Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stress Kerja pada Pejabat Eselon III Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008

(1)

TESIS

Oleh

KEMALAHAYATI

067010010/KK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan

Dalam Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja, Pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

KEMALAHAYATI

067010010/KK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Nomor Pokok : 067010010

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(Prof. Dr. Habibah Hanum Nst, Sp.PD, K, Psi) (Sri Supriyantini. S. Psi. MSi)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr.Drs.R.Kintoko Rochadi, MKM) (Prof Dr Ir. T.Chairun Nisa B., MSc)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Habibah Hanum Nst, Sp.Pd, K, Psi Anggota : 1. Sri Supriyantini. Psi. Msi

2. Dr.Drs.R.Kintoko Rochadi, MKM 3. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK


(5)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN

DENGAN STRESS KERJA PADA PEJABAT ESELON III

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ACEH BESAR

TAHUN 2008

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 21 Agustus 2008


(6)

pekerjaan di suatu organisasi. Pejabat eselon III merupakan salah satu sumber daya manusia dalam organisasi pemerintahan di Kabupaten Aceh Besar. Secara umum pejabat eselon III tersebut tidak terlepas dari beban kerja, tanggung jawab dan kondisi lingkungan kerja serta adanya tuntutan efesiensi waktu, sehingga menjadi pemicu terjadinya stres.

Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional study bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pejabat eselon III yang berada di wilayah kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar dan sekaligus menjadi sampel penelitian yaitu sebanyak 101 orang. Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner dan data dianalisis dengan uji korelasi pearson dan uji regresi linear pada tingkat kepercayaan 95% ( =0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan uji korelasi pearson, variabel beban kerja (p=0,007),variabel lingkungan kerja (p=0,025) mempunyai hubungan signifikan dengan stres kerja pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar, namun variabel fasilitas kerja (p=0.449) tidak mempunyai hubungan signifikan dengan dengan stres kerja pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar. Hasil uji regresi berganda linear menunjukkan beban kerja berpengaruh secara signifikan dengan stres pada pejabat eselon III (P=0,006).

Disarankan agar meningkatkan profesionalisme kerja pejabat eselon III dengan mengikut sertakan pelatihan-pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya, melakukan pertemuan rutin dalam mengevaluasi kinerja bawahan untuk membentuk hubungan kekeluargaan dalam meningkatkan lingkungan kerja psikis, serta melakukan evaluasi secara rutin terhadap kondisi fisik lingkungan kerja di masing-masing instansi, dan pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti pada jumlah sampel yang lebih besar dan menambah variabel penelitian serta manajemen stress pada pejabat eselon lain.


(7)

mentality or physical, emotional and spiritual condition in his daily life or when working for an organization. Echelon III officials are one of the human resources in the governmet organization in Aceh Besar District. Generally, the echelon III officials cannot get rid of work load, responsibility, the condition of work environment, and the demand for time efficiency that become the trigger of the incident of stress.

The purpose of this analytical study with cross sectional approach is to examine the factors which are related to the work stress of the echelon III officials in Aceh besar District. The population of this study is all of the 101 echelon III officials in the work area of the district government of Aceh Besar who, at the same time, become the samples for this study. The data needed for this study were collected through questionnaires distributed to the samples/respondents and the data obtained were analyzed by means of pearson correlation and multiple linear regression tests at the level of confidence of 95% ( = 0.05).

The result of this study reveals that based on the pearson correlation test, work load (p = 0.007) and work environment (p = 0.025) have a significant relationship with work stress of the echelon III officials in Aceh Besar District, but work facility (p = 0.449) does not have a significant relationship with work stress of the echelon III officials in Aceh Besar District. The result of multiple linear regression test shows that work load has a significant influence on the stress in the echelon III officials (p = 0.006).

It is suggested that work professionalism of the echelon III officials be improved according to the procedure of quality improvement of their productivity and the physical condition of work environment in each district government agency be routinely evaluated. It is expected that the future researches would do it in a bigger number of samples and add the research variables and stress management for the other echelon officials.

Key words: Work Stress, Work Load, Condition of Work Environment, Work Facilities


(8)

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan izin dan rahmat Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada program Magister Kesehatan Kerja Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya :

Komisi pembimbing yaitu : Ibu Prof. Dr. Habibah Hanum Nst, Sp.PD, K,Psi, Ibu Sri Supriyantini S. Psi. MSi yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan Tesis sehingga tesis ini semakin sempurna.

Bapak Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Bapak DR.Drs.R.Kintoko Rochadi, MKM selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Ibu dr. Halinda Sari Lubis, MKKK selaku Sekretaris jurusan Program Magister Kesehatan Kerja Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dan Bapak/Ibu staf pengajar yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingan kepada penulis selama penulis menjalani perkuliahan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada PEMDA Kabupaten Aceh Besar yang telah memberi izin kepada penulis dalam melakukan penelitian.


(9)

Secara khusus penulis menyampaikan rasa sayang dan terima kasih yang tidak terhingga kepada orang tua tercinta Ibunda Rohana dan Ayahanda r Abubakar Hanafiah (Alm), segala apa yang telah diberikan tidak akan dapat dibalas oleh penulis dan hanya doa serta ucapan syukur kepda Allah SWT yang dapat penulis sampaikan atas anugerah ini, terma kasih semoga senatiasa mendapat ridha di sisiNya dan diampuni segala dosanya.

Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada suami tercinta Ir.Busra Thamrin MM, anak-anak tercinta/sayangi Ardi Ihksanul, Khalish Farhan, dan Muhammad Daffa Zhafran yang selalu mendampingi, memberi dukungan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

Penulis menyadari Tesis ini tidak luput dari kekeliruan, akhirnya penulis berharap semoga penulisan Tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca untuk kemajuan Ilmu Pengetahuan Khususnya bidang Kesehatan dan Keselamatan kerja.

Medan, Agustus 2008


(10)

dan Ibunda Rohana. Yang beralamat Jln.Wedana komp Mibo Inda No 15 Banda Aceh.

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 16 Banda Aceh : lulus tahun 1981 2. SMP Negeri I Banda Aceh : lulus tahun 1984 3. SMAK Banda Aceh : lulus tahun 1988 4. AAK Banda Aceh : lulus tahun 2002 5. FKM Unmuha Banda Aceh : lulus tahun 2005

6. Masuk pendidikan Magister Kesehatan kerja USU tahun 2006.

Riwayat Pekerjaan :

1. Tahun 1988-1990, Sebagai tenaga suka rela di Laborratorium Puskesmas Latihan Banda Aceh.

2. Tahun 1990-1999, Sebagai staf Laboratorium Rumah Sakit Malahayati Swasta Banda Aceh.

3. Tahun 1993-1998, Diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dan penugasan di Puskesmas Baiturrahman Kota Banda Aceh.

4. Tahun 1998 sampai sekarang bekerja di Puskesmas Mibo Kec. Banda Raya Kota Banda Aceh.


(11)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Hipotesis Penelitian... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Stress ... 8

2.1.1 Pengertian Stress ... 8

2.1.2 Pengertian Stress Kerja ... 10

2.1.3 Proses Stress... 10

2.1.4 Tahapan Stress ... 14

2.1.5 Gejala Stress... 17

2.1.6 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Stress Kerja... 19

2.1.7 Reaksi Terhadap Stress ... 23

2.1.8 Stress dan Daya Tahan Tubuh... 24

2.1.9 Akibat Stress ... 25

2.2 Kondisi Lingkungan Kerja... 28

2.3 Beban Kerja... 29

2.4 Pegawai Negeri Sipil... 30

2.5 Jabatan... 33

2.6 Eselonering dalam Jabatan Struktural... 34

2.7 Pejabat Eselon III ... 37

2.8 Landasan Teoritis ... 40

2.9 Kerangka konsep ... 42

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 43

3.1 Jenis Penelitian... 43


(12)

3.4.2 Cara Pengumpulan Data... 44

3.5 Variabel dan Defenisi Operasional ... 45

3.5.1 Variabel Penelitian Terdiri Dari... 45

3.5.2 Defenisi Operasional... 45

3.6 Metode Pengukuran ... 46

3.7 Uji Validitas dan Reliabilitas Data ... 48

3.8 Metode Analisa Data... 49

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 50

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 50

4.2 Deskripsi Variabel Penelitian... 51

4.3 Analisis Faktor- faktor yang berhubungan dengan Stres Kerja ... 58

4.4 Analisis Multivariat... 59

BAB 5 PEMBAHASAN ... 61

5.1 Stres Kerja Pejabat Eselon III ... 61

5.2 Hubungan Beban Kerja dengan Stres Kerja Pejabat Eselon III ... 62

5.3 Hubungan Kondisi Lingkungan Kerja dengan Stres Kerja Pejabat Eselon III... 64

5.4 Hubungan Fasilitas Kerja dengan Stres Kerja Pejabat Eselon III .... 67

5.5 Analisis Multivariat... 68

5.6 Keterbatasan Penelitian ... 68

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

6.1 Kesimpulan ... 69

6.2 Saran... 69


(13)

3.1 Pengukuran Variabel... 46

3.2 Pengkategorian Beban Kerja, Kondisi Lingkungan Kerja, Fasilitas Kerja dan Stres Kerja... 47

4.1 Distribusi Frekuensi Variabel Responden berdasarkan Umur ... 51

4.2 Distribusi Frekuensi Variabel Responden berdasarkan Pendidikan ... 52

4.3 Distribusi Frekuensi Variabel Responden berdasarkan Masa Kerja... 52

4.4 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Beban Kerja ... 53

4.5 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Kondisi Lingkungan Kerja ... 55

4.6 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Fasilitas Kerja ... 56

4.7 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Stres Kerja ... 5

4.8 Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja... 58


(14)

2.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 42

4.1 Skala interval beban kerja pada distribusi normal ... 53

4.2 Skala interval kondisi lingkungan kerja pada distribusi normal ... 54

4.3 Skala interval fasilitas kerja pada distribusi normal ... 56


(15)

1. Jadwal Penelitian ... 75

2 a. Identifikasi Responden ... 76

2 b. Pengukuran Beban Kerja ... 77

2 c. Pengukuran Lingkungan Kerja ... 78

2 d. Pengukuran Fasilitas ... 79

2 e. Pengukuran Stress Kerja ... 80

3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 82

4. Master Data Penelitian ... 90

5. Analisis uji Statistik ... 92

6. Surat Keterangan Izin Penelitian dari Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara... 98


(16)

1.1 Latar Belakang

Dalam era globalisasi sekarang ini aparatur pemerintah dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat. Pegawai negeri merupakan bagian yang intergral dari pemerintah, mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku pelayanan tersebut. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang No. 43 tahun 1999 tentang pokok-pokok kepegawaian, yang menyatakan bahwa setiap pegawai negeri memiliki kedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintah dan pembangunan (Himpunan Peraturan kepegawaian, 2006).

