19 adalah bentuk deskriptif terbaik dalam menggambarkan pola pemanfaatan ruang
yang ada. Bagi seorang perencana, pengetahuan mengenai penggunaan lahan dan
penutupan lahan sangatlah penting dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang memperhatikan aspek lingkungan.
Penggunaan lahan land use dan penutup lahan land cover merupakan dua istilah yang sering diberi pengertian sama, padahal keduanya mempunyai
pengertian berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer 1987, penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup
lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia pada obyek tersebut, dapat berupa konstruksi
vegetasi maupun buatan. Pertambahan penduduk yang pesat dan pemenuhan kesejahteraan
penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman, pertanian, industri, dan rekreasi. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan
penggunaan lahan yang sering tidak mengikuti kaidah konservasi alam Mahmudi 2002. Perubahan penggunaan lahan, misalnya dari hutan menjadi permukiman
atau industri akan mengurangi daya serap tanah terhadap air.
2.2.1. Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang
Pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW yang telah disusun. Namun demikian, kompleksitas
permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat mengakibatkan terjadinya pemanfaatan ruang yang menyimpang dari RTRW. Konsistensi dalam
pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktifitas penggunaan ruang dengan RTRW. Analisis konsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW
bertujuan untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang yang telah dilakukan sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasarpedoman pelaksanaan
pemanfaatan ruang. Menurut Meyer dan Turner 1994, perubahan penggunaan lahan land use
change meliputi pergeseran penggunaan lahan menuju penggunaan lahan yang
berbeda conversion atau intensifikasi pada penggunaan yang telah ada
20 modification. Menurut Rustiadi 2001, proses alih fungsi lahan dapat dipandang
merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang
berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: 1 pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya
permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita; dan 2 adanya
pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam ke aktivitas sektor-
sektor sekunder industri manufaktur dan jasa. Menurut Dardak 2006, upaya menciptakan ruang yang nyaman,
produktif, dan berkelanjutan dirasakan masih menghadapi tantangan yang berat. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya permasalahan yang mencerminkan
bahwa kualitas ruang kehidupan kita masih jauh dari cita-cita tersebut. Permasalahan tersebut antara lain adalah semakin meningkatnya frekuensi dan
cakupan bencana, lingkungan perumahan kumuh dan kemacetan lalu lintas terutama di kawasan perkotaan besar dan metropolitan, semakin menurunnya
kualitas lingkungan hidup di kawasan perkotaan akibat penurunan luas ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan, dan sebagainya.
Meningkatnya kebutuhan akan lahan akibat bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan terjadinya tumpang tindih kepentingan terhadap
sebidang lahan. Hal ini jika dibiarkan dapat mengarah pada pola sebaran kegiatan yang secara ekonomi paling menguntungkan, namun belum tentu menguntungkan
atau bahkan merugikan dari segi lingkungan Wiradisastra 1989. Penggunaan lahan secara umum dipengaruhi oleh dua faktor utama :
1 alami dan 2 manusia. Faktor alami meliputi iklim, topografi, tanah dan bencana alam, sedangkan faktor manusia merupakan aktifitas manusia pada
sebidang lahan. Faktor manusia lebih dominan berpengaruh dibandingkan dengan faktor alam karena sebagian besar perubahan penggunaan lahan disebabkan oleh
aktifitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya dari sebidang lahan tertentu Vink 1965, diacu dalam Sudadi et al. 1991. Menurut Meyer dan Turner 1994,
faktor manusia dapat dibagi menjadi manusia yang melakukan aktifitas pada
21 lahannya dan pemerintah yang menyusun tata ruang atau arahan rencana
penggunaan lahan suatu wilayah. Faktor lain yang menjadi penentu konversi lahan adalah nilai lahan yang diukur dalam produktifitas lahan dan jarak yang
mencerminkan lokasi suatu lahan dan aksesibilitas. Di Indonesia, salah satu masalah pokok dalam usaha penataan penggunaan
lahan dan lingkungan hidup antara lain adalah adanya kontradiksi antara kebutuhan yang menjadi pemakai yang lebih luas di satu pihak dan batasan-
batasan yang berat demi lingkungan hidup Sandy 1980, diacu dalam Sitorus 2004.
Penyimpangan penggunaan lahan yang terkait dari aspek masyarakat sangat dipengaruhi oleh persepsi dan pengetahuan masyarakat itu sendiri.
2.3. Persepsi