LATAR BELAKANG HUKUM ADAT LENGKAP

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Komunitas Adat Terpencil dapat dipahami sebagai komunitas manusia yang menghadapi berbagai keterbatasan untuk dapat menjalani kehidupan sebagaimana masyarakat pada umumnya. Mereka mendiami daerah-daerah yang secara geografis relatif sulit dijangkau, seperti: pegunungan, hutan, lembah, muara sungai, pantai dan pulau-pulau kecil. Mereka hidup dalam kondisi yang sangat terbatas, baik dalam pemenuhan kebutuhan sosial dasar, sosial-psikologis dan pengembangan. Sebagian dari mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain atau nomaden. Mereka menjalani kehidupan dengan cara-cara yang sangat sederhana, dan jenis kegiatan ekonomi yang ditekuninya seperti pertanian, nelayan, berburu dan berburu. Mereka mengalami keterbatasan untuk dapat mengakses pelayanan sosial, ekonomi dan politik Dit PKAT, 2003. Sebagai respon atas kondisi kehidupan KAT tersebut, Departemen Sosial RI telah menyelenggarakan program pemberdayaan terhadap mereka yang dimulai sejak tahun 1972, dimana pada saat itu digunakan istilah masyarakat terasing. Meskipun demikian sampai dengan tahun 2006 populasi KAT masih cukup besar, yaitu 267.550 KK atau sekitar 1,1 juta jiwa. Dari jumlah tersebut yang belum diberdayakan masih banyak, yaitu 193.185 KK atau 72 persen, sudah diberdayakan mencapai 61.188 KK atau 23 persen dan yang sedang diberdayakan mencapai 13.177 KK atau 5 persen. Meskipun program pemberdayaan telah dilakukan, namun capaian tujuan program belum secara optimal menyentuh persoalan pokok kehidupan anggota KAT. Mereka memang telah berdaya secara sosial-ekonomi, namun masih belum berdaya secara politis dan hukum. Sesuai dengan ketentuan Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 pada artikel ke dua 2 disebutkan, bahwa negara sudah seharusnya bertanggungjawab untuk memberi perlindungan hak azasi dan kesempatan yang sama melalui peraturan hukum baik di tingkat nasional maupun daerah, serta regulasi-regulasi kebijakan lainnya. Pemerintah Indonesia telah merespon Konvensi tersebut dengan diundangkannya Keputusan Presiden RI No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI tersebut, Departemen Sosial sebagai instansi sektoral yang bertanggung jawab terhadap kondisi kehidupan KAT, mengeluarkan berbagai keputusan dan peraturan yang di dalamnya secara substansial mengatur pelaksanaan pemberdayaan KAT. Namun demikian dalam implementasinya belum secara optimal memberdayakan KAT, termasuk dalam hal pemberian hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum. Berdasarkan hasil penelitian UNDP tahun 2006 tentang Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia yang dilakukan di 10 provinsi, ditemukan beberapa informasi berikut: 1. Adanya ketidaktahuan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah melalui instansi dan dinas yang mengurusi masyarakat adat terhadap produk hukum daerah mengenai masyarakat adat yang sedang berlaku di daerahnya. 2. Hampir semua dinas yang mengurusi bidang kesejahteraan sosial bagi KAT yang didatangi mengaku tidak mengetahui produk hukum daerah mengenai adat-istiadat, lembaga adat dan hak ulayat yang tengah berlaku di daerahnya. 3. Menunjukkan bahwa produk hukum daerah tersebut tidak pernah digunakan oleh dinas dan instansi daerah untuk mendesak tersedianya dana bagi pemberdayaan KAT. Dewasa ini keberadaan KAT tidak hanya menjadi persoalan nasional, akan tetapi sudah menjadi persoalan global. Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB pada tahun 1995 telah mengeluarkan Declaration on the Rights of Indigenous Peoples sebagai landasan moral bagi setiap negara dalam rangka memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap KAT. Dalam deklarasi tersebut diatur secara rinci ke dalam 45 pasal, yang sebagian besar mengatur hak-hak KAT sebagai komunitas manusia maupun sebagai bagian dari warga negara. Deklarasi PBB tersebut semakin memperkuat tuntutan terhadap negara, baik dari dalam negeri maupun dunia internasional, untuk memberikan pelayanan dan perlindungan bagi KAT. Dalam rangka merespon berbagai tuntutan terhadap pelayanan dan perlindungan KAT di Indonesia, maka sangat diperlukan Peraturan Perundang- Undangan yang lebih tinggi lagi dari Keputusan Presiden RI, yaitu berupa Undang-Undang UU KAT. Undang-undang ini akan menjadi payung hukum secara nasional yang akan menjadi acuan dasar bagi pemerintah maupun 2 masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap KAT. Selain itu, adanya Undang-Undang KAT ini memperlihatkan kesungguhan negara Indonesia di mata dunia internasional dalam upaya memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap KAT, sebagaimana di negara-negara di dunia. Dengan demikian, adanya Undang-Undang KAT ini ke dalam negeri sebagai dasar hukum pengakuan dan tanggung jawab negara terhadap KAT; dan ke dunia internasional sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap isu-isu global dan menjadi komitmen di dalam Development Mellineum Goals MDC’s yanga antara lain kemiskinan, ketelantaran dan keterbelakangan. Dalam kerangka itu, maka Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil – Departemen Sosial RI melaksanakan kegiatan : INVENTARISASI PERATURAN DAERAH TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT. Ada tiga aspek yang menjadi perhatian dalam kegiatan ini, yaitu 1 bentuk kongkrit pengakuan hukum terhadap KAT dalam bentuk tertulis Peraturan, Perundangan, Perda, Pedoman, JuklakJuknis maupun tidak tertulis yang berlaku di masyarakat, 2. bagaimana implementasi pengakuan hukum terhadap KAT tersebut di lapangan dan 3. kendala apa yang dihadapi dalam pengakuan hukum terhadap KAT

B. PERMASALAHAN