperti asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino dan akibatnya hampir selalu menjadi tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I diikuti reaksi fase II (Amalina, 2009).

Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim sitokrom P450 (CYP) dalam retikulum endoplasmik (mikrosom) hati. Ada sekitar 50 jenis isoenzim CYP yang aktif pada manusia, tetapi hanya beberapa yang penting untuk metabolisme obat, diantaranya CYP3A4/5, CYP2D6, CYP2C8/9, CYP2C19, CYP1A1/2, dan CYP2E1. CYP450 3A4/5 merupakan enzim sitokrom P450 yang paling banyak (30%) di hepar dan memetabolisme sebagian besar (50%) obat. Isoenzim ini juga terdapat di epitel usus halus dan di ginjal. CYP450 3A4/5 berperan sangat penting dalam metabolisme dan eliminasi lintas pertama berbagai obat, dengan demikian induksi dan inhibisinya membawa dampak yang besar dalam menurunkan atau meningkatkan efek dari banyak obat akibat penurunan atau peningkatan bioavailabilitas dan kadarnya dalam darah (Amalina, 2009).

Reaksi fase II yang terpenting adalah glukuronidasi melalui enzim UDP-glukuronil-transferase (UGT), yang terutama terjadi dalam mikrosom hati, tetapi juga di jaringan usus halus, ginjal, paru, kulit. Reaksi konjugasi yang lain (asetilasi, sulfasi, konyugasi dengan glutation) terjadi dalam sitosol (Amalina, 2009).


(38)

2.7 Mekanisme Kerusakan Hati Akibat Obat

Kerusakan hati karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis zat kimia yang terlibat, dosis yang diberikan dan lamanya paparan zat tersebut. Kerusakan hati dapat terjadi segera atau setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Kerusakan dapat berbentuk nekrosis hepatosit, kolestasis, atau timbulnya disfungsi hati secara perlahan-lahan. Obat-obatan yang menyebabkan kerusakan hati pada umumnya diklasifikasikan sebagai hepatotoksik yang dapat diduga dan yang tak dapat diduga, tergantung dari mekanisme dengan cara mana mereka menyebabkan kerusakan hati (Amalina, 2009).

Kerusakan hati oleh obat yang dapat diduga, menyebabkan reaksi hati yang berulang-ulang. Kriterianya adalah setiap individu mengalami kerusakan hati bila diberikan dalam dosis tertentu, beratnya kerusakan hati bergantung dosis, kerusakan biasanya dapat diadakan pada hewan percobaan, lesi hepatik yang terjadi biasanya jelas, mempunyai interval waktu yang singkat antara pencernaan obat dan reaksi melawan. Banyak reaksi obat yang toksik terjadi karena konversi oleh hati terhadap obat menjadi metabolit berupa kimia reaktif yang konvalen yang mengikat protein nukleofilik pada hepatosit hingga terjadi nekrosis. Reaksi oksidasi sitokrom P450 juga menghasilkan metabolit dengan rantai bebas yang dapat terikat kovalen ke protein dan ke asam lemak tak jenuh membran sel, sehingga menyebabkan peroksidasi lipid dan kerusakan membran dan akhirnya terjadi kematian hepatosit (Amalina, 2009).

Kerusakan hati oleh obat yang tidak dapat diduga disebut juga idiosinkrasi, meskipun jarang terjadi. Hal ini dapat timbul karena reaksi hipersensitivitas yang disertai demam, bercak kulit, eosinofilia. Agen atau


(39)

metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk membentuk antigen yang sensitif. Beberapa tandanya adalah insidens yang sangat rendah (lebih kecil dari 1%) pada individu yang menggunakan obat, kerusakan tidak tergantung dari dosis, berminggu-minggu sampai berbulan-bulan berlalu antara pencernaan obat dan reaksi melawan. Lesi ini tidak dapat dibuat pada binatang percobaan sehingga lesi ini sering tidak dapat diketahui pada penelitian toksikologi dan percobaan klinik awal (Amalina, 2009).

2.8 Hewan Percobaan

Mencit (Mus musculus) merupakan salah satu hewan percobaan yang sering digunakan dalam penelitian. Hewan ini dinilai cukup efisien dan ekonomis karena mudah dipelihara, tidak memerlukan tempat yang luas, lama hamil yang singkat dan banyak memiliki anak perkelahiran. Mencit mempunyai sifat-sifat produksi dan reproduksi yang mirip dengan mamalia besar serta memiliki siklus estrus yang pendek. Hewan pengerat merupakan jenis hewan yang paling banyak digunakan pada sebagian besar uji toksisitas (Retnomurti, 2008). Mencit dan tikus putih memiliki banyak data toksikologi, sehingga mempermudah membandingkan toksisitas zat-zat kimia (Lu, 1994).

Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Retnomurti, 2008): Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Mamalia Bangsa : Rodentia Marga : Mus


(40)

Jenis : Mus musculus

Mencit memiliki beberapa data biologis, diantaranya (Retnomurti 2008) : Lama hidup : 1-2 tahun

Lama produktif : 9 bulan Lama hamil : 19-21 hari Umur dewasa : 35 hari Umur dikawinkan : 8 minggu

Berat dewasa : 20-40 gram (jantan) 18-35 gram (betina)


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan penelitian yaitu pengujian efek toksisitas akut secara oral terhadap mencit jantan dan betina, pengamatan gejala toksik, berat badan, berat organ relatif hati, kematian mencit, pemeriksaan makropatologi dan histopatologi organ hati mencit. Data hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan metode Two Way Analysis

of Variance (ANOVA) dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey menggunakan

program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 16. 3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas, neraca listrik, mortir dan stamfer, pipet tetes, vial, oral sonde, seperangkat alat bedah, waterbath, neraca hewan, spuit 1 ml, kertas saring dan miskroskop cahaya. Alat untuk pembuatan preparat histopatologi adalah mikrotom, vakum, inkubator, cetakan, kaca objek dan kaca penutup.

