Hubungan antara kesejahteraan psikologis dengan pola kelekatan dewasa pada ibu bekerja.

(1)

HUBUNGAN ANTARA KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS DENGAN POLA

KELEKATAN DEWASA PADA IBU BEKERJA

Cloudia Metha Hanesthi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesejahteraan psikologis ibu bekejra dengan pola kelekatan yang dimilikinya. Variabel bebas dalam penelitian ii adalah pola kelekatan sedangkan variabel tergantungnya adalah kesejahteraan psikologis. Subjek dalam penelitian ini adalah ibu bekerja yang berusia 20-65 tahun. Jumlah subjek adalah 80 orang. Hipotesis dalam penelitian ini adalah 1) adanya ubungan positif antara pola kelekatan secure dengan kesejahteraan psikologis 2) adanya hubungan negatif antara pola kelekatan preocuupied dengan kesejahteraan psikologis 3) adanya hubungan negatif antara pola kelekatan dismissing dengan kesejahteraan psikologis 4) adanya hubungan negatif antara pola kelekatan fearful dengan kesejahteraan psikologis. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kesejahteraan psikologis dan skala pola kelekatan. Skala kesejahteraan psikologis disusun berdasarkan enam dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). Skala pola kelekatan disusun berdasarkan jenis pola kelekatan menurut Bartholomew & Horowitz (1991). Metode analisis data yang digunakan dalam metode statistik Product-Moment Pearson dengan bantuan SPSS for Windows version 16.0. hasil penelitian ini adalah 1) ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola kelekatan secure dengan kesejahteraan psikologis (r=0,589; p=0,000; p<0,05) 2) ada hubungan negative dan signifikan antara pola kelekatan preoccupied dengan kesejahteraan psikologis (r=-0,342; p=0,001; p<0,05)


(2)

THE RELATIONSHIPBETWEEN A PSYCHOLOGICAL WELL-BEING AND

ADULT ATTACHMENTPATTERN IN WORKING MOTHER

Cloudia Metha Hanesthi

ABSTRACT

The purpose of this research is to know the relationship between a psychological well-being and an adult attachment pattern in working mother. The independent variable was attachment pattern and the dependent variable was psychological well-being. The subjectsin this research is a mother (working mother) in the age of 20 – 65 years old that is 80 people. The hypothesis of this research is 1) there are positive relationship between a secure attachment pattern and a psychological well-being 2) There are negative relationship between a preoccupied attachment pattern and a psychological well-being 3) there are negative relationship between a dismissingattachment pattern and a psychological well-being 4) there are negative relationship between a fearfulattachmentpattern and a psychological well-being. In this research, the instrument that is used is psychology well-being and attachment behavior scale. Psychological well-being is arranged based on Ryff’s 6 dimension of psychological well-being (1989). Attachment behavior scale is arranged based on Bartholomew and Horowitz’s kinds of attachment behavior pattern (1991). The analysis method that is used is Pearson’s method that is statistic Product-moment by SPSS for Windows version 16.0. The result is 1) there is positive and significant relationship between a secure pattern and a psychological well-being (r=0,589; p=0,000; p<0,05) 2) there are negative and significant relationship between a preoccupied pattern and a psychological well-being (r=-0,342; p=0,001; p<0,05)


(3)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Cloudia Metha Hanesthi

NIM : 109114035

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

“Let’s say, today this is our last day that

we have so we must do the best”

“Selalu mengucap syukur untuk semua

hal yang pernah terjadi dalam hidup”


(7)

Karya ini ku persembahkan untuk:

Tuhan Yesus Dan Bunda Maria

Terima kasih semua selalu indah pada waktu-Nya

Bapak dan Ibu tercinta

Untuk dukungan, semangat dan doanya

Dea, Lauren, Yesa

Selalu mendukung dan semangatnya

Keluarga besarku

Untuk segala perhatiannya

Sahabat - sahabatku

Untuk selalu ada dan menemani selama ini


(8)

(9)

HUBUNGAN ANTARA KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS DENGAN POLA

KELEKATAN DEWASA PADA IBU BEKERJA

Cloudia Metha Hanesthi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesejahteraan psikologis ibu bekerja dengan pola kelekatan yang dimilikinya. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pola kelekatan sedangkan variabel tergantungnya adalah kesejahteraan psikologis. Subjek dalam penelitian ini adalah ibu bekerja yang berusia 20 – 65 tahun. Jumlah subjek adalah 80 orang. Hipotesis dalam penelitian ini adalah 1) adanya hubungan positif antara pola kelekatan secure dengan kesejahteraan psikologis 2) adanya hubungan negatif antara pola kelekatan preoccupied dengan kesejahteraan psikologis 3) adanya hubungan negatif antara pola kelekatan dismissing dengan kesejahteraan psikologis 4) adanya hubungan negatif antara pola kelekatan fearful dengan kesejahteraan psikologis. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kesejahteraan psikologis dan skala pola kelekatan. Skala kesejahteraan psikologis disusun berdasarkan enam dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). Skala pola kelekatan disusun berdasarkan jenis pola kelekatan menurut menurut Bartholomew & Horowitz (1991). Metode analisis data yang digunakan adalah metode statistic Product-Moment Pearson dan Spearman Rank dengan bantuan program SPSS for Windows version 16.0. Hasil penelitian ini adalah 1) ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola kelekatan secure dengan kesejahteraan psikologis (r=0,589; p=0,000; p<0,05) 2) ada hubungan negatif dan signifikan antara pola kelekatan preoccupied dengan kesejahteraan psikologis (r= -0,342; p=0,001; p<0,05)


(10)

THE RELATIONSHIP

BETWEEN A PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

AND ADULT ATTACHMENT PATTERN IN WORKING MOTHER

Cloudia Metha Hanesthi

ABSTRACT

The purpose of this research is to know the relationship between a psychological well-being and an adult attachment pattern in working mother. The independent variable was attachment pattern and the dependent variable was psychological well-being. The subjects in this research is a mother (working mother) in the age of 20 – 65 years old that is 80 people. The hypothesis of this research is 1) there are positive relationship between a secure attachment pattern and a psychological well-being 2) There are negative relationship between a preoccupied attachment pattern and a psychological well-being 3) there are negative relationship between a dismissing attachment pattern and a psychological well-being 4) there are negative relationship between a fearful attachmentpattern and a psychological well-being. In this research, the instrument that is used is psychology well-being and attachment behavior scale. Psychological well-being is arranged based on Ryff’s 6 dimension of psychological well-being (1989). Attachment behavior scale is arranged based on Bartholomew and Horowitz’s kinds of attachment behavior pattern (1991). The analysis method that is used is Pearson’s method that is statistic Product-moment and Spearman rank by SPSS for Windows version 16.0. The result is 1) there is positive and significant relationship between a secure pattern and a psychological well-being (r=0,589; p=0,000; p<0,05) 2) there are negative and significant relationship between a preoccupied pattern and a psychological well-being (r= -0,342; p=0,001; p<0,05)


(11)

(12)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Bapa yang Maha Kuasa dan Bunda Maria atas

segala berkat dan rahmat Roh Kudus yang diberikan kepada penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsinya yang berjudul “Hubungan Antara Kesejahteraan

Psikologis dengan Pola Kelekatan Dewasa pada Ibu Bekerja”.

Penelitian ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari berbagai tantangan dan hambatan yang muncul saat menyusun,

melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini. Pelaksanaan penelitian ini dari awal

hingga akhir banyak melibatkan berbagai pihak. Penulis juga menyadari banyak

pihak yang telah mengisi kehidupan penulis selama menimba ilmu Psikologi. Oleh

karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah

memberikan warna-warni untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Mereka adalah :

1.

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas penyertaan, bimbingan dan

berkat-Nya. Saya menjadi kuat dalam mengerjakan skripsi walaupun banyak tantangan

yang dihadapi dan saya mampu menyelesaikan skripsi ini.

2.

Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma yang atas kesempatan yang telah diberikan selama

proses studi.

3.

Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si. selaku kepala program studi. Terima kasih atas

bantuan dan pelajaran yang diberikan dalam kelancaran

4.

Ibu Passchedona Henrietta PDADS, S.Psi., M.A

.

selaku dosen pembimbing

akademik. Terima kasih telah membantu dan memberikan bimbingan serta

saran selama penulis menempuh masa perkuliahan di Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas dukungan dan semangat dari

semester ke semester yang Mba Etta

berikan kepada saya.


(13)

5.

Ibu Debri Pristinella, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih Ibu

telah membimbing, menyediakan waku, memberikan saran dan dorongan, serta

membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini. “Terima kasih atas kesabaran

ibu dalam membimbing saya. Ibu mengajarkan saya untuk berpikir dan

menggali rasa ingin tahu saya dengan mencari secara mandiri bahan bacaan

atau sumber informasi yang berguna dalam penelitian ini”.

6.

Ibu Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. dan Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.si.

selaku dosen penguji.

7.

Seluruh Dosen dan Karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

yang telah membagikan ilmu, pengetahuan, pengalamannya, mendampingi dan

membimbing penulis selama masa studi atas segala kebaikan yang telah

diberikan.

8.

Ibu, yang telah mendukung, memberikan kasih sayang dan dukungan tiada

henti dan tidak pernah mengeluh untuk selalu mengingatkan penulis dan Bapak,

i know you always watch me from heaven. Miss you, pak.

9.

Adik-adik, Dea, Lauren dan Yesa yang selalu memberikan semangat dengan

canda tawa.

10.

Bule Tanti, Mama ning, Om Krido, Om Damar dan seluruh keluarga besar yang

selalu memberikan dukungan dengan caranya masing-masing.

11.

Sahabat hati Andhyka Yulius Sihaloho untuk segala cinta, ketulusan, perhatian,

kepedulian, semangat, kepercayaan, dukungan, kesabaran dan doa yang tak

henti selalu diberikan kepada penulis.

12.

