Analisis konsistensi pola pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang (studi kasus kota Palu)

(1)

ANALISIS KONSISTENSI POLA PEMANFAATAN RUANG

DENGAN RENCANA TATA RUANG

(Studi Kasus Kota Palu)

OLEH:

SUCI RACHMAWATY A253050231

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Konsistensi Pola Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Tata ruang adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

SUCI RACHMAWATY NRP A253050231


(3)

ABSTRAK

SUCI RACHMAWATY. Analisis Konsistensi Pola Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Tata Ruang (Studi Kasus: Kota Palu). Dibimbing oleh SUDARSONO dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.

Pertambahan jumlah penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun mengakibatkan kebutuhan akan ruang/lahan meningkat sedangkan dilain pihak ketersediaan ruang/lahan terbatas. Oleh karena itu jika dalam perkembangan suatu wilayah, ruang/lahan yang ada tidak diatur dengan baik maka akan terjadi berbagai benturan kepentingan antar aktivitas yang berdampak pada persaingan dalam penggunaan lahan. Hal ini terlihat dari terkonversinya lahan pertanian yang diperuntukkan dalam RTRW menjadi lahan terbangun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penggunaan lahan tahun 1998 dan 2006 dan mengidentifikasi penyebab terjadinya konsistensi dan inkonsistensi pemanfaatan lahan terhadap RTRW. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis penggunaan lahan, tabulasi silang (koefisien Cramer’s V dan Koefisien Kappa) and wawancara (deskriptif).

Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa penggunaan lahan yang terbesar pada tahun 2006 adalah kebun/tegalan sebesar 42.38% sedangkan penggunaan lahan yang terkecil adalah kawasan pertambangan sebesar 0.001% dari luas administrasi Kota Palu. Berdasarkan hasil crosstabulasi antara peta penggunaan lahan tahun 2006 dan peta RTRW diperoleh nilai Koefisien Kappa 0,53 dan nilai Cramer’s V 0,52; antara peta penggunaan lahan tahun 1998 dan RTRW diperoleh nilai koefisien kappa 0.5 dan nilai Cramer’s V 0.5; dan antara peta penggunaan lahan tahun 2006 dan peta penggunaan lahan tahun 1998 diperoleh nilai koefisien Kappa 0,57 dan nilai Cramer’s V 0,64. Hasil cross tabulasi menunjukkan nilai ≥ 0.5. Artinya bahwa antar peta yang ditumpang tindihkan penggunaan lahannya ≥ 50% adalah sama. Dengan kata lain terjadi penyimpangan penggunaan lahan yang cukup besar yaitu ≥ 50%.

Hasil tumpang tindih peta RTRW, peta penggunaan lahan tahun 2006, dan peta penggunaan lahan tahun 1998 diperoleh 5 bentuk konsistensi yaitu sangat konsisten, konsisten tidak sengaja, inkonsisten tidak sengaja, inkonsisten sengaja, dan sangat tidak konsisten. Hasil kuisioner menunjukkan bahwa umumnya pengetahuan responden pada RTRW sangat rendah (kurangnya sosialisasi). Hal ini didukung juga dengan hasil kuisioner yang menunjukkan bahwa hampir semua pelaku pengguna lahan tidak tahu lahan mereka direncanakan untuk apa dalam RTRW. Hasil kuisioner juga menunjukkan bahwa penggunaan lahan masih ditentukan keinginan responden sebagai pemilik lahan (tidak mengacu pada RTRW).


(4)

ABSTRACT

SUCI RACHMAWATY. The Consistency Analysis between Land use pattern and Land Use Planning (A Case Study in Palu). Supervised by SUDARSONO as the chairman, DWI PUTRO TEJO BASKORO as the member of advisory committee.

The keep increasing population from year to year has brought about in increasing the need of land. Meanwhile the availability of land is relatively limited. The situation may cause many conflict of interest among land user that will in turn, cause many land use inconsistency toward RTRW.

The research purposes were to identify land use pattern in 1998 and 2006 and to identify the cause of inconsistency land use in RTRW. Method of this research were Land use analysis, Cross tabulation (Cramer’s V Coefficient and Kappa Coefficient) and interview (descriptive).

Base on the analysis, the use of biggest farm in 2006 is garden / non irrigated dry field which equal was to 42.38% while the use of smallest farm was the area of mining that was 0.001% of administration area of Palu city. Based on the cross-tabulation between land use map in 2006 and RTRW map, Coefficient Kappa value was 0.53 and Cramer’s V value was 0.52; between land use map in 1998 and RTRW map, Coefficient Kappa value was 0.5 and Cramer’s V value was 0.5; and between land use map in 1998 and land use map in 2006, Coefficient Kappa value was 0.57 and Cramer’s V value was 0.64. Cross Tabulation result showed value ≥ 0.5. It means that ushering the map which is joined with others overlap its farm use ≥ 50%. In other words, the deviation of farm use is wide enough that is about 50%.

Based on Cross tabulation between land use in 1998, land use in 2006 and RTRW, it had been found 5 forms of consistencies. There were very consistence, unintended consistency, unintended inconsistency, intended inconsistency, very inconsistency. The result of questioner showed the knowledge of society about RTRW generally was low because of less socialization to society. The results of interview also showed that almost all the land user did not know what their land was planned in RTRW. The results of questionnaire and interview showed that the use of land was determined by the land owner (did not relate to RTRW.)


(5)

SUCI RACHMAWATY. Analisis Konsistensi Pola Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Tata Ruang (Studi Kasus: Kota Palu). Dibimbing oleh SUDARSONO dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.

Ringkasan

Pertambahan jumlah penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun mengakibatkan kebutuhan akan ruang/lahan meningkat sedangkan dilain pihak ketersediaan ruang/lahan terbatas. Oleh karena itu jika dalam perkembangan suatu wilayah, ruang/lahan yang ada tidak diatur dengan baik maka akan terjadi berbagai benturan kepentingan antar aktivitas yang berdampak pada persaingan dalam penggunaan lahan. Hal ini terlihat dari terkonversinya lahan pertanian yang diperuntukkan dalam RTRW menjadi lahan terbangun.

Lahan-lahan pertanian di areal perkotaan umumnya beralih fungsi menjadi areal-areal pemukiman dan perdagangan dan jasa. Hal ini berarti alih fungsi lahan lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi dari suatu lahan (cepatnya memperoleh keuntungan ekonomi). Oleh karena itu pertumbuhan penduduk dan imigrasi hanya menjadi penentu minor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan (CPB 1996, diacu dalam Tjallingii 2000).

Pada RTRW kota Palu, Penggunaan lahan terbagi atas penggunaan lahan untuk kawasan lindung dan untuk kawasan budidaya. Dalam kawasan budidaya selain diperuntukkan untuk kawasan terbangun (permukiman, perkantoran, perdagangan dan jasa) juga diperuntukkan untuk kawasan pertanian (sawah dan kebun). Sebagai ibukota provinsi maka kota Palu menjadi pusat kegiatan sosial maupun ekonomi. Dengan semakin meningkatnya kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomi maka pembangunan fisik (ruang terbangun) juga meningkat. Kondisi ini tentu sangat mendukung terjadinya konversi lahan yang diperuntukkan untuk lahan pertanian (sawah/tegalan) dalam RTRW. Sedangkan dilain pihak sawah maupun tegalan yang diperuntukkan dalam RTRW tersebut walaupun tidak dapat memenuhi kebutuhan hasil pertanian kota Palu secara keseluruhan namun merupakan salah satu bentuk RTH yang dapat menyediakan udara bersih dan segar untuk masyarakat yang berdomisili di Kota Palu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penggunaan lahan tahun 1998 dan 2006 dan mengidentifikasi penyebab terjadinya konsistensi dan inkonsistensi pemanfaatan lahan terhadap RTRW. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis penggunaan lahan, tabulasi silang (koefisien Cramer’s V dan Koefisien Kappa) and wawancara (deskriptif). Analisis penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk penguasaan, penggunaan, dan kesesuaian pemanfaatan lahan untuk kegiatan budidaya dan lindung, tabulasi silang dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan geografis yang dilakukan antar peta RTRW dan peta penggunaan lahan, sedangkan Wawancara dilakukan untuk mengetahui pengetahuan partisipasi masyarakat terhadap RTRW.

Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa penggunaan lahan yang terbesar pada tahun 2006 adalah kebun/tegalan sebesar 42.38% sedangkan penggunaan lahan yang terkecil adalah kawasan pertambangan sebesar 0.001% dari luas


(6)

administrasi Kota Palu. Hasil analisis/superimpose peta RTRW dengan peta kelas lereng menunjukkan bahwa kawasan yang diarahkan dalam RTRW untuk hutan lindung sekitar 44.81% berada pada kelerengan 25-40 % dan sekitar 55.19 % berada pada kelerengan >40 %. Hutan suaka alam sekitar 45.81% berada pada kelerengan 25-40% (Tabel 6). Hutan lindung dan hutan suaka alam termaksud di dalam kawasan lindung yang berfungsi sebagai kawasan resapan air dan kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahan lainnya dan cagar alam/pelestarian alam, dan suaka margasatwa. Sedangkan untuk kawasan hutan produksi terbatas sekitar 40.30% berada pada kelerengan 25-40%. Salah satu kriteria kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi adalah kawasan/lokasi dengan kelerangan 0-40% (landai sampai dengan agak curam). Untuk perkantoran pemerintah dan perdagangan dan jasa direncanakan pada kawasan yang relatif datar yaitu pada kelas kelerengan 0-8%. Sedangkan kawasan permukiman dan fasilitas penunjang berada pada kelerengan 0-15%. Berdasarkan kelas kelerengan, perencanaan tersebut sudah sesuai dengan kriteria kelerengan untuk permukiman yaitu <15%. Kelerengan Sawah dan kebun/tegalan yaitu untuk sawah 0-8% dan kebun/tegalan yaitu berkisar 0-25%.

Berdasarkan hasil crosstabulasi antara peta penggunaan lahan tahun 2006 dan peta RTRW diperoleh nilai Koefisien Kappa 0,53 dan nilai Cramer’s V 0,52; antara peta penggunaan lahan tahun 1998 dan RTRW diperoleh nilai koefisien kappa 0.5 dan nilai Cramer’s V 0.5; dan antara peta penggunaan lahan tahun 2006 dan peta penggunaan lahan tahun 1998 diperoleh nilai koefisien Kappa 0,57 dan nilai Cramer’s V 0,64. Hasil cross tabulasi menunjukkan nilai ≥ 0.5. Artinya bahwa antar peta yang ditumpang tindihkan penggunaan lahannya ≥ 50% adalah sama. Dengan kata lain terjadi penyimpangan penggunaan lahan yang cukup besar yaitu ≥ 50%.

