Pengaturan Penggunaan Alat-alatSenjata dalam Perang Menurut Hukum

Senjata yang menggunakan patogen bakteri, virus, atau organise penghasil penyakit lainnya sebagai alat untuk membunuh, melukai atau melumpuhkan musuh. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ 4. Drone Pengertian yang lebih luas senjata biologi tidak hanya berupa organise patogen tetapi juga toksin berbahaya yang dihasilkan oleh organisme tertentu. Kenyataannya senjata biologis tidak hanya menyerang manusia tetapi juga tumbuhan dan hewan. Unmanned Aerial Vehicle UAV atau yang lebih dikenal dengan Drone merupakan kendaraan udara tanpa awak yang dikendalikan dari jarak jauh oleh manusia sebagai pilotnya atau melalui program yang telah ditentukan.

B. Pengaturan Penggunaan Alat-alatSenjata dalam Perang Menurut Hukum

Humaniter Hukum Humaniter Internasional hadir untuk berusaha melindungi orang yang tidak terlibat maupun yang tidak terlibat lagi dalam konflik bersenjata dan juga untuk membatasi alat dan cara dalam berperang dan juga memberikan perlindungan terhadap orang yang terkena dampak dari konflik tersebut. Sebenarnya pengaturan mengenai alat-alat atau senjata perang di atur dalam Konvensi Den Haaq. Hukum Den Haaq terdiri dari serangkaian peraturan yang mengatur mengenai sarana alat dan metoda berperang, baik berupa konvensi maupun deklarasi, yang terbentuk dalam Konferensi Perdamaian di Den Haaq pada tahun 1899 dan 1907, yakni yang menghasilkan serangkaian konvensi Den Haaq. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Federation of American Scientists. Introduction to Biological Weapons Namun sebelum terbentuknya Konvensi Den Haaq 1899 dan 1907 tersebut lebih dulu ada aturan yang mengatur mengenai cara dan alat perang, yaitu diantaranya : - Lieber Code atau Instructions for Goverment of Armies ofthe United States 1863 - St Petersburg Declaration 1868. Sebelum terbentuk Lieber Code dan St Petersburg Declaration, pada tahun 1874 telah diadakan Brussel Conference oleh Tsaar Alexander I guna membahas hukum dan kebiasaan berperang. Brussel Conferencemenghasilkan “Final Protocol” dan “Project of an International Declaration Concerning the Laws and Costume of War” Proyek dari sebuah Deklarasi Internasional yang berkaitan dengan Hukum dan Kebiasaan Perang, namun karena tidak semua negara mau menerimanya sebagai suatu konvensi yang mengikat, menyebabkan Final Protocol dan Project of and International Declaration Concerning the Laws and Costume of War tidak diratifikasi. Kedua Deklarasi Internasional mengenai hukum dan kebiasaan perang yang batal ini memicu dilakukannya hukum perang. Walaupun Lieber Code dan St Petersburg Declaration bukan merupakan hasil dari Konferensi Perdamaian I 1899 dan II 1907 di Den Haaq, namun kedua instrument ini sangat penting guna bisa memahami perangkat peraturan hukum yang mengatur mengenai sarana dan metoda perang. Ketentuan dimana para pihak yang berkonflik memiliki hak untuk menggunakan senjata secara tak terbatas untuk tujuan perangnya. Pembatasan ini didasarkan pada dua ketentuan yaitu §§§§§§§§§§§§ 1. Ketentuan mengenai prinsip-prinsip persenjataan yang telah dikembangkan 2. Masyarakat internasional yang sudah menerima sejumlah larangan khusus atau setiap pembatasan dimana telah disepakati suatu bentuk tertentu dari persenjataan atau metode perperang Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 35 Protokol Tambahan tahun 1977 mengakui bahwa maksud dari melukai musuh dengan tidak terbatas ini dan kemudian menetapkan larangan bagi para personil militer menggunakan materi dan peluru atau metode perang yang secara nyata menyebabkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. Selain itu penggunaan alat dan senjata perang juga telah di cantumkan dalam Lieber Code. Lieber Code atau Instruksi Lieber adalah sebuah dokumen yang berisi serangkaian peraturan berbentuk instruksi bagi para tentara Amerika Serikat dalam menghadapi Perang Saudara di Amerika 1861-1865. Nama