Sahabat, Desi, Angel, Dita, Grego, Erin, Cha-cha yang telah memberikan

semangat dan warna dalam hidup penulis, berbagi kisah dalam perjalanan hidup

kita.

13.

Para subjek penelitian ini, yang rela menyediakan waktu dan bersedia untuk

ikut serta dalam pengambilan data demi keberhasilan penelitian ini.

14.

Teman-teman satu dosen pembimbing Bu Debri atas kebersamaan

berkeluh-kesah, bersukaria saat jenuh mengerjakan skripsi dan belajar bersama.


(14)

15.

Teman-teman Psikologi angkatan 2010 (khususnya kelas A) dan berbagai

angkatan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu

menyebarkan kuesioner, mengisi hari-hari, memberi pengalaman yang berharga

bagi penulis dan atas dinamika yang berjalan selama menempuh masa

pendidikan di Universitas Sanata Dharma.

16.

Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih

untuk dukungan, doa, dan kerjasamanya baik secara langsung maupun tidak

langsung selama ini.

Penulis sangat menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

penulis menerima segala bentuk masukan, saran, dan kritik dari pembaca yang

sifatnya membangun demi perbaikan penelitian selanjutnya. Semoga penelitian

ini dapat memberikan manfaat bagi banyak orang dan kiranya Tuhan senantiasa

memberkati kita semua.

Yogyakarta, 18 Januari 2016

Penulis,


(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I:

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14


(16)

BAB II: LANDASAN TEORI ... 16

A.

Teori Kelekatan

...

16

1.

Pengertian Kelekatan

...

16

2.

Proses terbentuknya Kelekatan ... 19

3.

Perkembangan Kelekatan pada Masa Dewasa ... 22

4.

Jenis-jenis Kelekatan pada Masa Dewasa ... 26

B.

Kesejahteraan Psikologis ... 31

1.

Pengertian Kesejahteraan Psikologis ... 31

2.

Dimensi Kesejahteraan Psikologis ... 35

3.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan

Psikologis ... 41

C.

Ibu Bekerja ... 46

1. Pengertian Ibu Bekerja ... 46

2. Alasan Ibu Bekerja ... 48

D.

Dinamika Hubungan antara Kesejahteraan Psikologis dengan Pola

Kelekatan pada Ibu Bekerja ... 50

E.

Skema ... 58

F.

Hipotesis ... 59

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ... 60

A.

Jenis Penelitian ... 60

B.

Variabel Penelitian ... 60


(17)

D.

Metode Sampling ... 63

E.

Subjek Penelitian ... 63

F.

Metode Pengumpulan Data ... 64

G.

Instrumen Penelitian ... 65

H.

Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian ... 68

I.

Pengujian Instrumen Penelitian ... 73

1.

Validitas ... 73

2.

Analisis dan Seleksi Aitem ... 73

3.

Reliabilitas ... 74

J.

Metode Analisis Data ... 75

1.

Uji Normalitas ... 75

2.

Uji Linearitas ... 76

3.

Uji Hipotesis ... 76

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 77

A.

Pelaksanaan Penelitian ... 77

B.

Deskripsi Subjek Penelitian ... 77

C.

Deskripsi Hasil Penelitian ... 80

D.

Analisis Data Penelitian ... 82

1.

Uji Normalitas ... 82

2.

Uji Linearitas ... 84

3.

Uji Hipotesis ... 85


(18)

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

A.

Kesimpulan ... 91

B.

Saran ... 92

1.

Bagi Ibu Bekerja ... 92

2.

Bagi Peneliti Selanjutnya ... 92

3.

Bagi Pembaca ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94


(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Pola Kelekatan pada Masa Dewasa... 27

Tabel 3.1

Blue Print Skala Kesejahteraan Psikologis ... 67

Tabel 3.2. Blue Print Skala Pola Kelekatan

...

68

Tabel 3.3

Skala Kesejahteraan Psikologis ... 69

Tabel 3.4

Distribusi Skala Kesejahteraan Psikologis Setelah Uji Coba ... 70

Tabel 3.5 Skala Pola Kelekatan ... 71

Tabel 3.6 Distribusi Skala Pola Kelekatan Setelah Uji Coba ... 72

Tabel 4.1.

Deskripsi Subjek berdasarkan Usia ... 78

Tabel 4.2.

Deskripsi Subjek berdasarkan Jumlah Anak ... 78

Tabel 4.3.

Deskripsi Subjek berdasarkan Lama Bekerja dalam Tahun ... 79

Tabel 4.4.

Deskripsi Subjek berdasarkan Jumlah Jam Bekerja ... 80

Tabel 4.5

Deskripsi Data Penelitian ... 81

Tabel 4.6

Uji Normalitas ... 83

Tabel 4.7

Uji Linearitas ... 84

Tabel 4.8

Uji Hipotesis Pola Kelekatan

secure,

Pola Kelekatan

preoccupied

dengan Kesejahteraan Psikologis ... 85


(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Hierarki Struktur Model Kerja ... 21


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Uji coba ... 100

Lampiran 2. Reliabilitas

...

134

Lampiran 3. Skala Penelitian ... 150

Lampiran 5. Uji Normalitas ... 175

Lampiran 6. Uji Linearitas ... 176


(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kepala keluarga mempunyai tugas yang penting untuk memenuhi

kebutuhan keluarga yaitu bekerja. Pernikahan tradisional yang melibatkan

pembagian tegas antara peran suami dan istri, suami sebagai kepala keluarga

yang bertanggung jawab atas kesejahteraan ekonomi keluarga sedangkan istri

melayani suami dan anak serta menciptakan suasana rumah yang baik dan

menyenangkan (Berk, 2012). Memasuki abad ke-21, tidak hanya kepala

keluarga yang membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga,

namun saat ini wanita juga bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan

sehari-hari (Brunetta, 1989). Dalam pernikahan egaliter, pasangan memiliki

kesetaraan dalam kekuasaan dan otoritas. Suami dan istri berusaha

menyeimbangkan antara waktu dan tenaga mereka pada pekerjaan, anak-anak

dan hubungan mereka (Berk, 2012). Menurut Hoffman (1989), ibu-ibu

bekerja merupakan suatu bagian dari kehidupan masa kini. Hal tersebut

bukanlah suatu aspek kehidupan yang menyimpang melainkan suatu respon

terhadap perubahan-perubahan sosial-ekonomi (Santrock, 2002). Saat ini,

telah banyak wanita yang memasuki dunia kerja. Ada berbagai alasan yang

mendorong wanita untuk bekerja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh


(23)

mendorong kaum wanita yang telah berkeluarga untuk bekerja, diantaranya

untuk menambah penghasilan keluarga, agar tidak tergantung pada suami,

mengisi waktu luang, menghindari kebosanan, mengembangkan diri,

memperoleh status dan memperoleh kepuasan.

Pekerjaan di berbagai sektor usaha, mulai dari perhotelan, perbankan

sampai sektor industri, seperti garment dan farmasi hingga profesi yang

tergolong keras, seperti pengemudi angkutan umum dan tenaga operator

alat-alat berat mulai dimasuki oleh kaum wanita. Tak sedikit juga wanita yang

menduduki posisi penting, seperti top manager bahkan hingga menempati

posisi direktur eksekutif (Anogara, 1992). Seiring dengan pesatnya

pembangunan di Indonesia, mulai tampak adanya pergeseran pada peran

kaum wanita. Mereka tidak lagi membatasi perannya sebagai ibu rumah

tangga semata, namun banyak yang berpartisipasi sebagai tenaga kerja aktif

di luar rumah. Menurut hasil penelitian Lembaga Demografi Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia terdapat kecenderungan peningkatan tenaga

kerja wanita, pada tahun 1971-1980 hanya mencapai 38,75% dari tenaga

kerja keseluruhan dan pada tahun 1980-1990 meningkat menjadi 51,65%

(Setiasih, 2005). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah tenaga kerja

wanita meningkat secara signifikan. Jumlah tenaga kerja wanita pada tahun

2009 meningkat mencapai 60,54%; pada tahun 2010 sebesar 60,92%; dan

meningkat mencapai 61,72% pada tahun 2011 (BPS, 2011). Berdasarkan data


(24)

tangga, peran ibu sebagai pekerja sudah menjadi fenomena yang semakin

berkembang.

Wanita bekerja yang telah menikah mempunyai peran dalam keluarga

sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Sebagai wanita yang telah

berkeluarga, mereka dituntut untuk dapat memainkan dua peran yang

berbeda, di rumah mereka dituntut selalu siap memberikan bantuan pada

keluarganya, sedangkan di tempat kerja mereka diharapkan untuk tahu

bagaimana menjadi diri sendiri (Rowartt & Rowartt, 1990). Ini merupakan

tugas utama dari seorang wanita bekerja yang berperan sebagai ibu.

Peran ibu sangat berpengaruh dalam sebuah keluarga terutama bagi

pendidikan dan perkembangan anak. Pada hakikatnya, seorang ibu

mempunyai tugas yang utama yaitu mengatur urusan rumah tangga,

mengurus segala keperluan anak dan suami, mendampingi suami dan

termasuk mengatur dan membimbing anak-anaknya. Menurut Barnard &

Solchany, ibu masih mempunyai beban tanggung jawab dalam perkembangan

anak-anak (Santrock, 2007). Ibu yang bekerja memiliki hubungan dengan

prestasi anak di sekolah. Anak yang memiliki ibu yang bekerja di luar rumah,

cenderung malas dalam belajar karena tidak mendapat pengawasan dari

orangtua. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Crouter di Amerika Serikat

menunjukan hasil bahwa anak laki-laki yang memiliki ibu bekerja

menunjukkan malas belajar dan tidak memperlihatkan prestasi yang menonjol


(25)

Ketika ibu memutuskan untuk bekerja di luar rumah, maka ia rela

kehilangan sebagian waktu bersama anaknya. Ibu yang bekerja tidak

memiliki banyak waktu dengan anak dibandingkan dengan ibu yang tidak

bekerja (Ninik, 2007). Para ibu yang bekerja dapat merasa kehilangan atau

melewatkan peristiwa penting ketika tidak bersama dengan anak selama ia

bekerja. Hal ini membuat para ibu akan memanfaatkan waktu dengan

kegiatan yang berkualitas untuk menggantikan waktu yang telah hilang

bersama anaknya. Ibu dapat memanfaatkan keadaan ini untuk mengajarkan

kepada anak dalam menghargai waktu sehingga anak akan belajar dalam

menggunakan waktunya sebaik mungkin (Itabiliana, 2012). Misalnya, ibu

dapat membuat jadwal aktivitas di rumah dan bukan mengambil dari waktu

yang tersisa. Hal ini dapat membuat anak memahami seberapa penting waktu

terutama ketika bersama ibu mereka.

