sektor produksi untuk faktor produksi dan T
33
menunjukkan pengeluaran sektor produksi untuk sektor produksi itu sendiri.
2.2.3. Asumsi dan Keterbatasan Model
Seperti halnya pada model Input Output, model SNSE juga menggunakan beberapa asumsi :
1. Keseragaman homogenity, yang menunjukkan bahwa setiap sektor
memproduksi suatu output tunggal dengan struktur input tunggal dan tidak ada substitusi otomatis terhadap input dari sektor yang berbeda-beda.
2. Kesebandingan proportionality, yang menyatakan hubungan antara input
dan output di dalam sektor merupakan fungsi linier yaitu jumlah tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding dengan
kenaikan atau penurunan output sektor tersebut. 3.
Penjumlahan additivity, yang berarti bahwa efek total dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan dari efek masing-masing kegiatan.
4. Ekses kapasitas atau kapasitas sumber daya berlebih. Artinya sisi penawaran
selalu dapat merespon perubahan sisi permintaan, sehingga interaksi permintaan dan penawaran tidak pernah menimbulkan kesenjangan antara
keduanya. Konsekuensinya harga-harga tidak pernah berubah atau harga tetap fixed price dan bersifat eksogen tidak muncul dalam persamaan SNSE.
2.3 Penelitian Terdahulu
Djohar 1999 menganalisis pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan masyarakat Kotamadya Batam dengan pendekatan model SNSE. Hasil
yang didapat adalah dampak pengembangan sektor unggulan terhadap sektor yang tidak diunggulkan tidak menunjukkan hasil yang akan membuat sektor yang tidak
diunggulkan menjadi lebih berperan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan, bahkan sebaliknya terjadi kecenderungan menjadikan sektor yang tidak
diunggulkan menjadi tidak berperan. Hal ini dilihat dari hasil injeksi yang dilakukan jika masing-masing sektor unggulan diinjeksi sebesar 1.000 satuan,
maka dampak peningkatan yang terbesar akan tetap diterima oleh sektor unggulan itu sendiri. Dari segi distribusi pendapatan antara masyarakat yang ada di Pulau
Batam perkotaan dengan yang di luar Pulau Batam pedesaan tidak seimbang. Hal ini terbukti bila dilihat baik dari distribusi pendapatan maupun pengeluaran
dari total pendapatan tenaga kerja sektor unggulan, maka lebih banyak diterima oleh rumah tangga kota dan ditransfer keluar wilayah.
Ropingi 1999 menggunakan SNSE sebagai alat analisis yang dapat memberikan informasi tentang kegiatan masyarakat di Kabupaten Boyolali. Dari
hasil perhitungan analisis yang dilakukan antara hubungan luas kepemilikan lahan dengan pendapatan rumah tangga menunjukkan bahwa peluang rumah tangga
mempunyai lahan bertambah dengan meningkatnya pendapatan dan faktor yang berpeluang dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah adanya fasilitas
kesehatan, adanya penggunaan teknologi, luas lahan, tingkat pendidikan dan kepemilikan kendaraan bermotor.
Sukarna 2001 meneliti tentang kinerja dan prospek ekspor teh Indonesia. Penulis meneliti teh karena teh merupakan salah satu komoditas andalan ekspor
dan penyerap tenaga kerja. Kinerja dilihat dari sisi permintaan dan penawaran
serta indeks Revealed Comparative Advantage RCA, sementara untuk mengetahui kinerja dan prospek ekspor dilakukan analisis SWOT, yaitu dengan
mengkaji peluang dan ancaman yang dihadapi teh Indonesia di pasar dunia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan ekspor produksi teh belum
diikuti oleh peningkatan kualitas terutama untuk teh hijau sehingga mutunya kurang sesuai dengan permintaan konsumen. Untuk pasar ekspor baik teh hitam
maupun teh hijau masih mengandalkan pada beberapa negara saja sehingga pasarnya sangat tergantung dari negara-negara tersebut.
Darmawan 2003 meneliti sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Penulis menyatakan bahwa sektor pertanian
memberikan kontribusi sebesar 52,42 persen terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Takalar. Meski demikian, penerimaan sektor pertanian belum optimal.