Pejabat adalah salah satu pemangku jabatan struktural yang mempunyai kedudukan sangat strategis didalam organisasi perangkat daerah. Pejabat merupakan jabatan manajerial yang diduduki oleh seorang PNS, yang telah memenuhi syarat kemampuan kepemimpinan dan kemampuan tehnis fungsional yang memadai sesuai dengan jabatannya (Nainggolan, 1994).

Untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, pejabat berkedudukan dibawah Kepala Dinas, dalam suatu instansi pemerintah adanya pejabat eselon III,dan pejabat eselon IV. Khususnya pejabat eselon III diharapkan mampu merencanakan,


(17)

melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi kinerja dari instansi bersangkutan guna mewujudkan pelayanan yang dimaksud.

Pegawai negeri yang diangkat dalam jabatan eselon III diharapkan dapat mewujudkan aparatur negara yang berdayaguna, berhasil guna serta sanggup dan mampu melaksanakan tugas dengan sebaiknya (Prijodarminto, 1993)

Pada survei awal dapat dilihat tugas yang dibebankan kepada pejabat eselon III tersebut, dimana Ia harus merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi kegiatan di bidangnya pada instansi yang bersangkutan, sehingga akan menimbulkan stres kerja pada pejabat yang bersangkutan.

Stress adalah ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spritual manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia (Widyastuti, 1999).

Stress dalam suatu lingkungan pekerjaan sampai dengan batas yang dapat ditolerir bisa memberikan suatu rangsangan sehat guna mendorong individu-individu dalam suatu organisasi untuk memberikan tanggapan positif terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi sehingga mereka terpacu untuk mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki dalam rangka memenuhi tugas dan tanggung jawabnya. Bila ini yang terjadi maka stress pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas dan prestasi kerja (Mistiani, 2007).

Pada kondisi yang sebaliknya, yakni stress yang berlebihan atau sudah tidak mampu lagi ditolerir oleh seorang individu akan menimbulkan dampak yang tidak sehat, karena individu tersebut kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya


(18)

secara utuh. Akibatnya ia tidak mampu lagi mengambil keputusan-keputusan yang tepat dan bahkan terkadang perilakunya ikut terganggu. Dampak lain yang mungkin terjadi adalah sakit secara fisik, putus asa, sering absen, dan lain-lain. Akhirnya selama stress ini belum teratasi, maka akan terjadi tingkat produktivitas/prestasi kerja yang cenderung rendah dan terus menurun. Kondisi yang kurang lebih sama dapat juga terjadi bila dalam lingkungan pekerjaan tersebut tidak ada stress sama sekali, karena tantangan-tantangan kerja tidak ada sehingga pekerjaan menjadi suatu hal yang sangat membosankan dan menjenuhkan.

Pada saat ini pejabat eselon III dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan, Ia harus bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan yang ada, sehingga harus mampu mengontrolnya dan menyelesaikan dengan baik. Keadaan ini menuntut energi, waktu dan pikiran yang lebih banyak bagi pejabat eselon III, sehingga pengalaman-pengalaman stress yang dialami akan menjadi terasa berat.

Menurut Cooper (1983), Overload dapat dibedakan menjadi kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan overload secara kuantitatif, bila target kerja melebihi kemampuan pekerjaan yang bersangkutan, akibatnya mudah lelah dan berada dalam ketegangan tinggi. Overload kualitatif, bila pekerja memiliki tingkat kesulitan atau kerumitan yang tinggi.

Berdasarkan wawancara dan survey awal terhadap pejabat eselon III, ada keluhan bahwa mereka memiliki beban kerja yang terlalu besar, karena pejabat eselon III selain melaksanakan tugas pokok untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi


(19)

dan mengevaluasi kegiatan di bidangnya, Ia juga dibebankan sebagai Pejabat Pengelola Teknis Kegiatan (PPTK), yang harus bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan yang ada di bawahnya. Mereka merasa tidak mampu mengontrol beban yang tinggi.

Disamping tuntutan tugas diatas, ada berbagai faktor lain yang dapat menimbulkan stress kerja, seperti yang dikemukakan oleh Cooper (1983), yaitu: Kondisi lingkungan kerja : Kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah sakit, mengalami stress, dan menurunkan produktivitas kerja. Lingkungan yang kurang nyaman, misalnya panas, berisik, sirkulasi udara kurang baik, membuat penderita mudah stres.

Pejabat-pejabat suatu instansi dihadapkan dengan keterbatasan–keterbatasan seperti tempat tinggal yang jauh dari lokasi pekerjaan, tidak mendapatkan fasilitas trasportasi yang memadai.

Hal ini terlihat dari para pejabat yang bekerja di Kabupaten Aceh Besar terutama yang bekerja di Kota Jantho, (ibu kota Aceh Besar) yang memiliki jarak 52 km dari pusat Kota Banda Aceh. Pada umumnya pejabat eselon III tersebut tinggal di Kota Banda Aceh, yang mengakibatkan harus bekerja dan menempuh jarak yang jauh, dan bila bertugas diluar gedung dengan menggunakan transportasi umum atau pribadi, fasilitas dan kondisi lingkungan kerja yang kurang mendukung.

Kondisi yang terjadi pada pejabat eselon III pada survei awal tersebut penting untuk menjadi perhatian agar dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan stress yang potensial dan pemecahannya, sebab suatu ketidakseimbangan


(20)

antara keinginan dan kemampuan untuk memenuhinya, sehingga dapat menimbulkan konsekuensi penting pada pejabat eselon III, terutama dalam kualitas pelayanan terhadap masyarakat.

Seperti yang dikemukakan oleh Hidayah T (1998), bahwa ada beberapa alasan mengapa stress dalam lingkup pekerjaan perlu diperhatikan, mengingat : (1) Masalah stress mempunyai posisi yang sangat penting dalam setiap kegiatan kerja, (2) Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersumber pada individu, stress juga dipengaruhi oleh faktor dalam organisasi. Oleh karena itu perlu disadari dan dipahami keberadaannya, (3) Pemahaman akan sumber-sumber stress yang disertai pemahaman terhadap upaya penanggulangannya adalah penting sekali bagi para pemimpin dan bawahannya yang terlihat dalam organisasi untuk kelangsungan organisasi yang sehat dan efektif, dan (4) Setiap manusia akan mengalami stress dalam berbagai tingkatan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, terlihat pentingnya dilakukan penelitian untuk mengkaji berbagai faktor yang berhubungan dengan pada pejabat eselon III di Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar.

1.2 Permasalahan

Pejabat eselon III Pemerintah daerah Kabupaten Aceh Besar dalam tugasnya tidak terlepas dari beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress kerja. Maka permasalahan dalam penilitian ini adalah:


(21)

2. Apakah ada hubungan antara kondisi lingkungan kerja dengan stress pada pejabat eselon III?

3. Apakah ada hubungan antara fasilitas kerja dengan stress pada pejabat eselon III?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui hubungan antara beban kerja dengan stress kerja pada pejabat eselon III .

2. Untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan kerja dengan stress kerja pada pejabat eselon III.

3. Untuk mengetahui hubungan antara fasilitas kerja dengan stress kerja pada pejabat eselon III.

1.4 Hipotesa Penelitian

1. Ada hubungan antara beban kerja dengan stress kerja pada pejabat eselon III. 2. Ada hubungan antara kondisi lingkungan kerja dengan stress kerja pada pejabat

eselon III.

3. Ada hubungan antara fasilitas kerja dengan stress kerja pada pejabat eselon III.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Dapat menambah wawasan pengetahuan yang berhubungan dengan kesehatan kerja khususnya tentang faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pejabat eselon III.


(22)

2. Sebagai informasi bagi Pemda mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja, sehingga dapat dimanfaatkan dalam membuat program pembinaan pada pejabat eselon III, dalam meningkatkan produktivitas kerja serta melakukan upaya penanggulangan stress kerja

3. Sebagai bahan informasi bagi penelitian lebih lanjut, terutama untuk peneliti yang berkaitan dengan stress kerja.


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stress

2.1.1 Pengertian Stress

Setiap manusia dari berbagai lapisan bisa mengalami stress, yang diakibatkan adanya tuntutan dan tantangan, kesulitan, ancaman ataupun ketakutan terhadap bahaya kehidupan yang semakin sulit dipecahkan, sehingga sering kali di dapati seseorang mengalami ketegangan psikologis, merasa ada keluhan yang kadang-kadang memerlukan perawatan dan pengobatan (Rasmun, 2004).

Stress adalah respon adaptif melalui karakteristik individu atau proses psikologi secara langsung terhadap tindakan, situasi dan kejadian eksternal yang menimbulkan tuntutan khusus baik fisik maupun psikologis individu yang bersangkutan (Nasution, 2000).

Menurut Spielberger (dalam Charles A, 1992) stress adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang. Stress biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan berasal dari dalam atau dari luar diri seseorang. Menurut Hans Selye, stress adalah respon manusia yang bersifat nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban yang ada dalam dirinya (Depkes RI, 1989).

Menurut Vincent Cornelli, (dalam Grant Brecht, 2000) bahwa yang dimaksud dengan Stress adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh


(24)

perubahan dan tuntutan kehidupan, yang dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut.

Menurut Soeharto (dalam Sonaryo, 2002) Stress adalah kekuatan yang mendesak atau mencekam yang menimbulkan suatu ketegangan dalam diri seseorang

Stress memberi dampak secara total pada individu yaitu terhadap fisik, psikologis, intelektual, sosial dan spiritual. Stress dapat mengancam keseimbangan psikologis. Stress emosi dapat menimbulkan perasaan negatif atau destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain. Stress intelektual akan mengganggu persepsi dan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah. Stress sosial akan mengganggu hubungan individu terhadap kehidupan (Rasmon, 2004).

