Teori kelekatan LANDASAN TEORI

berusia 18 bulan. Pada bulan-bulan awal, bayi akan mengembangkan perasaan percaya terhadap individu-individu dan objek-objek dalam dunia mereka. Rasa percaya pada masa bayi akan membentuk harapan seumur hidup bahwa dunia merupakan tempat yang baik dan menyenangkan untuk dihuni Santrock, 2002. Kelekatan yang aman akan merefleksikan rasa kepercayaan dan kelekatan yang tidak aman akan merefleksikan rasa ketidakpercayaan. Bayi yang mempunyai kelekatan aman telah belajar untuk percaya tidak hanya dengan para pengasuhnya tetapi juga kepada kemampuannya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan Papalia, 2010. Jika rasa ketidakpercayaan mistrust lebih mendominasi maka anak akan memandang dunia sebagai tempat yang tidak bisa diprediksi dan akan memiliki masalah dalam pembentukan hubungan Papalia dan Feldman, 2014. Cindy Hazan dalam Myers, 2012menjelaskan bahwa pengalaman kelekatan di awal kehidupan membentuk dasar model kerja internal atau karakteristik cara berpikir mengenai suatu hubungan. Oleh karena itu, ibu yang memberikan respon akan memberikan rasa dasar kepercayaan bahwa dunia dapat dipercaya maka bayi akan mempunyai kelekatan dengan rasa aman. Penelitian tentang adult attachment menunjukkan bahwa individu dengan secure attachment dibentuk dengan hubungan yang hangat dengan orang tua dan avoidant attachment terbentuk oleh orang tua memiliki hubungan yang dingin dan menolak kebutuhan anak Collins Read, 1990. Collins dan Read 1994 menunjukkan bahwa model kerja harus berkaitan dengan empat komponen, yaitu: a. Kelekatan berkaitan dengan kenangan dan pengalaman individu terutama pada figur utama. b. Kelekatan berkaitan dengan keyakinan, sikap dan harapan pada diri sendiri dan orang lain. c. Tujuan dan kebutuhan hidup berkaitan dengan kelekatan. d. Strategi dan rencana merupakan pencapaian tujuan yang berkaitan dengan kelekatan. Gambar 1. Hierarki Struktur Model Kerja General Model of Self and Others in Relation to Attachment General Model of Self and Others in Model of Peer Relationships Mother Father Romantic Relationship Friendship Gambar diatas menunjukkan bahwa model umum mengenai diri sendiri dan orang lain yang berkaitan dengan kelekatan. Pada masa anak- anak, model atau pola kelekatan terjadi antara hubungan orangtua dan anak dimana ayah dan ibu merupakan figur kelekatan utama. Semakin bertambahnya usia individu kehadiran teman sebaya merupakan hal yang penting selain kehadiran orangtua dalam kehidupan individu. Model kelekatan pada masa remaja terjadi pada teman sebaya yang membentuk suatu hubungan yang dinamakan persahabatan. Individu dewasa akan menjalin hubungan dengan teman sebaya dan akan membentuk suatu ikatan yang kuat. Ikatan tersebut akan semakin kuat dan akan berkembang menjadi hubungan romantik dengan lawan jenis. Berdasarkan data diatas, peneliti menyimpulkan bahwa kelekatan terbentuk pada awal tahun kelahiran bayi. Bayi akan protes dan marah ketika ibu mereka berada jauh. Ini merupakan bentuk kekhawatiran perpisahan dan tekanan emosional yang terlihat pada bayi ketika mereka berpisah dengan ibu yang dianggap sebagai figur kelekatan attachment. Respon baik yang diberikan ibu dapat membentuk kelekatan yang aman bagi sang bayi. 3. Perkembangan Kelekatan pada Masa Dewasa Pola kelekatan yang dimiliki pada masa anak-anak akan mempengaruhi hubungan dimasa dewasa Mercer dan Clayton, 2012. Menurut Bowlby,sebelum individu memperoleh keterampilan bahasa individu mampu membentuk skema dasar mengenai diri sendiri dan orang lain yang membimbing perilaku interpersonal sepanjang hidup individu tersebut. Pada awal masa bayi akan mempengaruhi interaksi individu dengan anggota keluarga, teman sebaya, sahabat, pasangan romantis, pasangan hidup dan orang asing Hazan dan Shaver, dalam Myers 2012. Banyak studi yang menggunakan kuesioner dan wawancara menemukan keterkaitan pola kelekatan di masa bayi akan mempengaruhi kualitas hubungan di masa dewasa Mercer dan Clayton, 2012. Bayi dengan pengasuh yang memberikan respon akan kebutuhan bayi akan memiliki pola kelekatan aman secure attachment sehingga bayi cenderung akan memiliki tingkat kepercayaan tinggi, tidak memiliki kekhawatiran akan ditinggalkan oleh orang lain dan memiliki harga