Banyak persoalan yang dialami oleh ibu rumah tangga yang bekerja di

luar rumah, seperti mereka dituntut memiliki kemampuan dalam mengatur

waktu dengan suami dan anak hingga mengurus keperluan rumah tangga

dengan baik. Putrianti (2007) mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa

wanita dengan peran ganda berkecenderungan tinggi mengalami situasi

dilema karena masing-masing peran menuntut waktu, tenaga, dan pikiran.

Ketika bekerja, wanita mempunyai beban dan hambatan yang lebih berat

daripada rekan prianya. Wanita harus lebih dahulu mengatasi urusan

keluarga, suami dan anak. Sedangkan pria lebih mengutamakan waktu


(26)

terlibat dalam urusan keluarga karena adanya harapan tradisional yang

mengatakan bahwa pekerjaan merupakan hal yang utama untuk pria (Namora

dan Emy, 2007). Pada kenyataannya, banyak wanita yang tidak cukup

mampu mengatasi hambatan tersebut sehingga wanita dituntut memiliki

kemampuan untuk menyeimbangkan peran ganda tersebut (Anoraga, 1992).

Ketika ibu bekerja tidak mampu untuk menyeimbangkan kedua peran ganda

tersebut, maka akan mengganggu proses pencapaian kesejahteraan psikologis

(psychological well-being).

Seseorang yang mempersepsikan dirinya melalui evaluasi perasaan

menyenangkan atau tidak menyenangkan dan evaluasi kepuasaan dalam

hidupnya, maka hal ini disebut kesejahteraan subjektif (subjective

well-being). Berdasarkan aspek subjective well-being, ketika seorang ibu merasa

sejahtera atas peran keibuannya, maka ibu akan cenderung mengalami

perasaan positif sedangkan ketika seorang ibu merasa kurang atau tidak

sejahtera atas peran keibuannya, maka ibu akan cenderung mengalami

perasaan-perasaan negatif. Maka dari itu tinggi rendahnya tingkat subjective

well-being yang dimiliki seorang ibu akan mewakili tingkat pemenuhan

kesejahteraannya ketika menjalani peran keibuannya. Subjective well-being

sama halnya dengan psychological well-being. Namun, titik poinnya berbeda

karena subjective well-being diartikan sebagai tingkat kepuasan individu saja

sedangkan psychological well-being lebih dalam dari itu, mencakup individu


(27)

hangat dengan orang lain, mampu mengontrol kehidupan dan lingkungannya

serta mampu tumbuh dan berkembang.

Levy-Shiff (dalam Papalia, 2009) mengungkapkan bahwa ibu bekerja

yang mampu mengatur diri sendiri dan mampu mengatasi berbagai macam

tuntutan hidup berhasil mencapai kesejahteraan psikologis (psychological

well-being). Menurut Ryff (1989) individu dapat mencapai psychological

well-being jika telah memenuhi beberapa kriteria yaitu seseorang memiliki

kemampuan menerima diri sendiri apa adanya (self-acceptance), mampu

mengembangkan potensi dirinya (personal growth), memiliki keyakinan

bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan hidup (purpose in life),

membentuk hubungan positif atau hangat dengan orang lain (positive

relationship with others), mengontrol atau mengatur kehidupannya dan

lingkungannya (environmental mastery), dan memiliki kemampuan untuk

menentukan tindakan sendiri (autonomy). Keenam kriteria ini berkorelasi

tinggi pada fungsi yang positif seperti kepuasaan hidup dan berkorelasi

rendah pada fungsi yang negatif seperti depresi (Ryff & Singer, 1996).

Berdasarkan hasil penelitian Helmi (1999) yang meneliti pola

kelekatan dan konsep diri, mengungkapkan bahwa individu yang memiliki

pola kelekatan yang aman atau secure maka individu tersebut mempunyai

hubungan yang hangat dengan orang lain dari figur lekat pada masa bayi dan

anak-anak. Hal ini berkaitan dengan kesejahteraan psikologis atau


(28)

yang hangat dengan orang lain maka individu tersebut akan mencapai

kesejahteraan psikologis.

Hasil penelitian (Shek, 1997; Ferriere & Sastre, 2000; Abma, Linssen,

& Van Wel, 2000 dalam Rastogi & Rathi, 2007) menunjukkan bahwa kualitas

hubungan dalam keluarga, terutama dengan orangtua merupakan faktor utama

psychological well-being. Pencapaian psychological well-being khususnya

pada orang dewasa lebih dianggap sebagai hasil kontribusi dari konteks

kehidupan sosial. Perjalanan kehidupan individu termasuk ibu memang tidak

bisa dipisahkan dari kehadiran orangtua. Armsden dan Greenberg (1987)

menemukan bahwa kualitas attachment dengan orangtua merupakan prediktor

yang penting dalam well-being individu.

Bowbly seorang ahli perkembangan anak (Damayanti, 2003),

menyatakan bahwa pondasi awal yang dapat membentuk kepribadian seorang

anak adalah hubungan kelekatan yang kuat antara seorang ibu dengan anak.

Teori kelekatan (attachment) pertama kali dikembangkan oleh Bowlby

(1982), seorang ahli psikoanalisa dari Inggris yang berusaha memahami

tekanan yang dialami oleh bayi yang dipisahkan dari orang tua mereka.

Menurut Bowlby, ketika seorang bayi yang jauh atau dipisahkan dari

orang tuanya maka bayi tersebut akan mengalami suatu reaksi, seperti

menangis. Bayi yang jauh dari orang tuanya akan mengalami rasa ketakutan

dan bayi akan menangis untuk mencegah orang tuanya pergi darinya. Bowlby

1982 (yang dikutip Budiarto, 2006) mengemukakan bahwa menangis yang


(29)

yang merupakan suatu respon yang menunjukkan perpisahan bayi dengan

figur kelekatan utama. Yang dimaksud figur kelekatan utama adalah

seseorang yang memberi dukungan, kasih sayang dan perlindungan.

Kelekatan-kelekatan yang diterima oleh seseorang (anak) dapat

memberikan dampak bagi kehidupan selanjutnya. Weiss (dikutip oleh

Feeney, 1999)menjelaskan bahwa kelekatan (attachment) antara bayi dengan

pengasuhnya akan memberikan dampakpada hubungan individu dengan

individu lainnya pada masa dewasa. Selain itu, berdasarkan teori Bowlby

(Bartholomew, 1990; Bartholomew & Horowitz, 1991) pengalaman kelekatan

dengan pengasuhnya untuk menggambarkan sikap terhadap diri sendiri dan

orang lain untuk membangun relasi dengan orang lain di luar anggota

keluarga di kehidupan masa depan.

Perkembangan seseorang tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan

sosialnya. Kaum kontekstual tidak melihat individu bagian yang terpisah dari

lingkungan namun bagian yang tidak dapat terpisah dengan lingkungan.

Menurut teori bioekologi Brofenbrenner, perkembangan seseorang

dipengaruhi melalui interaksi dua arah antara individu dengan lingkungan

sehari-hari. Interaksi tersebut dimulai dari lingkup yang paling kecil sampai

dengan lingkup yang paling besar, seperti rumah, sekolah, tempat kerja dan

lingkungan tempat tinggal. Mikrosistem merupakan suatu lingkungan

dimanaindividu berinteraksi sehari-hari dan bertatap muka dengan orang lain.

Dalam hal ini, individu tersebut mempunyai peran dan hubungan terhadap


(30)

lingkungan tempat tinggal. Mikrosistem diperluas menjadi mesosistem.

Mesosistem merupakan keterkaitan interaksi dua atau lebih mikrosistem.

Mesosistem dapat mencakup antara rumah dengan tempat kerja atau rumah

dengan teman sebaya. Sebagai contoh, seorang ibu yang dapat menyelesaikan

pekerjaan rumah dengan baik namun kesulitan ketika menyelesaikan tugas di

tempat kerja (Papalia, Olds, Feldman, 2009).

Griffin dan Bartholomew (1994a, 1994b) memperluas kerja Bowbly

pada pola kelekatan pada masa bayi dengan menggambarkan pola kelekatan

pada masa dewasa. Kombinasi sikap terhadap diri dan orang lain

menghasilkan empat pola kelekatan pada masa dewasa. Pola kelekatan

pertama adalah secure dimana individu mencari kedekatan interpersonal dan

merasa nyaman dengan orang lain. Pola kelekatan yang kedua adalah

fearful-avoidant yang menunjukan bahwa individu meminimalkan kedekatan

interpersonal dan menghindari hubungan yang akrab dengan orang lain serta

cenderung memandang orang lain negatif. Pola kelekatan yang ketiga adalah

preoccupied yang memandang diri negatif, namun memandang orang lain

positif. Individu tersebut mencari kedekatan interpersonal namun individu ini

merasa tidak layak untuk orang lain. Pola kelekatan keempat adalah

dismissing memandang diri layak namun cenderung memandang orang lain

negatif.