3.1.2 Bahan-bahan

Bahan tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah herba selada air (Nasturtium officinale R. Br.). Bahan kimia yang digunakan adalah akuades, Na-CMC (natrium carboxy methyl cellulose), formaldehid 37%, NaH2PO4, Na2HPO4. Bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi adalah larutan hematoksilin, larutan eosin, etanol 70%, etanol 80%, etanol 96%, etanol absolut, silol, parafin cair, cairan perekat (DPX).


(42)

3.2 Hewan Penelitian

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah mencit (Mus

musculus) jantan dan betina yang sehat sebanyak 60 ekor dengan bobot 20-30

gram. Mencit diaklimatisasi terlebih dahulu selama 7-14 hari. Hewan diletakkan di dalam kandang, mencit jantan dan betina diletakkan dalam kandang yang berbeda, diberi makan pelet ikan dan minum air suling.

3.3 Tahap Penelitian

3.3.1 Penyiapan ekstrak etanol herba selada air (EEHSA)

Ekstrak etanol herba selada air (EEHSA) diperoleh dari penelitian sebelumnya yang berjudul Ekstrak Etanol Selada Air (Nasturtium officinale R.Br.) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Tablet Diuretika (Ginting et al., 2014). 3.3.2 Pembuatan Suspensi Na-CMC 0,5 % b/v

Sebanyak 0,5 g Na-CMC dimasukkan kedalam lumpang yang berisi air panas sebanyak 1 ml, dibiarkan selama 15 menit sehingga mengembang, digerus hingga diperoleh massa yang transparan, lalu diencerkan dengan akuades, dimasukan kedalam wadah, cukupkan dengan akuades hingga 100 ml.

3.3.3 Pembuatan suspensi ekstrak etanol herba selada air (EEHSA)

Dalam pengujian akan digunakan 5 variasi dosis yakni dosis 50 mg/kg bb, 500 mg/kg bb, 1000 mg/kg bb, 2000 mg/kg bb, dan 4000 mg/kg bb. Ditimbang ekstrak etanol herba selada air sebanyak 50 mg, 500 mg, 1000 mg, 2000 mg dan 4000 mg. Masing-masing ekstrak etanol herba selada air dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan suspensi Na-CMC 0,5% b/v sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen hingga 10 ml.


(43)

3.3.4 Penyiapan dan Pengelompokan Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan yaitu mencit (Mus musculus) yang sehat sebanyak 60 ekor dengan bobot 20-30 gram. Mencit dibagi ke dalam 6 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 10 ekor mencit, yaitu 5 ekor mencit jantan dan 5 ekor mencit betina. Kelompok 1 sebagai kontrol, kelompok 2-6 sebagai kelompok perlakuan.

Pembagian kelompok sebagai berikut :

kelompok 1 (K) : Kontrol, diberi larutan suspensi Na-CMC 0,5 % b/v kelompok 2 (P1) : Perlakuan, diberikan EEHSA dengan dosis 50 mg/kg bb kelompok 3 (P2) : Perlakuan, diberikan EEHSA dengan dosis 500 mg/kg bb kelompok 4 (P3) : Perlakuan, diberikan EEHSA dengan dosis 1000 mg/kg bb kelompok 5 (P4) : Perlakuan, diberikan EEHSA dengan dosis 2000 mg/kg bb kelompok 6 (P5) : Perlakuan, diberikan EEHSA dengan dosis 4000 mg/kg bb 3.3.5 Pemberian Sediaan Uji dan Pengamatan Gejala Toksik

Sediaan uji diberikan pada hewan uji secara peroral menggunakan oral sonde dengan kekerapan pemberian sekali selama masa uji. Hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama 3-4 jam dengan tetap diberi minum. Dari setiap kelompok diambil secara acak, efek toksik yang terjadi diamati dibandingkan dengan kontrol. Waktu pengamatan adalah 5 menit, 10 menit, 15 menit, 30 menit, 60 menit, 120 menit, 180 menit dan 240 menit. Jadi total waktu pengamatan adalah 4 jam dan setelah itu selama 14 hari. Pada perlakuan untuk mengamati efek toksik yang timbul dilakukan pengujian yang meliputi uji panggung, uji katalepsi, uji urinasi, uji defekasi dan uji salivasi. Pengujian diulangi kembali pada mencit yang lain dalam kelompok yang sama, kemudian dilanjutkan dengan kelompok yang


(44)

lain. Mencit diamati dan ditentukan LD50nya dengan melihat jumlah mencit yang mati.

Adapun cara pengujiannya, yaitu : 1. Uji Panggung

Mencit yang telah diberi ekstrak etanol herba selada air diletakkan di atas meja alas bundar dengan diameter 30-40 cm dan tinggi 40-45 cm. Pada uji ini yang diamati adalah aktivitas mencit secara umum dan aktivitas motorik.

2. Uji katalepsi

Mencit yang telah diberi ekstrak etanol herba selada air diletakkan di atas pensil yang digerakkan dari atas ke bawah 2-3 cm di atas permukaan meja. Dicatat mudah tidaknya kaki depan mencit jatuh kembali ke atas meja.

3. Uji urinasi

Pengeluaran urin mencit yang telah diberi ektrak etanol herba selada air dibandingkan dengan kontrol, menggunakan kertas saring.

4. Uji defekasi

Pengeluaran tinja mencit yang telah diberi ekstrak etanol herba selada air dibandingkan dengan kontrol, menggunakan kertas saring.

5. Uji salivasi

Pengeluaran salivasi mencit yang telah diberi ekstrak etanol herba selada air dibandingkan dengan kontrol, menggunakan kertas saring.

3.3.6 Pengamatan Berat Badan

Mencit ditimbang setiap hari selama 14 hari untuk melihat adanya pengaruh ekstrak etanol herba selada air terhadap berat badan mencit. Perubahan berat badan dianalisis seminggu sekali. Pada akhir penelitian, hewan yang masih


(45)

bertahan hidup ditimbang dan kemudian dikorbankan secara fisik dengan dislokasi leher.