diri yang tinggi.Pada masa dewasa, individu yang memiliki pola kelekatan ini cenderung mudah untuk dekat dengan orang lain, mempunyai kemampuan untuk mempercayai orang lain serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan hubungan yang matang. Dengan hal-hal tersebut individu mampu memiliki hubungan yang bertahan lama dengan pasangannya. Selain itu, mereka cenderung tidak merasa khawatir bila harus bergantung dengan orang lain sehingga menghasilkan kepuasaan dan penyesuaian diri lebih besar. Bayi yang mempunyai pengasuh tidak konsisten dan senang menguasai akan memiliki pola kelekatan cemasambivalen anxious- ambivalent attachment akibatnya bayi memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi daripada rata-rata individu yang lain. Individu dengan pola kelekatan anxious-ambivalent attachment juga dinamakan dengan pola kelekatan preoccupied. Pada masa dewasa, individu ini cenderung memiliki keinginan untuk dekat dengan orang lain namun memiliki kekhawatiran jika orang lain tidak membalas upaya-upaya intimasi atau tidak memiliki kedekatan seperti yang mereka inginkan. Maka dari itu, individu ini cenderung mudah menjalin hubungan dengan orang lain namun mereka cenderung kesulitan mempertahankan hubungan dekat sehingga mereka cenderung memiliki hubungan jangka pendek dan memiliki hubungan yang kurang memuaskan. Selain itu, individu ini memiliki kekhawatiran apabila orang lain tidak menghargai dirinya seperti ia menghargai orang lain. Pengasuh yang menyendiri, menjauh dan menolak upaya-upaya untuk intimasi maka bayi akan menekan kebutuhan untuk kelekatan atau ikatan. Hal ini akan berdampak pada masa dewasa. Maka dari itu, individu ini akan memiliki karakteristik menghindar sehingga memiliki pandangan negatif mengenai orang lain. Individu ini terlihat dalam pola kelekatan dismissing dan fearful. Individu dengan pola kelekatan dismissing akan merasa nyaman meskipun tidak memiliki hubungan emosional dengan orang lain, merasa nyaman tidak bergantung dengan orang lain dan orang lain tidak bergantung pada mereka. Selain itu, individu ini memiliki kesulitan untuk mempercayai orang lain, menolak untuk menjalin hubungan dengan orang lain sehingga kemungkinan kecil untuk menjalin suatu hubungan, memiliki komitmen yang rendah dan kesulitan untuk mengembangkan hubungan dekat dengan orang lain. Individu ini juga cenderung menekan dan menyembunyikan perasaan mereka. Individu dengan pola kelekatan fearful memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain tetapi merasa tidak nyaman untuk dekat dengan orang lain. Individu ini mempunyai pandangan negatif mengenai diri sendiri dan orang lain sehingga merasa mendapat respon yang kurang dari pasangan dan cenderung memiliki rasa ketidakpercayaan dengan pasangan. Oleh karena itu, individu dengan pola kelekatan ini akan menghindari keintiman dan menutupi perasaan terhadap orang lain. Individu yang memiliki pola kelekatan dismissing dan fearful memiliki karakteristik menghindar dari orang lain. Individu tersebut akan menggambarkan hubungan dengan pasangan bahwa pasangannya penuh kecemburuan dan cenderung kurang rasa ketidakpercayaan dengan pasangannya sehingga hubungan mereka kurang bertahan lama. Selain itu, individu ini memandang diri sendiri sebagai orang yang tidak disukai oleh orang lain dan mandiri. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa kelekatan yang dibentuk pada saat bayi akan mempengaruhi individu tersebut dalam hubungan interpersonalnya. Setiap individu memiliki pola kelekatan yang berbeda-beda. Setiap pola kelekatan yang dimiliki seseorang akan membentuk perilaku yang mempengaruhi dalam hubungan interpersonalnya dan kontrol emosi dimasa dewasa. 