Stress yang menimpa begitu banyak orang, adalah suatu keadaan batin yang diliputi kekhawatiran akibat perasaan seperti takut, tidak aman, ledakan perasaan yang berlebihan, cemas dan berbagai tekanan lainnya, yang mengganggu keseimbangan tubuh. Ketika seseorang menderita stress, tubuhnya bereaksi dan membangkitkan tanda bahaya, sehingga memicu terjadinya beragam reaksi biokimia di dalam tubuh: stress mengganggu keseimbangan alamiah dalam diri manusia. Jika keadaan yang tidak normal ini secara terus-menerus akan mengganggu kesehatan tubuh, dan berdampak pada beragam gangguan fungsi tubuh. Akan tetapi salah satu dampak yang paling ditakuti dari stress adalah serangan jantung.

Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa stress merupakan respon adaptif individu terhadap tuntutan eskternal yang mempengaruhi kondisi fisik, serta psikologi individu.


(25)

2.1.2 Pengertian Stress Kerja

Luthans (dalam Widyastuti, 2000) mendefinisikan stress kerja sebagai suatu peristiwa pada pekerja di organisasi perusahaan, yang mempengaruhi terhadap psikologis dan fisik seseorang yang akan mengganggu pelaksanaan kerja.

Robin (dalam Sunaryo, 2002) memberikan definisi stress kerja sebagai suatu kondisi dinamis dimana individu dihadapkan pada kesempatan, hambatan dan keinginan dan hasil yang diperoleh sangatlah penting tetapi tidak dapat dipastikan.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa pengertian stress kerja adalah suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang.

2.1.3 Proses Stress

Menurut Nasution, (2000) dalam peristiwa stress, ada tiga hal yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Tiga hal tersebut adalah :

a. Hal, peristiwa, keadaan, orang yang menjadi sumber stress (stressor) jika dipandang secara umum, hal-hal yang menjadi sumber stress dipahami sebagai rangsangan (stimulus).

b. Orang yang mengalami stress (she stessed), kita dapat memusatkan perhatian pada tanggapan (respons) orang tersebut terhadap hal-hal yang dinilai mendatangkan stress. Tanggapan orang tersebut terhadap sumber stress dapat mempengaruhi pada psikolgis dan fisiologis. Tanggapan ini disebut strain, yaitu


(26)

tekanan atau tegangan yang dapat membuat pola pikir, emosi, prilakunya berubah, dapat membuat gugup dan gelisah. Secara fisiologis kegugupan dan kegelisahan itu dapat berpengaruh pada denyut jantung yang cepat, perut mual, mulut kering, banyak keringat dan lain-lain.

c. Hubungan antara orang yang stress dengan keadaan yang penuh stress merupakan suatu hal yang berpengaruh timbal balik dengan usaha penyesuaian dengan lingkungan stress, proses fisik dan perilaku.

Menurut Rosenmen dan Chesney (dalam Hawari,2001) bahwa stress apabila ditinjau dari tipe kepribadian individu dibedakan menjadi 2 macam yaitu:

a. Tipe Yang Rentan (vulnerable)

Terdapat pada tipe A yang disebut A Type Personality dengan pola perilaku Type A Behavior Pattern. Individu dengan tipe ini memiliki resiko tinggi mengalami stress, dengan ciri-ciri kepribadian sebagi berikut:

a. Cita-citanya tinggi (ambisius) b. Suka menyerang (agresif)

c. Suka bersaing (kompetitif) yang kurang sehat. d. Banyak jabatan rangkap

e. Emosional, yang ditandai dengan mudah marah, mudah tersinggung, mudah mengalami ketegangan, dan kurang sabar

f. Terlalu percaya diri (over confident) g. Self control kuat


(27)

i. Tindakan dan cara bicaranya cepat dan tidak dapat diam (hiperaktif) j. Capek dalam berorganesasi (organisatoris)

k. Cakap dalam memimpin (leader). l. Tipe kepemimpinan otoriter

m. Berkerja tidak mengenal waktu (workaholic) n. Bila menghadapi tantangan senang bekerja sendiri o. Disiplin waktu yang ketat

p. Kurang rileks dan serba terburu-buru q. Kurang atau tidak ramah

r. Tidak mudah bergaul

s. Mudah empati, tetapi mudah bersikap bermusuhan t. Sulit dipengaruhi

u. Sifatnya kaku (tidak fleksibel)

v. Pikiran tercurah ke pekerjaan walaupun sedang libur w. Berusaha keras agar segala sesuatunya terkendali

b. Tipe yang kebal (immune)

Terdapat pada tipe B yang di sebut B Type Personality, dengan ciri-ciri kepribadiannya sebagai berikut:

a. Cita-cita ambisinya wajar b. Berkompetisi secara sehat c. Tidak agresif


(28)

d. Tidak memaksakan diri

e. Emosi terkendali, yang ditandai dengan tidak mudah marah, tidak mudah trsinggung, penyabar, dan tenang

f. Kewaspadaan wajar g. Self control wajar h. Self confident wajar i. Cara bicara tenang

j. Cara bertindak tenang dan dilakukan pada saat yang tepat k. Ada keseimbangan waktu bekerja dan istirahat

l. Sikap dalam memimpin maupun berorganisasi akomodatif dan manusiawi m. Mudah bekerja sama (kooperatif)

n. Tidak memaksakan diri dalam menghadapi tantangan o. Bersikap ramah

p. Mudah bergaul

q. Dapat menimbulkan empati untuk mencapai kebersamaan (mutual benefit). r. Bersikap fleksibel, akomodatif, dan tidak merasa dirinya paling benar s. Dapat melepaskan masalah pekerjaan ataupun kehidupan di saat libur t. Mampu menahan dan mengendalikan diri.


(29)

2.1.4 Tahapan Stress

Menurut Amberg (dalam Hawari,2001) tahapan stress terdiri dari 6 tahap sebagai berikut :

a. Stress tahap pertama (paling ringan), yaitu stress yang disertai perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.

b. Stress tahap kedua, yaitu stress yang di sertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau saluran cerna lainnya tidak nyaman (bowel discomfort), jatung berdebar, otot tengkul dan punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.

c. Stress tahap ketiga, yaitu tahapan stress dengan keluhan, seperti defikasi tidak teratur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang, emosional, insomia, terjaga dan sulit tidur kembali (middle insomia), bangun terlalu pagi dan sulit untuk tidur kembali ( late insomia), koordinasi tubuh terganggu, dan mau jatuh pingsan. d. Stress tahap keempat, yaitu tahapan stress dengan keluhan, seperti tidak mampu

bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan, respon tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.

e. Stress tahap kelima, yaitu tahapan stress yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental (physical and phyohological exhaustion), ketidak mampuan


(30)

menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik.

f. Stress tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stress dengan tanda-tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak nafas, badan gemetar, dingin dan banyak ber keringat, kurang gairah, collaps ataupun sampai pingsan.

Hans Selye (dalam Nurmiati A, 2002) memperkenalkan suatu konsep tentang stress yang dikenal dengan General Adaptation Syndrom. Ia menyatakan bahwa ada tiga fase yang dapat diidentifikasikan bila seseorang terpapar stress, yaitu :

1. Tahap reaksi waspada, pada tahap ini dapat terlihat reaksi psikologis “fight or flight syndrome” dan reaksi fisiologis. Pada tahap ini individu mengadakan reaksi pertahanan terekspos pada stressor. Tampak fisik yang akan muncul adalah denyut jantung meningkat, peredaran darah meningkat, darah diferifer dan gartrointestinal meningkat ke kepala dan ekstremitas. Karenanya banyaknya organ tubuh terpengaruh, maka gejala stress akan mempengaruhi denyut nadi, ketegangan otot. Pada saat yang sama, daya tahan tubuh berkurang, dan bahkan bisa stressor sangat besar atau kuat dapat menimbulkan kematian.

2. Tahapan melawan, pada tahap ini individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi untuk mengatasi stressor ini. Tubuh berusaha menyeimbangkan proses psikologis yang telah dipengaruhi selama reaksi waspada untuk sedapat mungkin kembali ke keadaan normal dan pada waktu yang sama pula tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stress. Apabila proses fisiologis telah teratasi maka


(31)

gejala-gejala stress akan menurun, tubuh akan secepat mungkin berusaha normal kembali karena ketahanan tubuh ada batasnya dalam beradaptasi. Jika stressor berjalan terus dan tidak dapat diatasi/terkontrol maka ketahanan tubuh untuk beradaptasi akan habis dan individu tidak akan sembuh.

3. Tahap kelelahan, tahap ini terjadi ketika ada suatu perpanjangan tahap awal stress dimana tubuh individu telah terbiasa. Energi penyesuaian terkuras, dan individu tersebut tidak dapat lagi mengambil dari berbagai sumber untuk penyesuaian yang digambarkan pada tahap kedua. Akan timbul gejala penyesuaian terhadap lingkungan. Tanpa ada usaha untuk melawan, kelelahan bahkan kematian dapat terjadi. Bila tubuh terekspos pada stressor yang sama dalam waktu yang sangat lama secara terus menerus, maka tubuh yang semula telah biasa menyesuaikan diri, akan kehabisan energi untuk beradaptasi. Pada keadaan ini timbul kembali tanda-tanda waspada, namun tahap ini bersifat ireversibel. Daya tahan tubuh terhadap suatu stressor tidak dapat dianggap dapat bertahan selamanya karena pada suatu saat energi untuk adaptasi itu akan habis.


(32)

2.1.5 Gejala Stress

Gejala stress menurut Beehr (1987) dibagi menjadi tiga gejala yakni : gejala psikologis, gejala fisik dan perilaku.

Tabel 2.1. Gejala stress berdasarkan gejala psikologi,fisik dan perilaku.

Gejala psikologis Gejala fisik Gejala prilaku Kecemasan, ketegangan Meningkatnya nadi dan

tekanan darah

Menunda, menghindari pekerjaan

Binggung,marah, sensitive

Meningkatnya sekresi Adrenalin

Produktivitas menurun

Memendam perasaan Gangguan lambung Minuman keras Komunikasi tidak efektif Mudah terluka Perilaku sabotase

Mengurung diri Mudah lelah fisik Produktivitas menurun

Depresi Kematian Banyak/kurang makan

Merasa terasing Gangguan kardiovaskuler Nafsu makan hilang Kebosanan Gangguan pernafasan Tindakan resiko tinggi Ketidak puasan kerja Sering berkeringat Kriminalis

Lelah mental Gangguan kulit Interpersonal

Menurunnya intelektual Kepala pusing Cenderung bunuh diri Hilang daya konsentrasi Kanker

Hilang kreastifitas Ketegangan otot Hilang semangat hidup Sulit tidur

Menurut Anoraga (2001) gejala stress ringan sampai berat meliputi : a. Gejala emosional :

Mudah lupa, sulit konsentrasi, cemas, was-was, mudah marah, mudah menangis, gelisah dan putus asa.


