Hakikat Sudut Pandang SUASANA BATIN TOKOH DALAM NOVEL DARI JENDELA HAUZAH KARYA OTONG SULAEMAN DAN PEMBELAJARANNYA DI SMA KELAS XI
Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu omniscient. Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk
motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari
toko h “dia” yang satu ke “dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya
menyembunyikan ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas
seperti halnya ucapan dan tindakan nyata Abrams, dalam Nurgiyantoro, 2013: 348.
Dikarenakan narator secara bebas menceritakan hati dan tindakan tokoh-
tokohnya, keadaan itu akan segera mengobati rasa ingin tahu pembaca. Pembaca menjadi tahu keadaan luar-dalam masing-masing tokoh yang
beroposisi ataupun yang tidak, dan itu berarti bahwa pembaca menjadi lebih tahu daripada tokoh-tokoh cerita itu sendiri. Keadaan semacam ini
menjadikan pembaca menjadi lebih terlibat secara emosional terhadap cerita. Bahkan, rasanya pembaca ingin membisikkan sesuatu kepada tokoh
tentang hal-hal penting yang tidak diketahuinya.
b “Dia” Terbatas “Dia” sebagai Pengamat: Dalam sudut pandang “dia”
terbatas, seperti halnya dalam “dia” mahatahu, pengarang melukiskan apa
yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja Stanton, dalam
Nurgiyantoro, 2013: 350, atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas Abrams, dalam Nurgiyantoro, 2013: 350.
Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak yang juga berupa tokoh “dia”,
namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama. Oleh karena dalam teknik ini hanya ada
seorang tokoh yang terseleksi untuk diungkap, tokoh tersebut merupakan fokus, cermin, atau pusat kesadaran center of consciousness. Berbagai
peristiwa dan tindakan yang diceritkan disajikan lewat pandangan atau kesadaran seorang tokoh, dan hal itu sekaligus berfungsi sebagai filter bagi
pembaca. Di d
alam teknik “dia” terbatas sering juga dipergunakan teknik narasi aliran kesadaran stream of consciousness yang menyajikan kepada pembaca
pengamatan-pengamatan luar yang berpengaruh terhadap pikiran, ingatan, dan perasaan yang membentuk kesadaran total pengamatan. Sudut pandang
cerita, dengan demikian menjadi bersifat objektif objective point of view atau narasi objektif objective narration. Pengarang tidak mengganggu
dengan memberikan komentar dan penilaian yang bersifat subjektif terhadap peristiwa, tindakan, ataupun tokoh-tokoh yang diceritakannya. Ia
hanya berlaku sebagai pengamat observer melaporkan sesuatu yang dialami dan dijalani oleh seorang tokoh yang sebagai pusat kesadaran. Ia
sama halnya dengan pembaca adalah seorang tokoh yang berdiri di luar cerita.
Namun, karena cerita itu merupakan hasil kreasi imajinasi pengarang, tentu
saja ia dapat mengomentari dan menilai sesuatu yang diamatinya sesuai dengan pandangan dan pengalamannya. Namun, hal itu harus hanya berasal
dari satu sudut pandang tokoh tertentu yang telah dipilih sebagai pengamat. Di dalam hal inilah pengarang menjadi terbatas karena harus membatasi diri
dengan berangkat dari kacamata tokoh tertentu sebagai pusat kesadaran untuk memanifestasikan komentar dan penilaiannya terhadap berbagai hal
yang diceritakan. Di pihak lain, hal itu pun akan mengontrol penilaian yang diberikan oleh pembaca Abrams, dalam Nurgiyantoro, 2013: 351.
2 Sudut Pandang Persona Pertama “Aku”: Di dalam pengisahan cerita yang
mempergunakan sudut pandang persona pertama first-person point of view “aku” gaya “aku”, narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia
adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri self consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui,
dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca.
Pembaca menerima apa yang diceritakan oleh si “aku”, maka pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang
dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut.
Si “aku” tentu saja punya nama, namun karena ia mengisahkan pengalaman sendiri
, nama itu jarang disebut. Penyebutan nama si “aku” mungkin justru berasal dari
ucapan tokoh lain yang bagi si “aku” merupakan tokoh “dia” atau “kau”. Penggunaan sudut pandang “aku” dalam sebuah cerita hanya merupakan
gaya, cara, atau teknik. Jadi, keadaan itu tidak perlu dihubungkan dan diartikan sebagai aku-nya pengarang walau tidak pelak sikap dan pandangan pengarang
akan tercermin di dalamnya.