lengkap dari Lieber Code §§§§§§§§§§§§ Evans, Malcom D, International Law, Published in The United State by Oxford University Press Inc, New York, 2003, hlm 80 Ambarwati,dkk, op cit, hlm 31 adalah Instruction for the Goverment of Armies of the United States in the Field Instruksi Bagi Pimpinan Tentara Amerika Serikat di Medan Perang.Lieber Code semacam petunjuk lapangan. Kode ini mengatur secara rinci mengenai aspek- aspek hukum dan kebiasaan perang di darat antara lain : a. Bagaimana perang dilaksanakan ? b. Bagaimana perlakuan yang harus diberikan kepada penduduk sipil, para tawanan perang, mereka yang terluka dan sebagainya. Pasal 14 jo 16 Lieber Code mengatur mengenai hakekat dari prinsip kepentingan militer, yaitu suatu prinsip yang sangat penting dalam hukum perang sedangkan Pasal 170 Lieber Code secara eksplisit memberikan larangan penggunaan senjata beracun ††††††††††††† . Pada awalnya Lieber Code ini merupakan dokumennya Amerika Serikat secara nasional, yang diterapkan saat terjadi perang saudara atau Civil War yang sifatnya tidak mengikat negara-negara lain, namun kemudian dalam kenyataanya Lieber Code pada abad ke-19 menjadi model dan sumber inspirasi bagi kodifikasi mengenai hukum dan kebiasaan perang. Menurut Fritz Kalshoven Lieber Code ini ternyata kemudian mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan Hukum Den Haaq. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Selain Lieber Code, ada pula St. Petersburg Declaration 1868dimana Secara lengkap St. Petersburg Declaration ini berjudul “Declaration Renouncing the Use, in ††††††††††††† Pasal 14 Lieber Code adalah “kebutuhan militer yang dapat dimengerti oleh masyarakat modern yang beradap, terdiri dari kebutuhan yang dipilih dengan hati-hati yang sangat dibutuhkan guna menjamin akhir dari perang dan tidak melanggar hukum berkaitan dengan hukum modern bagi penggunanya dalam perang”. Pasal 16 Lieber Code adalah “dalam keaadan mendesak militer tidak diizinkan menggunakan tindakan yang kejam.. juga tidak diijinkan menggunakan racun dalam segala cara, maupun dalam keseluruhannya kebutuhan militer tidak memasukkan perilaku permusuhan yang akan membuat kemungkinan untuk damai menjadi sukar”. Pasal 170 Lieber Code adalah “penggunaan racun dalam acara apapun, ataukah itu dengan cara meracuni sumur, atau makanan atau senjata sama sekali harus dicegah dalam suatu perang modern. Mereka yang menggunakan hal itu menempatkan dirinya sendiri diluar batas hukum dan kebiasan perang”. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Fritz Kalshoven, Constraints on the Waging of War, 2nd Edition,ICRC,Geneva,1991,hlm 11-12; vide Dietrich Schindler and Jiri Toman Eds, hlm 3 Time of Wa, Explosive Projectile Under 400 Grammes Weight” Deklarasi Yang Tidak Mengakui Penggunaan, Dalam Saat Perang, Projektile Yang Dapat Meledak Dibawah Berat 400 Gram. Ini adalah instrumen yang sangat berbeda sekali dengan Lieber Code. Lieber Code adalah suatu aturan yang sangat rinci dan bersifat nasional, sedangkan St. Petersburg Declaration adalah suatu perjanjian internasional yang hanya mengatur mengenai suatu aspek saja dari peperangan, yaitu mengatur tentang persenjataan khususnya mengenai perkembangan projektil-projektil yang dapat meledak. §§§§§§§§§§§§§ Fritz Kalshoven menulis bahwa apabila ditunjukan kepada manusia, maka penggunaannya tidak akan efektif ketimbang menggunakan senjata biasa, karena tidak menyebabkan pihak lawan menyandang status horst de combat, karena luka yang disebabkan tembakan projektil tersebut justru bertambah parah dan menambah penderitaan bagi mereka yang mengalaminya. Maksud utama dari deklarasi ini adalah untuk membatasi penggunaan persenjataan yang dikembangkan sehingga mudah menyala dan meledak, yang bilamana senjata ini digunakan terhadap bangunan-bangunan militer akan menimbulkan akibat yang cukup berarti. 