Hasil tumpang tindih peta RTRW, peta penggunaan lahan tahun 2006, dan peta penggunaan lahan tahun 1998 diperoleh 5 bentuk konsistensi yaitu sangat konsisten, konsisten tidak sengaja, inkonsisten tidak sengaja, inkonsisten sengaja, dan sangat tidak konsisten. Lokasi yang sangat konsisten yaitu lokasi-lokasi yang penggunaan lahannya tahun 2006 sesuai dengan penggunaan lahan tahun 1998 dan RTRW, Konsisten sengaja adalah penggunaan lahan tahun 2006 yang sesuai dengan arahan RTRW tetapi berbeda dengan penggunaan lahan tahun 1998, Inkonsisten tanpa sengaja yaitu apabila bentuk penggunaan lahan tahun 1998 dan 2006 sama tetapi tidak sesuai dengan RTRW, Inkonsisten sengaja yaitu penggunaan lahan yang pada tahun 1998 sesuai dengan RTRW tetapi pada tahun 2006 berubah menjadi bentuk penggunaan lahan yang lain, Lokasi yang sangat tidak konsisten merupakan penggunaan lahan yang tidak sama antara penggunaan lahan tahun 1998, RTRW, dan penggunaan lahan tahun 2006.

Kawasan yang sangat konsisten dominan berada di bagian Timur Kota Palu. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut merupakan kawasan yang ditetapkan dalam RTRW menjadi kawasan lindung yaitu hutan lindung dan hutan suaka alam. Kawasan Permukiman dan perdagangan/jasa juga termaksud dalam kawasan-kawasan yang sangat konsisten. Hal ini dikarenakan pada kawasan-kawasan tersebut sudah didukung dengan fasilitas dan utilitas seperti kondisi jalan, PDAM, dan penerangan jalan yang baik. Kawasan yang konsisten sengaja menyebar di bagian timur, selatan dan barat kota Palu. Hal ini dikarenakan adanya


(7)

perkembangan/perubahan penggunaan lahan yang menuju kepada RTRW. Artinya pada kawasan-kawasan tertentu RTRW yang disusun oleh pemerintah sudah dapat mengakomodasi /memprediksi perubahan yang akan terjadi di masyarakat. Perubahan ini juga didukung dengan sudah membaiknya kondisi jalan. Kawasan yang inkonsisten tidak sengaja mendominasi di bagian utara dan bagian barat Kota Palu. Hal ini dikarenakan RTRW direncanakan di atas penggunaan lahan yang berbeda sebelumnya. Artinya bahwa pada kawasan-kawasan tersebut belum terjadinya pembangunan sesuai dengan arahan RTRW. Masyarakat masih mengandalkan lahan mereka sebagai sumber penghasilan (masalah ekonomi). Kawasan yang inkonsistensi sengaja dominan berada di bagian Barat Kota Palu khususnya pada kawasan yang diperuntukkan untuk hutan lindung. Hal ini dikarenakan adanya masyarakat yang tinggal didalam kawasan hutan lindung. Masyarakat membuka hutan untuk bertani dengan sistem nomaden. Kawasan yang sangat tidak konsisten dominan berada di bagian timur dan utara Kota Palu. Hal ini dikarenakan masyarakat pada kawasan-kawasan tersebut masih mengandalkan pertanian sebagai sumber penghasilan mereka. Sehingga lahan-lahan yang berupa hutan atau semak digunakan untuk kebun/tegalan padahal dalam RTRW direncanakan untuk jenis penggunaan lahan yang lain seperti industri dan peternakan.

Hasil kuisioner menunjukkan bahwa umumnya pengetahuan responden pada RTRW sangat rendah (kurangnya sosialisasi). Hal ini didukung juga dengan hasil kuisioner yang menunjukkan bahwa hampir semua pelaku pengguna lahan tidak tahu lahan mereka direncanakan untuk apa dalam RTRW. Hasil kuisioner juga menunjukkan bahwa penggunaan lahan masih ditentukan keinginan responden sebagai pemilik lahan (tidak mengacu pada RTRW).


(8)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(9)

ANALISIS KONSISTENSI POLA PEMANFAATAN RUANG

DENGAN RENCANA TATA RUANG

(Studi Kasus Kota Palu)

SUCI RACHMAWATY

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(10)

”Tesis ini aku persembahkan buat Ibunda Sitti Sanariah dan Ayahanda Yusuf Paada (alm) yang selalu mendukung ananda dalam suka maupun duka. Kepada Ibunda tercinta yang tak pernah lelah mendampingi, ananda haturkan banyak terima kasih, Andai gelar yang ananda peroleh dapat dilekatkan di belakang nama ibunda maka akan ananda lekatkan sebagai rasa terima kasih atas pengorbanan bunda selama ini”.

Allah Always Answer your requesr, Maybe not always with “a yes” but with “the best”. Allah slalu menjawab permintaanmu mungkin tidak slalu dengan “Ya” tapi pasti dengan yang “terbaik”


(11)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Syukur Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah SWT. Karena atas rakhmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini sejak pengumpulan data di lapangan hingga penulisan tesis. Tulisan ini dibuat untuk penyelesaian akhir studi Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor Program Studi Perencanaan Wilayah.

Atas selesainya tulisan ini penulis mengucapkan terma kasih yang tulus kepada :

Bapak Prof. Dr. Ir. Sudarsono. MSc, selaku ketua komisi pembimbing Bapak Dr. Ir. Dwi Tejo Putro Baskoro. MSc, selaku Anggota Komisi Pembimbing.

Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi MSc, Selaku Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah Institut Pertanian Bogor.

Bapak dan Ibu dosen pengajar Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ayahanda Yusuf Paada yang telah berpulang ke rahmatullah. Ibunda Hj. St. Sanariah yang tercinta atas segala do’a yang tidak pernah putus serta dorongan yang diberikan sehingga anakda lebih giat dalam meningkatkan pendidikan,

Kakanda Dr Ir. Alimuddin Paada. MS, Putromo Paada SH. MSi, Dra. Emmy Paada, Ernawaty Paada Ssos, Muh Yamin Paada SP. MS. Muh Yahya Paada SH, Muh Yasin Paada ST, Syamsuddin Noor Amd, adinda Laila Kurniawaty SPd, dan seluruh keluarga .

Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah angkatan 2005 dan 2006 atas segala bantuan dan kerjasamanya.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapat ganjaran yang setimpal dari Allah, SWT.


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palu Propinsi Sulawesi Tengah pada tanggal 13 Juni 1978 dari Ayah yang bernama (Alm.) Yusuf Paada dan Ibu yang bernama Sitti Sanariah. Penulis merupakan anak kesembilan dari sepuluh bersaudara.

Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Palu dan melanjutkan ke Fakultas Teknik Sipil Universitas Tadulako. Lulus program sarjana pada tahun 2002. Penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2005.


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ……… 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 2

1.3. Kerangka Berfikir ……… 3

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan Tata Ruang Wilayah ………. 6

2.2. Pemanfaatan Ruang/penggunaan lahan ……….……… 17

2.3. Persepsi ………... 21

2.5. Sistem Informasi Geografis .……… 22

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi Penelitian ……… 24

3.2. Jenis dan Sumber Data ….……… 24

3.3. Metode Analisis Data ……… 24

3.3.1. Basis data ……….. 25

3.3.2. Analisis penggunaan lahan ………. 25

3.3.2. Analisis konsistensi RTRW ……… 26

3.3.3. Persepsi masyarakat ……… 28

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kota Palu ……… 31

4.2. Kecamatan Palu Timur ………... 34

4.3. Kecamatan Palu Selatan ………... 36

4.4. Kecamatan Palu Barat ………... 37


(14)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)... 36 5.2. Penggunaan Lahan Kota Palu ……….. 41 5.3. Analisis Konsistensi RTRW Kota Palu ... 44 VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ……….. 68

6.2. Saran ……… 69

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

No Tabel Halaman

1 Jenis data/peta yang dibutuhkan 24

2 Wilayah Administrasi Kota Palu 31

3 Proporsi RTRW di setiap Kecamatan 36

4 Proporsi RTRW dibandingkan dengan luas setiap kecamatan

38 5 Proporsi luas kecamatan pada kelas kelerengan 38 6 Proporsi RTRW berdasarkan klas kelerengan 39 7 Luas Penggunaan lahan tahun 2006 di setiap

kecamatan

40 8 Hasil tabulasi silang RTRW dengan peta penggunaan

lahan

42 9 Proporsi penggunaan lahan tahun 1998 dan 2006

terhadap RTRW

44 10 Luas lahan yang berubah tahun 1998 sampai tahun

2006

48 11 Proporsi penggunaan lahan tahun 2006 terhadap

RTRW


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Diagram alir kerangka pikir penelitian 4

2 Peta wilayah administrasi Kota Palu 32

3 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu 37

4 Peta klas Lereng Kota Palu 39

5 Grafik Proporsi penggunaan lahan Kota Palu tahun 2006

41 6 Peta penggunaan lahan Kota Palu tahun 2006 43 7 Peta penggunaan lahan Kota Palu tahun 1989 45 8 Peta Konsistensi pemanfaatan ruang terhasap Rencana

Tata Ruang Wilayah Kota Palu


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No Lampiran Hal

1 Hasil Cross tabulasi peta RTRW dan peta penggunaan lahan tahun 2006

68 2 Hasil Cross tabulasi peta RTRW dan peta penggunaan

lahan tahun 1998

71 3 Hasil Cross tabulasi peta eksisting 1998 dan peta

penggunaan lahan tahun 2006

74

4 Pengetahuan Responden tentang RTRW 77


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertambahan jumlah penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun mengakibatkan kebutuhan akan ruang/lahan meningkat sedangkan di lain pihak ketersediaan ruang/lahan tersebut relatif terbatas. Oleh karena itu, jika dalam perkembangan suatu wilayah ruang/lahan yang ada tidak diatur dengan baik, maka akan terjadi berbagai benturan kepentingan antar aktivitas yang berdampak pada persaingan dalam penggunaan lahan. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif (Iqbal & Sumaryanto 2007). Hal ini dikarenakan tidak efektifnya mekanisme implementasi tata ruang wilayah.

Untuk menghindari terjadinya alih fungsi lahan maka RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) digunakan sebagai pedoman penggunaan lahan. Dengan disusunnya RTRW, maka suatu wilayah telah atur pemanfaatan lahannya. Namun, sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan wilayah, penggunaan lahan seringkali berubah dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut ada yang sesuai dengan RTRW dan ada yang tidak sesuai dengan RTRW. Perubahan yang terjadi umumnya dari lahan - lahan pertanian menjadi lahan -lahan terbangun.