3.3.7 Pengamatan Kematian Hewan

Mencit diamati kematiannya dari hari pertama sampai hari terakhir. Mencit yang mati setelah pemberian suspensi sediaan uji sesegera mungkin dibedah pada bagian perut secara melintang dan diambil organ hati. Hewan uji yang masih hidup sampai hari terakhir, dikorbankan secara fisik dengan dislokasi leher, selanjutnya dibedah dan diambil organnya.

3.3.8 Penimbangan Organ Hati

Organ hati dicuci dengan natrium klorida, dikeringkan terlebih dahulu dengan kertas penyerap, kemudian ditimbang, sedangkan yang dianalisis adalah bobot relatif, yaitu bobot organ absolut dibagi bobot badan.

3.3.9 Makropatologi Organ Hati

Organ hati diamati secara visual yaitu mengamati warna, bentuk permukaan dan konsistensi organ.

3.3.10 Histopatologi Organ Hati

Organ hati dicuci dengan natrium klorida, kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam pot berisi formalin 10%. Organ hati dikirim kebagian histopatologi kedokteran untuk pembuatan preparat histopatologinya (Pembuatan preparat histopatologi dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU). Kemudian dilakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop untuk melihat adanya perubahan atau kerusakan struktur histologi hati.


(46)

Proses Pembuatan Preparat Histopatologi :

3.3.11 Analisis Data

Pengamatan berat badan dan berat organ relatif dianalisis statistik dengan menggunakan two-way analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji

Post Hoc Tukey pada program Statistic Product and Service Solutions (SPSS)

versi 16.

Organ hati Pemotongan organ hati

Proses dehidrasi

Proses penghilangan udara dengan mesin vakum

Pencetakan Blok Parafin Pemotongan Blok

Parafin yang berisi jaringan

Proses pewarnaan dengan hematoksilin dan

Eosin

Pemeriksaan preparat menggunakan

mikroskop Peletakkan jaringan


(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian efek toksik ekstrak etanol herba selada air (Nasturtium

officinale R. Br.), dilakukan terhadap mencit jantan dan betina. Pada penelitian

ini, dosis ekstrak etanol herba selada air yang digunakan: 50, 500, 1000, 2000, dan 4000 mg/kg bb. Pengamatan dilakukan selama 14 hari meliputi pengamatan gejala toksik, berat badan, kematian hewan, berat organ relatif, serta pemeriksaan makropatologi dan histopatologi organ hati mencit.

4.1 Hasil Pengamatan Gejala Toksik

Pengamatan terhadap pengujian efek toksik dilakukan pada setiap kelompok, efek toksik yang terjadi diamati dibandingkan dengan kontrol. Waktu pengamatan adalah adalah 5 menit, 10 menit, 15 menit, 30 menit, 60 menit, 120 menit, 180 menit dan 240 menit. Total waktu pengamatan adalah 4 jam. Pengamatan efek toksik yang timbul dilakukan pengujian yang meliputi uji panggung, uji katalepsi, uji urinasi, uji defekasi dan uji salivasi. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.1 hasil uji panggung, Tabel 4.2 hasil uji katalepsi, Tabel 4.3 hasil uji urinasi, Tabel 4.4 hasil uji defekasi dan Tabel 4.5 hasil uji salivasi.


(48)

Tabel 4.1 Hasil uji panggung No. Dosis

Waktu (menit) Jenis Kelamin

5 10 15 30 60 120 180 240

1. K

Jantan - - - -

Betina - - - -

2. P1

Jantan - - - -

Betina - - - -

3. P2

Jantan - - - -

Betina - - - -

4. P3

Jantan - - - -

Betina - - - -

5. P4

Jantan - - - -

Betina - - - -

6. P5

Jantan - - - -

Betina - - - -

Keterangan: K = kontrol; P1 = dosis 50 mg/kg bb; P2 = dosis 500 mg/kg bb; P3 = dosis 1000 mg/kg bb; P4= dosis 2000 mg/kg bb; P5 = dosis 4000 mg/kg bb; (-) = tidak menunjukkan penurunan aktivitas motorik; (+) = menunjukkan penurunan aktivitas motorik

Berdasarkan Tabel 4.1 pada uji panggung menunjukkan bahwa mencit jantan dan betina setelah pemberian EEHSA masih dalam keadaan normal, tidak ditemukan gejala toksik pada semua kelompok berupa penurunan aktivitas motorik mencit ditandai dengan abduksi yaitu kaki terbuka karena adanya depresi SSP, ataksia (sempoyongan) dan reaksi refleks yaitu ketidakmampuan mencit membalikan dirinya apabila diletakkan dengan punggung yang tebalik (Pudjiastuti, 2009).


(49)

Tabel 4.2 Hasil uji katalepsi No. Dosis

Waktu (menit) Jenis Kelamin

5 10 15 30 60 120 180 240

1. K

Jantan - - - -

Betina - - - -

2. P1

Jantan - - - -

Betina - - - -

3. P2

Jantan - - - -

Betina - - - -

4. P3

Jantan - - - -

Betina - - - -

5. P4

Jantan - - - -

Betina - - - -

6. P5

Jantan - - - -

Betina - - - -

Keterangan: K = kontrol; P1 = dosis 50 mg/kg bb; P2 = dosis 500 mg/kg bb; P3 = dosis 1000 mg/kg bb; P4= dosis 2000 mg/kg bb; P5 = dosis 4000 mg/kg bb; (-) = kaki depan mencit mudah mencapai permukaan meja; (+) = kaki depan mencit tidak mudah mencapai permukaan meja

Berdasarkan Tabel 4.2 pada uji katalepsi menunjukkan mencit jantan dan betina setelah pemberian EEHSA masih dalam keadaan normal yaitu mudahnya kaki depan mencit mencapai permukaan meja yang ditaruh pada pensil yang digerakan dari atas ke bawah. Kaki depan mencit yang susah digerakkan menunjukkan adanya gangguan neurologi yaitu adanya reaksi ketegangan (kekakuan), tremor yaitu mencit terlihat gemetar dan kejang yang disebabkan adanya stimulasi SSP (Pudjiastuti, 2009).


