Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan MSDs

6.3. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan MSDs

6.3.1. Hubungan antara Risiko Pekerjaan dengan Keluhan MSDs

Hasil analisis hubungan antara pekerjaan dengan keluhan MSDs di bagian Fabrikasi PT. Caterpillar Indonesia, Cileungsi 2010 diperoleh bahwa dari 39 pekerja dengan risiko pekerjaan sedang dan mengalami keluhan MSDs ringan adalah sebesar

31 orang (79,5%), sedangkan dari 36 pekerja dengan risiko pekerjaan rendah dan mengalami keluhan MSDs ringan adalah sejumlah 27 orang (75%). Berdasarkan hasil uji chi-square (tabel 5.9) diperoleh p value 0,000 (< 0,05) hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor pekerjaan dengan keluhan MSDs. Dari 75 welder , 85,2% welder yang bekerja di bagian Fabrikasi PT. Caterpillar Indonesia mengalami keluhan MSDs. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendra dan Raharjo (2008) bahwa 83,7% pekerja merasakan keluhan MSDs pada leher dan punggung bawah dengan skor risiko pekerjaan (REBA) 8-10/ high risk .

Menurut Grandjen (1993), keluhan MSDs terjadi karena sikap kerja tidak alamiah yang menyebabkan bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiahnya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi, semakin tinggi pula terjadi keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah pada umumnya karena Menurut Grandjen (1993), keluhan MSDs terjadi karena sikap kerja tidak alamiah yang menyebabkan bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiahnya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi, semakin tinggi pula terjadi keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah pada umumnya karena

punggung ataupun leher yang melebihi 20 0 , jongkok, membungkuk dan posisi pengelasan di atas kepala/ overhead (Neville Santon 2005).

Menurut supervisior di bagian Fabrikasi WTD, keadaan di atas terjadi karena beberapa workshop belum memiliki meja kerja sehingga pekerja harus melakukan pengelasan secara bebas dan tidak dapat dipungkiri jika mereka bekerja dengan posisi-posisi yang berisiko untuk menimbulkan keluhan MSDs. Selain postur kerja yang tidak alamiah, keluhan MSDs akan meningkat bila dalam pekerjaan melakukan gerakan berulang dengan beban yang berat. Menurut Buckle (2005), beban yang diperbolehkan untuk diangkat secara manual dikategorikan menjadi 4 bagian yaitu ringan (≤ 5 kg), sedang (6 - 10 kg), berat (11 – 20 kg) dan sangat berat (≥ 21 kg). Sedangkan berat alat kerja yang digunakan dengan satu tangan dikategorikan menjadi

3 yaitu, low (< 1 kg), medium (2 - 4 kg) dan high (> 4 kg), sehingga dapat disimpulkan semakin berat alat yang digunakan dengan intensitas yang tinggi (sering) maka akan semakin meningkatkan risiko untuk mengalami MSDs. Hasil survei oleh European Campaign On Musculoskeletal Disorders terhadap 235 juta pekerja di beberapa negara Eropa pada tahun 2008, diperoleh 18% pekerja telah mengalami MSDs diakibatkan pekerjaan memindahkan benda berat dari container setiap hari.

Berdasarkan standar QEC, berat alat kerja yang digunakan termasuk kategori high , hal tersebut dapat dilihat dari alat kerja seperti gerinda yang memiliki berat sampai 4,5 kg dan alat pengencang baut yang memiliki berat mencapai 15 kg.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari supervisior di bagian Fabrikasi, perusahaan menginstruksikan kepada pekerja yang akan mengangkat benda dengan Berdasarkan informasi yang diperoleh dari supervisior di bagian Fabrikasi, perusahaan menginstruksikan kepada pekerja yang akan mengangkat benda dengan

Gambar 6.3.

Penggunaan alat kerja yang beratnya mencapai 15 kg

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Seluruh pekerjaan yang ada di bagian Fabrikasi PT. Caterpillar Indonesia telah memiliki standard work sheet (SWS) guna memudahkan pekerja dalam pencapaian target produksi. SWS tersebut mengatur setiap detail pekerjaan yang akan dikerjakan, sehingga setiap pekerja dituntut harus dapat melakukan pekerjaannya sesuai target serta dengan mempertimbangkan keselamatan pekerja. Namun melihat beratnya pekerjaan yang dilakukan di bagian Fabrikasi, risiko untuk terkena MSDs tetap tidak dapat dihilangkan hingga 0%, Hal tersebut dapat dikarenakan tidak ada pekerjaan yang tidak memiliki risiko, apalagi jenis pekerjaan yang ada adalah pembuatan komponen dasar alat berat yang mayoritas berbahan dasar dari baja sehingga diperlukan tenaga yang ekstra & ketahanan fisik yang baik dalam mengerjakannya.

