6. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi secara lengkap dan benar.
7. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang
memperdagangkan barang danatau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
D. Perlindungan Hukum Konsumen dalam Bidang Perumahan dan Pemukiman
Perlindungan hukum kepada konsumen dapat diwujudkan dalam 2 bentuk pengaturan, yaitu, pertama, melalui suatu bentuk perundang-undangan tertentu
yang sifatnya umum untuk setiap orang yang melakukan transaksi barang dan atau jasa sedangkan kedua, melalui perjanjian yang khusus dibuat para pihak pelaku
usaha dan konsumen yang isinya antara lain mengenai ketentuan tentang ganti rugi, jangka waktu pengajuan klaim, penyelesaian sengketa.
Dengan diberlakukannya UU No 8 Tahun 1999 maka dasar perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen
yang menyatakan bahwa segala upaya yang ditujukan untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen.
Perlindungan terhadap konsumen dilakukan sebelum atau pada saat atau telah terjadi transaksi yang menimbulkan suatu hubungan hukum antara pelaku usaha
selaku produsen dengan konsumen sebagai subyek hukum, dan barang dan atau jasa sebagai obyek hukum dalam Undang-undang ini. Dengan disahkannya
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diharapkan dapat digunakan sebagai sarana preventif guna mewujudkan
perlindungan konsumen dengan berdasarkan atas hak-hak yang juga dimiliki manusia. Jelas telah diungkapkan dalam UU Perlindungan Konsumen, bahwa
yang menjadi subyek hukumnya adalah orang. Namun adanya hak dan kewajiban tersebut kemudian menimbulkan suatu masalah baru, yaitu masalah perlindungan
bagi para pihak terhadap segala kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain berdasarkan hak dan kewajiban yang dimilikinya.
Pembentukan Perlindungan Konsumen pada dasarnya antara lain dimaksudkan memberikan tempat yang seimbang antara pelaku usaha dengan
konsumen. Masalah keseimbangan ini secara tegas dinyatakan dalam perjanjian terhadap perlindungan konsumen. Sekalipun dalam berbagai peraturan perundang-
undangan seolah mengatur danatau melindungi konsumen di bidang perumahan dan pemukiman, tetapi pada kenyataannya pemanfaatannya mengandung kendala
tertentu yang menyulitkan konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mencoba untuk memberikan perlindungan terhadap ketiga kepentingan konsumen
tersebut di atas. Meskipun demikian pada pelaksanaan di lapangan, konsumen belum secara maksimal memperoleh perlindungan hukum secara adil.
Perlindungan hukum konsumen yang diberikan dalam UU No. 8 Tahun 1999 memberikan perlindungan kepada konsumen dengan adanya ketentuan yang
mengatur tentang: 1.
Hak dan Kewajiban dari para pihak
Universitas Sumatera Utara
Dalam UU No. 8 Tahun 1999 memberikan perlindungan terhadap konsumen dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang apa saja hak
hak sebagai konsumen berikut dengan kewajibannya. Hak-hak dan kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 4 UUPK. Hak-hak dan kewajiban
konsumen ini telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya. 2.
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha Sesuai dengan UU No.8 Tahun 1999, perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha telah diatur dalam Pasal 8. Ketentuan tentang perbuatan yang dilarang sebagai seorang pelaku usaha telah dijelaskan pada subbab
sebelumnya. Dengan adanya ketentuan ini, maka UU ini telah melindungi konsumen dari pelaku usaha yang beritikad buruk.
3. Klausula baku
Setelah adanya UUPK, maka perlindungan konsumen dari penyalahgunaan keadaan semakin membaik karena berdasarkan Pasal 18
UUPK dilarang memuat klausula-klausula baku tertentu dalam perjanjian antara konsumen dengan pelaku usaha. Adapun isi dari Pasal tersebut
yaitu: a.
Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila: 1 menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2 menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
Universitas Sumatera Utara
3 menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang
dibeli oleh konsumen; 4 menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran; 5 mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; 6 memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7 menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8 menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. b.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
Universitas Sumatera Utara
c. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
d. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan Undang-undang ini. Pembatasan atau larangan untuk memuat klausula-klausula baku tertentu
dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, yang
pada akhirnya akan merugikan konsumen. 4.