Lahan-lahan pertanian di areal perkotaan umumnya beralih fungsi menjadi areal-areal pemukiman dan perdagangan dan jasa. Hal ini berarti alih fungsi lahan lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi dari suatu lahan (cepatnya memperoleh keuntungan ekonomi). Oleh karena itu pertumbuhan penduduk dan imigrasi hanya menjadi penentu minor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan (CPB 1996, diacu dalam Tjallingii 2000).

Pada RTRW kota Palu, Penggunaan lahan terbagi atas penggunaan lahan untuk kawasan lindung dan untuk kawasan budidaya. Dalam kawasan budidaya selain diperuntukkan untuk kawasan terbangun (permukiman, perkantoran, perdagangan dan jasa) juga diperuntukkan untuk kawasan pertanian (sawah dan kebun).


(19)

Sebagai ibukota provinsi maka kota Palu menjadi pusat kegiatan sosial maupun ekonomi. Dengan semakin meningkatnya kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomi maka pembangunan fisik (ruang terbangun) juga meningkat. Kondisi ini tentu sangat mendukung terjadinya konversi lahan yang diperuntukkan untuk lahan pertanian (sawah/tegalan) dalam RTRW. Sedangkan dilain pihak sawah maupun tegalan yang diperuntukkan dalam RTRW tersebut walaupun tidak dapat memenuhi kebutuhan hasil pertanian kota Palu secara keseluruhan namun merupakan salah satu bentuk RTH yang dapat menyediakan udara bersih dan segar untuk masyarakat yang berdomisili di Kota Palu.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, analisis konsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW di kota Palu perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab-penyebab terjadinya inkonsistensi terhadap tata ruang saat ini.

1.2 Perumusan Masalah

Pertumbuhan pusat kota yang cepat dibandingkan daerah pinggirannya merupakan suatu fenomena yang terjadi di dalam suatu wilayah. Menurut Atash & Beheshtiha (1998), implikasi yang akan datang untuk kota – kota baru antara lain adalah master plan untuk kota-kota baru harus fleksibel agar mengakomodasi perubahan-perubahan yang tidak diharapkan pada ekonomi dan populasi nasional dan regional.

Untuk kota-kota besar dan kota raya, sebagian pertumbuhannya melebar ke kawasan pinggirannya dalam maupun di luar batas administrasi kota. Biasanya pertumbuhan ini diiringi dengan pertumbuhan kawasan pusat yang menurun. Kota Bandung misalnya mulai mengalami pertumbuhan kawasan pinggiran yang pesat sekitar pertengahan 1970an. Pertumbuhan di kawasan pusat menurun dari 5-6% pada periode 1920-1961 menjadi sekitar 1,5-2% per tahun pada periode 1961-1990. Kawasan pinggiran sebaliknya mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 4-7% per tahun pada periode 1971-1980 (Kombaitan 1992).

Permasalahan inkonsistensi, dalam tahap pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan inefisiensi yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Berbagai isu penting lahir


(20)

dalam proses pertumbuhan kawasan pinggiran kota ini, antara lain : berkurangnya lahan pertanian produktif, persoalan pengembangan dan pengelolaan lahan perkotaan (Kombaitan 1992).

Konversi lahan yang terjadi di pusat Kota Palu yaitu dari aktitifitas permukiman menjadi komersial dan jasa. Kawasan-kawasan terbuka seperti daerah pesisir pantai atau kawasan konservasi dikonversi untuk aktifitas yang secara ekonomi jauh lebih menguntungkan, yaitu aktifitas komersial dan jasa berupa pembangunan perumahan dan ruko. Akibatnya dalam penggunaan ruang, kawasan-kawasan ini berorientasi pada maksimalisasi keuntungan finansial. Orientasi pembangunan untuk mengejar maksimalisasi keuntungan ekonomi menyebabkan pembangunan yang dilaksanakan cenderung mengutamakan

pembangunan fisik dan kurang memperhatikan aspek lingkungan (Dai et al. 2001).

Dari beberapa uraian diatas, rumusan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah pola pemanfaatan ruang yang ada sudah sesuai dengan arahan RTRW Kota Palu?

2. Mengevaluasi faktor – faktor yang mempengaruhi perubahan dan konsistensi pola pemanfaatan ruang.

1.3 Kerangka Berfikir

Menurut UU 26 Tahun 2007, penataan ruang didefinisikan sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang merupakan acuan dalam menentukan peluang dan batasan dalam pembangunan (Wahyuni 2006). Tujuan dari penataan ruang wilayah adalah terwujudnya pemanfaatan ruang yang berkualitas, berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan melalui upaya-upaya optimalisasi dan efisiensi dalam penggunaan ruang, kenyamanan bagi penghuninya, peningkatan produktivitas kota, sehingga mampu mendorong sektor perekonomian wilayah dengan tetap memperhatikan aspek kesinergian, keberkelanjutan dan berwawasan lingkungan.


(21)

Salah satu tahapan dari penataan ruang Kota Palu adalah perencanaan, yang menghasilkan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu (Gambar 1). Dokumen ini merupakan acuan yang sah dalam melaksanakan pembangunan/pemanfaatan ruang. Namun, dalam penerapannya terjadi penyimpangan, yang dapat terjadi karena kurang akomodatifnya RTRW maupun partisipasi masyarakat yang rendah. Inkonsistensi tata ruang tentu bukan kesalahan masyarakat semata sebagai pelaku utama pengguna lahan. Tentu hal ini didukung oleh faktor-faktor lain sehingga membentuk masyarakat mengambil sikap sendiri terhadap jenis pemanfaatan lahan yang mereka miliki. Oleh karena itu, menurut Bintarto (2007) ”...Supaya RTRW bagus dan diterima semua pihak, maka dalam penetapan RTRW harus melibatkan masyarakat”.

Penataan Ruang Kota Palu

Pengendalian Pemanfaatan

Persepsi masyarakat Perencanaan

Konsistensi penggunaan lahan : - Sangat konsisten

- Konsisten sengaja - Inkonsisten tanpa sengaja - Inkonsisten sengaja - Sangat tidak konsisten

KESIMPULAN Aktifitas pembangunan Dokumen

RTRW


(22)

Kondisi diatas merupakan salah satu faktor pendorong perubahan fungsi lahan yang dapat berakibat pada penurunan kualitas lingkungan (Savitri 2007). Berdasarkan RTRW, Penggunaan lahan tahun 1998, dan penggunaan lahan tahun 2006, bentuk/tingkat konsistensi penggunaan lahan dapat dibagi dalam lima bagian yaitu : Sangat Konsisten, konsisten sengaja, inkonsisten tanpa sengaja, inkonsisten sengaja, dan sangat tidak konsisten. Kelima kategori ini disusun berdasarkan kategori yang paling konsisten dan yang paling tidak konsisten (Gambar 1). Sehingga identifikasi penyebab maupun akar permasalahan terjadinya konsistensi penggunaan lahan yang terjadi di kota Palu akan ditinjau dari sisi perencanaan, pemanfaatan, maupun dari sisi pengendalian.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis konsistensi pola pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang. 2. Mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dan konsistensi

pola pemanfaatan ruang. 1.4.2. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah kota Palu dalam merumuskan kebijakan penataan ruang.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perencanaan Tata Ruang Wilayah

Menurut UUPR 26/2007, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Selanjutnya, perencanaan wilayah dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai kontrol yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, serta menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan atau sasaran tersebut.

Dalam paradigma perencanaan tata ruang yang modern, perencanaan tata ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial, dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan ruang dalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktivitas agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan (Rustiadi 2004).

Menurut UU 26/2007, rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan:

- Keserasian, keselarasan, dan kesinambungan, fungsi budidaya, dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi ketahanan keamanan

- Aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumberdaya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang.

2.1.1. Kawasan Kota

Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kawasan kota (urban) merupakan kawasan yang dinamis, dimana secara tetap terjadi perubahan. Kota merupakan sebuah hasil proses produksi yang permanen (Lefebvre 1990, diacu dalam Martokusumo


(24)

2006). Perubahan ini bisa bersifat ekspansif (perluasan) atau intensifikasi (restrukturisasi internal) sebagai respon dari kebijakan ekonomi atau tekanan sosial yang timbul. Desain urban dapat dilihat sebagai sebuah alat untuk mengontrol perubahan, sebagai konsekuensi terhadap perkembangan dan pembangunan perkotaan, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Desain Urban bukanlah merupakan suatu produk akhir. Namun demikian, desain urban akan sangat turut menentukan kualitas dari produk akhirnya, yaitu lingkungan binaan yang dihuni. Dengan demikian desain urban harus dipahami sebagai suatu proses yang mengarahkan perwujudan suatu lingkungan binaan fisik yang layak, sesuai dengan aspirasi masyarakat, ramah terhadap lingkungan, termaksud kepada kemampuan sumberdaya setempat dan daya dukung lahan serta merujuk kepada aspek lokal (Martokusumo 2006).

Kriteria Umum Kawasan Perkotaan (Kepmenkimpraswil 327/2002):

− Memiliki fungsi kegiatan utama budidaya bukan pertanian atau lebih dari 75% mata pencaharian penduduknya di sektor perkotaan;

− Memiliki jumlah penduduk sekurang-kurangnya 10.000 jiwa;

− Memiliki kepadatan penduduk sekurang-kurangnya 50 jiwa per hektar;

− Memiliki fungsi sebagai pusat koleksi dan distribusi pelayanan barang dan jasa dalam bentuk sarana dan prasarana pergantian moda transportasi.

2.1.2. Perencanaan tata ruang Kawasan Perkotaan

Perencanaan tata ruang Kawasan Perkotaan secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginkan.

Berdasarkan Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dari Departeman Permukiman dan Prasarana Wilayah, kawasan perkotaan diklasifikasikan berdasarkan jumlah penduduk menjadi :

a) Kawasan Perkotaan Kecil, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa;

b) Kawasan Perkotaan Sedang, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa;


(25)

c) Kawasan Perkotaan Besar, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 500.000 jiwa;

d) Kawasan Perkotaan Metropolitan, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 1.000.000 jiwa.

Berdasarkan PP No. 47/1997, kawasan budidaya terdiri dari kawasan pertanian, pertambangan, peruntukan industri, pariwisata, permukiman, dan kawasan budidaya lainnya yang terdiri dari kawasan hutan kota dan kawasan hutan rakyat.

1) Kawasan Pertanian

- Kawasan Pertanian Lahan Basah : kawasan pertanian dengan sistem pengelolaan yang memerlukan air (gilir musim atau terus menerus sepanjang tahun) dengan tanaman utama padi/sagu dan atau dibudidayakan untuk usaha tani perikanan.

- Kawasan Pertanian Lahan Kering : areal lahan yang keadaan dan sifat fisiknya mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi bagi tanaman palawija dan holtikultura (kebun rakyat, tanaman holtikultura, palawija, padi ladang, dan dapat dibudidayakan untuk usaha tani peternakan).