Baron dan Byrne (2005) membangun konsep kelekatan pada orang

dewasa yaitu kelekatan pada pasangan sebagai figur lekat. Orang dewasa


(31)

hubungan dibandingkan dengan orang dewasa dengan pola kelekatan tidak

aman. Dalam menjalin hubungan, orang dewasa dengan kelekatan yang aman

yakin bahwa pasangan mereka akan ada ketika dibutuhkan, terbuka dengan

pasangan, dan memiliki ketergantungan dengan orang lain serta meminta

orang lain untuk tergantung dengan dirinya. Orang dewasa dengan pola

kelekatan aman akan memandang hubungan cinta dengan pasangan

merupakan hal yang menyenangkan, saling percaya dan bersahabat. Selain

itu, orang dengan gaya ini akan memiliki pandangan yang positif terhadap

diri sendiri, pasangan dan hubungan yang mereka jalin.

Orang dewasa dengan pola kelekatan preoccupied cenderung untuk

tidak peduli dengan menjalin hubungan dekat dengan orang lain dan tidak

bergantung dengan orang lain serta orang lain tidak bergantung pada mereka.

Orang dewasa yang memiliki kelekatan cemas cenderung khawatir bahwa

orang lain atau pasangannya tidak mencintai mereka sepenuhnya, merasa

khawatir orang lain tidak menghargai dirinya, mudah marah, mudah frustasi

dan merasa tidak nyaman ketika hubungan interpersonalnya tidak terpenuhi.

Orang dewasa dengan pola ini cenderung mencari keintiman dan respon yang

lebih dari pasangannya dan kurang positif menilai diri sendiri.

Ketika individu merasa nyaman meskipun tidak memiliki hubungan

emosional dengan orang lain maka individu ini memiliki pola kelekatan

dismissing. Orang dewasa dengan pola kelekatan ini akan merasa nyaman

tidak bergantung dengan orang lain dan orang lain tidak bergantung padanya.


(32)

menjalin hubungan dengan orang lain. Orang dewasa dengan pola kelekatan

ini cenderung menghindari kedekatan dengan orang lain, menekan dan

menyembunyikan perasaannya.

Orang dewasa yang memiliki pola kelekatan fearful-avoidant

mempunyai keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain namun

mereka merasa tidak nyaman untuk dekat dengan orang lain. Mereka juga

mempunyai pandangan yang negatif terhadap diri sendiri dan pasangannya.

Mereka menganggap mendapat respon yang kurang dan kurang percaya pada

pasangan. Oleh kerena itu, orang dengan gaya ini akan menghindari

keintiman dan menutupi perasaan mereka.

Pentingnya pola kelekatan pada masa bayi terhadap perkembangan

hubungan interpersonal pada masa dewasa kelak dan kesejahteraan

psikologisnya (Woodward, Fergusson, & Belsky, 2000). Penelitian yang

dilakukan Pasili dan Canning dengan responden dari Inggris, California, dan

Australia menunjukkan hasil bahwa well-being merupakan hal utama dalam

kualitas dari hubungan sosial antar individu (Lauer & Lauer, 2000).

Kelekatan yang kokoh meningkatkan relasi teman sebaya yang kompeten dan

relasi erat yang positif di luar keluarga. Baron dan Byrne (2005)

mengungkapkan bahwa kedekatan individu yang secara kokoh dekat dengan

orangtua juga dekat secara kokoh dengan teman sebaya, sementara individu

yang tidak dekat dengan orangtua juga tidak dekat dengan teman sebaya.

Ketika masa remaja, teman sebaya memberikan pengaruh yang besar namun


(33)

Hal ini karena antara hubungan dengan orangtua dan hubungan dengan teman

sebaya memberikan pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda

dalam perkembangan remaja. Dalam hal kemajuan sekolah dan rencana karir,

remaja belajar tentang hubungan social di luar keluarga. Mereka berbicara

tentang pengalaman dan minat yang bersifat pribadi. Mereka percaya bahwa

teman sebaya akan memahami perasaan mereka dengan lebih baik

dibandingkan orang dewasa (Santrock, 2007).

Kelekatan tidak sama dengan ketergantungan. Menurut Baron dan

Byrne (2005) ketergantungan merupakan suatu asosiasi interpersonal dimana

dua orang mempengaruhi kehidupan satu sama lain dan terlibat dalam

berbagai aktivitas bersama sedangkan kelekatan merupakan sensasi

ketenangan dan keamanan yang dirasakan dari partner untuk jangka waktu

panjang. Kebutuhan akan kenyamanan dan keamanan adalah hal yang lumrah

dan manusiawi. Begitu juga untuk ibu bekerja, ketika kelekatan dengan

pasangan atau suami terputus atau kurang dalam hal kualitas, maka individu

tersebut akan mencari figur yang attachmentnya lebih kuat pada dirinya

(Ardiani, 2003). Attachment menjadi penting diteliti untuk ibu bekerja untuk

melihat bagaimana pola kelekatan yang dimilikinya dan dampaknya terhadap

anak dan pasangan.

Berdasarkan uraian diatas dan dengan melihat kenyataan yang ada,

maka hal ini mendorong peneliti untuk mengetahui kesejahteraan psikologis

ibu yang bekerja dilihat dari pola kelekatan yang mereka miliki. Peneliti


(34)

dijalankan bersama-sama. Dilihat dari sudut kepribadian, ibu rumah tangga

yang bekerja sebagian besar berada pada tahap perkembangan dewasa awal.

Tahap perkembangan psikososial Erikson masa dewasa awal dituntut untuk

saling berkomitmen. Tugas perkembangan pada masa dewasa awal adalah

membangun hubungan yang intim dengan orang lain (Papalia, Olds &

Feldman, 2009). Berkaitan dengan hubungan yang intim menuntut

keterampilan tertentu, seperti kepekaan, empati, kemampuan

mengomunikasikan emosi, menyelesaikan konflik, dan mempertahankan

komitmen. Penelitian menjadi penting dilakukan karena peneliti ingin melihat

pola kelekatan yang dimiliki ibu bekerja dan kelekatan ibu bekerja dengan

pasangan dan teman sebaya. Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan

dalam diri peneliti “Apakah ada hubungan antara kesejahteraan psikologis

seorang ibu bekerja dilihat dari pola kelekatan yang dimilikinya?” Penelitian

ini akan lebih melihat pada kesejahteraan psikologis wanita yang mempunyai

peran ganda yaitu dengan pola kelekatan yang diterima dari orangtuanya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka peneliti

merumuskan permasalahan penelitian ini, yaitu apakah ada hubungan antara


(35)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan

antara kesejahteraan psikologis ibu bekerja dengan pola kelekatan yang

dimilikinya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang akan dilaksanakan ini diharapkan dapat memberikan

manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi

yang dapat digunakan sebagai bahan kajian dan memperkaya hasil

penelitian dalam bidang psikologi perkembangan, psikologi sosial dan

psikologi keluarga terutama berkaitan dengan pola kelekatan dan

kesejahteraan psikologis ibu bekerja.

2. Manfaat Praktis :

a. Pada ibu bekerja

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi ibu yang bekerja

dalam memberikan informasi mengenai tingkat atau dimensi

kesejahteraan psikologis didalam dirinya dan memperoleh gambaran


(36)

b. Pada suami yang memiliki pasangan yang bekerja

Penelitian ini diharapkan dapat memahami mengenai pola kelekatan

yang dimiliki oleh pasangannya dan dapat memberikan informasi bagi

suami mengenai tingkat kesejahteraan psikologis pasangannya.

c. Pada pembaca

Penelitian diharapkan bermanfaat bagi pembaca dalam memberikan

informasi mengenai macam-macam pola kelekatan dan pengaruhnya


(37)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Teori kelekatan (attachment)

Manusia dilahirkan dalam keadaan yang sepenuhnya tidak berdaya

dan harus menggantungkan diri pada orang lain, terutama ibunya. Oleh

karena itu, ibu mempunyai peranan yang penting terhadap perkembangan

kepribadian anak (Sarwono, 2009). Interaksi antara ibu dan anak dapat

membentuk perkembangan kelekatan yang berperan besar dalam

perkembangan segala kemampuan anak, seperti perkembangan kognitif,

emosi, sosial, moral, dan sebagainya (Cook, 1972).

1. Pengertian Kelekatan

Kelekatan (attachment) adalah suatu ikatan emosional yang kuat

antara bayi dengan ibu (Santrock, 2002). Relasi dengan figur sosial yang

melibatkan fenomena tertentu akan mewakili karakteristik relasi sehingga

membentuk kelekatan. Dalam hal ini periode masa perkembangan saat

masa bayi, figur-figur sosial adalah bayi dengan pengasuh dan

fenomenanya ialah ikatan yang terjadi diantara mereka.

Papalia, Sally dan Ruth Dunskin (2010) mengemukakan kelekatan

merupakan ikatan emosional abadi dan resipokal antara bayi dan

pengasuh. Pengasuh yang memberikan respon terhadap bayi akan


(38)

suka menyendiri dan kurang konsisten terhadap bayi akan menghasilkan

kualitas hubungan yang kurang baik. Hal ini karena antara bayi dan

pengasuh sama-sama memberikan kontribusi terhadap kualitas hubungan

tersebut.

Menurut Robert A. Baron dan Donn Byrne (2005), kelekatan

adalah tingkat keamanan individu yang dialami dalam hubungan

interpersonal. Pada awal masa bayi, individu membangun pola-pola yang

berbeda, namun perbedaan kelekatan yang dimiliki oleh individu akan

tampak mempengaruhi perilaku interpersonal sepanjang hidup. Kelekatan

yang terbentuk pada masa kecil akan mempengaruhi perilaku individu di

masa depan. Saat awal masa bayi tingkat keamanan individu akan

terbentuk dari hubungan interpersonal yang terjadi antara bayi dengan

pengasuh.

Cinta kelekatan orang dewasa adalah suatu ikatan afeksional kuat

dengan orang tertentu yang mengalami kesedihan ketika tanpa sengaja

terpisah dari orang tersebut dan berusaha untuk dekat dengannya ketika kita

merasa terancam (Mercer dan Clayton, 2012). Individu dewasa akan

merasakan kesedihan jika terpisah dari orang tertentu atau orang terdekat

yang dalam hal ini adalah pasangannya.