Oleh karena itu, melihat besarnya dampak yang muncul maka perusahaan dapat menerapkan sistem job rotation dan perusahaan menghimbau kembali kepada Oleh karena itu, melihat besarnya dampak yang muncul maka perusahaan dapat menerapkan sistem job rotation dan perusahaan menghimbau kembali kepada

Hal tersebut sesuai dengan teori yang disebutkan dalam Parkes et al. (2005) bahwa otot yang tegang dapat dipulihkan apabila ada jeda waktu istirahat yang digunakan untuk peregangan otot. Selain himbauan untuk beristirahat, perusahaan juga menyediakan back support yang berfungsi menyokong pinggang dan punggung guna menghindari risiko ketika dalam posisi membungkuk. Akan tetapi banyak pekerja yang tidak memakainya karena merasa kurang nyaman dan ruang geraknya terbatas ketika bekerja. Adapun jenis back support yang biasa digunakan adalah sebagai berikut :

Gambar 6.4. Back Support

Sumber : www.ergoweb.com

6.3.2. Hubungan antara Usia dengan Keluhan MSDs

Menurut Bridger (1995), sejalan dengan meningkatnya usia akan terjadi degenerasi pada tulang dan keadaan ini mulai terjadi degenerasi berupa kerusakan Menurut Bridger (1995), sejalan dengan meningkatnya usia akan terjadi degenerasi pada tulang dan keadaan ini mulai terjadi degenerasi berupa kerusakan

Hasil analisis hubungan antara faktor usia dengan keluhan MSDs di bagian Fabrikasi PT. Caterpillar Indonesia menyebutkan bahwa kelompok pekerja yang memiliki keluhan MSDs berat (9,4%) berusia rata-rata 36 tahun, sedangkan mereka yang memiliki keluhan MSDs ringan (77,3%) berusia rata-rata 31 tahun. Lain halnya dengan kelompok pekerja dengan kategori tidak ada keluhan MSDs (13,3%) memiliki rata-rata usia 28 tahun. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa keluhan MSDs akan meningkat secara linear sesuai dengan bertambahnya usia.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori yang terdapat dalam Oborne (1995) bahwa keluhan otot skeletal biasanya dialami seseorang pada usia kerja yaitu 24-65 tahun dan keluhan pertama biasa dialami pada usia 35 tahun serta tingkat keluhan akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Sedangkan teori yang disebutkan oleh Bridger (2003) bahwa sejalan dengan meningkatnya usia akan terjadi degenerasi pada tulang dan keadaan ini mulai terjadi di saat seseorang berusia 30 tahun. Pada usia 30 tahun terjadi degenerasi yang berupa kerusakan jaringan, penggantian jaringan menjadi jaringan parut, pengurangan cairan sehingga hal tersebut menyebabkan stabilitas pada tulang dan otot menjadi berkurang.

Berdasarkan hasil uji statistik (tabel 5.10) diperoleh p value 0,116 (>0,05) hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara usia pekerja dengan keluhan MSDs. Tidak adanya hubungan dimungkinkan karena pekerja yang memiliki usia dibawah umur rata-rata untuk terkena keluhan MSDs (31 tahun), lebih banyak yang Berdasarkan hasil uji statistik (tabel 5.10) diperoleh p value 0,116 (>0,05) hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara usia pekerja dengan keluhan MSDs. Tidak adanya hubungan dimungkinkan karena pekerja yang memiliki usia dibawah umur rata-rata untuk terkena keluhan MSDs (31 tahun), lebih banyak yang

6.3.3. Hubungan antara Masa Kerja dengan Keluhan MSDs

Masa kerja merupakan faktor risiko dari suatu pekerja yang terkait dengan lama bekerja. Dapat berupa masa kerja dalam suatu perusahaan dan masa kerja dalam suatu profesi tertentu. Masa kerja merupakan faktor risiko yang sangat mempengaruhi seseorang untuk meningkatkan risiko terjadinya MSDs, terutama untuk jenis pekerjaan yang menggunakan kekuatan kerja yang tinggi.