- Kawasan Tanaman Tahunan/Semusim : areal yang diperuntukkan untuk jenis tanaman keras/tahunan sebagai tanaman utama yang dikelola dengan teknologi sederhana sampai tinggi dan memperhatikan asas konservasi tanah dan air (perkebunan besar atau rakyat dan hutan produksi). Dalam kawasan ini dimungkinkan adanya budidaya permukiman terbatas.

Kriteria ruang :

• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat pengolahan hasil pertanian seperti kawasan industri, dan kawasan peternakan;

• Memiliki akses terhadap pasar lokal, regional, nasional, dan internasional (angkutan sungai, jaringan jalan);

• Didukung oleh ketersediaan tenaga kerja; • Didukung oleh prasarana irigasi/sumber air;

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan permukiman pedesaan;


(26)

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan industri pengolahan hasil pertanian;

• Radius pelayanan jaringan jalan regional dan lokal;

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan kegiatan perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.

3) Kawasan Pertambangan

Kawasan pertambangan terdiri dari :

− Kawasan pertambangan terbuka (surface mining) : kawasan pertambangan dimana semua kegiatan penggaliannya dilakukan di tempat terbuka, langsung berhubungan dengan udara luar.

− Kawasan pertambangan bawah tanah (underground mining) : kawasan pertambangan dimana kegiatan penggaliannya dilakukan di bawah tanah dengan menggunakan sistem tambang bawah tanah.

Kriteria ruang :

• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat pengolahan hasil pertanian seperti kawasan industri dan kawasan peternakan;

• Memiliki akses terhadap pasar lokal, regional, nasional dan internasional (pelabuhan laut, angkutan sungai, jalan raya, kereta api);

• Didukung oleh ketersediaan tenaga kerja;

• Di luar wilayah permukiman penduduk dan hutan lindung minimal jarak 3 – 20 km dengan batas yang jelas, dapat dipisahkan oleh hutan dan atau perkebunan;

• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas sumberdaya air seperti sungai, mata air, air tanah, waduk dan udara.

4) Kawasan Industri

Kawasan industri terdiri dari :

− Kawasan industri yang mendekati bahan baku : industri kimia dasar (ammonia, semen, clinker, kaca, pulp dan kertas, industri organik dan anorganik), industri mesin dan logam dasar (besi baja, aluminimum, tembaga, timah, kereta api, pesawat terbang, kapal, alat-alat berat lainnya).


(27)

− Kawasan industri yang mendekati pasar : industri aneka pangan, industri aneka tekstil dan kimia, industri aneka alat listrik dan logam, industri aneka bahan bangunan dan umum

Kriteria ruang :

• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksi seperti kawasan pertanian, pertambangan, perikanan, peternakan;

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan pasar lokal, regional, nasional, dan internasional (pelabuhan laut, terminal kargo, angkutan sungai, bandar udara, jalan raya, kereta api);

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan konsumen dan bahan baku;

• Memiliki akses yang tinggi dengan jaringan jalan regional atau sekitar jalan regional untuk menampung angkutan berat (klasifikasi Jalan Kelas A ≥ 10.000 ton;

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan ketersediaan tenaga kerja;

• Di luar wilayah permukiman penduduk/permukiman perkotaan dan hutan lindung minimal jarak 3 – 20 km dengan batas yang jelas, dapat dipisahkan oleh hutan dan atau perkebunan;

• Antara kawasan industri dengan kawasan perumahan perlu dikembangkan suatu kawasan penyangga (buffer zone);

• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas sumberdaya air (sungai, mata air, air tanah, waduk dam udara).

5) Kawasan Pariwisata

Kawasan pariwisata terdiri dari :

− Kawasan wisata alam : lebih menonjolkan panorama alam, dilengkapi dengan jasa pelayanan makan, minum, akomodasi. Wisata alam dibagi lagi menjadi dua yaitu wisata pegunungan dan wisata bahari.

− Kawasan wisata buatan : terdiri dari wisata sejarah dan budaya, dan taman rekreasi.


(28)

Kriteria ruang :

• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksi seperti kawasan pertanian, perikanan dan perkebunan;

• Memiliki akses terhadap pasar lokal, retgional, nasional, dan internasional (pelabuhan laut, terminal kargo, angkutan sungai, bandar udara, jalan raya, kereta api);

• Didukung oleh ketersediaan tenaga kerja;

• Jauh dari kegiatan yang memproduksi polusi tinggi (industri, tambang, TPA, pasar ternak/ikan);

• Didukung oleh prasarana dan sarana penunjang serta pelengkapnya (pasar/kios hasil kerajinan, akomodasi, energi listrik, telepon, air bersih, persampahan, sanitasim jaringan jalan);

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan kawasan industri kecil/handycraft, pusat budaya masyarakat/kesenian, bangunan pertunjukan.

6) Kawasan Permukiman

Kawasan permukiman dibagi dua :

− Kawasan permukiman perkotaan : ruang yang diperuntukkan bagi pengelompokan permukiman penduduk dengan dominasi kegiatan non pertanian (pemerintahan, perdagangan, dan jasa lainnya) untuk menampung penduduk pada saat sekarang maupun perkembangannya di masa yang akan datang.

− Kawasan permukiman perdesaan : ruang yang diperuntukkan bagi pengelompokan permukiman penduduk yang terikat dengan pola lingkungan pedesaan, dominasi kegiatan usahanya di bidang pertanian dan sarana serta prasarana pertanian.

Kriteria ruang kawasan permukiman secara umum :

• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksi seperti kawasan pertanian, pertambangan, perikanan, peternakan, kehutanan, dsb;

• Memiliki aksesibilitas cukup baik terhadap wilayah sekitarnya (adanya jalan raya, jalan kereta api, angkutan umum, angkutan sungai);


(29)

• Didukung oleh ketersediaan prasarana dan sarana penunjang seperti rumah sakit, sekolah, pasar, fasilitas sosial dan fasilitas umum, dsb; • Tidak meinmbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan dan

kualitas sumberdaya air;

• Berada di luar kawasan yang berfungsi lindung. Kriteria ruang kawasan permukiman perkotaan :

• Memiliki kawasan perumahan dengan kepadatan bangunan rendah sampai tinggi (rumah susun), tipe rumah mewah sampai sederhana, kavling besar sampai kecil;

• Memiliki aksesibilitas yang lengkap (jaringan sistem primer, tol, sekunder, dan lokal), dengan sistem pelayanan angkutan jalan raya, jalan rel, angkutan udara dan angkutan sungai);

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan prasaran dan sarana penunjang seperti rumah sakit, sekolah sampai perguruan tinggi, perdagangan dan jasa, pelabuhan udara, pelabuhan laut, kargo, terminal, parkir, jaringan utilitas yang baik, serta fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya sesuai dengan jumlah penduduk dan hirarki kota (metropolitan, besar, menengah, kecil);

• Antar kawasan dihubungkan oleh aksesibilitas yang baik, sesuai dengan fungsi pelayanan kegiatannya;

• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya air;

• Berada di luar kawasan yang berfungsi lindung. Kriteria ruang kawasan permukiman pedesaan :

• Memiliki kawasan perumahan dengan kepadatan bangunan rendah sampai sedang, tipe rumah relatif homogen, kavling besar sampai sedang;

• Memiliki aksesibilitas cukup baik (sekunder dan lokal), dengan sistem pelayanan angkutan jalan raya, dan angkutan sungai/danau/laut;

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan prasaran dan sarana penunjang seperti puskesmas, sekolah, perdagangan tradisional, terminal, tambatan perahu/perahu motor, Balai Desa, industri


(30)

penggilingan padi, kios/depot/koperasi/BPR, pasar pelelangan hasil bumi, industri es, tempat pengeringan, perbengkelan, jaringan utilitas, serta fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya yang diatur menurut jumlah penduduk dan perkembangan wilayahnya;

• Antar kawasan dihubungkan oleh aksesibilitas yang baik (jalan desa/lingkungan/setapak, angkutan pedesaan);

• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya air;

• Berada di luar kawasan yang berfungsi lindung. 7) Kawasan Budidaya Lainnya

a. Kawasan Hutan Kota

Pembagian Kawasan Hutan Kota adalah sebagai berikut : Jalur Hijau, Taman Kota, Kebun dan Halaman, Kebun Raya, Hutan Raya, dan Kebun Binatang, Hutan Lindung, Kuburan dan Taman Makam Pahlawan.

Kriteria ruang kawasan hutan kota : • Berfungsi sebagai kawasan lindung;

• Diarahkan pada lokasi yang memiliki tingkat polusi tinggi, dan atau pinggiran kota, bantaran sungai/laut.

b. Kawasan Hutan Rakyat

Kawasan hutan rakyat mempunyai fungsi hidrologis/pelestarian ekosistem, luas penutupan tajuk minimal 50 persen dan merupakan tanaman cepat tumbuh dengan luas minimal 0,25 hektar.

Kriteria ruang kawasan hutan rakyat :

• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat pengolahan hasil hutan seperti kawasan industri;

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan pasar lokal, regional, nasional, dan internasional (pelabuhan laut, angkutan sungai, jalan raya, kereta api);

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan ketersediaan tenaga kerja;

• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas sumberdaya lingkungan dan sumberdaya air (sungai, mata air, air tanah).


(31)

Sehubungan dengan tuntutan kualitas, eksistensi sebuah kota yang baik secara ideal dapat diukur melalui beberapa persyaratan mendasar. Adapun persyaratan tersebut meliputi (H. Frey 1999, diacu dalam Martokusumo 2006):

1. Pada tingkatan dasar, kota yang baik mampu mewadahi kebutuhan fisik warganya, tempat untuk tinggal dan tempat untuk bekerja, membuka peluang untuk mendapatkan nafkah/penghasilan, pendidikan, transportasi, dan kemungkinan untuk berkomunikasi serta akses kepada berbagai jasa pelayanan dan fasilitas.

2. Sebuah kota yang baik harus menjamin keamanan, keamanan dan perlindungan, pengaturan secara visual dan fungsi serta kontrol terhadap lingkungan yang bebas polusi, kebisingan, kecelakaan dan kejahatan. 3. Selain itu, sebuah kota yang baik harus mampu memberikan dan

menciptakan suatu lingkungan sosial yang kondusif. Menjadi sebuah tempat tumbuh berkembangnya sebuah keluarga, memunkinkan individu-individu untuk menjadi bagian dari sebuah komunitas, serta menyuguhkan perasaan keterikatan kepada sebuah tempat dan daerah/kawasan.

4. Kota yang baik juga harus memiliki citra yang baik, reputasi yang bagus dan prestige. Hal ini memberikan warganya rasa percaya diri, kekuatan, status dan kejayaan.