Kelekatan dewasa (adult attachment) adalah hubungan emosi

antara dua orang yang ditandai oleh keinginan untuk bersama orang tersebut

dan menyayangi orang tersebut serta kondisi tersebut menggambarkan


(39)

keinginan hidup bersama dengan figur lekatnya. Figur lekat adalah

pasangannya.

Bartholomew dan Horowitz (1991) menjelaskan bahwa kelekatan

pada masa dewasa adalah pandangan kelekatan (ikatan afeksi) diri individu

dewasa terhadap orang lain yang dihasilkan dari model mental diri sendiri

dan model mental orang lain, baik secara positif maupun negatif. Model

mental diri yang dimaksud adalah keyakinan bahwa diri dicintai (lovability)

dan layak mendapatkan perhatian (worthiness of care) dari orang lain

sedangkan model mental orang lain dipahami sebagai harapan bahwa orang

lain hadir secara emosional dan responsif.

Menurut teori-teori Bowlby (1969) dan Ainsworth (1978)

kelekatan menunjukkan bahwa cara individu membentuk ikatan dengan

pengasuh utama mempengaruhi skema individu tersebut untuk membentuk

dan mengembangkan hubungan di masa dewasa (Mercer dan Clayton,

2012). Kelekatan yang terbentuk dapat mempengaruhi kualitas hubungan

di masa dewasa.

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai kelekatan diatas,

peneliti mengambil kesimpulan mengenai pengertian dari kelekatan yang

sesuai dengan tujuan penelitian. Sejak perkembangan masa bayi akan

terbentuk kelekatan. Kelekatan merupakan ikatan yang dibentuk antara

bayi dan pengasuhnya. Kelekatan yang terbentuk sejak kecil akan

mempengaruhi individu di masa depan. Ketika dewasa, figur kelekatan


(40)

dewasa akan mengalami kesedihan ketika terpisah dari figur lekatnya.

Dalam hal ini, figur kelekatannya adalah pasangannya. Jadi yang

dimaksud dengan kelekatan dalam penelitian ini adalah ikatan yang

terbentuk dari masa bayi yang menjadi dasar dalam memberikan pengaruh

pada kehidupan interpersonal individu di masa dewasa yang dimana

individu tersebut mempunyai pandangan mengenai model diri sendiri dan

model orang lain.

2. Proses terbentuknya Kelekatan

Psikoanalisa dari Inggris John Bowlby (1969, 1989) menekankan

pentingnya kelekatan pada tahun awal kehidupan bayi dengan respon dari

pengasuh bayi tersebut. Bowlby yakin bahwa bayi dan ibunya membentuk

suatu kelekatan secara naluriah. Ia juga mengemukakan bahwa secara

biologis bayi yang baru lahir diberi kemampuan untuk memperoleh

perilaku kelekatan dari ibu. Bayi menangis, menempel, merengek, dan

tersenyum. Kemudian bayi akan merangkak perlahan-lahan dan berjalan

mengikuti ibu. Hal tersebut dilakukan bayi untuk mempertahankan agar

ibu selalu dekat (Santrock, 2002). Penyatuan kembali bayi dengan ibu

akan membentuk kelekatan yang kuat.

Erikson (1968) yakin bahwa tahun pertama kehidupan merupakan

kerangka waktu kunci bagi perkembangan kelekatan. Tahap pertama dari

delapan tahap perkembangan psikososial Erikson adalah kepercayaan


(41)

berusia 18 bulan. Pada bulan-bulan awal, bayi akan mengembangkan

perasaan percaya terhadap individu-individu dan objek-objek dalam dunia

mereka. Rasa percaya pada masa bayi akan membentuk harapan seumur

hidup bahwa dunia merupakan tempat yang baik dan menyenangkan untuk

dihuni (Santrock, 2002). Kelekatan yang aman akan merefleksikan rasa

kepercayaan dan kelekatan yang tidak aman akan merefleksikan rasa

ketidakpercayaan. Bayi yang mempunyai kelekatan aman telah belajar

untuk percaya tidak hanya dengan para pengasuhnya tetapi juga kepada

kemampuannya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan (Papalia,

2010). Jika rasa ketidakpercayaan (mistrust) lebih mendominasi maka

anak akan memandang dunia sebagai tempat yang tidak bisa diprediksi dan

akan memiliki masalah dalam pembentukan hubungan (Papalia dan

Feldman, 2014).

Cindy Hazan (dalam Myers, 2012)menjelaskan bahwa pengalaman

kelekatan di awal kehidupan membentuk dasar model kerja internal atau

karakteristik cara berpikir mengenai suatu hubungan. Oleh karena itu, ibu

yang memberikan respon akan memberikan rasa dasar kepercayaan bahwa

dunia dapat dipercaya maka bayi akan mempunyai kelekatan dengan rasa

aman.

Penelitian tentang adult attachment menunjukkan bahwa individu

dengan secure attachment dibentuk dengan hubungan yang hangat dengan

orang tua dan avoidant attachment terbentuk oleh orang tua memiliki


(42)

1990). Collins dan Read (1994) menunjukkan bahwa model kerja harus

berkaitan dengan empat komponen, yaitu:

a. Kelekatan berkaitan dengan kenangan dan pengalaman individu

(terutama pada figur utama).

b. Kelekatan berkaitan dengan keyakinan, sikap dan harapan pada diri

sendiri dan orang lain.

c. Tujuan dan kebutuhan hidup berkaitan dengan kelekatan.

d. Strategi dan rencana merupakan pencapaian tujuan yang berkaitan

dengan kelekatan.

Gambar 1. Hierarki Struktur Model Kerja General Model of Self and Others in Relation

to Attachment

General Model of Self and

Others in

Model of Peer Relationships

Mother Father

Romantic Relationship Friendship


(43)

Gambar diatas menunjukkan bahwa model umum mengenai diri

sendiri dan orang lain yang berkaitan dengan kelekatan. Pada masa

anak-anak, model atau pola kelekatan terjadi antara hubungan orangtua dan

anak dimana ayah dan ibu merupakan figur kelekatan utama. Semakin

bertambahnya usia individu kehadiran teman sebaya merupakan hal yang

penting selain kehadiran orangtua dalam kehidupan individu. Model

kelekatan pada masa remaja terjadi pada teman sebaya yang membentuk

suatu hubungan yang dinamakan persahabatan. Individu dewasa akan

menjalin hubungan dengan teman sebaya dan akan membentuk suatu

ikatan yang kuat. Ikatan tersebut akan semakin kuat dan akan berkembang

menjadi hubungan romantik dengan lawan jenis.

Berdasarkan data diatas, peneliti menyimpulkan bahwa kelekatan

terbentuk pada awal tahun kelahiran bayi. Bayi akan protes dan marah

ketika ibu mereka berada jauh. Ini merupakan bentuk kekhawatiran

perpisahan dan tekanan emosional yang terlihat pada bayi ketika mereka

berpisah dengan ibu yang dianggap sebagai figur kelekatan (attachment).

Respon baik yang diberikan ibu dapat membentuk kelekatan yang aman

bagi sang bayi.

3. Perkembangan Kelekatan pada Masa Dewasa

Pola kelekatan yang dimiliki pada masa anak-anak akan

mempengaruhi hubungan dimasa dewasa (Mercer dan Clayton, 2012).


(44)

individu mampu membentuk skema dasar mengenai diri sendiri dan orang

lain yang membimbing perilaku interpersonal sepanjang hidup individu

tersebut. Pada awal masa bayi akan mempengaruhi interaksi individu

dengan anggota keluarga, teman sebaya, sahabat, pasangan romantis,

pasangan hidup dan orang asing (Hazan dan Shaver, dalam Myers 2012).

Banyak studi yang menggunakan kuesioner dan wawancara

menemukan keterkaitan pola kelekatan di masa bayi akan mempengaruhi

kualitas hubungan di masa dewasa (Mercer dan Clayton, 2012). Bayi

dengan pengasuh yang memberikan respon akan kebutuhan bayi akan

memiliki pola kelekatan aman (secure attachment) sehingga bayi

cenderung akan memiliki tingkat kepercayaan tinggi, tidak memiliki

kekhawatiran akan ditinggalkan oleh orang lain dan memiliki harga diri

yang tinggi.Pada masa dewasa, individu yang memiliki pola kelekatan ini

cenderung mudah untuk dekat dengan orang lain, mempunyai kemampuan

untuk mempercayai orang lain serta memiliki kemampuan untuk

mengembangkan hubungan yang matang. Dengan hal-hal tersebut individu

mampu memiliki hubungan yang bertahan lama dengan pasangannya.

Selain itu, mereka cenderung tidak merasa khawatir bila harus bergantung

dengan orang lain sehingga menghasilkan kepuasaan dan penyesuaian diri

lebih besar.

Bayi yang mempunyai pengasuh tidak konsisten dan senang

menguasai akan memiliki pola kelekatan cemas/ambivalen


(45)

lebih tinggi daripada rata-rata individu yang lain. Individu dengan pola

kelekatan anxious-ambivalent attachment juga dinamakan dengan pola

kelekatan preoccupied. Pada masa dewasa, individu ini cenderung

memiliki keinginan untuk dekat dengan orang lain namun memiliki

kekhawatiran jika orang lain tidak membalas upaya-upaya intimasi atau

tidak memiliki kedekatan seperti yang mereka inginkan. Maka dari itu,

individu ini cenderung mudah menjalin hubungan dengan orang lain

namun mereka cenderung kesulitan mempertahankan hubungan dekat

sehingga mereka cenderung memiliki hubungan jangka pendek dan

memiliki hubungan yang kurang memuaskan. Selain itu, individu ini

memiliki kekhawatiran apabila orang lain tidak menghargai dirinya seperti

ia menghargai orang lain.