Tanggung jawab hukum Dengan diberlakukannya UUPK, maka dalam hal melindungi konsumen
dari perbuatan pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen telah diatur dalam Pasal 19 yang berisi tentang tanggung jawab sebagai pelaku
usaha. Secara umum tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa
kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah disebutkan yang secara garis besarnya hanya ada dua
kategori, yaitu ganti kerugian yang berdasarkan atas wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan melanggar hukum.
Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang
berupa kewajiban atas prestasi utama atau kewajiban jaminan garansi dalam perjanjian. Bentuk-bentuk wanprestasi ini dapat terjadi apabila tidak
Universitas Sumatera Utara
memenuhi prestasi sama sekali, terlambat dalam memenuhi prestasi, berprestasi tidak sebagaimana mestinya.
Sedangkan tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perikatan
yang lahir dari perjanjian karena terjadinya wanprestasi dan akibat dari pelanggaran terhadap larangan undang-undang.
Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ini berarti
bahwa untuk dapat menuntut ganti kerugian harus dipenuhi unsur-unsur seperti adanya perbuatan melanggar hukum, adanya kerugian, adanya
hubungan kausalitas antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian, dan adanya kesalahan.
5. Penyelesaian sengketa
Dalam hal perlindungan konsumen apabila terjadi suatu sengketa, dalam UUPK telah diatur mengenai penyelesaian sengketa yang terdapat dalam
Pasal 45. Dalam pasal ini disebutkan sebagai berikut: 1.
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Universitas Sumatera Utara
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat 2 tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
pihak atau oleh para pihak. 6.
Sanksi Adapun perlindungan terhadap konsumen dalam hal pemberian sanksi
dalam dunia bisnis terhadap pihak yang melakukan pelanggaran yang menyebabkan kerugian biasanya adalah sanksi administratif. Adapun
sanksi administratif yang dikenakan adalah berupa ganti kerugian sebesar kerugian yang dialami. Namun hal itu harus ditinjau terlebih dahulu
mengenai sengketa yang terjadi. Sebab dalam dunia bisnis tidak menutup kemungkinan adanya sanksi pidana. Hal ini dapat terjadi apabila adanya,
pelanggaran hukum atas larangan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam hal ini maka selain pelaku usaha harus mengganti kerugian
konsumen sanksi administratif , pelaku usaha juga harus menanggung sanksi pidana dimana telah diatur dalam Pasal 8 ayat 4 UUPK yang
menyebutkan bahwa pelaku usaha yang melakukan pelanggran terhadap Pasal 8 ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang danatau jasa
tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Dalam hal ini yang
Universitas Sumatera Utara
berwenang menarik barang danatau jasa dari peredaran adalah menteri dan menteri teknis.
Disamping adanya peraturan UU No. 8 Tahun 1999, ada juga peraturan lain yang memberikan perlindungan terhadap konsumen perumahan dan
pemukiman. Dalam hal mengenai perlindungan terhadap konsumen perumahan dan pemukiman tentang rumah yang layak untuk dihuni terdapat di dalam
Penjelasan Pasal 5 Ayat 1 UU No. 4 Tahun 1992 yang menyatakan rumah yang layak adalah bangunan memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan
kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya. Seiring dengan perkembangan di dalam masyarakat, maka pemerintah
merasa perlu untuk dibuat suatu rancangan undang-undang tentang perumahan dan pemukiman agar lebih maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap
konsumen perumahan. Adapun yang dimaksud dengan “rumah yang layak huni dan terjangkau”
menurut penjelasan Pasal 3 huruf f RUU Perumahan dan Pemukiman adalah bangunan rumah yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan keselamatan
bangunan dan kecukupan luas bangunan serta kesehatan penghuninya dan dari biaya dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Pasca diratifikasinya kovenan internasional hak-hak ekonomi sosial dan budaya seharusnya RUU Perumahan dan Pemukiman mengatur kriteria layak
lebih maju sebagaimana yang tertuang dalam Komentar Umum No. 4 Pasal 11 ayat 1 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya mengenai
Universitas Sumatera Utara
Hak Atas Tempat Tinggal yang layak. Dalam komentar umum tersebut didapat kriteria layak adalah sebagai berikut:
1. Jaminan perlindungan hukum. Perlindungan hukum mengambil banyak bentuk, diantaranya penyewaan
akomodasi publik dan swasta, perumahan kolektif, kredit, perumahan darurat, pemukiman informal, termasuk penguasaan tanah dan properti. Meskipun ada
beragam jenis perlindungan hukum, setiap orang harus memiliki tingkat perlindungan hukum yang menjamin perlindungan hukum dari pengusiran paksa,
pelecehan, dan ancaman lainnya. Negara Pihak harus secara bertanggung jawab, segera mengambil tindakan-tindakan yang bertujuan mengkonsultasikan jaminan
perlindungan hukum terhadap orang-orang tersebut dan rumah tangga yang saat ini belum memiliki perlindungan, konsultasi secara benar dengan orang-orang
atau kelompok yang terkena. 2. Ketersediaan layanan, bahan-bahan baku, fasilitas, dan infra struktur
Tempat tinggal yang layak harus memiliki fasilitas tertentu yang penting bagi kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan nutrisi. Semua penerima manfaat
dari hak atas tempat tinggal yang layak harus memiliki akses yang berkelanjutan terhadap sumber daya alam dan publik, air minum yang aman, energi untuk
memasak, suhu dan cahaya, alat-alat untuk menyimpan makanan, pembuangan sampah, saluran air, layanan darurat.
