102
“Look, Mr. Farley. She lowered her voice. I heard you whispering and tittering with my brother – in low upstairs”.
“I think I have a pretty good idea of that was all about, so why don’t you just leave unpacking to me and my girls and take your leave? I’m not the
kind of women you think I am, and you’re not going any advantage by hanging around here acting indispensable”. Hal 57
4.11 Pendidikan : Akses untuk Meningkatkan Etos Kerja Tinggi Roberta
Simbol Perempuan Pembangunan
Dalam pandangan konservatif-primordialistis, perempuan terutama perempuan yang menyandang status cerai janda dikategorikan sebagai kaum
marginal, artinya mereka adalah kaum lemah yang hanya boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik serta mengabdikan diri sepenuhnya kepada suami.
Stigma bahwa perempuan yang berstatus janda tidak saja mendatangkan aib bagi keluarga, tapi juga mengundang rasa keprihatinan dan ”ketakutan” bagi keluarga
dekat tentang siapa yang akan menolong dan bagaimana caranya harus menolong permasalahan ekonomi. Ketakutan dan kekhawatiran seperti itu dirasakan oleh Ibu
Roberta dan kakaknya Grace. Untuk itu Roberta dianjurkan untuk bekerja saja di pabrik wol yang ada di kampung halamannya bersama tiga 3 putrinya sehingga
mampu menghasilkan uang untuk menghidupi keluarganya ketimbang harus bekerja sebagai bidan keliling. Namun, Roberta tetap saja bersikukuh dan
berkomitmen untuk menunjukkan jati dirinya bahwa perempuan yang berstatus cerai apabila memiliki latar belakang pendidikan yang memadai mampu
membuktikan dirinya untuk bersaing dengan kaum laki-laki. Pendidikan membuat Roberta mampu untuk berkiprah dalam kancah pembangunan dan menjadikan
103
perempuan sebagai simbol perempuan pembangunan. Roberta mampu menampilkan prestasi kerja atau etos kerja yang tinggi sama seperti kinerja yang
ditampilkan oleh kaum laki-laki. Etos kerja yang tinggi sebagaimana ditampilkan Roberta membuktikan
bahwa perempuan yang berstatus cerai tidak dapat dipandang remeh oleh kaum laki-laki dan mereka siap menyongsong kedatangan era
modernisasiindustrialisasi serta menunjukkan jati dirinya sebagai wanita sejati yang tidak terus tenggelam dalam kubangan marginalisasi. Roberta ingin
menggugah kaum perempuan di komunitas Camden untuk menjadikan pendidikan sebagai akses untuk keluar dari keterbelakangan. Namun, komunitas Camden
yang telah mapan dengan pandangan konservatif belum juga bangkit dari keadaan yang memprihatinkan itu. Roberta masih harus terus berjuang agar komunitas
Camden dapat menerima pendidikan sebagai solusi untuk mengatasi segala persoalan yang mendera mereka. Perjuangan Roberta ditunjukkan melalui profesi
bidan keliling yang sedang dilakoninya.
5. That Camden Summer: Pertarungan Dua Kekuatan Modernisasi vs
Tradisional Konservatif
Novel That Camden Summer tidak saja mengusung tema utama perceraian dan peran single-parent yang dilakoni Roberta Jewett. Tema tambahan yang
disosialisasikan oleh pengarang La Vyrle Spencer adalah pertarungan antara dua kekuatan yaitu modernisasi dan tradisional konservatif. Pengertian modernisasi
tidak saja merujuk kepada teknologi, atau industrialisasi, tetapi nilai-nilai
104
substantif yang menyertai kedua revolusi itu yaitu demokrasi dan sekularisasi Goode, 2004: 2. Sementara yang terkandung dalam revolusi Perancis dan
industrialisasi. Lebih jauh modernisasi dapat dijelaskan sebagai pandangan atau filsafat
hidup yang tumbuh dan berkembang di dalam suatu komunitas tertentu. Ciri-ciri pandangan atau filsafat modern adalah sikap hidup aktif, mandiri, berpisah dari
agama, mengagungkan budi, sejak renaissance, manusia menguasai alam, kebebasan hidup, pandangan tajam dan rapi, sebaliknya pandangan konservatif
atau tradisional bercirikan sikap hidup lebih pasif, belum mandiri, menyatu dengan agama, mengutamakan intuisi, hati mempertemukan budi dengan intuisi,
manusia bagian dari alam, semua terikat oleh dunia jasmani, martabat manusia, perumusannya kurang tajam. Setiarja, 2000: 17.