5. Dalam tingkatan yang lebih tinggi sebuah kota yang baik memungkinkan warganya untuk bisa menjadi kreatif, membentuk lingkungan pribadinya dan mengekspresikan diri serta mengembangkan lingkungan komunitas sesuai dengan kebutuhan dan aspirasinya.

Kota yang baik harus dirancang dengan baik, direncanakan dengan menyenangkan, secara fisik mudah dicitrakan dan kota yang baik merupakan tempat kebudayaan dan produk seni.

2.1.3. Standar pelayanan minimal.

Berikut adalah Standar Pelayanan Minimal (SPM) kabupaten/kota yang dikeluarkan oleh dinas permukiman dan prasarana wilayah untuk bidang penataan ruang adalah :


(32)

• Pelibatan masyarakat minimal 2 (dua) kali pada tahap proses penyusunan RTRW Kabupaten/ Kota meliputi penyusunan kebijakan dan penentuan pola dan struktur pemanfataan ruang;

• Setiap kecamatan memiliki papan informasi tata ruang wilayahnya berupa peta, papan pengumuman;

• Penyediaan akses yang mudah untuk mendapatkan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota.

Standar Pelayanan Minimal dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota adalah :

• Pelibatan masyarakat dalam penyusunan program dan anggaran sesuai dengan Rencana Tata Ruang dengan Bappeda/ Tim Penyusun Anggaran yang diberi kewenangan untuk itu;

• Penyediaan akses setiap saat untuk mendapatkan informasi bidang Penataan Ruang (Pemanfaatan Ruang).

Standar Pelayanan Minimal dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut :

• Penyebaran informasi hasil pemantauan dan evaluasi kepada masyarakat minimal 2 (dua) kali dalam 1 tahun;

• Pemberian pelayanan kepada masyarakat atas setiap pengaduan yangberkaitan dengan pemanfaatan ruang;

• Di setiap Kantor Camat tersedia wadah/ unit kerja yang dapat menampung pengaduan masyarakat atas pelanggaran pemanfaatan ruang;

• Pemberian sanksi atas pelanggaran tata ruang;

• Penyediaan kotak saran dan melakukan komunikasi timbal balik dengan masyarakat melalui media yang tersedia.

Informasi yang akan disampaikan harus memenuhi syarat :

9 Informasi yang hendak disampaikan harus sesuai dengan materi kewenangan bidang penataan ruang;

9 Informasi yang disampaikan harus memenuhi syarat-syarat, yaitu:

a. Umum, yaitu berisikan hal-hal yang umum dipahami oleh masyarakat, bukan hal-hal yang dapat dipahami oleh sebagian atau sekelompok orang saja.


(33)

b. Jelas dan gamblang, yaitu informasi yang disampaikan tidak boleh memberikan banyak penafsiran.

c. Bahasa yang jelas, yaitu informasi yang disampaikan hendaklah menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan mudah dipahami oleh masyarakat. Jangan menggunakan istilah-istilah yang tidak dipahami. d. Positif, yaitu informasi yang disampaikan dalam bentuk positif, simpatik

dan menarik.

e. Seimbang, yaitu informasi yang disampaikan tidak ekstrem dan mempertentangkan hal yang satu dengan yang lainnya.

9 Informasi yang disampaikan harus informatif artinya bersifat memberikan keterangan atau fakta dan masyarakat mengambil kesimpulan atas informasi yang diberikan;

9 Seluruh masyarakat mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi bidang penataan ruang;

9 Seluruh masyarakat dapat memperoleh dengan mudah informasi bidang penataan ruang;

9 Masyarakat dapat menyampaikan informasi bidang penataan ruang.

Penyebaran Informasi

Papan informasi Penataan Ruang harus disediakan disetiap halaman Kantor Camat. Dalam papan informasi dimaksud harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

ƒ Terbuat dari bahan kayu/ besi; ƒ Ukuran minimal 2 x 3 meter;

ƒ Harus memuat informasi rencana struktur dan pola pemanfataan ruang dengan skala minimal 1 : 100.000 (Kabupaten) dan 1 : 50.000 (Kota) untuk kecamatan yang bersangkutan, legenda, alamat pengaduan, Nomor telepon/faxcimili yang dapat dihubungi.

Peta dinding memuat peta rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota dengan skala minimal 1 : 100.000 (Kabupaten) , 1 : 50.000 (Kota) harus tersedia di setiap kantor Camat .


(34)

Penyebaran Hasil Pemantauan Dan Evaluasi

Hasil pemantauan pemanfaatan ruang yang perlu diinformasikan kepada masyarakat adalah Penyimpangan Pemanfaatan Ruang yang disajikan dalam bentuk selebaran yang ditempatkan di setiap kantor camat.

Penyimpangan pemanfaatan ruang : 1. Perubahan fungsi lahan

Misal : peruntukkan lahan pertanian berubah menjadi lahan permukiman.

2. Perubahan fungsi kawasan

Misal : Kawasan lindung menjadi kawasan budidaya.

Mekanisme penyebaran informasi hasil pemantauan dan evaluasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme penyebaran informasi 2.2. Pemanfaatan Ruang/penggunaan lahan

Menurut FAO Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda di atasnya sepanjang memiliki pengaruh terhadap penggunaan lahan, termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang (Arsyad 1989). Lahan memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi produksi dan wadah (misalnya tempat tinggal, produksi tanaman, penggembalaan), fungsi regulasi (misalnya siklus tanaman, keseimbangan air dan

DINAS

KANTOR CAMAT

KANTOR LURAH/

KADES


(35)

tanah, proses asimilasi), dan fungsi informasi (ilmu pengetahuan, sejarah) (Graaff 1996, diacu dalam Savitri 2007).

Penggunaan lahan adalah setiap campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhannya, baik material maupun spiritual (Vink 1975, diacu dalam Sitorus 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor kelembagaan. Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, kondisi pasar dan transportasi. Faktor kelembagaan dicirikan oleh hukum pertanahan, situasi politik, sosial ekonomi, dan secara administrasi dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Barlowe 1986, diacu dalam Savitri 2007).

Menurut UU 26/2007, Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukkan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukkan ruang untuk fungsi budidaya. Menurut Rustiadi (2004), tata ruang sebagai wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang terbentuk secara alamiah dan merupakan wujud dari proses pembelajaran (learning process) yang terus menerus. Sebagai alat pendeskripsian, istilah pola spasial (ruang) erat dengan istilah-istilah kunci seperti pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan, posisi/lokasi, dan lain-lain. Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap jenis aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda, dan tingkat penyebaran yang berbeda-beda pula (Rustiadi 2004).

Menurut Rustiadi (2004), pola pemanfaatan ruang juga dicerminkan dengan gambaran pencampuran atau keterkaitan spasial antar sumberdaya dan pemanfaatannya. Kawasan perdesaan dicirikan dengan dominasi pencampuran antara aktifitas-aktifitas pertanian, penambangan, dan kawasan lindung. Sebaliknya, kawasan perkotaan dicirikan oleh pencampuran yang lebih rumit antara aktifitas jasa komersial dan permukiman. Adapun, kawasan sub urban di daerah perbatasan perkotaan dan perdesaan dicirikan dengan kompleks pencampuran antara aktifitas permukiman, industri dan pertanian. Peta penggunaan lahan (land use map) dan peta penutupan lahan (land cover map)


(36)

adalah bentuk deskriptif terbaik dalam menggambarkan pola pemanfaatan ruang yang ada.

Bagi seorang perencana, pengetahuan mengenai penggunaan lahan dan penutupan lahan sangatlah penting dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang memperhatikan aspek lingkungan. Penggunaan lahan (land use) dan penutup lahan (land cover) merupakan dua istilah yang sering diberi pengertian sama, padahal keduanya mempunyai pengertian berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer (1987), penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia pada obyek tersebut, dapat berupa konstruksi vegetasi maupun buatan.

Pertambahan penduduk yang pesat dan pemenuhan kesejahteraan penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman, pertanian, industri, dan rekreasi. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan penggunaan lahan yang sering tidak mengikuti kaidah konservasi alam (Mahmudi 2002). Perubahan penggunaan lahan, misalnya dari hutan menjadi permukiman atau industri akan mengurangi daya serap tanah terhadap air.

2.2.1. Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang

Pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun. Namun demikian, kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat mengakibatkan terjadinya pemanfaatan ruang yang menyimpang dari RTRW. Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktifitas penggunaan ruang dengan RTRW. Analisis konsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW bertujuan untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang yang telah dilakukan sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar/pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang.

Menurut Meyer dan Turner (1994), perubahan penggunaan lahan (land use change) meliputi pergeseran penggunaan lahan menuju penggunaan lahan yang berbeda (conversion) atau intensifikasi pada penggunaan yang telah ada


(37)

(modification). Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: (1) pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita; dan (2) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer (sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktivitas sektor-sektor sekunder (industri manufaktur dan jasa).

Menurut Dardak (2006), upaya menciptakan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dirasakan masih menghadapi tantangan yang berat. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya permasalahan yang mencerminkan bahwa kualitas ruang kehidupan kita masih jauh dari cita-cita tersebut. Permasalahan tersebut antara lain adalah semakin meningkatnya frekuensi dan cakupan bencana, lingkungan perumahan kumuh dan kemacetan lalu lintas terutama di kawasan perkotaan besar dan metropolitan, semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan perkotaan akibat penurunan luas ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan, dan sebagainya.

Meningkatnya kebutuhan akan lahan akibat bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan terjadinya tumpang tindih kepentingan terhadap sebidang lahan. Hal ini jika dibiarkan dapat mengarah pada pola sebaran kegiatan yang secara ekonomi paling menguntungkan, namun belum tentu menguntungkan atau bahkan merugikan dari segi lingkungan (Wiradisastra 1989).

Penggunaan lahan secara umum dipengaruhi oleh dua faktor utama : (1) alami dan (2) manusia. Faktor alami meliputi iklim, topografi, tanah dan bencana alam, sedangkan faktor manusia merupakan aktifitas manusia pada sebidang lahan. Faktor manusia lebih dominan berpengaruh dibandingkan dengan faktor alam karena sebagian besar perubahan penggunaan lahan disebabkan oleh aktifitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya dari sebidang lahan tertentu (Vink 1965, diacu dalam Sudadi et al. 1991). Menurut Meyer dan Turner (1994), faktor manusia dapat dibagi menjadi manusia yang melakukan aktifitas pada


(38)

lahannya dan pemerintah yang menyusun tata ruang atau arahan rencana penggunaan lahan suatu wilayah. Faktor lain yang menjadi penentu konversi lahan adalah nilai lahan yang diukur dalam produktifitas lahan dan jarak yang mencerminkan lokasi suatu lahan dan aksesibilitas.