(50)

Tabel 4.3 Hasil uji urinasi No. Dosis

Waktu (menit) Jenis Kelamin

5 10 15 30 60 120 180 240

1. K

Jantan - + + + + + + +

Betina - - - + + + + +

2. P1

Jantan - + + + + + + +

Betina - + - + + + + +

3. P2

Jantan - + + + + + + +

Betina - - + - + + + +

4. P3

Jantan - + + + + + + +

Betina - - + + + + + +

5. P4

Jantan - - + + + + + +

Betina - - + + + + + +

6. P5

Jantan - - + + + + + +

Betina - - - + + + + +

Keterangan: K = kontrol; P1 = dosis 50 mg/kg bb; P2 = dosis 500 mg/kg bb; P3 = dosis 1000 mg/kg bb; P4= dosis 2000 mg/kg bb; P5 = dosis 4000 mg/kg bb; (-) = tidak ada pengeluaran urin; (+) = adanya pengeluaran urin

Berdasarkan Tabel 4.3 pada uji urinasi umumnya menunjukkan bahwa mencit jantan dan betina setelah pemberian EEHSA masih dalam keadaan normal pada semua kelompok, yaitu mencit masih mengeluarkan urin sebagaimana mestinya dan tidak ada perbedaan yang signifikan pada semua kelompok. Pengeluaran urin yang berlebihan menunjukkan adanya sifat muskarinik (Pudjiastuti, 2009). Pengeluaran urin juga dapat dipengaruhi oleh sifat ekstrak yang memiliki aktivitas sebagai diuretik (Ginting et al., 2014).


(51)

Tabel 4.4 Hasil uji defekasi No. Dosis

Waktu (menit) Jenis Kelamin

5 10 15 30 60 120 180 240

1. K

Jantan - + + + + + + +

Betina - + - + + + + +

2. P1

Jantan - + + + + + + +

Betina - + - + + + + +

3. P2

Jantan - + + + + - + +

Betina - + + + - + + +

4. P3

Jantan - + - + + + + +

Betina - - + + + + + +

5. P4

Jantan - + + + + + + +

Betina - + + + + + + +

6. P5

Jantan - + - + + + + +

Betina - + + + + + + +

Keterangan: K = kontrol; P1 = dosis 50 mg/kg bb; P2 = dosis 500 mg/kg bb; P3 = dosis 1000 mg/kg bb; P4= dosis 2000 mg/kg bb; P5 = dosis 4000 mg/kg bb; (-) = tidak ada pengeluaran feses; (+) = adanya pengeluaran feses

Berdasarkan Tabel 4.4 pada uji defekasi yaitu pengeluaran tinja menunjukkan bahwa mencit setelah pemberian EEHSA masih dalam keadaan normal, tidak ada perbedaan yang signifikan pada semua kelompok. Mencit jantan dan betina tidak mengalami diare setelah pemberian EEHSA. Diare menunjukkan adanya tanda-tanda muskarinik (Pudjiastuti, 2009) dan merupakan salah satu gejala toksik (Retnomurti, 2008).


(52)

Tabel 4.5 Hasil uji salivasi No. Dosis

Waktu (menit) Jenis Kelamin

5 10 15 30 60 120 180 240

1. K

Jantan - - - -

Betina - - - -

2. P1

Jantan - - - -

Betina - - - -

3. P2

Jantan - - - -

Betina - - - -

4. P3

Jantan - - - -

Betina - - - -

5. P4

Jantan - - - -

Betina - - - -

6. P5

Jantan - - - -

Betina - - - -

Keterangan: K = kontrol; P1 = dosis 50 mg/kg bb; P2 = dosis 500 mg/kg bb; P3 = dosis 1000 mg/kg bb; P4= dosis 2000 mg/kg bb; P5 = dosis 4000 mg/kg bb; (-) = tidak ada pengeluaran saliva; (+) = adanya pengeluaran saliva

Berdasarkan Tabel 4.5 pada uji salivasi yaitu pengeluaran saliva menunjukkan bahwa mencit jantan dan betina setelah pemberian EEHSA masih dalam keadaan normal, tidak ditemukan pengeluaran saliva yang merupakan gejala toksik pada mencit jantan dan betina pada semua kelompok. Pengeluaran saliva yang berlebihan menunjukkan adanya sifat muskarinik (Pudjiastuti, 2009).

4.2 Hasil Pengamatan Berat Badan

Rata-rata berat badan mencit jantan dan betina yang ditimbang setiap hari selama 14 hari dan dianalisis seminggu sekali dapat dilihat pada Tabel 4.6.


(53)

Tabel 4.6 Hasil rata-rata berat badan

Minggu Jenis

Kelamin

Rata-rata berat badan (g) ± SD

K P1 p P2 p P3 p P4 p P5 P

I

Jantan 24,33 ± 0,73 24,31 ± 0,55 0,939 25,13 ± 1,07 0,089 25,13 ± 0,47 0,114 24,79 ± 1,63 0,519 25,53 ± 1,42 0,095 Betina 24,19 ± 0,84 24,28 ± 1,12 25,18 ± 1,33 25,05 ± 1,43 24,40 ± 1,23 24,75 ± 1,33 II

Jantan 27,41 ± 1,08 28,07 ± 0,95 0,759 28,40 ± 1,04 0,771 29,01 ± 1,35 0,211 28,26 ± 1,55 0,799 28,97 ± 1,36 0,385 Betina 27,78 ± 0,85 26,76 ± 1,29 27,14 ± 1,90 27,70 ± 1,07 27,24 ± 2,18 27,28 ± 0,60