Berdasarkan hasil analisis antara faktor masa kerja dengan keluhan MSDs di bagian Fabrikasi PT. Caterpillar Indonesia menunjukkan bahwa kelompok pekerja yang memiliki keluhan MSDs berat sebanyak 9,4% memiliki masa kerja rata-rata 170,3 bulan (14 tahun), sedangkan kelompok dengan keluhan MSDs ringan sebanyak 77,3% memiliki masa kerja rata-rata 82 bulan (7 tahun). Lain halnya dengan kelompok pekerja dengan kategori tidak ada keluhan MSDs (13,3%) memilki rata- rata masa kerja 36 bulan (3 tahun). Hasil penelitian tersebut menunjukkan keluhan MSDs berbanding lurus dengan bertambahnya masa kerja. Hasil di atas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Ohlssson et al (1989) bahwa keluhan MSDs akan semakin bertambah ketika masa kerja seseorang bertambah juga kejenuhan baik secara fisik maupun secara psikis.

Berdasarkan hasil uji statistik (tabel 5.11) diperoleh p value 0,002 (< 0,05) hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara masa kerja pekerja dengan keluhan MSDs yang dialami mereka. Hasil yang sama didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Octarisya (2009) bahwa 66,7% pekerja yang memiliki masa kerja >

15 tahun telah mengalami MSDs lebih berat dibandingkan dengan mereka dengan masa kerja < 15 tahun sehingga dapat disimpulkan bahwa derajat peningkatan keluhan MSDs semakin meningkat ketika masa kerja seseorang semakin lama, karena semakin lama seseorang bekerja tentunya akan menerima risiko yang lebih besar jika dibandingkan dengan pekerja yang baru.

Hal ini dapat dimungkinkan perusahaan menerapkan program K3 terkait ergonomi baru pada pertengahan tahun 2008 ( safety ergonomic ), sehingga pekerja itu cukup lama tidak mendapatkan program ergonomi dari awal bekerja. Untuk memperkecil risiko keluhan MSDs pada pekerja, perusahaan dapat melakukan job rotation guna menghindari stress pada otot tubuh akibat pekerjaan yang monoton.

6.3.4. Hubungan antara Indeks Masa Tubuh dengan Keluhan MSDs

Kaitan IMT dengan MSDs adalah semakin gemuk seseorang maka bertambah besar risikonya untuk mengalami MSDs. Hal ini disebabkan karena seseorang yang mengalami kelebihan berat badan akan berusaha menyangga berat badan dari depan dengan mengontraksikan otot punggung bawah. Dan bila ini berlanjut terus menerus, akan meyebabkan penekanan pada bantalan saraf tulang belakang yang dapat mengakibatkan hernia nucleus pulposus (Tan HC dan Horn SE. 1998).

Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan p value sebesar 0,941 (> 0,05) sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara indeks masa tubuh dengan keluhan MSDs pada welder di bagian Fabrikasi PT.Caterpillar Indonesia pada tahun

2010. Hasil uji diperoleh bahwa sebagian besar pekerja memiliki IMT normal dan mengalami keluhan MSDs ringan yaitu sejumlah 26 pekerja.

Hasil penelitan di atas tidak sama dengan hasil penelitian Karuniasih (2009) yang meneliti 52 orang supir bus travel, yaitu sejumlah 90,4% keluhan MSDs dialami oleh supir bus yang memiliki indeks masa tubuh berlebih ( overweight ) ataupun obesitas.

Secara teori, IMT merupakan faktor yang berhubungan dengan munculnya keluhan MSDs, namun pada hasil penelitian kali ini diperoleh hasil yang berbeda. Ketidaksesuaian tersebut dapat dimungkinkan pekerja yang diteliti memiliki rata-rata

IMT normal yaitu sebesar 23,08 kg 2 /m (IMT < 25). Kemungkinan lainnya adalah pekerja memiliki masa kerja di bawah rata-rata untuk mengalami keluhan MSDs (7

tahun). Selain itu, responden yang mengalami obesitas tidak merasakan keluhan dapat disebabkan karena mereka melakukan olahraga di luar jam kerja seperti di akhir pekan. Hal ini didukung pula dari uji crosstab antara variabel IMT dengan kesegaran jasmani, dimana pekerja yang mengalami obesitas dan memiliki kesegaran jasmani cukup, jumlahnya lebih banyak daripada pekerja yang memiliki kesegaran jasmani kurang.