Di mana penerimaan aktual sektor pertanian sebesar Rp 252 milyar, terdapat selisih Rp 32 milyar dengan nilai analisis optimal yang diperoleh melalui metode
pemrograman linear, yaitu sebesar Rp 284 milyar. Artinya, produksi sektor pertanian, masih dapat terus ditingkatkan sampai nilai optimal tersebut.
Tjitroresmi 2003 melakukan penelitian tentang strategi pemasaran dan pengembangan bisnis udang untuk pasar ekspor dengan menggunakan metode
Analytical Hierarcy Process AHP dan Strenght Weakness Opportunities Threats SWOT. Dari hasil analisis dengan menggunakan AHP, makin tinggi nilai tukar
mata uang maka akan dipilih sebagai negara tujuan ekspor. Dari segi pemasaran hasil menunjukkan bahwa Indonesia yang sebelumnya merupakan negara
eksportir utama di Asia untuk pasaran dunia, beberapa tahun terakhir ini mendapat
pesaing dari negara lain yang teknologi penangkapan maupun budidayanya cenderung meningkat. Berdasarkan analisis SWOT, maka potensi sumberdaya
laut yang dimiliki serta penguasaan teknologi untuk kegiatan penangkapan maupun budidaya tambak udang merupakan kekuatan untuk dapat meraih peluang
pasar dunia yang masih cukup menjanjikan keuntungan. Hafizrianda 2005 menganalisis peranan sektor ekonomi berbasis
pertanian dalam distribusi pendapatan regional di Propinsi Papua. Penelitian ini menggunakan SNSE, peranan sektor pertanian pada distribusi pendapatan nominal
di Papua sangat menonjol. Sektor yang berbasis pertanian seperti tanaman, perikanan dan kehutanan berkontribusi pada net multiplier masing-masing sebesar
0,37, 0,31, dan 0,31. Walaupun peran sektor pertanian tinggi di Papua, tapi sektor ini tidak memberikan pengaruh yang positif pada perubahan distribusi pendapatan
rumah tangga. Berdasarkan analisis redistribusi pendapatan SNSE, sektor ini memberikan pengaruh yang merugikan bagi mekanisme distribusi pendapatan
rumah tangga. Anggar 2006 menganalisis peranan sektor pariwisata terhadap
perekonomian Indonesia dengan menggunakan pendekatan SNSE. Peneliti menganalisis tentang distribusi pendapatan pada faktor produksi, institusi, dan
sektor produksi akibat adanya perubahan pengeluaran wisatawan mancanegara serta akibat dari adanya kebijakan peningkatan anggaran promosi sektor
pariwisata dalam Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan konsumsi wisatawan
mancanegara pada tahun 2005 akan peningkatan nilai tambah faktor produksi,
institusi, dan sektor produksi masing-masing sebesar Rp 3.299,44 milyar, Rp 2.769,70 milyar, dan Rp 6.592,95 milyar. Peningkatan anggaran promosi sektor
pariwisata juga meningkatkan nilai tambah faktor produksi institusi, dan sektor produksi dengan masing-masing peningkatan sebesar Rp 2.373,66 milyar, Rp
2.455,82 milyar, dan Rp 4.651,28 milyar. Pada penelitian ini, yang akan diteliti adalah lima sub sektor pertanian
yaitu sub sektor tanaman pangan, sub sektor tanaman lainnya, sub sektor peternakan dan hasil-hasil lainnya, sub sektor kehutanan dan perburuan, dan sub
sektor perikanan karena dari segi Produk Domestik Bruto merupakan sektor yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi ketiga terbesar setelah
sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Oleh karena itu peneliti akan membahas simulasi peningkatan ekspor sebesar 20 persen yang terjadi pada
kelima sub sektor tersebut. Penelitian ini mempunyai perbedaan dengan penelitian-penelitian lain yaitu akan dilakukan penelitian dengan meningkatkan
ekspor sektor pertanian secara keseluruhan lima sub sektor, selain itu belum ada peneliti lain yang meneliti kenaikan ekspor sektor pertanian dengan menggunakan
metode Sistem Neraca Sosial Ekonomi.
2.4 Kerangka Pemikiran