Pengasuh yang menyendiri, menjauh dan menolak upaya-upaya

untuk intimasi maka bayi akan menekan kebutuhan untuk kelekatan atau

ikatan. Hal ini akan berdampak pada masa dewasa. Maka dari itu, individu

ini akan memiliki karakteristik menghindar sehingga memiliki pandangan

negatif mengenai orang lain. Individu ini terlihat dalam pola kelekatan

dismissing dan fearful.

Individu dengan pola kelekatan dismissing akan merasa nyaman

meskipun tidak memiliki hubungan emosional dengan orang lain, merasa

nyaman tidak bergantung dengan orang lain dan orang lain tidak

bergantung pada mereka. Selain itu, individu ini memiliki kesulitan untuk


(46)

lain sehingga kemungkinan kecil untuk menjalin suatu hubungan,

memiliki komitmen yang rendah dan kesulitan untuk mengembangkan

hubungan dekat dengan orang lain. Individu ini juga cenderung menekan

dan menyembunyikan perasaan mereka.

Individu dengan pola kelekatan fearful memiliki keinginan untuk

menjalin hubungan dengan orang lain tetapi merasa tidak nyaman untuk

dekat dengan orang lain. Individu ini mempunyai pandangan negatif

mengenai diri sendiri dan orang lain sehingga merasa mendapat respon

yang kurang dari pasangan dan cenderung memiliki rasa ketidakpercayaan

dengan pasangan. Oleh karena itu, individu dengan pola kelekatan ini akan

menghindari keintiman dan menutupi perasaan terhadap orang lain.

Individu yang memiliki pola kelekatan dismissing dan fearful

memiliki karakteristik menghindar dari orang lain. Individu tersebut akan

menggambarkan hubungan dengan pasangan bahwa pasangannya penuh

kecemburuan dan cenderung kurang rasa ketidakpercayaan dengan

pasangannya sehingga hubungan mereka kurang bertahan lama. Selain itu,

individu ini memandang diri sendiri sebagai orang yang tidak disukai oleh

orang lain dan mandiri.

Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa kelekatan yang

dibentuk pada saat bayi akan mempengaruhi individu tersebut dalam

hubungan interpersonalnya. Setiap individu memiliki pola kelekatan yang


(47)

membentuk perilaku yang mempengaruhi dalam hubungan

interpersonalnya dan kontrol emosi dimasa dewasa.

4. Jenis-jenis Kelekatan pada Masa Dewasa

Berdasarkan konseptualisasinya mengenai interaksi ibu dan anak

serta skema yang dipelajari, Bowlby (1982) mengemukakan bahwa bayi

membentuk satu dari tiga pola kelekatan yaitu pola kelekatan aman (secure

attachment), kelekatan tidak aman-menghindar (insecure-avoidant), dan

pola kelekatan tidak aman-ragu-ragu (insecure-ambivalent). Ainsworth

(1978) mengobservasi pola-pola yang sama dari masa bayi pada interaksi

antara ibu dan anak.

Interaksi antara model diri sendiri dan model orang lain akan

menghasilkan pola kelekatan. Bartholomew & Horowitz (1991)

mengungkapkan bahwa pada masa dewasa individu memiliki empat pola

kelekatan (attachment), yaitu secure, preoccupied, dismissing dan fearful.

Pola kelekatan secure (aman) mengarah pada secure attachment (kelekatan

aman) sedangkan pola kelekatan preoccupied, dismissing dan fearful

mengarah pada pola insecure attachment (kelekatan tidak aman).

Bartholomew dan Horowitz (1991) mengajukan empat pola

kelekatan. Gambar 2 mengilustrasikan empat pola kelekatan pada masa


(48)

MODEL OF

OTHER

(Avoidance)

Positive (Low)

Negative(High)

MODEL OF SELF (Dependence)

Positive (Low) Negative (High) Area I Secure Comfortable with intimacy and autonomy Area II Preoccupied Preoccupied with relationship Overly dependent Area III Dismissive Dismissing of attachment Counter-dependent Area IV Fearful Fearful of attachment Socially avoidant

Tabel 2.1. Pola kelekatan pada masa dewasa

Bartholomew dan Horowitz (1991) menegaskan bahwa pola

kelekatan pada masa dewasa dipengaruhi oleh gambaran individu

mengenai diri sendiri dan orang lain. Penjelasan ciri khas setiap area dari

empat pola kelekatan tersebut adalah sebagai berikut:


(49)

Individu ini tidak mudah bergantung dengan orang lain (low dependence)

dan tidak ingin menghindar (low avoidance) dari orang lain serta memiliki

keseimbangan antara keintiman dan kemandirian. Maka dari itu, individu

dengan pola kelekatan secure cenderung memiliki hubungan yang akrab

dengan orang lain. Mereka memiliki sikap memandang diri layak sehingga

merasa nyaman untuk terlibat dalam hubungan akrab dengan orang lain,

memiliki kemampuan untuk mandiri dan mampu untuk membangun rasa

kepercayaan terhadap orang lain. Mereka juga terbuka dengan orang lain

dan merasa nyaman pada saat dibutuhkan oleh orang lain. Individu ini

cenderung memiliki strategi penyelesaian masalah yang efektif dan dapat

menyelesaikan konflik secara konstruktif atau membangun. Hal ini

dikarenakan individu tidak hanya memiliki pandangan terhadap diri sendiri

tetapi juga memiliki pandangan terhadap orang lain secara positif.

Area II: Individu dengan pola kelekatan preoccupied memiliki

pandangan negatif terhadap diri sendiri namun memiliki pandangan positif

terhadap orang lain. Oleh karena itu, individu tersebut cenderung memiliki

harapan positif terhadap orang lain tetapi merasa diri mereka tidak

berharga sehingga mereka cenderung mudah bergantung (high

dependence) dengan orang lain dan cenderung tidak ingin menghindar

(low avoidance). Individu ini memiliki kekhawatiran bahwa orang lain

mempunyai penilaian yang berbeda dengan penilaian mereka terhadap

orang lain. Oleh karena itu, mereka memiliki penerimaan diri sendiri yang


(50)

cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah. Hal ini berpengaruh

terhadap penyelesaian masalah. Dalam penyelesaian masalah, mereka

cenderung bergantung kepada orang lain. Hal ini disebabkan karena

mereka memiliki pandangan positif terhadap orang lain namun memiliki

pandangan yang negatif terhadap diri sendiri. Dengan pandangan positif

terhadap orang lain, mereka cenderung mudah bergaul dengan orang lain

dan selalu ingin diperhatikan oleh orang lain. Dalam hubungan romantik

dengan pasangan, mereka cenderung mencari keintiman dan menginginkan

respon yang lebih dari pasangannya.

Area III: Individu dengan pola kelekatan dismissing memiliki

pandangan positif terhadap diri sendiri tetapi memiliki pandangan negatif

terhadap orang lain. Individu ini cenderung tidak mudah bergantung (low

dependence) pada orang lain dan cenderung ingin menghindar (high

avoidance) dari orang lain. Pola ini mengindikasikan sikap saling

menghindar yang ditandai dengan ketidakpercayaan terhadap satu sama

lain sehingga mereka cenderung merasa tidak nyaman dalam menjalin

suatu hubungan dengan orang lain dan memilih untuk tidak bergantung

dengan orang lain. Mereka memiliki sikap memandang diri layak dengan

menolak nilai-nilai dalam hubungan akrab dengan orang lain dan tidak

memiliki kekhawatiran mengenai kemandirian. Mereka bergantung pada

diri sendiri sehingga memiliki kemandirian secara emosional. Ketika

mereka terpisah dengan orang lain atau pasangan, mereka tidak mudah


(51)

berusaha mencari pertolongan atau dukungan dari orang lain. Hal ini

dikarenakan mereka memiliki pandangan positif terhadap diri sendiri

namun memiliki pandangan negatif terhadap orang lain.

Area IV: Individu dengan pola kelekatan fearful memiliki

pandangan negatif terhadap diri sendiri dan orang lain. Individu ini

cenderung mudah bergantung (high dependence) dengan orang lain dan

cenderung ingin menghindar (high avoidance) dari orang lain. Maka dari

itu, individu ini cenderung menghindari keintiman dan menutupi perasaan

mereka. Secara umum, individu ini memiliki pandangan negatif terhadap

diri sendiri sehingga mereka cenderung memiliki kepercayaan diri yang

rendah. Akan tetapi, mereka memiliki keinginan untuk menjalin hubungan

akrab dengan orang lain. Disisi lain, mereka merasa tidak nyaman dengan

orang lain karena memiliki kekhawatiran terhadap penolakan-penolakan

dari orang lain sehingga mereka menghindari keintiman dengan orang lain.

Hal ini dikarenakan mereka memiliki pandangan negatif mengenai orang

lain sehingga mereka mengalami kesulitan dalam membangun rasa

kepercayaan terhadap orang lain. Mereka juga cenderung memiliki

ketidakmampuan dalam menyelesaikan masalah secara emosional namun


(52)

B. Kesejahteraan Psikologis (psychological well-being)

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis

Menurut Diener dan Jahoda (dalam Ryff, 1989) penelitian mengenai

kesejahteraan psikologis (psychological well-being) mulai berkembang

pesat sejak para ahli menyadari bahwa ilmu psikologi lebih banyak menaruh

perhatian pada rasa ketidakbahagiaan dan gangguan-gangguan psikis yang

dialami oleh manusia dibandingkan dengan menaruh perhatian pada

faktor-faktor yang dapat mendukung dan mendorong individu dapat berfungsi

secara positif (positive function).

Penelitian tentang kesejahteraan psikologis (psychological well-being)

didasari oleh dua pandangan utama. Pandangan pertama adalah hedonicyang

memandang bahwa mencapai kebahagiaan merupakan tujuan hidup yang

utama. Hedonic dapat dipahami sebagai well-being yang tersusun atas

kebahagiaan subjektif dan berfokus pada pengalaman subjektif dari individu

yang menyakini bahwa segala sesuatu berupa kebahagiaan. Maka dari itu,

hedonic dapat disebut juga dengan subjective well-being. Pandangan

hedonic membentuk well-being dengan konsep kepuasaan hidup dan

kebahagiaan (Bradburn, 1969).