3. Keterjangkauan Biaya pengeluaran seseorang atau rumah tangga yang bertempat tinggal
harus pada tingkat tertentu dimana pencapaian dan pemenuhan terhadap
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan dasar lainnya tidak terancam atau terganggu. Tindakan harus diambil oleh Negara Pihak untuk memastikan bahwa persentasi biaya yang berhubungan
dengan tempat tinggal, secara umum sepadan dengan tingkat pendapatan. Negara Pihak harus menyediakan subsidi untuk tempat tinggal bagi mereka yang tidak
mampu memiliki tempat tinggal, dalam bentuk dan tingkat kredit perumahan yang secara layak mencerminkan kebutuhan tempat tinggal. Dalam kaitannya dengan
prinsip keterjangkauan, penghuni harus dilindungi dengan perlengkapan yang layak ketika berhadapan dengan tingkat sewa yang tidak masuk akal atau
kenaikan uang sewa. Di masyarakat, dimana bahan-bahan baku alam merupakan sumber daya utama bahan baku pembuatan rumah, Negara adalah pihak harus
mengambil langkah-langkah untuk memastikan ketersediaan bahan baku tersebut. 4. Layak huni
Tempat tinggal yang memadai haruslah layak dihuni, artinya dapat menyediakan ruang yang cukup bagi penghuninya dan dapat melindungi mereka
dari cuaca dingin, lembab, panas, hujan, angin, atau ancaman-ancaman bagi kesehatan, bahaya fisik bangunan, dan vektor penyakit. Keamanan fisik penghuni
harus pula terjamin. Komite mendorong Negara Pihak untuk secara menyeluruh menerapkan Prinsip Rumah Sehat yang disusun oleh WHO yang menggolongkan
tempat tinggal sebagai faktor lingkungan yang paling sering dikaitkan dengan kondisi-kondisi penyebab penyakit berdasarkan berbagai analisis epidemiologi;
yaitu, tempat tinggal dan kondisi kehidupan yang tidak layak dan kurang sempurna selalu berkaitan dengan tingginya tingkat kematian dan ketidaksehatan.