Di Indonesia, salah satu masalah pokok dalam usaha penataan penggunaan lahan dan lingkungan hidup antara lain adalah adanya kontradiksi antara kebutuhan yang menjadi pemakai yang lebih luas di satu pihak dan

batasan-batasan yang berat demi lingkungan hidup (Sandy 1980, diacu dalam Sitorus 2004).

Penyimpangan penggunaan lahan yang terkait dari aspek masyarakat sangat dipengaruhi oleh persepsi dan pengetahuan masyarakat itu sendiri.

2.3. Persepsi

Dyah (1983) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu pandangan, pengertian dan interpretasi seseorang mengenai suatu objek yang diinformasikan kepadanya dengan cara mempertimbangkan hal tersebut dengan diri dan lingkungannya. Persepsi merupakan proses kognitif yang bisa terjadi pada setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya yang dapat diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, maupun penciuman (Thoha 1983). Karakteristik seseorang ikut mempengaruhi persepsinya dan persepsi tersebut akan mempengaruhi tindakan atau perilakunya (Roger dan Shoemaker 1971, diacu dalam Yusri 1999).

Persepsi adalah pengamatan, pengertian, dan penilaian seseorang terhadap rangsangan objek atau informasi yang disampaikan kepada orang tersebut (Yusri 1999). Terdapat tiga komponen persepsi yang mempengaruhi pandangan seseorang terhadap suatu obyek yaitu, komponen kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif berisi ide, anggapan, pengetahuan dan pengetahuan seseorang terhadap obyek berdasarkan pengalaman langsung yang dihubungkan dengan sumber informasi. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki seseorang akan menghasilkan keyakinan (belief) evaluatif terhadap obyek tertentu. Komponen afektif menekankan pada perasaan atau emosi, dengan demikian merupakan evaluasi emosional dalam menilai obyek tertentu. Sedangkan komponen konatif


(39)

menekankan pada kecenderungan (tendency) dan perilaku aktual seseorang untuk melakukan tindakan sesuai dengan yang dipersepsikan.

Menurut Asngari (1984), menyatakan bahwa persepsi individu terhadap lingkungan merupakan faktor penting karena akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut. Persepsi dapat dibentuk melalui faktor hereditas (keturunan/bawaan) dan lingkungan (Thorndike 1968, diacu dalam Erwina 2005). Kedua faktor ini saling mempengaruhi dan saling berinteraksi dalam membentuk persepsi. Faktor hereditas antara lain adalah bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, dan tanggapan yang dibawa sejak lahir. Adapun faktor lingkungan adalah faktor yang berada di luar individu, misalnya pendidikan, lingkungan sosial dan status sosial.

Penyimpangan dalam pemanfaatan ruang yang sebagian disebabkan oleh masyarakat dapat diolah dalam sistem informasi untuk keperluan analisis.

2.4. Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Menurut Aronoff, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menganalisis data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data) serta analisis dan manipulasi data (Prahasta 2005).

SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta 2005).


(40)

Teknologi SIG akan mempermudah para perencana dalam mengakses data, menampilkan informasi-informasi geografis terkait dengan substansi perencanaan dan meningkatkan keahlian para perencana serta masyarakat dalam menggunakan sistem informasi spasial melalui komputer. SIG dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah-masalah spasial yang sangat kompleks.

Dalam penelitian ini, penggunaan SIG lebih diprioritaskan pada fungsinya untuk melakukan teknik tumpang tindih (overlay) dari beberapa peta yang digunakan. Jika pengolahan data dilakukan secara manual, pengguna harus bekerja dengan beberapa peta analog dan beberapa informasi atribut yang diperlukan. Selanjutnya pengguna dapat menganalisis kedua data tersebut (peta dan data atribut) untuk kemudian memplotkan hasil akhirnya kedalam peta. Untuk tumpang tindih (overlay) peta juga dapat dilakukan hal yang sama. Beberapa kelemahan dari proses tersebut adalah selain membutuhkan waktu yang relatif lama, tingkat ketelitian dan akurasinya sangat bergantung pada kemampuan dan ketelitian penggunanya dalam melakukan proses olah data tersebut. Dengan teknologi SIG, pengguna memerlukan data spasial dan atribut dalam bentuk digital, sehingga prosesnya dapat dilakukan dengan cepat dengan tingkat

ketelitian cukup baik dan prosesnya dapat diulang kapan saja, oleh siapa saja, dan hasilnya dapat disajikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan


(41)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai bulan Oktober 2007, meliputi tahap persiapan, pengumpulan data, pengecekan lapangan, analisis, dan penulisan.

3.2. Jenis dan sumber data

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap inkonsistensi RTRW. Pengumpulan data ini dilakukan dengan mewawancarai responden secara langsung dan menyebarkan kuisioner.

Tabel 1. Jenis data/peta yang dibutuhkan

No Jenis Data Skala Sumber

1

2

Primer -Kuisioner Sekunder Fisik

- Peta penggunaan lahan tahun 1998

- Peta penggunaan lahan tahun 2006

- Peta RTRW

Desa

1:20 000

1:20 000 1: 20 000

Responden

- Bappeda Kota Palu

- Bappeda Kota Palu - Bappeda Kota Palu Data sekunder dikumpulkan dari beberapa instansi terkait sesuai atribut yang akan dikaji. Data berupa peta dan data numerik atau tabular. Jenis dan sumberdata sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 1.


(42)

3.3 Metode Analisis Data

Tahapan dalam menganalisis data terdiri dari 4 (empat) bagian yaitu: 1) Pembuatan basis data, 2) Analisis penggunaan lahan, 3) Analisis konsistensi RTRW, 4) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW.

3.3.1 Basis data

Basis data adalah kumpulan data yang saling berhubungan. Suatu basis data menyediakan data untuk pengguna terbatas maupun berbagai penggunaan secara luas. Suatu basis data terdiri dari satu file atau lebih yang distrukturkan sedemikian rupa dalam bentuk Sistem Pengelolaan Basis Data (Database Manajemen System/DBMS), dan diakses melalui jalur tersebut (Barus & Wiradisastra 2000). DBMS adalah sistem perangkat lunak yang bertujuan khusus untuk pengelolaan, penyimpanan, dan manipulasi informasi (Haryanto 2003).

Penyusunan basis data ditujukan untuk mempermudah pencarian dan penghubung data tabular. Suatu sistem pengelolaan basisdata harus dapat digunakan untuk memanipulasi berbagai tipe objek dan variasi hubungan antar objek. Dengan penyusunan basisdata akan memudahkan dalam pengelolaan untuk mendapatkan hasil akhir yang diinginkan baik berupa tabular maupun peta.

Dalam penelitian ini data yang disusun sebagai basis data adalah data penggunaan lahan tahun 1998, data penggunaan lahan tahun 2006, dan Peta RTRW (1999-2009). Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Arcview 3.3 dan Idrisi. Peta Penggunaan lahan tahun 2006 dan Peta RTRW dioverlay untuk menghasilkan peta konsistensi. Peta ini menjadi dasar atau patokan dalam penyebaran kuisioner dan wawancara langsung.

3.3.2. Analisis penggunaan lahan

Analisis penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk penguasaan, penggunaan, dan kesesuaian pemanfaatan lahan untuk kegiatan budidaya dan lindung. Selain itu, dengan analisis ini dapat diketahui besarnya fluktuasi intensitas kegiatan di suatu kawasan, perubahan, dan kecenderungan


(43)

pola perkembangan kawasan budidaya. Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi suatu bentuk penggunaan lahan yang terjadi pada tahun 1998 dan tahun 2006. Hasil identifikasi tersebut kemudian dideskripsikan. Hasil deskripsi tersebut berupa luasan dan persentase luasan dari suatu bentuk penggunaan lahan pada suatu wilayah administrasi dan kelas lereng..

3.3.3. Analisis Konsistensi RTRW

Konsistensi RTRW adalah untuk melihat seberapa jauh tingkat konsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW. Analisis ini dilakukan dengan cara mengoverlay peta RTRW, peta penggunaan lahan tahun 1998, peta penggunaan lahan tahun 2006. hasil overlay yang berupa data atribut, diekspor ke Microsoft Excel dan diolah. Pengolahan dilakukan dengan cara membuat matriks yang berisi kolom -kolom yang memberikan informasi mengenai jenis penggunaan lahan tahun 1998 dan 2006 yang berada pada kawasan-kawasan yang telah ditetapkan dalam RTRW.

Tumpang tindih antar ke 3 peta dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya konsistensi dan

inkonsistensi penggunaan lahan. Dari hasil tumpang tindih ke 3 peta tersebut dapat diindentifikasi 5 bentuk konsistensi penggunaan lahan yaitu:

1. Sangat konsisten yaitu jika penggunaan laha tahun 2006 sesuai dengan eksisting tahun 1998 dan RTRW.

2. Konsisten sengaja yaitu jika penggunaan lahan tahun 2006 yang sesuai dengan arahan RTRW tetapi berbeda dengan penggunaan lahan tahun 1998. dengan kata lahan perubahan lahan yang terjadi mengarah ke RTRW.

3. Inkonsisten tanpa sengaja yaitu jika penggunaan lahan yang pada tahun 1998 sesuai dengan RTRW tetapi pada tahun 2006 berubah menjadi bentuk penggunaan lahan yang lain.

4. Inkonsisten sengaja yaitu jika penggunaan lahan pada tahun 1998 tidak sesuai dengan RTRW tetapi pada tahun 2006 sesuai dengan penggunaan lahan tahun 1998.

5. Inkonsisten sengaja/ngawur yaitu jika penggunaan lahan tahun 2006 tidak sama antara eksisting tahun 1998 dan RTRW.


(44)

Identifikasi Hubungan Geografis

Identifikasi hubungan geografis dilakukan antara peta RTRW dan peta penggunaan lahan dengan menggunakan software Idrisi. Kedua peta tersebut kemudian diolah terlebih dahulu di ArcView untuk menyamakan frame. Setelah batasan kedua peta sama kemudian diimport ke Idrisi. Data yang diimport masih dalam bentuk data vektor sehingga dilakukan dulu pengeditan database kedua peta sehingga diperoleh peta baru dengan database dalam bentuk angka. Kedua peta baru tersebut kemudian ditransformasi menjadi peta raster.

Untuk mengetahui derajat asosiasi antar kedua peta maka dua peta diuji secara statistik dengan menggunakan koefisien Cramer’s V dan koefisien Kappa. Untuk mendapatkan kedua koefisien tersebut maka dua peta (raster) tersebut kemudian dilakukan tabulasi silang. Dari hasil tabulasi silang akan diperoleh nilai koefisien Cramer’s V dan Koefisien Kappa yang memperlihatkan korelasi antar kedua peta. Menurut Bonham dan Charter (1998), pengukuran-pengukuran variasi dapat digunakan untuk mengkuantifikasi derajat asosiasi antar peta, dan dalam setiap perhitungan didasarkan pada jumlah area tabulasi silang.