6.3.5. Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan Keluhan MSDs

Kebiasaan merokok terkait erat antara meningkatnya keluhan otot dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuannya untuk meng-konsumsi oksigen akan menurun. Selain itu, masuknya karbon monoksida dari rokok ke dalam aliran darah akan mengikat sel darah pembawa oksigen lebih kuat sehingga transportasi oksigen Kebiasaan merokok terkait erat antara meningkatnya keluhan otot dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuannya untuk meng-konsumsi oksigen akan menurun. Selain itu, masuknya karbon monoksida dari rokok ke dalam aliran darah akan mengikat sel darah pembawa oksigen lebih kuat sehingga transportasi oksigen

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p sebesar 0,044 (< 0,05), hal ini menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan munculnya keluhan MSDs yang dialami oleh welder di bagian Fabrikasi PT. Caterpillar Indonesia. Melihat data di atas dapat diketahui bahwa pekerja yang mengalami keluhan MSDs berat dan memiliki kebiasaan merokok ringan adalah sejumlah 1 orang (3,3%), sedangkan pekerja yang memiliki kebiasaan merokok sedang lebih banyak mengalami keluhan MSDs berat yaitu sebesar 4 orang (50%).

Menurut The Surgeon General’s Advisory Group on Smoking and Health dalam Bustan (2008), menyebutkan bahwa kausa haruslah ditemukan lebih sering pada penderita dibanding dengan dengan yang tidak menderita, orang-orang yang terpapar harus lebih banyak ditemukan daripada yang tidak terpapar dan insiden penyakit meningkat sesuai peningkatan lama dan tingginya dosis keterpaparan.

Berdasarkan hasil survey oleh Annuals of Rheumatic Diseases dalam Croasmun (2003), diperoleh hubungan antara perokok dengan munculnya keluhan MSDs dan dilaporkan bahwa perokok memiliki risiko 50 % lebih besar untuk merasakan MSDs. Meningkatnya frekuensi merokok akan meningkatkan keluhan otot yang dirasakan. Meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Hal tersebut dikarenakan kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuannya untuk mengkonsumsi oksigen akan me-nurun. Bila orang tersebut dituntut untuk melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah dan akhirnya efek rokok akan menciptakan respon rasa sakit atau Berdasarkan hasil survey oleh Annuals of Rheumatic Diseases dalam Croasmun (2003), diperoleh hubungan antara perokok dengan munculnya keluhan MSDs dan dilaporkan bahwa perokok memiliki risiko 50 % lebih besar untuk merasakan MSDs. Meningkatnya frekuensi merokok akan meningkatkan keluhan otot yang dirasakan. Meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Hal tersebut dikarenakan kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuannya untuk mengkonsumsi oksigen akan me-nurun. Bila orang tersebut dituntut untuk melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah dan akhirnya efek rokok akan menciptakan respon rasa sakit atau

Berdasarkan hasil temuan di lapangan, perusahaan memberlakukan kebijakan mengenai larangan merokok di area sekitar perusahaan. Sangsi bagi mereka yang melanggar larangan merokok tersebut berupa Putus Hubungan Kerja (PHK). Larangan merokok tersebut ditujukan untuk menghindari bahaya yang disebabkan oleh rokok tersebut seperti ledakkan, kebakaran ataupun bahaya kesehatan seperti jantung dan gangguan paru-paru, sehingga bagi pekerja yang perokok akhirnya lebih memilih untuk merokok di luar area perusahaan. Hasil temuan lainnya, terdapat beberapa pekerja yang merokok secara sembunyi-sembunyi di dalam pabrik. Padahal tindakan merokok secara sembunyi-sembunyi di dalam pabrik sangatlah berisiko baik itu dari sisi keselamatan kerja maupun karir pekerjaannya di perusahaan. Melihat fakta tersebut, sehingga kemungkinan besar pekerja untuk memiliki risiko keluhan MSDs yang diakibatkan oleh kebiasaan merokok semakin besar.

Selain itu, dimungkinkan bagi mereka yang tidak merokok bukan berarti akan terhindar untuk mengalami keluhan MSDs. Hal ini dapat disebabkan mereka telah terpapar asap rokok dari rekan kerja atau lingkungan tempat tinggalnya. Oleh karena itu, bagi pekerja yang merokok sebaiknya diberikan informasi mengenai besarnya dampak yang ditimbulkan dari kebiasaan merokok. Dan demi menjaga kesehatan para pekerjanya yang merupakan salah satu aset utama, maka perusahaan seharusnya dapat menyelenggarakan pelatihan quit smoking ataupun pelatihan lainnya yang bertujuan untuk mengurangi kebiasaan merokok sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan dan produktivitas pekerjanya.