Universitas Sumatera Utara
5. Aksesibilitas Tempat tinggal yang layak harus dapat diakses oleh semua orang yang
berhak atasnya. Kelompok-kelompok yang kurang beruntung seperti halnya manula, anak-anak, penderita cacat fisik, penderita sakit stadium akhir, penderita
HIV-positif, penderita sakit menahun, penderita cacat mental, korban bencana alam, penghuni kawasan rawan bencana, dan lain-lain harus diyakinkan mengenai
standar prioritas untuk lingkungan tempat tinggal mereka. 6.. Lokasi
Tempat tinggal yang layak harus berada di lokasi yang terbuka terhadap akses pekerjaan, pelayanan kesehatan, sekolah, pusat kesehatan anak, dan
fasilitas-fasilitas umum lainnya. Di samping itu, rumah hendaknya tidak didirikan di lokasi-lokasi yang telah atau akan segera terpolusi, yang mengancam hak untuk
hidup sehat para penghuninya. 7. Kelayakan budaya
Cara rumah didirikan, bahan baku bangunan yang digunakan, dan kebijakan-kebijakan yang mendukung kedua unsur tersebut harus memungkinkan
pernyataan identitas budaya dan keragaman tempat tinggal. Berbagai aktivitas yang ditujukan bagi peningkatan dan modernisasi dalam lingkungan tempat
tinggal harus dapat memastikan bahwa dimensi-dimensi budaya dari tempat tinggal tidak dikorbankan, dan bahwa, diantaranya, fasilitas-fasilitas berteknologi
modern, juga telah dilengkapkan dengan semestinya. Pemenuhan hak atas perumahan bukan merupakan suatu yang sederhana
dan memiliki aspek yang kompleks. Merupakan suatu kesalahpahaman jika
Universitas Sumatera Utara
mewujudkan hak atas perumahan bagi warga negara dapat direalisasikan dengan mempermudah bisnis properti. Pembangunan rumah dalam jumlah yang
sebanyak-banyaknya.
42
Dalam rumusan tersebut digunakan istilah persetujuan dan bukan perjanjian. Namun kedua istilah yang berbeda ini tidak perlu dipertentangkan,
karena pada dasarnya mempunyai maksud yang sama, yaitu terciptanya kata sepakat dari kedua belah pihak. Rumusan dalam Pasal 1313 KUH Perdata
tampaknya kurang lengkap, sebab yang mengikatkan diri dalam perjanjian hanya salah satu pihak saja. Padahal yang seringkali dijumpai adalah perjanjian dimana
Selain dengan adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang dijelaskan diatas dalam hal melindungi konsumen perumahan dan pemukiman,
perjanjian yang dibuat antara pihak pelaku usaha dengan konsumen juga merupakan undang-unfang bagi para pihak yang membuatnya dan dapat juga
memberikan perlindungan hukum kepada konsumen perumahan dan pemukiman. Di dalam melakukan suatu transaksi baik itu transaksi jual beli, sewa
menyewa, dan utang piutang, hal yang paling mendasari terjadinya transaksi tersebut adalah karenanya adanya kesepakatan dari para pihak. Kesepakatan itulah
yang menyebabkan adanya suatu perjanjian. Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa :
“Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
42
http:alghif.wordpress.com20101020permasalahan-ruu-perumahan-dan- pemukiman , diakseskan tanggal 12 Februari 2011.
Universitas Sumatera Utara
kedua belah pihak saling mengikatkan diri satu sama lain, sehingga mempunyai hak dan kewajiban yang bertimbal balik.
Selain itu di dalam membuat suatu perjanjian, para pihak harus telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH
perdata. Syarat sah dalam suatu perjanjian, yaitu: 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3.
Suatu hal tertentu; 4.
Suatu sebab yang halal. Apabila syarat-syarat tersebut diatas jika tidak terpenuhi syarat nomor
1dan nomor 2 maka perjanjian dapat dibatalkan sedangkan jikasyarat nomor 3 dan 4 tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Hal penting dalam membuat isi dari perjanjian tersebut juga harus memiliki itikad baik sebab isi dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan
menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata yang isinya adalah semua persetujuan yang dibuat sesuai
dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dengan diberlakukannya Pasal 1338 KUH Perdata tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya suatu masalah dikemudian hari oleh para pihak yang
membuat suatu perjanjian. Namun hal ini sering tidak diperhatikan oleh para
Universitas Sumatera Utara
pihak yang membuat perjanjian sehingga sering bermunculan masalah mengenai terhadap perjanjian yang dibuat. Masalah yang sering muncul tidak lain dari hal
wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak. Oleh karena itu apabila terjadi hal seperti itu, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi terhadap
pihak yang telah melanggar isi dari perjanjian. Hal ini sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita lihat perlindungan hukum kepada konsumen perumahan dan pemukiman telah diberikan dalam peraturan
perundang-undangan, yaitu, UUPK dan UU No.4 tahun 1992 serta dalam perjanjian yang dibuat sendiri oleh konsumen dan pelaku usaha perumahan dan
pemukiman, yang berdasarkan Pasal 1338 ayat 1 suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI
PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN
A. Isi perjanjian jual beli perumahan dan pemukiman