1. That the progress of civilization should have the effect of alleviating as much as possible the calamities of war karena adanya kemajuan peradaban manusia Dalam St. Petersburg Declaration dapat dilihat adanya tiga paragraf operasional yang perlu diperhatikan sehubungan dengan cara berperang : §§§§§§§§§§§§§ Arlina pertamasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter, International Committe of the Red Cross, Jakarta,1999,hlm 43 Ibid maka harus menimbulkan efek mengurangi sedapat mungkin bencana dari perang. Maksudnya, demi kemajuan peradaban manusia harus banyak dicegah bencana dari perang. 2. That the only legitimate object which States should endeavour to accomplish during war is to weaken to military force of the enemy yang menjadi objek yang sah yang harus diusahakan dengan keras untuk diselesaikan oleh negara- negara selama peperangan adalah untuk melemahkan kekuatan tentara dari musuh. Maksudnya, dalam setiap pertempuran harus dihindari perusakan atau korban dari mereka yang bukan tentara. Ada klausula dalam St. Petersburg Declaration yang menyebutkan bahwa penggunaan senjata yang bersifat mudah meledak dapat menambah penderitaan pada manusia, penggunaan mana diakui bertentangan dengan hukum kemanusiaan the laws of humanity 3. The contracting or Accending Parties reserve to themselves to come hereafter to an understanding whenever a precise proporsition shall be drawn up in a view of future improvment which science may effect in the armemend of troops, in order to maintain the principles which they have established and to conciliate the necessities of war with the laws of humanity. Maksudnya, bahwa dengan menyadari kemungkinan timbulnya perkembangan ilmu dan teknologi di bidang persenjataan yang dapat mempengaruhi angkatan perang, maka tetap harus diutamakan prinsip-prinsip yang telah diakui, yakni prinsip mengenai kepentingan militer dengan hukum kemanusiaan. Lieber Code dan St. Petersburg Declaration dimana keduanya menjadi faktor penting dalam memahami Konvensi Den Haaq selanjutkan, khususnya yang bersangkutan dengan metode dan sarana berperang. Misalnya paragraf operasional pertama dan kedua didalami secara seksama, nampaknya merupakan bahan pokok mengenai ketentuan yang menyangkut sasaran militer dalam berperang, yang kemudian ditegaskaan kembali dalam Konvensi atau Hukum Jenewa 1949 yang kemudian secara definitif ditegaskan dalam Protokol Tambahan I1977. Demikian pula dalam klausula St. Petersburg Declaration yang disebut diatas yaitu tentang penggunaan senjata yang bersifat tidak terbatas yang secara berulang kali ditegaskan kembali dalam dalam banyak konvensi termasuk dalam Protokol Tambahan I1977.Demikian juga pada pasal 155 Lieber Code †††††††††††††† , Lieber Code dan St. Petersburg Declaration adalah cikal bakal terbentuknya Konvensi Den Haaq atau yang lebih sering disebut dengan Hukum Den yang menentukan klasifikasi mereka yang terlibat dalam peperangan yaitu mereka yang tergolong combatans dan non combatans yang berkembang menjadi prinsip pembela disriction principles dalam hukum perang. †††††††††††††† Pasal 155 Liber Code menyebutkan bahwa “All enemies in regular war are divided into two general classes - that is to say, into combatants and noncombatants, or unarmed citizens of the hostile government. The military commander of the legitimate government, in a war of rebellion, distinguishes between the loyal citizen in the revolted portion of the country and the disloyal citizen. The disloyal citizens may further be classified into those citizens known to sympathize with the rebellion without positively aiding it, and those who, without taking up arms, give positive aid and comfort to the rebellious enemy without being bodily forced thereto.” Artinya: “Semua musuh dalam perang biasa dibagi menjadi dua kelas umum yang mengatakan, dalam kombatan dan warga sipil, atau warga tak bersenjata dari pemerintah yang bermusuhan. Komandan militer pemerintah yang sah, dalam perang pemberontakan, membedakan antara warga negara yang setia di bagian memberontak negara dan warga