(33)

b. Gejala sosial :

Banyak merokok, minum alkohol, sering memeriksa pintu dan jendela, mudah bertengkar, menarik diri dan bunuh diri.

Cary Cooper dan Alison Straw (1995), mengatakan bahwa gejala stress dapat berupa tanda- tanda berikut :

1. Fisik, yaitu nafas cepat, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot-otot tegang, pencernaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, dan gelisah.

2. Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak tertarik, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jernih, sulit membuat keputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain. 3. Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan,

cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan, penjengkel menjadi meledak-ledak.

Menurut Braham (dalam Charles, 1997), gejala stress dapat berupa tanda-tanda berikut :

1. Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur tidak teratur, sakit kepala, sulit buang air besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal, punggung terasa sakit, otot pada bahu dan leher terasa tegang, keringat berlebih, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, kehilangan energi.


(34)

2. Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitive, gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis, dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan, dan kelesuan mental.

3. Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja.

4. Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain.

Dari beberapa uraian diatas dapat dilihat bahwa gejala stress terdiri dari gejala psikologis, gejala fisik, gejala prilaku.

2.1.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stress Kerja

Menurut Cooper (1983) ada beberapa faktor sumber stress antara lain :

a. Lingkungan kerja : Kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah sakit, mengalami stress, dan menurunkan produktivitas kerja. Lingkungan yang kurang nyaman, misalnya panas, berisik, sirkulasi udara kurang baik, membuat penderita mudah stress.

b. Overload : Overload dapat dibedakan menjadi kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan overload secara kuantitatif, bila target kerja melebihi kemampuan


(35)

pekerjaan yang bersangkutan, akibatnya mudah lelah dan berada dalam ketegangan tinggi. Overload kualitatif, bila pekerja memiliki tingkat kesulitan atau kerumitan yang tinggi.

c. Deprivation stress : Istilah deprivation stress diperkenalkan oleh George Every dan Daniel Girdano (1980), yakni pekerjaan yang tidak lagi menantang atau menarik bagi pekerja. Akibatnya timbul berbagai keluhan seperti kebosanan, ketidakpuasan dan sebagainya.

d. Pekerjaan beresiko tinggi: Adalah pekerjaan yang beresiko tinggi berbahaya bagi keselamatan.

Davis dan Newstrom (2001), mengemukakan bahwa stress kerja disebabkan adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stress, akan tetapi menjadi sumber stress bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi pekerja. Setiap pekerja mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas yang di bebankan kepadanya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian, pengalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, terutama bagi perawat seringkali berhadapan dengan pekerjaan dengan waktu yang terbatas, akibatnya, perawat dikerjakan untuk menyelesaikan tugas.

Usia dewasa mengalami perubahan bersifat fisik baik efisiensi, kesehatan dan kekuatan yang mencapai puncaknya, secara psikis muncul keinginan dan usaha pemantapan, sering mengalami ketegangan emosi karena kompleksitas persoalan,


(36)

kemampuan mental seperti penalaran, mengingat dan kreaktif pada posisi puncak ( Murbin, 2006 ).

Masa kerja memberi pengaruh terhadap kematangan pengalaman pejabat dalam suatu jabatannya, tetapi bila terlalu lama pada suatu jabatan akan menimbulkan kebosanan, terutama bila lingkungan kerja kurang menyenangkan, maka kondisi ini akan menimbulkan stres ( Andrew Goliszek 2005 ).

Latar belakang pendidikan berpengaruh terhadap kualitas dalam bekerja. Kualitas yang rendah dapat mengakibatkan beban kerja menjadi bertambah, dan akan menimbulkan stres ( Cooper, 1983 ).

Lesly Towner (2002), menyatakan bahwa setiap orang dimanapun mereka berada dalam suatu organisasi, adalah suatu sumber stress bagi orang lain, karena kita tidak bisa mengontrol sepenuhnya apa yang dilakukan pada orang lain, apa yang mereka katakan, bagaimana mereka berperilaku, bagaimana mereka bereaksi. Kita semua bersifat individual, masing-masing bersifat uniq. Dan semua orang memiliki rentan kendali yang terbatas pada hidup kita.

Seperti dikatakan di atas faktor pemicu stress ada yang berasal dari dalam organisasi/lingkungan pekerjaan (stressor on the job), ada yang berasal dari luar organisasi/keluarga dan masyarakat (stressor off the job). Dalam bahasan ini yang ingin ditekankan adalah apapun stressornya bila telah mengganggu kinerja seorang pegawai, maka sebaiknya stressor harus diatasi atau dibatasi sampai dengan tingkat yang dapat ditolerir ( Mistiani,2007 ).


(37)

Adapun kondisi-kondisi yang dapat menjadi pemicu stress (Mistiani,2007) adalah sebagai berikut :

1. Stressor On The Job :

a. Beban kerja berlebih/overload b. Desakan waktu/deadline

c. Kualitas pembimbingan rendah/low supervisi d. Iklim politis tidak aman/low comfort

e. Umpan balik kerja rendah/low feedback f. Wewenang tidak memadai/low authority g. Ketidakjelasan peranan/role ambiguty h. Frustasi/putus asa

i. Konflik antar pribadi/kelompok

j. Perbedaan nilai individu dan organisasi k. Perubahan situasi kantor yang mengejutkan 2. Stressor Off The Job :

a. Krisis keuangan pribadi/keluarga

b. Permasalahan-permasalahan tentang anak c. Permasalahan-permasalahan tentang fisik d. Permasalahan-permasalahan dalam perkawinan e. Perubahan situasi rumah/lingkungan


(38)

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa yang mempengaruhi stress kerja adalah faktor dari dalam organisasi dan faktor diluar organisasi.

2.1.7 Reaksi Terhadap Stress

Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda dalam menghadapi stress, secara umum reaksi tersebut dapat dikelompokkan kedalam tiga jenis reaksi sebagai berikut :

1. Reaksi berupa daya tahan atau toleransi terhadap stress, setiap orang memiliki toleransi yang berbeda-beda. Ada orang yang mudah sedih atau panik hanya karena suatu tekanan yang bagi orang lain merupakan hal ringan, sebaliknya ada pula orang yang tetap dapat bersikap tenang/calm terhadap gangguan/tekanan yang bagi kebanyakan orang dinilai cukup berat, hal ini karena mereka memiliki rasa percaya diri yang cukup tinggi untuk mengatasi gangguan yang menghadang.

2. Reaksi terhadap stress yang didasarkan atas tipe kepribadian seseorang. Tipe A adalah kepribadian agresif dan kompetitif merupakan individu-individu yang cenderung menetapkan standar-standar tinggi dalam kehidupan serta meletakan diri mereka sendiri dibawah tekanan waktu yang konstan (selalu berusaha berlomba dengan waktu). Walau dalam tekanan tinggi mereka bahkan tetap berusaha aktif dalam berbagai kegiatan kreatif dan sosial kemasyarakatan. Akibatnya, mereka sering tidak menyadari bahwa banyak tekanan/stress yang mereka rasakan salah, lebih disebabkan oleh perbuatan sendiri dari pada


(39)

lingkungan mereka. Selanjutnya tipe B adalah kepribadian relaks dan “easy going” merupakan individu-individu yang cenderung menerima situasi dan kondisi di lingkungan pekerjaan dengan apa adanya serta tidak terlalu suka untuk “bersaing”. Akibatnya mereka cenderung terhindar dari tekanan-tekanan yang dapat menimbulkan stress atau kecil kemungkinannya untuk mendapatkan stress yang berat.

3. Yang ketiga adalah reaksi pemulihan dari stress, ada individu-individu yang mudah melupakan stress yang telah/pernah dialaminya dan dapat segera melanjutkan kehidupan normalnya kembali tanpa bantuan orang lain. Namun ada pula individu-individu yang tidak mudah melupakan dan sulit melepaskan diri dari situasi stress yang baru saja dihadapi sehingga diperlukan bantuan orang lain untuk mengatasinya. Dalam kehidupan berorganisasi (lingkungan kerja) individu-individu tipe terakhir tersebut sudah seharusnya mendapatkan perhatian khusus dari bagian personalia.

2.1.8 Stress dan Daya Tahan Tubuh

Stress yang dialami oleh seseorang mengubah sistem kekebalan tubuh dengan cara fithing disease cells (Baker dkk,1987).

(Davis dan Newstron, 2001) membuktikan bahwa stress sangat berpotensi mempertinggi peluang seseorang untuk menderita penyakit, terkena alergi serta menurunnya sistem autoimmune-nya. Ditemukan bukti bahwa pada saat suasana hati


(40)

seseorang negatif terjadi penurunan respon antibody, sedangkan pada saat suasana hati positif respon antibody meningkat pula.

Pengaruh stress terhadap daya tahan tubuh ditentukan oleh jenis, lama dan frekuensi stress yang dialami oleh seseorang. Makin kuat stressor makin lama dan sering terjadi, sangat berpotensi menurunkan daya tahan tubuh dan mudah menimbulkan penyakit (Charles, 1992).

2.1.9 Akibat Stress

Menurut Beehr (dalam Freser 1992), stress akan mempunyai dampak terhadap individu maupun organisasi

a. Dampak terhadap individu :

Dampak stress terhadap individu adalah munculnya masalah yang berhubungan dengan kesehatan, psikologi dan interaksi interpersonal. Pada gangguan fisik seseorang mengalami stress akan mudah terserang penyakit. Pada gangguan mental stress ber kepanjangan akan mengakibatkan ketegangan, hal ini cenderung akan mengganggu kesehatan. Pada gangguan interpersonal stress akan lebih sensitive terhadap hilangnya rasa percaya diri, menarik diri dan lain-lain. Reaksi terhadap stress dapat berupa reaksi bersifat psikis maupun fisik. Biasanya pekerja yang stress akan menunjukkan perubahan prilaku. Perubahan prilaku terjadi pada diri manusia sebagai usaha mengatasi stress (flight) atau berdiam diri (freeze). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga reaksi ini biasanya dilakukan secara bergantian, tergantung situasi dan bentuk stress. Perubahan-perubahan ini


(41)

ditempat kerja merupakan gejala-gejala individu yang mengalami stress antara lain:

1) Bekerja melewati batas kemampuan 2) Sering terlambat masuk kerja. 3) Ketidak hadiran tenaga kerja 4) Kesulitan membuat keputasan 5) Kesalahan yang sembrono

6) Kelalaian menyelesaikan pekerjaan.