Roberta Jewett merupakan representasi dari sebuah modernisasi. Sementara komunitas Camden merupakan representasi dari sebuah pandangan
tradisional. Perceraian dan peran single parent yang dibawa Roberta dari kota metropolis merupakan produk atau buah dari apa yang disebut dampak revolusi
Perancis dan industrialisasi. Di sini sisi lain Roberta ingin mensosialisasikan bahwa arus modernisasi atau sindrom modernisasi yang sedang bergentayangan di
mana-mana termasuk akan melanda kampung halamannya yang tercinta. Nilai- nilai demokrasi dan sekularisasi akan membanjiri setiap peradaban dan
menawarkan pilihan-pilihan baru untuk menggantikan nilai-nilai lama yang dianggap telah usang.
105
Sosok Roberta adalah simbol modernisasi. Dia menyikapi perceraian dengan tetap tegar, tidak tenggelam dalam kekecewaan. Perceraian dipandang
sebagai sebuah pengalaman baru. Perceraian menjadikan seseorang lebih mandiri. Perceraian adalah persoalan pribadi. Lembaga agama diminta harus bersikap
fleksibel dalam merumuskan persoalan-persoalan perkawinan-perceraian. Budi atau logika harus dipakai dalam menilai atau mengamati sesuatu pandangan-
pandangannilai-nilai seperti ditawarkan Roberta ketika dia kembali ke kampung halamannya.
Dalam konteks kultural dapat diinterpretasi bahwa Roberta sedang mengusung nilai-nilai transparansi ke Camden, kampung halamannya. Dentuman
modernisasi sedang menggiring nilai-nilai baru dengan muatan pendukungnya untuk berdialog dengan nilai-nilai lama. Penetrasi aneka dimensi baru dan asing
tidak bisa dibendung. Pelbagai nilai lama yang telah mapan memperoleh kesangsian yang dahsyat dengan mencuatnya tawaran-tawaran nilai-nilai baru
yang menggiurkan. Komunitas Camden sedang diingatkan dan ditantang Roberta bahwa penyusupan pola baru sedang berlangsung. Mereka dihadapkan pada
pilihan yang sangat dilematis dalam menyikapinya.
106
BAB 4 P E N U T U P
4.1. Simpulan
Novel That Camden Summer mengusung substansinilai-nilai sosial pada zamannya, bahkan tema sosial Perceraian dan Peran – Single Parent merupakan
tema universal yang menyiratkan cerminangambaran ketimpangan sosial yang masih relevan pada abad ini. Roberta Jewett, tokoh utama dalam novel ini dapat
disebut sebagai perempuan “militant” yang berani mengambil keputusan perceraian terhadap suaminya dan menerima segala risiko dan
konsekunsekuensinya . Keputusan itu diambil ketika dia memandang bahwa perkawinan itu bersifat sakral karena merupakan amanah Sang Ilahi serta
dibangun di atas cinta sejati dan komitmen yang tinggi. Cinta sejati dan komitmen yang kuat merupakan konvensi atau amanah yang bersifat mengikat dua 2 insan
anak manusia dalam perkawinan. Perkawinan yang dibangun dengan cinta bukan berarti luput dari terpaan
gelombang dahsyat, namun kelanggengan perkawinan tergantung sepenuhnya kepada komitmen pasangan suami-istri yang mengikrarkan janji itu. Cinta, dan
komitmen yang kuat akan tumbang bila digerogoti berbagai cobaan bahkan membawa malapetaka ketika salah satu pasangan itu tidak lagi setia atau berpaling
dari janjikomitmen yang pernah diikrarkan. Janjikomitmen dapat direvitalisasi sepanjang ada kemauan dan keikhlasan antara dua 2 belah pihak untuk
mengembalikan kepercayaan serta merajut kembali sobekan atau keretakan yang terjadi . Sebaliknya, komitmen dan cinta sejati akan kehilangan daya penyangga