Keterangan: K = kontrol; P1 = dosis 50 mg/kg bb; P2 = dosis 500 mg/kg bb; P3 = dosis 1000 mg/kg bb; P4= dosis 2000 mg/kg bb; P5 = dosis 4000 mg/kg bb; SD = standar deviasi

Berdasarkan hasil analisis secara statistik rata–rata berat badan mencit jantan dan betina menggunakan uji two way anova pada Tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan kenaikan berat badan mencit antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan pemberian EEHSA pada minggu I yaitu dengan tingkat signifikansi p = 0,260 (p > 0,05) dan pada minggu II yaitu dengan tingkat signifikansi p = 0,648 (p > 0,05), selain itu tidak ada perbedaan yang signifikan kenaikan berat badan antara mencit jantan dan mencit betina pada minggu I, yaitu dengan tingkat signifikansi p = 0,451 (p > 0,05). Terdapat perbedaan yang signifikan kenaikan berat badan antara mencit jantan dan mencit betina pada minggu II dengan tingkat signifikansi p = 0,004 (p < 0,05). Menurut Retnomurti (2008), umumnya berat badan untuk mencit jantan dewasa adalah 20-40 gram dan untuk mencit betina dewasa 18-35 gram, dengan


(54)

demikian dapat dinyatakan bahwa pemberian EEHSA dosis tunggal secara oral tidak berpengaruh terhadap perkembangan berat badan mencit.

Parameter yang merupakan indikator sensitif adalah berat badan dan gejala toksik. Hewan uji diamati setiap hari untuk gejala toksik dan berat badan diukur secara berkala (Gupta et al., 2012). Penurunan berat badan yang cepat dan bermakna biasanya merupakan pertanda kesehatan yang buruk. Penurunan berat badan dapat disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan dan minuman, penyakit ataupun tanda toksik spesifik (Wilson et al., 2001).

4.3 Hasil Pengamatan Kematian Hewan

Jumlah kematian hewan selama 14 hari dapat dilihat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Hasil pengamatan kematian

Kelompok Jumlah mencit Jumlah kematian

Jantan Betina

Na-CMC 0,5% b/v 5 ekor 5 ekor 0

EEHSA dosis 50 mg/kg bb 5 ekor 5 ekor 0

EEHSA dosis 500 mg/kg bb 5 ekor 5 ekor 0

EEHSA dosis 1000 mg/kg bb 5 ekor 5 ekor 0

EEHSA dosis 2000 mg/kg bb 5 ekor 5 ekor 0

EEHSA dosis 4000 mg/kg bb 5 ekor 5 ekor 0

Berdasarkan Tabel 4.7 menunjukkan bahwa dengan pemberian ekstrak etanol herba selada air dosis tunggal secara oral sampai dengan dosis 4000 mg/kg bb tidak menimbulkan kematian pada mencit jantan dan betina dari semua kelompok sehingga LD50 tidak dapat ditentukan. Menurut Syukur et al. (2012), jika pada dosis maksimal tidak ada kematian pada hewan uji, maka jelas senyawa tersebut termasuk dalam kriteria “Praktis Tidak Toksik”.


(55)

4.4 Hasil Berat Organ Relatif Hati

Hasil berat organ relatif hati yang didata pada akhir perlakuan ditunjukkan pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Hasil berat organ relatif hati mencit

Kelompok

Rata-rata berat organ relatif hati ± SD

Jantan Betina

Na-CMC 0,5% b/v 5,37 ± 0,39 5,15 ± 0,23

EEHSA dosis 50 mg/kg bb 5,44 ± 0,24 5,25 ± 0,31 EEHSA dosis 500 mg/kg bb 5,34 ± 0,35 5,61 ± 0,58 EEHSA dosis 1000 mg/kg bb 5,51 ± 0,12 5,01 ± 0,25 EEHSA dosis 2000 mg/kg bb 5,30 ± 0,20 5,39 ± 0,13 EEHSA dosis 4000 mg/kg bb 5,54 ± 0,35 5,22 ± 0,30

Keterangan : K = kontrol; P1 = dosis 50 mg/kg bb; P2 = dosis 500 mg/kg bb; P3 = dosis 1000 mg/kg bb; P4= dosis 2000 mg/kg bb; P5 = dosis 4000 mg/kg bb; SD = standar deviasi.

Berdasarkan hasil berat organ relatif hati mencit pada Tabel 4.8 yang dianalisis secara statistik menggunakan uji two way anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan berat organ relatif hati mencit antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan setelah pemberian EEHSA dengan tingkat signifikansi p = 0,701 (p > 0,05). Hasil statistik juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan berat organ relatif hati antara mencit jantan dan mencit betina dengan tingkat signifikansi p = 0,099 (p > 0,05), dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pemberian EEHSA dosis tunggal secara oral tidak berpengaruh terhadap perkembangan berat organ hati, jantung, ginjal kiri dan ginjal kanan mencit jantan dan betina.


(56)

Pemeriksaan kerusakan hati dilakukan karena hati merupakan organ yang sangat berperan dalam proses metabolisme sehingga organ ini sering terpapar zat kimia yang akan mengalami detoksifikasi dan inaktivasi sehingga zat kimia tersebut menjadi tidak berbahaya bagi tubuh. Kerusakan hati karena obat dan zat kimia dapat terjadi akibat hilangnya kemampuan regenerasi sel hati, sehingga hati akan mengalami kerusakan permanen yang dapat menimbulkan kematian (Elya et al., 2010).