7) Lupa akan janji yang telah dibuat dan kegagalan diri sendiri. 8) Kesulitan berhubungan dengan orang lain.

9) Kerisauan tentang kesalahan yang dibuat.

10)Menunjukkan gangguan fisik seperti pada alat pencernaan, tekanan darah tinggi, radang kulit, radang pernafasan.

Munculnya stress, baik yang disebabkan oleh sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang tidak menyenangkan akan memberikan akibat tertentu pada seseorang. Cox (dalam Handoyo, 2001) membagi empat jenis konsekuensi yang dapat ditimbulkan stress, yaitu :

1) Pengaruh psikologis, yang berupa kegelisahan ketidaksabaran, merasa rendah diri.

2) Pengaruh perilaku, yang berupa peningkatan konsumsi alkohol, perubahan nafsu makan, penyalahgunaan obat-obatan, menurunya semangat untuk berolahrga yang berakibat timbulnya beberapa penyakit. Pada saat stress juga


(42)

terjadi peningkatan intensitas kecelakaan, baik di rumah, ditempat kerja atau dijalan.

3) Pengaruh kognitif, yaitu ketidak mampuan mengambil keputusan, kurangnya konsentrasi, dan peka terhadap ancaman.

4) Pengaruh fisiologi, yaitu menyebabkan gangguan pada kesehatan fisik yang berupa penyakit yang sudah diderita sebelumnya, atau memicu timbulnya penyakit tertentu.

b. Dampak terhadap organisasi :

Pekerja yang mengalami stress akan berpengaruh pada kualitas kerja dan kesehatan nya akan terganggu, berupa kekacauan manajemen dalam operasional kerja sehingga meningkatnya absensi dan banyak pekerjaan yang tidak terselesaikan.

Schuller (2001), mengidentisifikasikan beberapa perilaku negatif tenaga kerja berkolerasi dengan prestasi kerja, peningkatan ketidak hadiran kerja serta tendensi mengalami kecelakaan. Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stress kerja dapat berupa :

1) Terjadi kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun operasional kerja.

2) Mengganggu kenormalan aktivitas kerja. 3) Menurunya tingkat produktivitas.


(43)

4) Menurunnya pemasukan dan keuntungan perusahaan. Kerugian financial yang dialami perusahaan karena tidak imbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa akibat stress pada pekerja dapat berdampak terhadap individu dan organisasi sehingga manajemen dan operasional kerja terhambat dan produktivitas kerja menurun.

2.2 Kondisi Lingkunga Kerja

Kondisi lingkungan kerja meliputi variabel lingkungan fisik seperti distribusi jam kerja, suhu, penerangan, suara dan ciri-ciri arsitektur tempat kerja. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan penelitian yang sesuai dengan situasi organisasi termasuk bagaimana biasanya pekerjaan dilakukan, karakteristik tenaga kerja yang terlibat, dan aturan standar eksternal yang sesuai. (Occupational Safety and Health Administration, dalam Pudjaatmaka, 1998 ). Kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah sakit, mengalami stress psikologi dan menurunnya produktivitas kerja.

Kondisi lingkungan kerja psikis adalah lingkungan yang lebih bersifat batin yang dapat mempengaruhi pekerja. Lingkungan psikis ini terutama berhubungan dengan pimpinan dan rekan kerja dalam suatu organisasi ( Nitisemito,1996 ).


(44)

2.3 Beban Kerja

Beban kerja adalah keadaan dimana pekerja dihadapkan pada tugas yang harus diselesaikan dalam batas waktu tertentu. Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stress. Beban kerja secara kuantitatif timbul akibat tugas-tugas terlalu banyak atau sedikit, sedangkan secara kualitatif jika pekerja merasa tidak mampu untuk melakukan tugas, atau tugas tidak menggunakan ketrampilan atau potensi dari tenaga kerja. Beban kerja selama jumlah jam kerja yang sangat banyak, hal ini merupakan sumber tambahan stress (Munandar, 2001).

Everly & Girdano (dalam Munandar, 2001), menambahkan katagori lain dari beban kerja, yaitu kombinasi dari beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif. Beban berlebih secara fisikal ataupun mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak hal, marupakan kemungkinan sumber stress pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ialah kondisi kerja, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Pada saat tertentu hal ini merupakan motivasi dan menghasilkan prestasi, namun bila desakan waktu menyebabkan banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih kuantatif.

Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Pada pekerjaan yang sederhana, dimana banyak terjadi pengulangan akan timbul rasa bosan, rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas yang harus dilakukan, dapat


(45)

menghasilkan berkurangnya perhatian. Hal ini secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat.

Beban berlebihan kualitatif merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh menusia makin beralih titik beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi majemuk. Kemajemukan teknikal dan intelektual yang lebih tinggi dari pada yang dimiliki. Pada titik tertentu kemajemukan pekerjaan tidak lagi produktif, tetapi menjadi destrutif. Pada titik tersebut kita telah melewati kemampuan kita untuk memecahkan masalah dan menalar dengan cara yang konstruktif. Timbullah kelelahan mental, sakit kepala, dan gangguan-gangguan pada perut merupakan hasil dari kondisi kronis dari beban berlebihan kualitatif.

Beban terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan dimana tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan ketrampilan yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya. Beban terlalu sedikit disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarahkan kesemangat dan motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa ia “tidak maju-maju” dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan ketrampilannya Sutherlan & Cooper (dalam Munadar, 2001).

2.4 Pegawai Negeri Sipil

Tidak ada rumusan yang pasti tentang pengertian Pegawai Negeri Sipil, namun dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kepegawaian terdapat penjelasan mengenai Pegawai Negeri Sipil, diantaranya adalah Peraturan


(46)

Pemerintah Nomor 8 Tahun 1952 Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1952, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1952, dirumuskan bahwa Pegawai Negeri adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai dalam Badan Pemerintah baik tetap maupun sementara. Dan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 Pasal 1, Pegawai Negeri adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, ada dua pengertian tentang Pegawai Negeri. Pertama, Pegawai Negeri adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam per-aturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan digaji menu-rut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, Pegawai Negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang dengan penuh kesetiaan dan ke-taatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, negara, dan pemerintah menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan.


(47)

Sedangkan menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pengertian Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian dalam pasal 2 ayat (1) Pegawai Negeri terdiri dari: a. Pegawai Negeri Sipil, b. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Pasal 2 ayat (2) Pegawai Negeri Sipil terdiri dari : a. Pegawai Negeri Sipil Pusat, dan b. Pegawai Negeri Sipil Daerah. Lebih lanjut di dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan Negara (APBN) dan bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Instansi Vertikal di Daerah Propinsi/Kabupaten-/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya. Kemudian dalam pen-jelasan pasal 2 ayat (2) huruf b, dijelaskan yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota yang gajinya dibeban-kan pada anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan bekerja pada Pemerintahan Daerah, atau dipekerjakan di luar instansi induknya.


(48)

Setiap pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintah dan pembangunan.

2.5 Jabatan

Sesuai dengan penjelasan Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang dimaksud Jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi Negara. Jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintah adalah jabatan karier. Jabatan karier adalah jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintah yang hanya dapat diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil atau Pegawai Negeri yang telah beralih status sebagai Pegawai Negeri Sipil. Jabatan karier dapat dibedakan kedalam 2 (dua) jenis, yaitu : 1. Jabatan Struktural, dan 2. Jabatan Fungsional. Jabatan struktural adalah jabatan yang secara tegas ada dalam struktur organisasi, sedangkan jabatan fungsional adalah jabatan yang tidak secara tegas disebutkan dalam struktur organisasi, tetapi dari sudut fungsinya diperlukan oleh organisasi, seperti Peneliti, Dokter, Pustakawan, dan lain-lain yang serupa dengan itu.

Kemudian dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang dimaksud dengan ;


(49)

1. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenganan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

2. Pejabat yang berwajib adalah pejabat yang karena jabatan atau tugasnya berwenang melakukan tindakan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

3. Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang,

4. Jabatan Negeri adalah jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya jabatan dalam kesekretariatan lembaga tertinggi atau tinggi negara, dan kepaniteraan pengadilan, 5. Jabatan Karier adalah jabatan struktural dan fungsional yang hanya dapat diduduki

Pegawai Negeri Sipil setelah memenuhi syarat yang ditentukan,

6. Jabatan Organik adalah jabatan negeri yang menjadi tugas pokok pada suatu satuan organisasi pemerintah.

2.6 Eselonering Dalam Jabatan Struktural

Dalam jabatan struktural dikenal adanya istilah Eselon yaitu tingkatan jabatan struktural. Eselon disusun berdasarkan berat ringannya tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak. Secara tegas jabatan struktural tercantum dalam struktur


(50)

organisasi yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Nainggolan, 1994).

Suatu organisasi secara struktural selalu berubah sesuai dengan dinamika organisasi itu sendiri. Perubahan tersebut terjadi untuk mendapatkan dan menjaga efektivitas pembagian tugas dan rentang kendali organisasi tersebut. Di lingkungan instansi pemerintah, distribusi tugas pada mulanya dibagi tuntas dalam struktur organisasi, kemudian berkem-bang menjadi dua jalur yaitu struktural dan fungsional yang semakin berimbang sesuai proporsinya masing-masing. Pada kondisi yang mapan dalam penerapan kedua jalur jabatan karier tersebut struktur organisasi akan semakin meramping sementara jalur fungsional semakin berkembang (Nainggolan, 1994).

Pengaturan tentang jenjang kepangkatan untuk setiap jabatan struktural telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Selanjutnya agar kenaikan pangkat agar benar-benar bisa dirasakan sebagai karir bagi Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan perlu ada pola yang jelas yang menggunakan ukuran-ukuran obyektif sampai sejauh mana karier setiap Pegawai Negeri Sipil dalam rangka kepangkat-annya berkaitan dengan jenjang jabatan yang dipangku serta persyaratan-persyaratan yang dimiliki/dipenuhi (Prijodarminto, 1993 ).