4. Jenis-jenis Kelekatan pada Masa Dewasa Berdasarkan konseptualisasinya mengenai interaksi ibu dan anak serta skema yang dipelajari, Bowlby 1982 mengemukakan bahwa bayi membentuk satu dari tiga pola kelekatan yaitu pola kelekatan aman secure attachment, kelekatan tidak aman-menghindar insecure-avoidant, dan pola kelekatan tidak aman-ragu-ragu insecure-ambivalent. Ainsworth 1978 mengobservasi pola-pola yang sama dari masa bayi pada interaksi antara ibu dan anak. Interaksi antara model diri sendiri dan model orang lain akan menghasilkan pola kelekatan. Bartholomew Horowitz 1991 mengungkapkan bahwa pada masa dewasa individu memiliki empat pola kelekatan attachment, yaitu secure, preoccupied, dismissing dan fearful. Pola kelekatan secure aman mengarah pada secure attachment kelekatan aman sedangkan pola kelekatan preoccupied, dismissing dan fearful mengarah pada pola insecure attachment kelekatan tidak aman. Bartholomew dan Horowitz 1991 mengajukan empat pola kelekatan. Gambar 2 mengilustrasikan empat pola kelekatan pada masa dewasa sebagai berikut: MODEL OF OTHER Avoidance Positive Low NegativeHigh MODEL OF SELF Dependence Positive Low Negative High Area I Secure Comfortable with intimacy and autonomy Area II Preoccupied Preoccupied with relationship Overly dependent Area III Dismissive Dismissing of attachment Counter- dependent Area IV Fearful Fearful of attachment Socially avoidant Tabel 2.1. Pola kelekatan pada masa dewasa Bartholomew dan Horowitz 1991 menegaskan bahwa pola kelekatan pada masa dewasa dipengaruhi oleh gambaran individu mengenai diri sendiri dan orang lain. Penjelasan ciri khas setiap area dari empat pola kelekatan tersebut adalah sebagai berikut: Area I: Individu dengan pola kelekatan secure memiliki pandangan positif terhadap diri sendiri, orang lain dan hubungan yang mereka jalani. Individu ini tidak mudah bergantung dengan orang lain low dependence dan tidak ingin menghindar low avoidance dari orang lain serta memiliki keseimbangan antara keintiman dan kemandirian. Maka dari itu, individu dengan pola kelekatan secure cenderung memiliki hubungan yang akrab dengan orang lain. Mereka memiliki sikap memandang diri layak sehingga merasa nyaman untuk terlibat dalam hubungan akrab dengan orang lain, memiliki kemampuan untuk mandiri dan mampu untuk membangun rasa kepercayaan terhadap orang lain. Mereka juga terbuka dengan orang lain dan merasa nyaman pada saat dibutuhkan oleh orang lain. Individu ini cenderung memiliki strategi penyelesaian masalah yang efektif dan dapat menyelesaikan konflik secara konstruktif atau membangun. Hal ini dikarenakan individu tidak hanya memiliki pandangan terhadap diri sendiri tetapi juga memiliki pandangan terhadap orang lain secara positif. Area II: Individu dengan pola kelekatan preoccupied memiliki pandangan negatif terhadap diri sendiri namun memiliki pandangan positif terhadap orang lain. Oleh karena itu, individu tersebut cenderung memiliki harapan positif terhadap orang lain tetapi merasa diri mereka tidak berharga sehingga mereka cenderung mudah bergantung high dependence dengan orang lain dan cenderung tidak ingin menghindar low avoidance. Individu ini memiliki kekhawatiran bahwa orang lain mempunyai penilaian yang berbeda dengan penilaian mereka terhadap orang lain. Oleh karena itu, mereka memiliki penerimaan diri sendiri yang bersumber pada penilaian positif dari orang lain sehingga mereka cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah. Hal ini berpengaruh terhadap penyelesaian masalah. Dalam penyelesaian masalah, mereka cenderung bergantung kepada orang lain. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki pandangan positif terhadap orang lain namun memiliki pandangan yang negatif terhadap diri sendiri. Dengan pandangan positif terhadap orang lain, mereka cenderung mudah bergaul dengan orang lain dan selalu ingin diperhatikan oleh orang lain. Dalam hubungan romantik dengan pasangan, mereka cenderung mencari keintiman dan menginginkan respon yang lebih dari pasangannya. Area III: Individu dengan pola kelekatan dismissing memiliki pandangan positif terhadap diri sendiri tetapi memiliki pandangan negatif terhadap orang lain. Individu ini cenderung tidak mudah bergantung low dependence pada orang lain dan cenderung ingin menghindar high avoidance dari orang lain. Pola ini mengindikasikan sikap saling menghindar yang ditandai dengan ketidakpercayaan terhadap satu sama lain sehingga mereka cenderung merasa tidak nyaman dalam menjalin suatu hubungan dengan orang lain dan memilih untuk tidak bergantung dengan orang lain. Mereka memiliki sikap memandang diri layak dengan menolak nilai-nilai dalam hubungan akrab dengan orang lain dan tidak memiliki kekhawatiran mengenai kemandirian. Mereka bergantung pada diri sendiri sehingga memiliki kemandirian secara