4.5 Hasil Pemeriksaan Makropatologi Organ Hati

Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati warna, bentuk permukaan dan konsistensi organ hati mencit jantan dan betina secara visual. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Hasil pemeriksaan makropatologi organ hati

Kelompok Jenis Kelamin

Pengamatan

Warna Permukaan Konsistensi

K Jantan Merah kecoklatan Licin Kenyal

Betina Merah kecoklatan Licin Kenyal

P1 Jantan Merah kecoklatan Licin Kenyal

Betina Merah kecoklatan Licin Kenyal

P2 Jantan Merah kecoklatan Licin Kenyal

Betina Merah kecoklatan Licin Kenyal

P3 Jantan Merah kecoklatan Licin Kenyal

Betina Merah kecoklatan Licin Kenyal

P4 Jantan Merah kecoklatan Licin Kenyal

Betina Merah kecoklatan Licin Kenyal

P5 Jantan Merah kecoklatan Licin Kenyal

Betina Merah kecoklatan Licin Kenyal

Keterangan : K = kontrol; P1 = dosis 50 mg/kg bb; P2 = dosis 500 mg/kg bb; P3 = dosis 1000 mg/kg bb; P4= dosis 2000 mg/kg bb; P5 = dosis


(57)

Kontrol EEHSA 50 mg EEHSA 500 mg

EEHSA 1000 mg EEHSA 2000 mg EEHSA 4000 mg Gambar 4.1 Pengamatan makropatologi organ hati mencit jantan

Kontrol EEHSA 50 mg EEHSA 500 mg

EEHSA 1000 mg EEHSA 2000 mg EEHSA 4000 mg Gambar 4.2 Pengamatan makropatologi organ hati mencit betina

Berdasarkan Tabel 4.9, Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 menunjukkan bahwa organ hati mencit jantan dan betina dari semua kelompok masih dalam keadaan normal yaitu berwarna merah kecoklatan, permukaannya licin dan konsistensinya kenyal. Kriteria normal pada organ hati yaitu bila tidak ditemukan perubahan warna, perubahan struktur permukaan dan perubahan konsistensi (Anggraini,


(58)

2008). Perubahan warna menjadi salah satu parameter terjadinya efek toksik yang bertujuan mendapatkan informasi mengenai toksisitas zat uji yang berkaitan dengan organ sasaran dan efek terhadap organ tersebut (Lu, 1994).

4.6 Hasil Pemeriksaan Histopatologi Organ Hati

Mencit yang telah dibedah segera diambil organnya. Dalam penelitian ini tidak ada mencit yang mati, oleh karena itu hanya kelompok dengan pemberian ekstrak dosis tertinggi yang akan diamati organ hati secara mikroskopik untuk dibandingkan dengan kontrol. Organ hati mencit jantan dan betina pada kelompok Kontrol, dosis 500 mg/kg bb, 1000 mg/kg bb, 2000 mg/kg bb, dan dosis 4000 mg/kg bb dibuat preparat histopatologinya lalu dilihat dibawah mikroskop pada perbesaran 10 x 40. Hasil kerusakan dapat dilihat pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Hasil histopatologi berdasarkan kerusakan hepatosit

Kelompok Dosis

(mg/kg bb)

Jenis Kelamin Jenis kerusakan

Degenerasi hidropik Nekrosis

K - Jantan - -

Betina - -

P2 500 Jantan - -

Betina - -

P3 1000 Jantan - -

Betina - -

P4 2000 Jantan - -

Betina - -

P5 4000 Jantan + +

Betina + +

Keterangan : (-) = normal; (+) = terjadi kerusakan

Berdasarkan Tabel 4.10 menunjukkan bahwa organ hati mencit jantan dan betina pada kelompok kontrol, dosis 500 mg/kg bb, 1000mg/kg bb, dan 2000 mg/kg bb terlihat normal yaitu tidak terjadi kerusakan hepatosit, sedangkan pada


(59)

dosis 4000 mg/kg bb terjadi kerusakan hepatosit yaitu degenerasi hidropik dan nekrosis.

Kerusakan hati karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis zat kimia, dosis yang diberikan, dan lamanya paparan zat tersebut seperti akut, subkronik atau kronik. Konsentrasi suatu senyawa yang diberikan semakin tinggi dapat menyebabkan respon toksik yang ditimbulkan semakin besar. Kerusakan hati dapat terjadi segera atau setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Kerusakan dapat berbentuk nekrosis hepatosit, kolestasis atau timbulnya disfungsi hepar secara perlahan-lahan (Amalina, 2009).


(60)

Organ hati mencit jantan kelompok kontrol Na-CMC 0,5% b/v

Keterangan: 1 = hepatosit; 2 = vena sentral; 3 = sinusoid

Organ hati mencit betina kelompok kontrol Na-CMC 0,5% b/v

Keterangan: 1 = hepatosit; 2 = vena sentral; 3 = sinusoid

Gambar 4.3 Pemeriksaan histopatologi organ hati kelompok kontrol Na-CMC 0,5% b/v pada perbesaran 10 x 40

1

2

3

3 1


(61)

Organ hati mencit jantankelompok dosis 500 mg/kg bb

Keterangan: 1 = hepatosit; 2 = vena sentral; 3 = sinusoid

Organ hati mencit betina kelompok dosis 500 mg/kg bb

Keterangan: 1 = hepatosit; 2 = vena sentral; 3 = sinusoid

Gambar 4.4 Pemeriksaan histopatologi organ hati kelompok dosis 500 mg/kg bb pada perbesaran 10 x 40

2

2 3 1

3 1


(62)

Organ hati mencit jantan kelompok dosis 1000 mg/kg bb

Keterangan : 1 = hepatosit; 2 = vena sentral; 3 = sinusoid

Organ hati mencit betina kelompok dosis 1000 mg/kg bb

Keterangan : 1 = hepatosit; 2 = vena sentral; 3 = sinusoid

Gambar 4.5 Pemeriksaan histopatologi organ hati kelompok dosis 1000 mg/kg bb pada perbesaran 10 x 40

1

2

3

3 2 1


(63)

Organ hati mencit jantan kelompok dosis 2000 mg/kg bb

Keterangan: 1 = degenerasi hidropik; 2 = vena sentral; 3 = sinusoid

Organ hati mencit betina kelompok dosis 2000 mg/kg bb

Keterangan: 1 = degenerasi hidropik; 2 = vena sentral; 3 = sinusoid

Gambar 4.6 Pemeriksaan histopatologi organ hati kelompok dosis 2000 mg/kg bb pada perbesaran 10 x 40