Di lingkungan pemerintah Pusat, pemerintah Propinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota, jenjang jabatan yang lebih banyak ditempuh oleh seorang Pegawai Negeri Sipil dalam meniti kariernya adalah dalam Jenjang jabatan struktural.


(51)

Penentuan salah satu jenjang jabatan struktural dalam pembinaan Pegawai Negeri Sipil disebut dengan eselonering.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 pasal 3, disebutkan eselonering jabatan struktural terdiri dari sembilan jenjang jabatan, dengan tata urutan sebagai tersebut dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Eselon Dan Jenjang Pangkat Dalam Jabatan Struktural (dalam Himpunan Perundang-undangan PNS,2005)

Jenjang pangkat , golongan/ruang

Terendah Tertinggi

NO

Eselon

Pangkat Gol.Ru Pangkat Gol.Ru

1. I.a Pembina Utama

Madya

IV/d Pembina Utama IV/e

2. I.b Pembina Utama

Muda

IV/c Pembina Utama IV/e

3. II.a Pembina Utama

Muda

IV/c Pembina Utama Madya

IV/d 4 II.b Pembina Tk.I IV/b Pembina Utama

Muda

IV/c

5. III.a Pembina IV/a Pembina Tk.I IV/b

6. III.b Penata TK.I III/d Pembina IV/a

7. IV.a Penata III/c Penata TK.I III/d

8. IV.b Penata Muda TK.I III/b Penata III/c 9. V.a Penata Muda III.a Penata Muda

TK.I

III/b

Sebelumnya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000, jenjang jabatan hanya sampai dengan eselon IV.b, perubahan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 dengan mencantumkan kembali eselon V.a adalah untuk mengakomodasi pejabat yang bertugas pada Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang


(52)

memang memerlukan pejabat setingkat eselon V.a, namun penetapan eselon V sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 dilaksanakan dengan memperhatikan:

a. Kebutuhan organisasi, b. Rentang kendali, c. Kondisi geografis,

d. Karakteristik tugas pokok dan fungsi jabatan yang berhubungan langsung dengan pelayanan kepada masyarakat.

2.7 Pejabat Eselon III

Pejabat eselon III adalah suatu jabatan struktural yang hanya diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil yang sudah memenuhi syarat. Artinya seseorang yang berstatus calon Pegawai Negeri Sipil atau non Pegawai Negeri Sipil tidak dapat diangkat dalam jabatan struktural tersebut (Nainggolan, 1994).

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh Pegawai Negeri Sipil untuk dapat diangkat dalam jabatan Eselon III, yaitu:

a. Memiliki kemampuan manajerial, kemampuan teknis fungsional, dan kecakapan, serta pengalaman yang diperlukan. Maksudnya adalah kemampuan untuk memimpin serta melakukan tindakan yang berhubungan langsung dengan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan seluruh sumber daya secara berdayaguna dan berhasilguna untuk mencapai tujuan organisasi. Kemampuan teknis fungsional, yaitu kemampuan teknis dibidang tugas tertentu


(53)

yang diperlukan untuk dapat diangkat dalam jabatan tersebut. Sedangkan kecakapan dan pengalaman yaitu kecakapan dan pengalaman dalam melaksanakan tugas.

b. Memiliki integritas yang tinggi dalam melaksanakan tugas organisasi.

c. Memperhatikan daftar urut kepangkatan.PNS yang mempunyai pangkat lebih tinggi haruslah dipertimbangkan lebih dahulu.

d. Telah memiliki tingkat dan jenis pendidikan formal,telah mengikuti dan lulus diklat struktural yang dipersyaratkan untuk eselon III.

e. Memiliki pangkat sekurang-kurangnya satu tingkat dibawah pangkat terendah yang ditentukan untuk eselon yang bersangkutan.

f. Masih dapat dikembangkan kemampuannya,dan sehat jasmani dan rohani. Hal ini sesuai dengan prinsip penempatan seorang Pegawai Negeri Sipil yang tepat pada tempatnya. Keseluruhan syarat diatas adalah merupakan syarat komulatif yang harus dipenuhi oleh Pegawai Negeri Sipi sebagai pejabat eselon III (Nainggolan, 1994).

Adapun tugas pokok setiap pejabat eselon III di setiap instansi adalah merencanakan, melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi semua kegiatan di bidangnya, ( Perda, 2001).

Ada 18 instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar yang didalamnya terdapat pejabat eselon III sebagai berikut : Sekretariat DPRD, Dinas Kelautan Dan Perikanan, Dinas Kimpraswil, Dinas Industri Dan Perdagangan, Dinas Pendidikan, Dinas Pendapatan, Dinas Perternakan, Dinas perkebunan, Badab Pemberdayaan


(54)

Masyarakat, Badan Pengawasan, Dinas Kehutanan, Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata, Dinas Koperasi, Badan Kesbang Linmas, Badan Koordinator Kelg Sejahtera, Bappeda.

Sebagai salah satu contoh pejabat - pejabat eselon III pada Dinas Kimpraswil ( Permukiman dan Prasarana Wilayah ) sebagai berikut : Kepala Tata Usaha, Kasubdin Bina Program, Kasubdin Perumahan, Kasubdin Prasarana Jalan, Kasubdin Pengembangan Sumber Daya Air.

Tugas pokok pejabat eselon III sebagai contoh yaitu Kasubdin Pengembangan Sumber Daya Air sebagai berikut :

1. Merencanakan yaitu : Membuat perencanaan untuk perbaikan – perbaikan jaringan irigasi yang telah rusak dan memperhitungkan berapa biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan tersebut.

2. Melaksanakan yaitu : Setelah anggaran biaya untuk kegiatan tersebut disetujui melalui pembahasan dengan DPRD, maka kegiatan perbaikan jaringan irigasi yang dimaksud baru dapat dilaksanakan dan dilakukan secara swakelola maupun dikontrakkan kepada pihak ketiga.

3. Mengawasi yaitu : Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut harus diawasi supaya pekerjaannya sesuai dengan yang telah direncanakan.

4. Mengevaluasi yaitu : Melakukan peninjauan ulang terhadap pekerjaan dimaksud, apakah sudah tercapai target perbaikan yang diinginkan? dan apakah diperlukan perbaikan lanjutan? Atau sudah sempurna pekerjaan yang ditargetkan?


(55)

Selain tugas pokok diatas, pejabat eselon III juga dibebankan untuk melaksanakan tugas fungsional, yaitu sebagai Pejabat Pengelola Teknis Kegiatan ( PPTK ) untuk semua kegiatan yang berada dibawah bidang tugasnya ( Peraturan Pemerintah, 2007 ).

2.8 Landasaan Teoritis

Stress kerja adalah perasaan tertekan yang di alami karyawan dalam menghadapi pekerjaan yang disebabkan oleh lingkungan kerja seperti faktor lingkungan fisik, sistim organisasi di tempat kerja (Leila, 2002).

Stress kerja dapat diakibatkan oleh faktor beban kerja eksternal yaitu berasal dari luar tubuh pekerja seperti tuntutan tugas atau pekerjaan,organisasi di tempat kerja dan lingkungan kerja, seperti lama waktu bekerja, limpahan tugas Manuaba (Wygnyosoebroto, 2000).

Teori lain mengatakan terdapat dua faktor penyebab stress yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal. Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen atau hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Faktor personal berupa kepribadian, peristiwa pengalaman pribadi maupun kondisi sosial ekonomi keluarga (Dwiyanti, 2001).

Beban kerja dapat mengakibatkan timbulnya stress kerja, hal ini tergantung bagaimana reaksi pekerja itu sendiri dalam menghadapi besarnya stress. Bila tidak ada stress sama sekali tantangan pekerjaan tidak ada sehingga performance cenderung rendah, karna stress dapat membuat individu menggerakkan sumber-sumber yang ada


(1)

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Beban Kerja

No Beban Kerja

Rentang Skor

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 Berat ≥ 36,39 30 29.7

2 Sedan g

24,48 –

36,38 60 59.4

3 Ringa

n ≤ 24,47 11 10.9

Jumlah 101 100

Berdasarkan table 4.4. di atas, menunjukkan bahwa beban kerja pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar, mayoritas beban kerja berada pada kategori sedang, yaitu sebanyak 60 orang (59,4%), disusul beban kerja kategori berat, yaitu sebanyak 30 orang (29,7%) dan hanya 11 orang (10,9%) yang mempunyai beban kerja kategori kurang.

Variabel Kondisi Lingkungan Kerja

Kondisi lingkungan kerja Pejabat eselon III Pemerintah daerah Kabupaten Aceh Besar, dibagi menjadi tiga kategori yaitu baik, sedang dan kurang, untuk menentukan ketiga kategori digunakan skala interval dengan pengukuran data pada sebaran distribusi normal.

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden

berdasarkan Kondisi Lingkungan Kerja

No

Kondisi Lingkunga

n Kerja

Rentang Skor

Jumlah (orang)

Persenta se (%)

1. Baik ≥ 25,48 26 25.7

2. Sedang 17,66 –

25,47 47 46.5

3. Kurang ≤ 17,65 28 27.7

Jumlah 101 100

Berdasarkan tabel 4.5. menunjukkan bahwa kondisi lingkungan kerja pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar mayoritas termasuk kategori sedang, yaitu sebanyak 47 orang (46,5%), dan relatif sama responden yang menyatakan kondisi lingkungan kerja kategori sedang dan ringan, masing-masing sebanyak 26 orang (25,7%) dan 28 orang (27,7%).

Variabel Fasilitas Kerja

Fasilitas kerja Pejabat eselon III Pemerintah daerah Kabupaten Aceh Besar, dibagi menjadi tiga kategori yaitu baik, sedang dan kurang, untuk menentukan ketiga kategori digunakan skala interval dengan pengukuran data pada sebaran distribusi normal.

No Fasilitas Kerja

Rentang Skor

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1. Baik ≥ 35,34 30 29.7

2. Sedang 25,28 –

35,33 54 53.5

3. Kurang ≤ 25,27 17 16.8

Jumlah 101 100

Berdasarkan Tabel 4.6. di atas, menunjukkan bahwa ketersediaan fasilitas kerja pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar, mayoritas berada pada kategori sedang, yaitu sebanyak 54 orang (53,5%), disusul ketersediaan fasilitas kategori baik yaitu sebanyak 30 orang (29,7%), dan hanya 17 orang (16,3%) responden yang menyatakan ketersediaan fasilitas kerja kategori kurang.