Pandangan yang kedua menekankan pada kepuasaan hidup merupakan

kunci utama dari well-being. Pandangan dari Ryff (1989) ini disebut dengan

eudaimonic atau psychological well-being (Ryan & Deci, 2001). Waterman

(1993) mengemukakan bahwa konsepwell-being dalam pandangan


(53)

dirinya yang sejati (true self). Diri yang sejati ini terjadi ketika individu

melakukan aktivitas yang paling sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dan

dilakukan secara menyeluruh serta benar-benar terlibat didalamnya (fully

engaged) (Ryan & Deci, 2001). Pandangan eudaimonic lebih berfokus pada

realisasi diri, ekspresi pribadi dan sejauh mana seorang individu memiliki

kemampuan untuk mengaktualisasikan potensi dirinya (Waterman, dalam

Ryan & Deci, 2001).

Menurut Ryff (1989) psychological well-being merupakan istilah yang

digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu

berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologis positif (positive

psychological functioning). Ryff (1989) mengemukakan bahwa

psychological well-being sebagai pencapaian penuh diri dari potensi

psikologis seseorang individu. Individu membutuhkan dimensi-dimensi

untuk dapat mencapai penuh seluruh fungsi dalam dirinya atau menjadi

sehat secara psikologis (Ryff, 1989). Dimensi-dimensi tersebut antara lain:

kemampuan menerima diri sendiri apa adanya (self-acceptance),

kemampuan mengembangkan potensi dirinya (personal growth), hidup yang

memiliki tujuan (purpose in life), hubungan positif atau hangat dengan

orang lain (positive relationship with others), kemampuan mengatur

lingkungan sosial (environmental mastery), dan kemampuan untuk

menentukan tindakan sendiri (autonomy). Ryff dan Singer (1996)

menjelaskan bahwa tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi ditandai


(54)

sekitarnya, memiliki kepercayaan diri yang baik, mampu membangun

hubungan personal yang baik dengan orang lain dan memiliki tujuan pribadi

serta tujuan dalam pekerjaannya.

Warr (dalam Suryawidjaja, 1998) mengemukakan bahwa

psychological well-being merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan

apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitasnya dalam

kehidupan sehari-hari. Menurut Bartram dan Boniwell (2007)

mengemukakan bahwa psychological well-being berhubungan dengan

kepuasaan pribadi, harapan, rasa syukur, stabilitas suasana hati, pemaknaan

diri sendiri, harga diri, kegembiraan, kepuasaan dan optimisme. Individu

tersebut juga mengetahui kelebihan dan mengembangkan bakat dan minat

yang dimilikinya. Psychological well-being memimpin individu untuk

menjadi kreatif dan memahami apa yang sedang dilakukannya.

Pada awalnya Psychological well-being Ryff merupakan integrasi

beberapa teori psikologi klinis dan psikologi perkembangan yang mengarah

pada definisi fungsi psikologis positif (positive psychological function).

Teori-teori tersebut diantaranya adalah aktualisasi diri (self actualization)

menurut Maslow (1968) dan fully functioning person menurut Carl Roger

(1961), Erikson (1959) tentang individu yang mencapai integritas.

Kesejahteraan psikologis dan psikologi humanistik memiliki kesamaan.

Psikologi humanistik mengacu pada konsep kebutuhan hierarki dan

meletakkan aktualisasi diri merupakan tingkatan yang paling tinggi.


(55)

kemandirian dan memiliki kemampuan untuk menerima diri sendiri dan

orang lain (Boeree, 2010). Kesejahteraan psikologis juga berkaitan dengan

teori Rogers yang memiliki konsep orang yang berfungsi sepenuhnya.

Rogers memandang bahwa kesehatan mental merupakan proses

perkembangan hidup yang alamiah. Rogers juga mempunyai teori

kecenderungan aktualisasi yang diartikan sebagai motivasi yang ada dalam

diri individu yang bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi-potensi

yang ada (Boeree, 2010).

Menurut Ryff (1989) konsep-konsep mengenai positive psychological

function dapat diintegrasikan menjadi sebuah model psychological

well-being sebagai pencapaian penuh individu melalui enam dimensi yang

multidimensional. Masing-masing dari dimensi tersebut menjelaskan

tantangan berbeda-beda yang akan dihadapi oleh individu dalam usahanya

berfungsi secara penuh dan positif.

Berdasarkan beberapa pengertian psychological well-being yang

dikemukakan oleh beberapa tokoh diatas, peneliti menyimpulkan

psychological well-being dalam penelitian ini mengacu pada penelitian

kesejahteraan psikologis yang dilakukan Ryff (1989) bahwa kesejahteraan

psikologis tidak hanya sebatas pencapaian kesenangan namun sebagai

perjuangan menuju kesempurnaan yang dapat menggambarkan perwujudan

dari potensi sesungguhnya yang dimiliki seseorang individu. Individu

memiliki kemampuan dalam menghadapi berbagai hal yang dapat


(56)

sulit dalam kehidupan dengan mengandalkan kemampuan yang ada dalam

dirinya dan menjalankan fungsi psikologis positif yang ada dalam dirinya

sendiri sehingga individu tersebut dapat merasakan adanya kesejahteraan

batin dalam hidupnya.

2. Dimesi Kesejahteraan Psikologis

Ryff (1989) menjelaskan kesejahteraan psikologis dengan enam

dimesi yang dimiliki individu. Keenam dimensi tersebut adalah:

a. Penerimaan diri (self-acceptance)

Penerimaan diri merupakan sikap yang dapat menerima diri sendiri

apa adanya. Penerimaan diri dapat dicapai saat individu mengetahui diri

sendiri dengan berusaha memahami tingkah laku diri sendiri, melakukan

evaluasi diri, menyadari kesalahan dan keterbatasan diri serta menyadari

akan kelebihan dan kelemahan diri sendiri. Individu dapat menerima diri

sendiri dengan baik apabila individu tersebut memiliki kesadaran dan

penerimaan yang positif terhadap diri sendiri dengan mengakui kelebihan

dan kelemahan diri sendiri serta merasa positif pada masa lalu yang

individu miliki.

Sebaliknya, individu yang merasa kurang puas terhadap dirinya

sendiri, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya

dimasa lalu, memiliki masalah dengan kelebihan maupun kelemahan


(57)

sendiri dapat dikatakan memiliki nilai yang rendah dalam penerimaan

diri.

Individu dikatakan memiliki taraf kesejahteraan psikologis dalam

aspek penerimaan diri apabila individu tersebut:

1. Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri.

2. Mengakui dan menerima diri sendiri apa adanya (baik positif

maupun negatif).

3. Merasa positif terhadap kehidupan masa lalu dan masa sekarang.

b. Otonomi diri (autonomy)

Otonomi diri dicirikan dengan individu yang menentukan pilihan

sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Dengan kata lain, individu ini

memiliki kemampuan untuk mengevaluasi diri tanpa memperhitungkan

persetujuan orang lain melainkan mengevaluasi dengan standar personal

yang dimiliki. Kemampuan ini ditandai dengan sikap mandiri, dapat

membuat keputusan sendiri dan dapat menghadapi tekanan sosial serta

mengatur atau mengendalikan diri secara internal.

Sebaliknya, individu yang kurang memiliki otonomi diri akan

memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang

lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan

penting, serta bersikap konformis terhadap tekanan sosial.

Jadi, taraf kesejahteraan psikologis (psychological well-being)

seorang individu dalam aspek otonomi terlihat dari sejauh mana individu


(58)

1. Mampu mengevaluasi standar personal bagi perilakunya.

2. Mampu mengendalikan diri dan bersikap mandiri.

3. Mampu bertahan terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan

bertindak dengan cara tertentu.

c. Hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others)

Aspek ini menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang

hangat dan positif dengan orang lain serta adanya rasa kepercayaan

antara individu pada orang lain. Individu yang memiliki hubungan yang

positif dengan orang lain mempunyai rasa empati dan afeksi yang kuat

pada orang lain, dan mampu memiliki rasa cinta dan persahabatan yang

mendalam, membina hubungan yang intim dengan orang lain serta

kemampuan untuk mengarahkan atau membimbing orang lain dan juga

berkonsentrasi pada kesejahteraan orang lain.

Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam aspek hubungan

positif dengan orang lain ditandai dengan tingkah laku yang tertutup

dalam berhubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, sulit

peduli dan terbuka dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustasi

dalam membina hubungan interpersonal dengan orang lain serta tidak

memiliki keinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan

hubungan dengan orang lain.

Jadi, dapat disimpulkan taraf kesejahteraan psikologis individu

dalam aspek hubungan positif dengan orang lain dapat dilihat dari sejauh


(59)

1. Memiliki hubungan hangat, rasa cinta dan persahabatan yang

mendalam.

2. Memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain.

3. Mampu membina hubungan yang intim pada orang lain.

d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Penguasaan lingkungan merupakan aspek yang menekankan pada

kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang

sesuai dengan kondisi psikis dan kepribadiannya. Individu dikatakan

mampu menguasai lingkungannya apabila individu tersebutmemiliki

kemampuan untuk mengatur dan mengontrol lingkungan yang beragam,

berpartisipasi dalam lingkungan diluar dirinya, serta menguasai dan

melakukan perubahan secara kreatif melalui aktifitas fisik maupun

mental. Dengan kata lain, aspek ini melihat kemampuan individu dalam

menghadapi berbagai kejadian di luar dirinya dan mengatur sesuai

dengan keadaan dirinya sendiri.

Individu yang kurang baik dalam aspek penguasaan lingkungan

akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa

tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan keadaan di lingkungan

sekitarnya, kurang peka terhadap kesempatan yang ada di lingkungannya

dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan.

Taraf kesejahteraan psikologis (psychological well-being) inidvidu

dalam aspek penguasaan lingkungan dapat terlihat dari sejauh mana


(60)

1. Mampu mengelola dan mengontrol lingkungan.

2. Mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai

dengan kondisi dirinya dan kepribadiannya.