3 2 1 1

2


(64)

Organ hati mencit jantan kelompok dosis 4000 mg/kg bb

Keterangan: 1 = sinusoid; 2 = kariopiknosis; 3 = vena sentral; 4 = degenerasi hidropik; 5 = kariolisis; 6 = karioreksis Organ hati mencit betina kelompok dosis 4000 mg/kg bb

Keterangan: 1 = sinusoid; 2 = kariopiknosis; 3 = vena sentral; 4 = degenerasi hidropik; 5 = kariolisis; 6 = karioreksis

Gambar 4.7 Pemeriksaan histopatologi organ hati kelompok dosis 4000 mg/kg 6 5 4 3 2 1

2

1 5 6

3 4


(65)

Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan bahwa organ hati mencit jantan dan betina pada kelompok Kontrol, dosis 500 mg/kg bb, dan dosis 1000 mg/kg bb masih dalam keadaan normal ditunjukkan dengan hepatosit yang tersusun secara radial dalam lobulus hati dan belum ada terlihat terjadinya degenerasi hidropik. Hepatosit pada organ hati mencit jantan dan betina kelompok dosis 2000 mg/kg bb juga tersusun secara radial dalam lobulus hati tetapi terlihat adanya sedikit peradangan pada vena sentral. Hasil pemeriksaan histopatologi organ hati mencit jantan dan betina kelompok dosis 4000 mg/kg bb menunjukkan adanya peradangan bukan hanya pada vena sentral saja, tetapi juga terdapat pada sinusoid. Hati mengalami kerusakan ditunjukkan dengan adanya pelebaran sinusoid, hepatosit mengalami degenerasi hidropik dan sudah terjadi nekrosis.

Kerusakan hati karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis zat kimia yang terlibat, dosis yang diberikan dan lamanya paparan zat tersebut (Amalina, 2009). Kerusakan hati dapat berupa perubahan fungsi dan struktur seperti, radang, fibrosis, degenerasi dan nekrosis. Menurut Praptiwi et al. (2010), perubahan yang terjadi pada organ disebabkan adanya kandungan kimia pada ekstrak tersebut.

Degenerasi hidropik, terjadi karena adanya gangguan membran sel sehingga cairan masuk ke dalam sitoplasma, menimbulkan vakuola-vakuola kecil sampai besar. Terjadi akumulasi cairan karena sel yang sakit tidak dapat menyingkirkan cairan yang masuk (Underwood, 1994). hal ini disebabkan karena gangguan transpor aktif yang menyebabkan sel tidak mampu memompa ion Na+ keluar sehingga konsentrasi ion Na+ di dalam sel naik. Pengaruh osmosis


(1)

Berat Badan Mencit Minggu II

Descriptive Statistics Dependent Variable:Rata-Rata Berat Minggu II Dosis Perlakuan

Jenis

Kelamin Mean Std. Deviation N Kontrol Jantan 2.741334E

1 1.0831545 5

Betina 2.778332E

1 .8531847 5

Total 2.759833E

1 .9396692 10

50 mg/Kg BB Jantan 2.806668E

1 .9478600 5

Betina 2.676002E

1 1.2959044 5

Total 2.741335E

1 1.2727760 10

500 mg/Kg BB Jantan 2.840334E

1 1.0435086 5

Betina 2.714334E

1 1.8977049 5

Total 2.777334E

1 1.5891918 10

1000 mg/Kg BB Jantan 2.901332E

1 1.3501204 5

Betina 2.770334E

1 1.0727818 5

Total 2.835833E

1 1.3410138 10

2000 mg/Kg BB Jantan 2.825998E

1 1.5486864 5

Betina 2.724332E

1 2.1838992 5

Total 2.775165E

1 1.8635502 10

4000 mg/Kg BB Jantan 2.897000E

1 1.3636741 5

Betina 2.727666E

1 .6010143 5

Total 2.812333E

1 1.3354900 10

Total Jantan 2.835444E

1 1.2584866 30

Betina 2.731833E

1 1.3484473 30

Total 2.783639E


(2)

Multiple Comparisons Rata-Rata Berat Minggu II

LSD

(I) Dosis Perlakuan

(J) Dosis Perlakuan

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound

Upper Bound Kontrol 50 mg/Kg BB .184980 .5990479 .759 -1.019487 1.389447

500 mg/Kg BB -.175010 .5990479 .771 -1.379477 1.029457 1000 mg/Kg BB -.760000 .5990479 .211 -1.964467 .444467 2000 mg/Kg BB -.153320 .5990479 .799 -1.357787 1.051147 4000 mg/Kg BB -.525000 .5990479 .385 -1.729467 .679467 50 mg/Kg BB Kontrol -.184980 .5990479 .759 -1.389447 1.019487 500 mg/Kg BB -.359990 .5990479 .551 -1.564457 .844477 1000 mg/Kg BB -.944980 .5990479 .121 -2.149447 .259487 2000 mg/Kg BB -.338300 .5990479 .575 -1.542767 .866167 4000 mg/Kg BB -.709980 .5990479 .242 -1.914447 .494487 500 mg/Kg BB Kontrol .175010 .5990479 .771 -1.029457 1.379477 50 mg/Kg BB .359990 .5990479 .551 -.844477 1.564457 1000 mg/Kg BB -.584990 .5990479 .334 -1.789457 .619477 2000 mg/Kg BB .021690 .5990479 .971 -1.182777 1.226157 4000 mg/Kg BB -.349990 .5990479 .562 -1.554457 .854477 1000 mg/Kg BB Kontrol .760000 .5990479 .211 -.444467 1.964467 50 mg/Kg BB .944980 .5990479 .121 -.259487 2.149447 500 mg/Kg BB .584990 .5990479 .334 -.619477 1.789457 2000 mg/Kg BB .606680 .5990479 .316 -.597787 1.811147 4000 mg/Kg BB .235000 .5990479 .697 -.969467 1.439467 2000 mg/Kg BB Kontrol .153320 .5990479 .799 -1.051147 1.357787 50 mg/Kg BB .338300 .5990479 .575 -.866167 1.542767 500 mg/Kg BB -.021690 .5990479 .971 -1.226157 1.182777 1000 mg/Kg BB -.606680 .5990479 .316 -1.811147 .597787 4000 mg/Kg BB -.371680 .5990479 .538 -1.576147 .832787 4000 mg/Kg BB Kontrol .525000 .5990479 .385 -.679467 1.729467 50 mg/Kg BB .709980 .5990479 .242 -.494487 1.914447 500 mg/Kg BB .349990 .5990479 .562 -.854477 1.554457 1000 mg/Kg BB -.235000 .5990479 .697 -1.439467 .969467 2000 mg/Kg BB .371680 .5990479 .538 -.832787 1.576147 Based on observed means.