Koefisien Cramer’s V

Koefisien Cramer’s V adalah koefisien asosiasi yang berdasarkan pada nilai Chi-square. Cramer’s V adalah unit–unit pengukuran bebas dengan variasi nilai antara 0 (mengindikasikan tidak ada korelasi antara ke dua peta) nilai maksimum tidak lebih dari 1. Cramer’s V tergantung pada nilai X2, total area dan dimensi area tabel. Pengukuran koefisien menggunakan tabel yang perhitungannya berdasarkan independent random sampling. Secara statistik asosiasi tersebut dapat diuji.

Persaman untuk area yang diuji :

.. . . *

T T T T ij = i j


(45)

Persamaan chi square:

(

)

= = − = m j ij ij ij n i T T T X 1 2 * 1 2

Persamaan Cramer”s V :

M T x V .. 2 = Keterangan:

Ti = Jumlah baris ke-i

Tj = Jumlah kolom ke-j

T.. = Total-total marjinal

Tij = klas i =1,2…n pada peta B (baris) dan klas j = 1,2…m pada peta A

(kolom)

M = minimum (n-1, m-1)

Koefisien Kappa

Koefisien Kappa digunakan untuk menilai tingkat kesesuaian 2 data / peta dengan jumlah klas yang sama. Kappa mengukur sejumlah kesesuaian antar atribut, dan mengkoreksi untuk menduga sejumlah kesesuaian. Kappa melihat hanya pada klas kategori dalam prinsip diagonal matriks proporsi. Nilai koefisien Kappa berada antara 0 (mengindikasikan tidak ada korelasi) sampai 1 (sangat berkorelasi).

Persamaan Koefisien Kappa :

K =

− = = − − n i ii n i n i ii ii q q P 1 1 1 1

Keterangan: ΣPii = Total persesuaian yang diobservasi Σqii = Total persesuaian karena perubahan n = Jumlah klas yang dimatchingkan


(46)

3.3.4. Persepsi masyarakat.

Persepsi masyarakat terhadap RTRW diketahui dengan menyebarkan kuisioner kepada responden mengenai penggunaan lahan yang konsisten dan inkonsisten dengan RTRW dan melakukan wawancara langsung kepada pelaku/ pengguna lahan baik yang penggunaannya konsisten dan inkonsisten dengan RTRW.

1. Kuisioner. Penyebaran kuisioner ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan kepedulian responden terhadap konsistensi RTRW yang terjadi di lingkungan mereka. Lokasi penyebaran kuisioner berada pada 4 kecamatan yang setiap kecamatan diwakili oleh satu kelurahan. Kelurahan yang dipilih adalah kelurahan yang terjadi inkonsistensi penggunaan lahan yang arealnya cukup luas. Responden berjumlah 37 responden yang terdiri dari 5 strata. Jumlah responden pada setiap strata ditentukan secara proporsional yaitu LSM 2 responden, PNS 5 responden, mahasiswa 5 responden, pelajar 5 responden, dan kepala rumah tangga 20 responden. Data yang akan diperoleh dari kuisioner berupa jawaban pertanyaan tertutup (jawaban yang sudah disediakan lebih dahulu) dan jawaban pertanyaan terbuka (jawaban yang diberikan sifatnya bebas, sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh penjawab, tanpa ada suatu batasan tertentu). Kemudian jawaban pertanyaan terbuka dikategorikan terlebih dahulu atau dikelompokkan sehingga tiap kelompok berisi jawaban yang lebih kurang sejenis.

2. Wawancara langsung dengan responden. Wawancara langsung dilakukan kepada responden sebagai pelaku yang melakukan konsistensi dan inkonsistesi pemanfaatan ruang terhadap RTRW. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui alasan-alasan responden dalam menggunakan lahannya saat ini. Wawancara dengan responden dibagi atas 2 bagian yaitu:

a. Pelaku konsistensi adalah orang yang membangun atau melakukan kegiatan kerja/usaha sesuai dengan arahan Rencana Tata Ruang. Setiap pelaku konsistensi diwakili oleh 3 orang responden yang dipilih secara acak. Misal: rumah yang berada di kawasan perumahan yang sesuai


(47)

dengan rencana tata ruang akan diwakili oleh 3 orang responden (pemilik lahan).

b. Pelaku inkonsistensi adalah orang yang membangun atau melakukan kegiatan kerja/usaha tidak sesuai dengan arahan Rencana Tata Ruang. Setiap pelaku inkonsistensi diwakili oleh 3 orang responden yang dipilih secara acak. Misal: rumah yang dibangun di lahan kering (RTRW) akan diwakili oleh 3 orang responden (pemilik lahan).

Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga jumlah responden bukan menjadi pertimbangan pokok, namun lebih ditekankan pada pendalaman serta kedalaman dan kecukupan informasi (representative). Penelitian kualitatif digunakan dikarenakan studi ini membahas persepsi pada kelompok-kelompok tersebut.

Hasil – hasil kuisioner kemudian dideskripsikan. Pendeskipsian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang menyangkut pada keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian sehingga dapat menentukan dan melaporkan keadaan sekarang. Dengan tujuan utama menggambarkan sifat suatu keadaan yang sebenarnya pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Gay 1976, diacu dalam Sevilla CG 1993).


(48)

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1. Kota Palu

4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi

Kota Palu secara administratif termaksud dalam bagian dari wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Secara geografis daerah ini terletak antara 1190 45’00” hingga 121o 01’ 00” BT dan 0o 36’ hingga 0o 56’ LS. Secara fisik administrasi kota Palu mempunyai luas 395.60 km2 atau sekitar 39 560 Ha, dengan batas-batas sebagai berikut:

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Donggala dan Teluk Palu Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong dan

Donggala

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Donggala Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Donggala

Secara administrasi pemerintahan, kota Palu terdiri atas 4 wilayah kecamatan yaitu kecamatan Palu Barat (5 747 Ha), kecamatan Palu Utara (8 969

Ha), kecamatan Palu Selatan (6 135 Ha) dan wilayah kecamatan Palu Timur (18 655 Ha) (Gambar 1). Kelurahan yang tercakup dalam wilayah administrasi kota Palu disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Wilayah Administrasi Kota Palu.

No Kecamatan Desa

1

2

3

4

Palu Timur

Palu Selatan

Palu Barat

Palu Utara

Besusu barat, Besusu tengah, Besusu timur, Lasoani, Layana indah, Poboya, Talise, Tondo

Birobuli Selatan, Birobuli Utara, Kawatuna, Lolu Selatan, Lolu Utara, Palupi, Pengawu, Petobo, Tanamodindi, Tawanjuka, Tatura selatan, Tatura utara

Balaroa, Baru, Boyaoge, Buluri, Donggala kodi, Duyu, Kamonji, Lere, Nunu, Silae, Siranindi, Tipo, Ujuna, Watusampu.

Baiya, Kayumalue Ngapa, Kayumalue Pajeko, Lambara, Mamboro, Panau, Pantoloan,Taipa


(49)

S N

E W

PETA ADMINISTRASI KOTA PALU

KETERANGAN : Palu Barat Palu Selatan Palu Timur Palu Utara Jalan Sungai

5 0 5

Kilometers

Sumber : Bappeda Kota Palu

• •

• •

• •

• •

• •

•

•

•

•

•

•

•

•

•

•

•

•


(50)

Ibukota Kota Palu terletak di Kecamatan Palu Selatan dan jarak dari Kota Palu ke Ibukota Kecamatan lainnya adalah :

1. Kecamatan Palu Timur : 3,0 Km 2. Kecamatan Palu Utara : 21,0 Km 3. Kecamatan Palu Selatan : 2,0 Km 4. Kecamatan Palu Barat : 4,5 Km

4.1.2. Suhu dan Keadaan Iklim

Sebagaimana dengan daerah-daerah lain di Indonesia, Kota Palu. memiliki dua musim, yaitu musim panas dan musim hujan. Musim kering terjadi antara bulan April - September, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Oktober-Maret.

Hasil pencatatan suhu udara pada Stasiun Udara Mutiara Palu tahun 2005 menunjukkan suhu udara maximum tertinggi terjadi pada bulan Maret dan Oktober (28.10°C) dan suhu udara maximum terendah terjadi pada bulan Februari (25.4°C). Suhu rata-rata bulanan tahun 2005 adalah 24.12 oC. Kelembaban udara yang dicatat pada stasiun yang sama berkisar antara 70 - 82 persen. Kelembaban udara rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Mei mencapai 82 %, sedangkan kelembaban udara rata-rata terendah terjadi pada bulan Maret yaitu 70 % (BPS 2006).

Curah hujan rata-rata tahunan yang tercatat pada stasiun Mutiara Palu tahun 2003, 2004, dan 2005 berturut-turut adalah 2.30 mm, 3.30 mm, dan 3.22 mm. Curah hujan tertinggi pada tahun 2005 terjadi pada bulan Juni yaitu 6.5 mm. Sementara itu curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari yang hanya mencapai 0.6 mm. Sementara itu kecepatan angin rata-rata yaitu 4.08 knots dan kecepatan angin maksimum mencapai 5 knots (BPS 2006).

4.1.3. Kependudukan

Hasil registrasi tahun 2005 menunjukkan bahwa jumlah penduduk mencapai 297 873 jiwa. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka tingkat kepadatan penduduk juga mengalami peningkatan. Hingga akhir tahun 2005 kepadatan penduduk tercatat 33.16 jiwa/Ha, dengan luas wilayah Kota Palu


(51)

39 506 Ha. Bila dilihat jumlah penduduk pada tingkat kecamatan, ternyata Kecamatan Palu Barat merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi, sedangkan Kecamatan Palu Utara merupakan wilayah yang terjarang penduduknya.

Komposisi atau struktur umur penduduk di Palu menunjukkan bahwa terdapat 29 persen penduduk masih di bawah 15 tahun. Dengan melihat perbandingan jumlah penduduk yang berusia non produktif dengan penduduk usia produktif dapat diketahui besarnya angka ketergantungan pada tahun 2003 yaitu sebesar 46,24. Artinya bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif (15-64 tahun) menanggung sebanyak kurang lebih 46 orang penduduk usia tidak produktif ( 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas).

Pembangunan dibidang ekonomi diarahkan pada sektor industri dengan didukung oleh sektor pertanian yang tangguh. Perkembangan di sektor pertanian menjadi lebih penting lagi disebabkan jumlah penduduk yang berusaha di bidang pertanian masih sangat besar.