emosional. Ketika mereka terpisah dengan orang lain atau pasangan, mereka tidak mudah cemas atau cemburu. Dalam penyelesaian masalah pun, mereka tidak berusaha mencari pertolongan atau dukungan dari orang lain. Hal ini dikarenakan mereka memiliki pandangan positif terhadap diri sendiri namun memiliki pandangan negatif terhadap orang lain. Area IV: Individu dengan pola kelekatan fearful memiliki pandangan negatif terhadap diri sendiri dan orang lain. Individu ini cenderung mudah bergantung high dependence dengan orang lain dan cenderung ingin menghindar high avoidance dari orang lain. Maka dari itu, individu ini cenderung menghindari keintiman dan menutupi perasaan mereka. Secara umum, individu ini memiliki pandangan negatif terhadap diri sendiri sehingga mereka cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah. Akan tetapi, mereka memiliki keinginan untuk menjalin hubungan akrab dengan orang lain. Disisi lain, mereka merasa tidak nyaman dengan orang lain karena memiliki kekhawatiran terhadap penolakan-penolakan dari orang lain sehingga mereka menghindari keintiman dengan orang lain. Hal ini dikarenakan mereka memiliki pandangan negatif mengenai orang lain sehingga mereka mengalami kesulitan dalam membangun rasa kepercayaan terhadap orang lain. Mereka juga cenderung memiliki ketidakmampuan dalam menyelesaikan masalah secara emosional namun mereka tidak berusaha untuk mencari dukungan dari orang lain.

B. Kesejahteraan Psikologis psychological well-being

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis

Menurut Diener dan Jahoda dalam Ryff, 1989 penelitian mengenai kesejahteraan psikologis psychological well-being mulai berkembang pesat sejak para ahli menyadari bahwa ilmu psikologi lebih banyak menaruh perhatian pada rasa ketidakbahagiaan dan gangguan-gangguan psikis yang dialami oleh manusia dibandingkan dengan menaruh perhatian pada faktor- faktor yang dapat mendukung dan mendorong individu dapat berfungsi secara positif positive function. Penelitian tentang kesejahteraan psikologis psychological well-being didasari oleh dua pandangan utama. Pandangan pertama adalah hedonicyang memandang bahwa mencapai kebahagiaan merupakan tujuan hidup yang utama. Hedonic dapat dipahami sebagai well-being yang tersusun atas kebahagiaan subjektif dan berfokus pada pengalaman subjektif dari individu yang menyakini bahwa segala sesuatu berupa kebahagiaan. Maka dari itu, hedonic dapat disebut juga dengan subjective well-being. Pandangan hedonic membentuk well-being dengan konsep kepuasaan hidup dan kebahagiaan Bradburn, 1969. Pandangan yang kedua menekankan pada kepuasaan hidup merupakan kunci utama dari well-being. Pandangan dari Ryff 1989 ini disebut dengan eudaimonic atau psychological well-being Ryan Deci, 2001. Waterman 1993 mengemukakan bahwa konsepwell-being dalam pandangan eudaimonic menekankan pada bagaimana cara individu untuk hidup dalam dirinya yang sejati true self. Diri yang sejati ini terjadi ketika individu melakukan aktivitas yang paling sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dan dilakukan secara menyeluruh serta benar-benar terlibat didalamnya fully engaged Ryan Deci, 2001. Pandangan eudaimonic lebih berfokus pada realisasi diri, ekspresi pribadi dan sejauh mana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan potensi dirinya Waterman, dalam Ryan Deci, 2001. Menurut Ryff 1989 psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologis positif positive psychological functioning. Ryff 1989 mengemukakan bahwa psychological well-being sebagai pencapaian penuh diri dari potensi psikologis seseorang individu. Individu membutuhkan dimensi-dimensi untuk dapat mencapai penuh seluruh fungsi dalam dirinya atau menjadi sehat secara psikologis Ryff, 1989. Dimensi-dimensi tersebut antara lain: kemampuan menerima diri sendiri apa adanya self-acceptance, kemampuan mengembangkan potensi dirinya personal growth, hidup yang memiliki tujuan purpose in life, hubungan positif atau hangat dengan orang lain positive relationship with others, kemampuan mengatur lingkungan sosial environmental mastery, dan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri autonomy. Ryff dan Singer 1996 menjelaskan bahwa tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi ditandai dengan individu yang memiliki hubungan baik dengan lingkungan sekitarnya, memiliki kepercayaan diri yang baik, mampu membangun hubungan personal yang baik dengan orang lain dan memiliki tujuan pribadi serta tujuan dalam pekerjaannya. Warr dalam Suryawidjaja, 1998 mengemukakan bahwa psychological well-being merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Bartram dan Boniwell 2007 mengemukakan bahwa psychological well-being berhubungan dengan kepuasaan pribadi, harapan, rasa syukur, stabilitas suasana hati, pemaknaan diri sendiri, harga diri, kegembiraan, kepuasaan dan optimisme. Individu tersebut juga mengetahui kelebihan dan mengembangkan bakat dan minat yang dimilikinya. Psychological well-being memimpin individu untuk menjadi kreatif dan memahami apa yang sedang dilakukannya. Pada awalnya Psychological well-being Ryff merupakan integrasi beberapa teori psikologi klinis dan psikologi perkembangan yang mengarah pada definisi fungsi psikologis positif positive psychological function. Teori-teori tersebut diantaranya adalah aktualisasi diri self actualization menurut Maslow 1968 dan fully functioning person menurut Carl Roger 1961, Erikson 1959 tentang individu yang mencapai integritas. Kesejahteraan psikologis dan psikologi humanistik memiliki kesamaan. Psikologi humanistik mengacu pada konsep kebutuhan hierarki dan meletakkan aktualisasi diri merupakan tingkatan yang paling tinggi. Orang- orang yang berhasil mengaktualisasikan dirinya akan lebih menyukai kemandirian dan memiliki kemampuan untuk menerima diri sendiri dan orang lain Boeree, 2010. Kesejahteraan psikologis juga berkaitan dengan teori Rogers yang memiliki konsep orang yang berfungsi sepenuhnya. Rogers memandang bahwa kesehatan mental merupakan proses perkembangan hidup yang alamiah. Rogers juga mempunyai teori kecenderungan aktualisasi yang diartikan sebagai motivasi yang ada dalam diri individu yang bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi-potensi yang ada Boeree, 2010. Menurut Ryff 1989 konsep-konsep mengenai positive psychological function dapat diintegrasikan menjadi sebuah model psychological well- being sebagai pencapaian penuh individu melalui enam dimensi yang multidimensional. Masing-masing dari dimensi tersebut menjelaskan tantangan berbeda-beda yang akan dihadapi oleh individu dalam usahanya berfungsi secara penuh dan positif. Berdasarkan beberapa pengertian psychological well-being yang dikemukakan oleh beberapa tokoh diatas, peneliti menyimpulkan psychological well-being dalam penelitian ini mengacu pada penelitian kesejahteraan psikologis yang dilakukan Ryff 1989 bahwa kesejahteraan psikologis tidak hanya sebatas pencapaian kesenangan namun sebagai perjuangan menuju kesempurnaan yang dapat menggambarkan perwujudan dari potensi sesungguhnya yang dimiliki seseorang individu. Individu memiliki kemampuan dalam menghadapi berbagai hal yang dapat menimbulkan permasalahan dalam kehidupannya, mampu melalui periode sulit dalam kehidupan dengan mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya dan menjalankan fungsi psikologis positif yang ada dalam dirinya sendiri sehingga individu tersebut dapat merasakan adanya kesejahteraan batin dalam hidupnya.

2. Dimesi Kesejahteraan Psikologis

Ryff 1989 menjelaskan kesejahteraan psikologis dengan enam dimesi yang dimiliki individu. Keenam dimensi tersebut adalah: a. Penerimaan diri self-acceptance Penerimaan diri merupakan sikap yang dapat menerima diri sendiri apa adanya. Penerimaan diri dapat dicapai saat individu mengetahui diri sendiri dengan berusaha memahami tingkah laku diri sendiri, melakukan evaluasi diri, menyadari kesalahan dan keterbatasan diri serta menyadari akan kelebihan dan kelemahan diri sendiri. Individu dapat menerima diri sendiri dengan baik apabila individu tersebut memiliki kesadaran dan penerimaan yang positif terhadap diri sendiri dengan mengakui kelebihan dan kelemahan diri sendiri serta merasa positif pada masa lalu yang individu miliki. Sebaliknya, individu yang merasa kurang puas terhadap dirinya sendiri, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya dimasa lalu, memiliki masalah dengan kelebihan maupun kelemahan dirinya dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dengan dirinya