(3)

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Rata-Rata Berat Minggu II

Source

Type III Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 28.638a 11 2.603 1.451 .182

Intercept 46491.871 1 46491.871 2.591E4 .000

Dosis 6.015 5 1.203 .671 .648

Sex 16.103 1 16.103 8.974 .004

Dosis * Sex 6.519 5 1.304 .727 .607

Error 86.126 48 1.794

Total 46606.635 60

Corrected Total 114.764 59 a. R Squared = ,250 (Adjusted R Squared = ,078)


(4)

Berat Organ hati

Descriptive Statistics Dependent Variable:Berat Organ Relatif Hati Dosis Perlakuan

Jenis

Kelamin Mean Std. Deviation N Kontrol Jantan 5.366652E

0 .3951808 5

Betina 5.149684E

0 .2328523 5

Total 5.258168E

0 .3264693 10

50 mg/Kg BB Jantan 5.439530E

0 .2417794 5

Betina 5.247826E

0 .3054974 5

Total 5.343678E

0 .2786914 10

500 mg/Kg BB Jantan 5.338790E

0 .3501781 5

Betina 5.608970E

0 .5775840 5

Total 5.473880E

0 .4722764 10

1000 mg/Kg BB Jantan 5.511650E

0 .1229841 5

Betina 5.057424E

0 .2529150 5

Total 5.284537E

0 .3040774 10

2000 mg/Kg BB Jantan 5.299578E

0 .1982225 5

Betina 5.393030E

0 .1270257 5

Total 5.346304E

0 .1645005 10

4000 mg/Kg BB Jantan 5.536872E

0 .3530887 5

Betina 5.224800E

0 .2957396 5

Total 5.380836E

0 .3483304 10

Total Jantan 5.415512E


(5)

Multiple Comparisons Berat Organ Relatif Hati

LSD

(I) Dosis Perlakuan

(J) Dosis Perlakuan

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound

Upper Bound Kontrol 50 mg/Kg BB -.085510 .1393469 .542 -.365686 .194666

500 mg/Kg BB -.215712 .1393469 .128 -.495888 .064464 1000 mg/Kg BB -.026369 .1393469 .851 -.306545 .253807 2000 mg/Kg BB -.088136 .1393469 .530 -.368312 .192040 4000 mg/Kg BB -.122668 .1393469 .383 -.402844 .157508 50 mg/Kg BB Kontrol .085510 .1393469 .542 -.194666 .365686 500 mg/Kg BB -.130202 .1393469 .355 -.410378 .149974 1000 mg/Kg BB .059141 .1393469 .673 -.221035 .339317 2000 mg/Kg BB -.002626 .1393469 .985 -.282802 .277550 4000 mg/Kg BB -.037158 .1393469 .791 -.317334 .243018 500 mg/Kg BB Kontrol .215712 .1393469 .128 -.064464 .495888 50 mg/Kg BB .130202 .1393469 .355 -.149974 .410378 1000 mg/Kg BB .189343 .1393469 .181 -.090833 .469519 2000 mg/Kg BB .127576 .1393469 .364 -.152600 .407752 4000 mg/Kg BB .093044 .1393469 .508 -.187132 .373220 1000 mg/Kg BB Kontrol .026369 .1393469 .851 -.253807 .306545 50 mg/Kg BB -.059141 .1393469 .673 -.339317 .221035 500 mg/Kg BB -.189343 .1393469 .181 -.469519 .090833 2000 mg/Kg BB -.061767 .1393469 .660 -.341943 .218409 4000 mg/Kg BB -.096299 .1393469 .493 -.376475 .183877 2000 mg/Kg BB Kontrol .088136 .1393469 .530 -.192040 .368312 50 mg/Kg BB .002626 .1393469 .985 -.277550 .282802 500 mg/Kg BB -.127576 .1393469 .364 -.407752 .152600 1000 mg/Kg BB .061767 .1393469 .660 -.218409 .341943 4000 mg/Kg BB -.034532 .1393469 .805 -.314708 .245644 4000 mg/Kg BB Kontrol .122668 .1393469 .383 -.157508 .402844 50 mg/Kg BB .037158 .1393469 .791 -.243018 .317334 500 mg/Kg BB -.093044 .1393469 .508 -.373220 .187132 1000 mg/Kg BB .096299 .1393469 .493 -.183877 .376475 2000 mg/Kg BB .034532 .1393469 .805 -.245644 .314708 Based on observed means.


(6)

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Berat Organ Relatif Hati

Source

Type III Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.464a 11 .133 1.370 .218

Intercept 1716.002 1 1716.002 1.767E4 .000

Dosis .290 5 .058 .598 .701

Sex .274 1 .274 2.825 .099

Dosis * Sex .899 5 .180 1.852 .121

Error 4.660 48 .097

Total 1722.126 60

Corrected Total 6.124 59