6.3.6. Hubungan antara Kesegaran Jasmani dengan Keluhan MSDs

Pada umumnya keluhan otot jarang dialami oleh seseorang yang dalam aktifitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk beristirahat dan berolahraga. Sebaliknya, bagi yang dalam pekerjaan kesehariannya memerlukan tenaga besar dan tidak cukup istirahat akan lebih sering mengalami keluhan otot. Tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot (Mitchell, 2008).

Berdasarkan hasil analisis bivariat diperoleh p value sebesar 0.000 (< 0,05) hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kesegaran jasmani dengan keluhan MSDs yang dialami oleh welder pada bagian Fabrikasi di PT.Caterpillar Indonesia. Dari hasil penelitan di atas didapatkan bahwa paling banyak pekerja adalah yang kurang melakukan olahraga dan memiliki keluhan MSDs ringan yaitu sejumlah 41 orang (54,7%). Sedangkan pekerja paling sedikit adalah yang kurang melakukan olahraga tapi tidak memiliki keluhan MSDs yaitu satu orang (1,3%).

Hasil penelitian di atas sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Evans (1996) terhadap 10 pekerja bahwa olahraga telah terbukti efektif meningkatkan daya tahan otot tubuh. Hal ini dapat dilihat karena adanya kenaikan 128 % kapasitas oksigen pada otot akibat olahraga yang dilakukan setiap hari selama 12 pekan. Sebaliknya menurut WHO, kurangnya aktifitas fisik dapat menyebabkan menurunnya kesehatan tubuh yang selanjutnya dapat mempertinggi frekuensi sakit dan akhirnya memperpendek umur. Hal tersebut berdasarkan hasil survey di Amerika bahwa tercatat 250,000 jiwa melayang setiap tahun hanya karena gaya hidup pasif. berdasarkan penelitian epidemiologi olahraga yang dilakukan oleh Monica Optional Study of Activity (MOSPA) menunjukkan bahwa seseorang yang Hasil penelitian di atas sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Evans (1996) terhadap 10 pekerja bahwa olahraga telah terbukti efektif meningkatkan daya tahan otot tubuh. Hal ini dapat dilihat karena adanya kenaikan 128 % kapasitas oksigen pada otot akibat olahraga yang dilakukan setiap hari selama 12 pekan. Sebaliknya menurut WHO, kurangnya aktifitas fisik dapat menyebabkan menurunnya kesehatan tubuh yang selanjutnya dapat mempertinggi frekuensi sakit dan akhirnya memperpendek umur. Hal tersebut berdasarkan hasil survey di Amerika bahwa tercatat 250,000 jiwa melayang setiap tahun hanya karena gaya hidup pasif. berdasarkan penelitian epidemiologi olahraga yang dilakukan oleh Monica Optional Study of Activity (MOSPA) menunjukkan bahwa seseorang yang

Melihat hasil penelitian di PT. Caterpillar Indonesia di atas bahwa masih banyak pekerja yang tidak melakukan senam pagi dengan ritun di perusahaan atau bahkan ada yang sama sekali tidak melakukan senam. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pengawasan, selain itu pekerja belum memiliki kesadaran bahwa senam pagi yang diadakan perusahaan dapat meningkatkan derajat kesehatan pekerja dan memperkecil risiko munculnya keluhan MSDs.

Pada umumnya keluhan MSDs dialami oleh seseorang yang dalam aktifitas kesehariannya tidak mempunyai cukup waktu untuk beristirahat dan jarang berolahraga. Tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot. Olahraga secara rutin dapat meningkatkan alirahan darah ke otot, tendons dan ligament sehingga dapat membantu meningkatkan nutrisi pada sel. Adapun gambar dari kegiatan senam pagi yang dilakukan di PT.Caterpillar Indonesia dapat dilihat pada gambar 6.4.

Berolahraga dapat meningkatkan temperatur, meningkatkan metabolisme dan tingginya kadar oksigen darah. Sehingga lama kelamaan otot tubuh akan menjadi kuat dan menambah daya tahan serta menghindari kelelahan otot. Olahraga juga dapat memberikan struktur tulang yang kuat dan stabil serta mencegah terjadinya cidera. Hal tersebut tertuang dalam Undang-undang UU.23/1992 tentang kesehatan pasal 46 bahwa dengan olahraga atau latihan jasmani yang benar akan dicapai tingkat kesegaran jasmani yang baik dan merupakan modal penting dalam peningkatan prestasi.

Gambar 6.5.

Kegiatan senam pagi di PT.Catepillar Indonesia pada tahun 2010

Sumber: Dokumentasi Peneliti