Tanaman padi dan palawija terdiri dari komoditas padi, jagung, kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar. Sedangkan tanaman sayur-sayuran yang diusahakan masyarakat di kota Palu adalah bawang merah, petsai, tomat, bawang daun, ketimun, kacang-kacangan, lombok, terung, bayam dan kangkung. Dari jenis komoditas yang termaksuk dalam kelompok ini, komoditas padi dan jagung yang memiliki areal panen yang cukup luas dan dapat berproduksi yang lebih besar dibandingkan dengan komoditas lainnya. Padi sawah memiliki produksi gabah 686 ton tahun 2005.

4.2 Kecamatan Palu Timur

Kecamatan Palu timur terletak di tengah-tengah Kota Palu dan terletak memanjang dari Barat ke Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Palu Utara - Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Donggala - Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Palu Selatan


(1)

0 0.9990 1 1.0000 2 -0.0245 3 -0.0034 4 -0.0002 6 0.0020 8 -0.0030 9 -0.0002 10 -0.0361 12 -0.0020 13 0.0185

Using rtrw-cmp1_rs as the reference image... Category KIA

--- --- 0 0.9995 1 0.5784 2 -0.0330 3 -0.0335 4 -0.0000 5 0.0000 6 1.0000 7 0.0000 8 -0.0004 9 -0.0412 10 -0.0000 11 0.0000 12 -0.0309 13 0.1774


(2)

Lampiran 3. Hasil Cross tabulasi Peta eksistng 1998 dan peta penggunaan lahan

tahun 2006.

Cross-tabulation of eksisting 1998_rs (columns) against pengg_13_rs (rows)

0 1 2 3 4 6 --- 0 | 1849872 0 95 1 0 238 1 | 0 165620 5811 0 0 4074 2 | 0 0 0 78132 0 0 3 | 0 0 28936 0 0 1 4 | 0 0 0 0 0 2345 6 | 80 0 47638 11577 16 201180 8 | 0 0 0 0 0 258 9 | 129 0 5250 0 20 57678 10 | 0 0 0 0 0 7 12 | 0 0 261 0 0 11380 13 | 4 5 426 0 0 4051 14 | 1 0 19 0 0 336 15 | 0 0 24 0 0 1093 16 | 0 0 41 0 0 5 --- Total | 1850086 165625 88501 89710 36 282646

8 9 10 12 13 Total --- 0 | 0 126 0 1 251 | 1850584 1 | 0 326 0 0 0 | 175831 2 | 0 0 0 0 0 | 78132 3 | 0 0 0 0 0 | 28937 4 | 0 537 0 38 8 | 2928 6 | 163 64385 11 75733 91776 | 492559 8 | 0 360 0 0 24 | 642 9 | 416 28781 0 3303 128 | 95705 10 | 0 0 0 0 0 | 7 12 | 0 11595 0 2671 2197 | 28104 13 | 410 2149 0 1038 2188 | 10271 14 | 0 209 0 6 0 | 571 15 | 4 796 0 31 1 | 1949 16 | 0 150 0 88 6 | 290 --- Total | 993 109414 11 82909 96579 | 2766510

Chi Square = 8868488.00000 df = 130


(3)

Proportional Crosstabulation

0 1 2 3 4 6 --- 0 | 0.6687 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 1 | 0.0000 0.0599 0.0021 0.0000 0.0000 0.0015 2 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0282 0.0000 0.0000 3 | 0.0000 0.0000 0.0105 0.0000 0.0000 0.0000 4 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0008 6 | 0.0000 0.0000 0.0172 0.0042 0.0000 0.0727 8 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 9 | 0.0000 0.0000 0.0019 0.0000 0.0000 0.0208 10 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 12 | 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0041 13 | 0.0000 0.0000 0.0002 0.0000 0.0000 0.0015 14 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 15 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0004 16 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 --- Total | 0.6687 0.0599 0.0320 0.0324 0.0000 0.1022

8 9 10 12 13 Total --- 0 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 | 0.6689 1 | 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0636 2 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0282 3 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0105 4 | 0.0000 0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0011 6 | 0.0001 0.0233 0.0000 0.0274 0.0332 | 0.1780 8 | 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0002 9 | 0.0002 0.0104 0.0000 0.0012 0.0000 | 0.0346 10 | 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0000 12 | 0.0000 0.0042 0.0000 0.0010 0.0008 | 0.0102 13 | 0.0001 0.0008 0.0000 0.0004 0.0008 | 0.0037 14 | 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0002 15 | 0.0000 0.0003 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0007 16 | 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 | 0.0001 --- Total | 0.0004 0.0395 0.0000 0.0300 0.0349 | 1.0000

Kappa Index of Agreement (KIA) ---

Using pengg_13_rs as the reference image... Category KIA

--- --- 0 0.9988 1 0.9382 2 -0.0330 3 -0.0335 4 -0.0000


(4)

6 0.3411 8 -0.0004 9 0.2719 10 -0.0000 12 0.0671 13 0.1846 14 0.0000 15 0.0000 16 0.0000

Using eksisting 1998_rs as the reference image... Category KIA

--- --- 0 0.9997 1 1.0000 2 -0.0291 3 -0.0106 4 -0.0011 6 0.6493 8 -0.0002 9 0.2366 10 -0.0000 12 0.0223 13 0.0190


(5)

Lampiran 4. Pengetahuan Responden tentang RTRW

No Pertanyaan Respon LSM KRT PNS M siswa Siswa 1

Apakah Saudara mengetahui tentang/mendengar istilah RTRW

Ya 2 5 4 2 5

Tidak 15 1 3

2

Apakah Saudara pernah melihat dokumen RTRW Kota Palu

Ya 1 1 1

Tidak 2 19 4 4 5

Jika "ya" dari mana Saudara melihatnya Mendengar dari pertemuan resmi 1 Media masa dan elektronik Melalui saudara /teman/ kerabat 1

Jika "ya" kapan saudara melihat dokumen RTRW Kota Palu tersebut

Sebulan yg lalu Setahun yang

lalu 1 1

lainnya….

3 Apakah saudara sudah memahami dokumen RTRW

Ya 1

Tidak 2 20 4 5 5

4 Apakah Saudara mengetahui manfaat RTRW

Ya 1 4 2 2 2

Tidak 1 15 3 3 3

Tidak peduli 1

5

Apakah saudara akan merujuk ke RTRW jika akan menggunakan lahan milik sendiri?

ya 5 2

tidak 2 14 3

tidak peduli 1

6

Apakah Saudara pernah berperan serta dalam perumusan Rencana Tata Ruang Kota Palu?

Pernah 1

Tidak pernah 2 19 5 5 5

7

Apakah Saudara ingin berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan/tata ruang yang dilakukan pemerintah ?

Ya 1 17 4 5 2

Tidak 1 2 1 3

tidak peduli 1

8

Pernahkah Saudara mengetahui lahan yang digunakan/dibangun (oleh orang lain) tidak sesuai dengan RTRW?

Ya 1 1

Tidak 2 18 5 4 5

tidak peduli 1

9

jika jawaban no 8 “ya” Apakah ada teguran dari Pemda

Ya

Tidak 1

1 0

jika jawaban no 9 "ya", apakah teguran ini

diindahkan oleh pemiliknya

Ya

Tidak

1 1

Menurut Saudara apakah yang menyebabkan terjadinya inkonsistensi

(ketidaksesuaian)

Penggunaan Lahan dengan Rencana Tata Ruang Kota Palu

Tidak tahu

dengan RTRW 2 15 5 5 3

Proses Alam 1 1 1

ketidakpedulian 4 1


(6)

Lampiran 5. Tanggapan Responden terhadap konsistensi RTRW

No Lokasi Respon LSM KRT PNS Msiswa Pelajar Rasio

1

Hutan lindung =>

kebun

Tetap kebun 1 3 3 2 1 27.03% Hutan lindung 1 9 2 2 4 48.65% Industri 8 1 24.32%

2

Pemukiman => peternakan

Tetap untuk

peternakan 3 1 10.81% Pemukiman 2 16 5 5 4 86.49% Kaw pendidikan 2 5.41% Tidak peduli 1 2.70% 3 Sawah =>

pemukiman

Menjadi sawah 2 7 1 4 3 45.95% Pemukiman 10 2 1 2 40.54% Perdagangan dan jasa 3 2 13.51% 4

Perdagangan dan jasa => Permukiman

Tetap menjadi

perdagangan dan jasa 1 9 3 1 5 51.35% Permukiman 1 11 2 4 48.65% 5

Perkantoran => Permukiman

Tetap untuk Perkantoran

Pemerintah 1 15 5 4 5 81.08% Permukiman 1 5 1 18.92%

6

Kaw Industri => permukiman

Tetap untuk Industri 1 8 3 3 1 43.24% Permukiman 1 6 2 1 4 37.84% Sawah 2 5.41% Tegalan 1 2.70% Tidak peduli 4 10.81% 7

Kaw Perikanan

=> pemukiman

Tetap untuk kawasan

perikanan 2 4 5 5 43.24% Permukiman 20 1 56.76%


Dokumen yang terkait

Fungsi Ruang Terbuka Dalam Tata Ruang Kota Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Pemerintah Kota Medan)

3 73 96

Model Sistem Dinamis Ruang Terbuka Hijau Kota Medan Berdasarkan Faktor - Faktor Lingkungan (Studi Kasus Di Kecamatan Medan Polonia Dan Medan Area)

11 86 135

Penerapan Rencana Umum Tata Ruang Kota Berkaitan Dengan Pemberian Izin Lokasi Permukiman

0 19 2

Analisis konsistensi pola pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang (studi kasus kota Palu)

26 88 216

Analisis pola perubahan pemanfaatan ruang dan implikasinya terhadap pelaksanaan rencana tata ruang wilayah kabupaten Sumedang

2 11 140

Konsistensi Rencana Tata Ruang di Kawasan JABODETABEK

0 4 140

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN RUANG TAHUN 2015 TERHADAP RENCANA DETIL TATA RUANG KOTA Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Tahun 2015 Terhadap Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Kecamatan Klaten Selatan Tahun 2013-2018.

0 2 12

ANALISIS DEVIASI PEMANFAATAN RUANG AKTUALTERHADAP RENCANA DETIL TATA RUANG KOTA Analisis Deviasi Pemanfaatan Ruang Aktual Terhadap Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman Tahun 2009-2018.

0 3 14

ANALISIS DEVIASI PEMANFAATAN RUANG AKTUAL TERHADAPRENCANA DETIL TATA RUANG KOTA (RDTRK) KECAMATAN Analisis Deviasi Pemanfaatan Ruang Aktual Terhadap Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman Tahun 2009-2018.

0 1 17

TUGAS AKHIR KINERJA RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) DALAM PEMANFAATAN RUANG DI KOTA SURAKARTA

0 1 159