Variabel Stres Kerja

Stres kerja Pejabat eselon III Pemerintah daerah Kabupaten Aceh Besar, dibagi menjadi tiga kategori yaitu berat, sedang dan ringan, untuk menentukan ketiga kategori digunakan skala interval dengan pengukuran data pada sebaran distribusi normal.

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Stres Kerja

No Stress Kerja

Rentang Skor

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1. Berat ≥ 167,711 20 19.8

2. Sedan g

99,388-167,710 48 47.5

3. Ringa

n ≤ 99,389 33 32.7

Jumlah 101 100

Berdasarkan tabel 4.7. di atas, diketahui bahwa bahwa pejabat Eselon III di Kabupaten Aceh Besar mayoritas berada pada stres kerja kategori sedang yaitu sebanyak 48 orang (47,5%), disusul stres kerja kategori ringan, yaitu sebanyak 33 orang


(2)

(32,7%), dan hanya 20 orang (19,8%) termasuk stres kerja kategori berat.

PEMBAHASAN

Stres Kerja Pejabat Eselon III

Stress kerja adalah suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang (Luthans, dalam Widyastuti, 2000). Stres kerja pada pejabat eselon III merupakan kondisi psikis mereka dalam menghadapi rutinitas dan pekerjaan di lokasi kerjanya, dengan sejumlah uraian tugas pokok dan fungsinya yang disebabkan oleh faktor beban kerjanya, kondisi fisik dan sosial dari lingkungan pekerjaanya, faktor ketersediaan fasilitas yang mendukung pelaksanaan pekerjaanya serta permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan pekerjaannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa stress kerja pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar 47,5% termasuk stress kategori sedang, 32,7% termasuk stres kerja kategori ringan dan 19,8% termasuk stres kerja kategori berat.

Stres yang katagori sedang dan ringan akan memberikan suatu rangsangan sehat yang akan mendorong individu-individu dalam organisasi untuk memberikan tanggapan positif terhadap tantangan yang dihadapi, sehingga mereka terpacu untuk mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki dalam rangka memenuhi tugas dan tanggung jawab nya, yang akhirnya dapat meningkatkan produktivitas dan prestasi kerja (Mistiani, 2007).

Stres katagori berat yang tidak mampu ditolerir oleh seorang individu akan menimbulkan dampak yang tidak sehat, karna individu tersebut kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya secara utuh. Akibatnya ia tidak mampu lagi mengambil keputusan yang tepat dan bahkan prilakunya ikut terganggu. Dampak lain terjadi seperti sakit secara fisik, putus asa, hilang kontak dengan lingkungan sosial, gila (psikosis) akhirnya kematian (Mistiani, 2007).

Hubungan Beban Kerja dengan Stres Kerja Pejabat Eselon III

Beban kerja merupakan salah satu sumber stres kerja. Beban kerja pejabat eselon III tersebut berkaitan dengan kelebihan beban tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukannya.

Berdasarkan uji statistik antara beban kerja dengan stres kerja menunjukkan terdapat hubungan signifikan (p=0,007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar

53,3% responden yang mengalami stres kerja berat memiliki beban kerja yang berat.

Menurut Copper (1983), beban kerja (Overload) dapat dibedakan menjadi kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan overload secara kuantitatif, bila target kerja melebihi kemampuan pekerjaan yang bersangkutan, akibatnya mudah lelah dan berada dalam ketegangan tinggi. Overload kualitatif, bila pekerja memiliki tingkat kesulitan atau kerumitan yang tinggi.

Beberapa indikator beban kerja pejabat eselon III yaitu jumlah pekerjaan, batasan waktu menyelesaikan pekerjaannya, jarak tempuh dari tempat tinggal ke kantor, dan sering bekerja melebihi jam dinas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 59,4% beban kerja pejabat eselon III termasuk kategori tinggi. Keadaan ini disebabkan beban kerja mereka tinggi, mengingat tugas pokok dan fungsinya sebagai pejabat pelaksana tehnis kegiatan (PPTK), tanggung jawab yang harus diselesaikan dengan batas waktu tertentu, sehingga menjadi pemicu terjadinya stres.

Berdasarkan observasi terhadap beban kerja pada pejabat eselon III, yang merupakan salah satu jenjang tinggi dari pangkat/golongan dalam sistem kepegawaian nasional, dan umumnya sebagai kepala bagian atau kepala departemen/instansi, dimana mereka dituntut untuk bekerja lebih profesional, dan mampu melaksanakan tehnis kegiatan (Pimpinan Proyek) mengakomodir tugas-tugas mereka. Mereka cenderung mempunyai pekerjaan yang bersifat fisik atas tuntutan kepala daerah atau kepala instansinya, sehingga dalam batas waktu tertentu mereka harus menyelesaikan pekerjaanya.

Beban kerja berat tersebut sangat memicu stres kerja pejabat Eselon III, apalagi jarak tempuh ke lokasi kerja di Kabupaten Aceh Besar relatif jauh dari jalan negara yaitu 12 km untuk sampai ke ibu kota Aceh Besar, karena umumnya mereka tinggal di Kota Banda Aceh, hal ini menambah beban kerja dan waktu dalam menempuh perjalanan, dimana memerlukan waktu 1 jam sehingga menyebabkan kelelahan sebelum menjalankan tugas, dengan demikian dapat memicu terjadi nya stres.

Menurut Mistiani (2007) beban kerja yang berlebihan merupakan stressor stres yang bersumber dari lingkungan/organisasi dan biasanya berkenaan dengan tekanan psikologis jabatan yang diembannya berupa ketakutan akan kehilangan jabatan, penilaian tidak baik dari pimpinan, dan serangkaian gejala-gejala lainnya yang mengarah pada stres kerja.

Hasil penelitian Yulianti (2001), bahwa beban kerja berpengaruh terhadap stress kerja. Terlalu banyak beban kerja dan tidak bervariasinya tugas


(3)

yang diberikan kepada individu dalam organisasi dapat menimbulkan stress kerja, untuk itu sebaiknya dalam merangcang pekerjaan, hendaknya memperhatikan keterkaitan antar tugas dan menyesuaikan dengan kemampuan dan batasan waktu yang realistis.

Hubungan Kondisi Lingkungan Kerja dengan Stres Kerja Pejabat Eselon III

Stres kerja pada pejabat eselon III selain diakibatkan oleh lingkungan kerja fisik juga disebab oleh kondisi lingkungan kerja psikis.

Berdasarkan uji statistik antara kondisi lingkungan kerja dengan stres kerja menunjukkan terdapat hubungan signifikan (p=0,025), hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi lingkungan kerja pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar 46,5% termasuk kategori sedang. Hal ini disebabkan beberapa indikator kondisi lingkungan kerja terdiri kondisi lingkungan fisik berupa tidak nyaman dalam bekerja, baik dari aspek pencahayaan, suhu, dan kebisingan serta dari kondisi lingkungan psikis yaitu hubungan dan tidak ada dukungan oleh bawahan, hubungan dengan atasan kurang baik sehingga memberikan kontribusi yang besar terhadap kondisi lingkungan kerja mereka. Berdasarkan proporsinya terhadap stres kerja, variabel kondisi lingkungan kerja yang kurang 57,1% menyebabkan stres kerja yang berat bagi pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar.

Menurut Anies (2005), angguan kesehatan berupa stres kerja selain diakibatkan kondisi lingkungan fisik juga dapat disebabkan oleh lingkungan kerja psikis. Berbagai situasi dan kondisi kerja dapat menjadi sumber potensial munculnya stres, karena setiap aspek dalam kondisi lingkungan kerja dapat dirasakan sebagai stres oleh pekerja. Demikian juga halnya hubungan dengan atasan yang kurang baik dapat menimbulkan suasana kerja yang kurang menyenangkan yang akhirnya dapat memicu terjadi stres kerja.

Berdasarkan observasi terhadap kondisi lingkungan kerja pada pejabat eselon III, ada kondisi lingkungan fisik yang tidak nyaman diantaranya : adanya ruangan pejabat eselon III yang tidak memiliki ventilasi dan pencahayaan yang baik. Dimana ruangan pejabat eselon III bergabung dengan staf yang lain sehingga tidak memiliki ruangan sendiri. Dengan demikian kebisingan akan selalu terasa tidak nyaman dalam bekerja sehingga mengganggu kesehatan dan memicu stres pada pejabat eselon III.

Kondisi lingkungan kerja psikis dapat memicu stres kerja pejabat eselon III karena kerja sama dengan bawahan kurang baik, hubungan dengan atasan kurang baik, hal ini disebabkan karena kurangnya melakukan evaluasi kinerja secara berkala, sehingga tidak ada terjalin kerja antara atasan dengan bawahan dengan baik yang menyebabkan memicunya stres pada pejabat eselon III.

Menurut (Mistiani, 2007), kondisi fisik lingkungan kerja yang tidak baik, menyebabkan pekerja mudah sakit, mengalami stress psikologi dan menurunnya produktivitas kerja. Kondisi lingkungan kerja psikis adalah lingkungan lebih bersifat batin yang dapat mempengaruhi pekerja. Lingkungan psikis ini terutama berhubungan dengan pimpinan dan rekan kerja dalam suatu organisasi.

Menurut Ivancevich dan Mattesson (dalam Munandar, 2001), Kondisi lingkungan kerja yang kurang akan menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan mereka, Selain itu lingkungan psikis kaitannya dengan hubungan kerja seperti persaingan sesama rekan kerja, penilaian atasan terhadap kinerja mereka serta hubungan kerja yang tidak baik yang akan menyebabkan penurunan semangat kerja, hal ini akan memicu terhadap gejala-gejala stres kerja.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan kerja yang tidak baik dapat memicu stres kerja pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar, mengingat substansi dari lingkungan kerja tersebut menyangkut lingkungan fisik berupa kebisingan, pencahayaan, dan suhu yang sangat berhubungan dengan dampaknya terhadap kondisi kesehatan pejabat eselon III, selain itu juga menyangkut faktor psikis berupa hubungan kerja, persaingan antar rekan kerja serta tuntutan penilaian atasan dari hasil kerja dapat menjadi faktor pemicu stres kerja.

Hubungan Fasilitas Kerja dengan Stres Kerja Pejabat Eselon III

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan uji statistik antara fasilitas kerja dengan stres kerja tidak ada hubungan yang signifikan (p=0,449).