3. Memiliki kompetensi dalam mengelola lingkungan.

4. Mampu melakukan perubahan secara kreatif.

e. Tujuan hidup (purpose in life)

Aspek ini menekankan pada keyakinan perasaan terhadap tujuan

dan makna hidup. Kemampuan ini ditunjukkan dengan sikap individu

yang memiliki pemahaman menyeluruh mengenai tujuan hidup,

mempunyai keyakinan terhadap tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan

objektif untuk kehidupan. Selain itu, individu memiliki perubahan tujuan

dalam hidup seperti menjadi individu yang lebih produktif dan kreatif

dalam mencapai integrasi emosional pada tahapan perkembangan

selanjutnya. Oleh karena itu, kemampuan tersebut dapat membantu

individu dalam menemukan tujuan dan makna hidup melalui pengalaman

individu sendiri.

Individu dapat dikatakan kurang memiliki tujuan hidup apabila ia

kehilangan makna hidup, kurang memiliki tujuan hidup, merasa

kehilangan arah dalam hidup, kehilangan keyakinan yang memberikan

tujuan hidup dan tidak melihat kejadian masa lalu sebagai makna dalam

hidupnya.

Jadi, taraf kesejahteraan psikologis individu dalam aspek tujuan


(61)

1. Memiliki pemahaman yang jelas mengenai tujuan hidup.

2. Memiliki tujuan dan makna hidup terhadap peristiwa masa lalu

dan masa sekarang.

3. Memiliki perubahan tujuan hidup.

f. Pengembangan diri (personal growth)

Pengembangan diri (personal growth) merupakan pemahaman

keberlanjutan pertumbuhan dan perkembangan individu. Individu yang

memiliki pengembangan diri digambarkan sebagai individu yang

memiliki keterbukaan terhadap pengalaman baru, melihat kemajuan diri

dan memiliki keinginan untuk memperbaiki diri serta memiliki

kemampuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dengan

bertumbuh dan berkembang. Dalam hal ini dapat dikatakan selalu

berkembang melainkan bukan hal yang menetap setelah berhasil

menyelesaikan sebuah permasalahan.

Individu yang memiliki aspek pertumbuhan pribadi yang kurang

baik akan merasa dirinya tidak mengalami perkembangan atau stagnan,

tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan

kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu

dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang lebih baik.

Oleh karena itu, taraf kesejahteraan psikologis (psychological

well-being) individu dapat terlihat dari sejauh mana seseorang:

1. Terbuka terhadap pengalaman baru.


(62)

3. Menyadari potensi, kemajuan diri dan memperbaiki diri.

4. Memiliki perasaan akan perkembangan yang berkelanjutan.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa

menurut perspektif kesejahteraan psikologis (psychological well-being),

kesejahteraan psikologis merupakan proses dimensi yang multidimensional

dalam memenuhi potensi individu. Proses tersebut dilakukan untuk menuju

proses realisasi diri, yang memperlihatkan keberfungsian penuh individu,

kebermaknaan hidup dan aktualisasi diri. Proses dimensi yang

multidimensional meliputi penerimaan diri yang positif, melatih

kemandirian, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, menguasai

lingkungan, pencapaian tujuan dalam hidup serta memiliki kemampuan

untuk mengembangkan potensi diri (Ryff dan Keyes, 1995).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

(psychological well-being)

Menurut Ryff (1989) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

kesejahteraan psikologis (psychological well-being) individu. Faktor-faktor

tersebut, antara lain:

a. Usia

Ryff dan Keyes (1995) mengungkapkan bahwa perbedaan usia

mempengaruhi perbedaan dalam aspek-aspek kesejahteraan psikologis


(63)

(1995) mengungkapkan bahwa bertambahnya usia seseorang akan

meningkatkan aspek otonomi diri dan penguasaan lingkungan, terutama

pada masa dewasa madya. Oleh karena itu, dengan bertambahnya usia

seseorang maka ia akan semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi

dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan sikap yang dapat memilih dan

mengatur lingkungan sekitarnya sesuai dengan kondisi psikis dan

kepribadiannya.

Seseorang yang berada pada masa dewasa awal memiliki aspek

otonomi dan penguasaan lingkungan yang rendah, akan tetapi mengalami

peningkatan dalam aspek pengembangan diri. Namun sebaliknya,

seseorang yang berada pada tahap perkembangan masa dewasa akhir

akan mengalami penurunan dalam aspek tujuan hidup dan

pengembangan diri. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

tidak ada perbedaan yang signifikan dalam aspek penerimaan diri dan

hubungan positif dengan orang lain.

b. Status Sosial Ekonomi

Perbedaan kelas sosial dapat mempengaruhi kesejahteraan

psikologis individu. Menurut Ryff dkk., (dalam Ryan & Decci, 2001)

mengungkapkan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan aspek

penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan

pengembangan diri. Individu yang menempati kelas sosial yang tinggi

memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu


(1)

No. Pernyataan STS TS ATS AS S SS

59. Saya menjalani hidup hari demi hari dan tidak terlalu memikirkan masa depan

60. Saya tidak pernah menyusun dan memikirkan masa depan

61. Saya cenderung tidak memikirkan hidup saya di masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang

62. Tujuan-tujuan yang saya miliki dalam hidup telah menjadi sumber kepuasan bagi diri saya

63. Saya selalu menetapkan tujuan-tujuan hidup dan saya merasa itu sangat bermanfaat

64. Dalam kehidupan sehari-hari, saya selalu membuat jadwal kegiatan 65. Masa lalu yang saya miliki

mempunyai makna tersendiri

66. Dulu, saya menetapkan tujuan-tujuan bagi diri saya, tetapi sekarang hal tersebut tampak sia-sia

67. Ketika saya memikirkan apa yang telah saya lakukan di masa lalu dan apa yang saya harapkan terjadi di masa depan, saya merasa tidak puas 68. Saya jarang membuat jadwal untuk

kegiatan yang akan saya lakukan 69. Saya mencoba untuk melakukan

perbaikan dalam hidup saya 70. Perbaikan dalam hidup akan


(2)

No. Pernyataan STS TS ATS AS S SS

membuat saya sulit melangkah dengan lebih cepat

71. Saya adalah tipe orang yang suka untuk mencoba hal-hal baru

72. Saya menikmati berada dalam situasi baru yang mengharuskan saya

mengubah kebiasan lama dalam bertindak

73. Saya senang mencoba tantangan-tantangan yang baru

74. Bagi saya pengalaman baru tentang hidup tidaklah penting

75. Saya merasa mampu mengatur waktu dengan baik sehingga bisa menyelesaikan segala sesuatu dengan baik

76. Ada hal yang dapat saya kendalikan saat bekerja

77. Saya merasa tidak mampu untuk melakukan sesuatu dengan kemampuan saya sendiri

78. Saya merasa tidak mampu mengatur waktu dengan baik sehingga tidak dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik

79. Dengan berjalannya waktu, saya merasa bahwa saya telah banyak berkembang sebagai seorang pribadi


(3)

No. Pernyataan STS TS ATS AS S SS

80. Saya senang bahwa pandangan saya telah berubah dan semakin matang seiring tahun berganti

81. Saya tidak pernah menyerah untuk melakukan perubahan besar dalam hidup saya

82. Saya merasa belum menjadi pribadi yang kuat karena tidak mendapatkan pencerahan tentang hidup

83. Ketika tahun berganti, saya tidak senang apabila pandangan hidup saya mulai berubah

84. Saya selalu berusaha melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan yang saya miliki.

Selesai.

Periksalah kembali jawaban Anda

Jangan sampai ada yang terlewatkan atau kosong

Terimakasih untuk partisipasinya


(4)

Lampiran 4: Uji Asumsi

A. Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

KA KP PWB

N 80 80 80

Normal Parametersa

Mean 112.02 97.95 378.16 Std. Deviation 8.068 8.923 29.376 Most Extreme

Differences

Absolute .079 .077 .086 Positive .079 .046 .086 Negative -.068 -.077 -.080 Kolmogorov-Smirnov Z .703 .691 .773 Asymp. Sig. (2-tailed) .707 .726 .589 a. Test distribution is Normal.


(5)

B. Uji Linearitas

1. Uji Linearitas Pola Kelekatan secure dengan Kesejahteraan Psikologis

ANOVA Table

Sum of Squares df Mean Square F Sig. PWB * KA Between Groups (Combined) 38916.523 29 1341.949 2.293 .005

Linearity 23671.937 1 23671.937 40.456 .000 Deviation from Linearity 15244.586 28 544.449 .930 .572 Within Groups 29256.364 50 585.127

Total 68172.888 79

2. Uji Linearitas Pola Kelekatan preoccupied dengan Kesejahteraan Psikologis

ANOVA Table

Sum of Squares df Mean Square F Sig. PWB * KP Between Groups (Combined) 38678.847 30 1289.295 2.142 .009

Linearity 4803.517 1 4803.517 7.980 .007 Deviation from Linearity 33875.330 29 1168.115 1.941 .020 Within Groups 29494.040 49 601.919


(6)

Lampiran 5: Uji Hipotesis

Analisis Korelasi Pearson Product Moment

1. Pola Kelekatan secure dengan Kesejahteraan Psikologis

Correlations

secure

kesejahteraan _psikologis secure Pearson Correlation 1 .589**

Sig. (1-tailed) .000

N 80 80

kesejahteraan_psikologis Pearson Correlation .589** 1 Sig. (1-tailed) .000

N 80 80

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

2. Pola Kelekatan preoccupied dengan Kesejahteraan Psikologis

Correlations

preoccupied

kesejahteraan _psikologis preoccupied Pearson Correlation 1 -.342**

Sig. (1-tailed) .001

N 80 80

kesejahteraan_psikologis Pearson Correlation -.342** 1 Sig. (1-tailed) .001

N 80 80