Menurut Anoraga (2002), pekerja akan sukses dan dapat meningkatkan produktivitas kerja yang baik, apabila dalam menjalankan tugas-tugasnya tersedia fasilitas yang dibutuhkan sehingga terhindar dari gejala stres.

Tidak adanya hubungan yang signifikan antara fasilitas kerja dengan stres kerja kemungkinan disebabkan adanya faktor-faktor lain yang


(4)

diperkirakan mempengaruhi stres kerja yang tidak dikontrol dalam penelitian ini.

Seperti yang dikemukakan oleh Mistiani (2007), bahwa stres kerja dapat juga dipengaruhi dari dalam seperti kepemimpinan, wewenang yang tidak memadahi, perbedaan nilai dalam organisasi dan luar organisasi (Stressor Off The Job) seperti krisis keuangan pribadi/keluarga, permasalahan tentang anak, permasalahan tentang perkawinan, permasalahan tentang fisik dan sebagainya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 53,5% responden menyatakan tersedianya fasilitas kerja yang memadai, hal tersebut juga menjadi indikator terhadap fasilitas kerja pejabat eselon III diantaranya tersedianya alat-alat kantor sesuai dengan kebutuhan dan penggunaannya, alat kerja dilakukan perawatan secara teratur, tersedianya mobil dinas untuk melakukan peninjauan ke lokasi kegiatan yang berhubungan dengan tugas kedinasan.

Analisis Multivariat

Hasil uji regresi linear menunjukkan beban kerja berpengaruh secara signifikan (p=0,006) dengan stres kerja pada pejabat eselon III, artinya dari dua variabel yang di uji yaitu beban kerja dan kondisi lingkungan kerja yang paling dominan adalah variabel beban kerja yaitu 31,1% yang mempengaruhi stres kerja pada pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan beberap hal sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan signifikan (p=0,007) antara variabel beban kerja dengan dengan stres kerja pada pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar 2. Terdapat hubungan signifikan (p=0,025) antara variabel kondisi lingkungan kerja dengan stres kerja pada pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar.

3. Tidak mempunyai hubungan signifikan (p=0,449) antara variabel fasilitas kerja dengan stres kerja pada pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar

4. Hasil uji regresi linear menunjukkan variable beban kerja merupakan variable yang paling dominan mempengaruhi stress kerja pada pejabat eselon III di Kabupaten Aceh Besar (

p=0,006 ).

Saran

1. Kepada pemerintah daerah kabupaten Aceh Besar agar meningkatkan profesionalisme kerja pejabat eselon III dengan mengikut sertakan pelatihan-pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya, sehingga meningkatnya sumber daya dalam menghadapi beban kerja yang semakin komplek dan dapat mengurangi stress kerja 2. Kepada masing-masing kepala instansi agar

melakukan evaluasi secara rutin terhadap kondisi lingkungan kerja fisik, guna memberikan kenyamanan dalam bekerja, serta melakukan pertemuan secara berkala, dan kepada bawahan yang tidak disiplin agar dapat diberi sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kepada bawahan yang mempunyai kinerja yang baik agar dapat diberikan penghargaan. Hal ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan kerja psikis yang menyenangkan.

3. Kepada pejabat eselon III agar dapat merencanakan program kerja lebih awal. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat jadwal ( time

schedule) perencanaan yang tepat sesuai dengan

prioritas masing-masing kegiatan, sehingga tugas pokok dan tugas tambahan sebagai PPTK dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan demikian akan mengurangi beban kerja dan terhindar dari stres kerja berat, dan dapat menerima beban kerja dengan cara pandangan yang positif.

4. Pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti yang berhubungan dengan stres kerja pada pejabat eselon II (Kepala Dinas), ataupun mengadakan penelitian dari sisi manajemennya dan menambah variabel penelitian yang belum diteliti dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Admia. Stres kerja..http://www.e.Psikologi.com/masa

lah stres/htm. Diakses 11 November, 2007.

Andrew G. Manajemen Stres, Cara Tercepat Untuk Rileks dan Menghilangkan Rasa

Cemas. Jakarta. PT. Bhuana Ilmu

Populer. 1992.

Anies. Penyakit Akibat Kerja, Berbagai Penyakit

Akibat Lingkungan Kerja Dan Upaya

Penanggulangannya. Jakarta. PT. Elex


(5)

Anonim. Himpunan Perundang-undangan Pegawai Negeri Sipil. Jakarta. 2005.

Anonim. Himpunan Peraturan Kepegawaian. Jakarta. 2006.

Anoraga P. Psikologi Kerja, Berbagai Penyakit Akibat Lingkungan Kerja Dan Upaya

Penanggulangannya. Jakarta. PT. Elex

Media Komputindo. 2005.

Arikunto S. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. Rineke Cipta. 2006. Bakeer, Dkk. Penelitian Stres Kerja. E-Psikologi

Com Team E – Psikologi, Informasi, Psikologis Online, Jakarta, 1987.

Bartlett & Jones. Stress Management. Buku Kedokteran egc, Jakarta.2004.

Beehr TA, dan Newman JE. Penelitian Stres Kerja. e-Psikologi. Com, team e-psikologi, informasi online, Jakarta. 1987.

Brecht, Grant. Mengenal dan Menanggulangi Stres. Jakarta. PT. Prenhallindo. 2000.

Charles Abraham and Eamon Shanley. Social Psychology for nurses, First pusblished in great Britain. 1992

Cooper and Sutherland,. Stress Prevention in the Offshore Oil and Gas Eksploration and Productivity Industri, University of Manchester, 1983. United Kingdom. Dadang Hawari. Manajemen Stres, Cemas dan

Depresi. Jakarta. Gaya Baru. 2006.

Davis & Newstron. http://www.Google.com/Archives/Artic

le5-987.html,2001.

Departemen Kesehatan RI. Undang-undang Kesehatan. Jakarta Depkes RI. 1992. Dwiyanti.E. Stres Kerja Di Lingkungan DPRD.

Surabaya. FKM Univeersitas Airlangga.2001.

Ed Boenisch & Michele Haney. Menggapai

Keseimbangan Hidup. Jakarta.

Gramedia. 2004.

Fazillah, M, Zafir, Stres di Tempat Kerja dan Kesannya terhadap Keselamatan dan Kesihatan Pekerjaan. Malaysian Journal cf Cummunity Health, 2006.

Frases. Stres dan Kepuasan Kerja. Jakarta. Pustaka BinamanPressindo. 1992.

Gullies DA. Nursing Management a System Approach. Philadelphia. WB Sounder Co.1989.

Handoyono. Stres Pada Masyarakat Surabaya.Jurnal Insan Medik Psikologi. Surabaya. Universitas Airlangga. 2001.

Harun, Akibat Stres. Fakultas kedokteran USU.USU Digital Library.2005.

Hidayat T. Stres Dalam Lingkungan Pekerjaan, Jiwa. Majalah Psikiatri, Tahun XXXI, No.3. Jakarta. Yayasan Kesehatan Jiwa “Dharmawangsa”. 1989.

Johanea. Kebosanan Kerja. E-Psikologi. Com, Team E-Psikologi. Informasi Psikologi Online. Jakarta. 2002.

Leila. G. Stress dan Kepuasan Kerja Fakultas Kedokteran Program Studi Psikologi USU. USU Digital. 2002.

Lesey, Towner. Managing Employee Stres. Jakarta PT Elex Media Komputindo. Psikologi Gramedia. 2002.

Maramis W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya. Airlangga University Press. 1998.

Mistiani. Pengaruh Kepuasan Kerja dan Stress.

http://Buletin LitBang,

Dephan.go.id/index.asp.no:188. Diakses 11 November 2007.

Munandar.A.S. Stres Dan Keselamatan Kerja. Psikologi Industri Dan Organisasi.Universitas Indonesia.2001. Murbin & Ani Cahyani. Psikologi Perkembangan.

Jakarta. PT Ciputa, Press Group. 2006. Nainggolan English. Pembinaan Kepegawaian di indonesia. Jakarta. Intermasa. 1994.


(6)

Nasution H.H. Modul Kuliah Psikologi Industri Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, PPs, USU. Medan. 2000. Notoamodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan.

Jakarta. Cetakan Pertama, PT. Rineka Cipta. 1993.

Nugroho B A. Strategi Jitu Memilih Statistik

Penelitian Dengan SPSS. Semarang.

2005.

Nurmiati A. Stres dan Hubungannya dengan

Gangguan Kardiovasculer, Jiwa,

Majalah Psikiatri, Tahun XXXII, No 4. Yayasan Kesehatan Jiwa “Dharma Wangsa”.

Nursalam. Proses Dan Dokumentasi Keperawatan

Konsep Dan Praktek. Jakarta. Penerbit

Salemba Medika.2001.

Prijodarminto.S. Pegawai Negeri Sipil Jakarta. PT Prandnya Paramita. 1993.

Pudjaatmaka A. Psikologi Industri/Organisasi Modern. Jakarta. Arcan. 1998.

Rasmun. Stres,Koping dan Adaptasi.Jakarta. CV.Sugeng Seto.2004.

Rice PL, Stres and Health, 2nd ed. Pacific Grove, California, Brooks/Cole. 1992.

Scholler. Penelitian Dampak Stres, E-Psikologi. Com. Team E-Psikologi, Informasi. Psikologi Online. Jakarta. 2001.

Sudjana. Metode Statistik. Bandung. Tarsito.2002. Sunaryo. Psikologi untuk keperawatan. Jakarta. Buku

Kedokteran EGC.2002.

Suroto. Stres Cara Mengendalikan, Pengalaman Pribadi sebagai pasien PT. Ortido, Gajah Mada University Press. 2001. Wardana Adi A.S. Pencegahan Kecelakaan. Jakarta.

Cetakan Pertama, PT. Pusaka Binama Pressindo.1989.

Widyastuti, p, Manajemen Stres, National Safety Councli, Buku Kedokteran EGC,Jakarta, 1999.

Wygnyosoebroto S & Wiranto. Ergonomi Kesehatan

Keselamatan Kerja. Surabaya. PT.

Guna Widya. 2000.

Yulianti, P, Pengaruh Sumber-sumber Stres Kerja terhadap Kepuasan Kerja Tenaga Edukatif Fakultas Ilmu Sosial Universitas Airlangga di Surabaya, Jurnal Penelitian Dinamika Sosial Vol. 2 No 2 Angustus 2001.