tidak loyal.Warga setia lebih lanjut dapat diklasifikasikan kedalam warga negara yang dikenal bersimpati dengan pemberontakan tanpa positif membantu, dan orang-orang yang, tanpa mengangkat senjata, memberikan bantuan positif dan kenyamanan bagi musuh pemberontak tanpa tubuh dipaksa padanya”. Haaq.Konvensi Den Haaq merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang, serta menekankan bagaimana cara melakukan operasi-operasi militer. Konvensi ini disebut dengan The Haque Laws, karena pembentukan ketentuan-ketentuan tersebut dihasilkan di kota Den Haaq, Belanda. Hukum Den Haaq terdiri dari serangkaian ketentuan yang dihasilkan dari Konferensi 1899 dan ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari Konferensi 1907.Hukum Den Haaq adalah kelanjutan dari hasil korespondensi Perdamaian I pada tahun 1899. Konvensi Den Haaq terjadi sebanyak dua kali. Dimana konvensi pertama pada tahun 1899 dan yang kedua tahun 1907. Isi dari dua konvensi ini sama yakni mangatur tata cara dan alat yang diperbolehkan dalam perang yang dilakukan oleh negara-negara yang melakukan, hanya saja isi dari konvensi kedua merupakan penyempurnaan dari konvensi pertama. Dalam Konvensi Den Haaq 1899 korespondensi yang dimulai pada tanggal 20 Mei 1899 dan berakhir pada tanggal 29 Juli 1899. Korespondensi Perdamaian I merupakan prakarsa Tsaar Nicholas II dari Rusia yang merupakan usaha mengulangi prakarsa pendahulunya yaitu Tsaar Alexander I yang menemui kegagalan dalam mewujudkan suatu Korespondesi Internasional di Brussel pada tahun 1874 yaitu Final Protocol dan Project of and International Declaration Concerning the Laws and Costume of War. Dasar pemikiran Tsaar Nicholas II untuk menghidupkan kembali gagasan Tsaar Alexander I adalah Rencana Konsepsi Persekutuan Suci Holy Alliance antara Austria, Prusia dan Rusia pada tanggal 3 September 1815. Sebagaimana diketahui bahwa Aliansi Empat Negara Quadruple Alliance yang ditandatangani oleh Austria, Prusia dan Rusia pada tanggal 20 Nopember 1815 yang merupakan kelanjutan dari Konggres Wina yang diselenggarakan antara bulan September Peristiwa Waterloo kalahnya Napoleon Bonaparte pada tanggal 18 juni 1815 ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ . Untuk memenuhi ambisi Tsaar Nicholas II, maka pada tahun 1898 Court Mouravieff Menlu Rusia mengedarkan surat kepada semua Kepala Perwakilan negara negara yang diakteritasikani St. Petersburg, 1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional yang isinya ajakan dari Tsaar Nicholas II untuk secara bersama-sama mempertahankan Perdamaian Dunia dan mengurangi persenjataan. Konferensi ini menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi, yaitu : 2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasan Perang di Darat 3. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-Asas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut Deklarasi yang dihasilkan adalah 1. Larangan penggunaan peluru-peluru dum-dum peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia 2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selama jangka waktu lima tahun yang berakhir pada tahun 1905, juga dilarang ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Arlina pertamasari dkk,Ibid, hlm 22 mengutip tulisan Marwati Djoned Poesponegoro,Tokoh dan Peristiwa Dalam Sejarah Eropa 1815-1945,Erlangga, Jakarta,1982, hlm 132-282 3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas yang beracun yang menyebabkan sesaknya pernafasan , juga dilarang. Pada Bagian I tentang pihak-pihak yang bersengketa terdapat 3 tiga Bab dan Bab I membahas mengenai kualifikasi dari pihak-pihak yang bersengketa. Pasal I menerangkan bahwa hukum mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban berperang tidak hanya diterapkan pada tentara tetapi juga pada milisi dan kolompok sukarela yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut : a. Harus dipimpin oleh seseorang yang bertanggungjawab atas bawahannya b. Memakai tanda atau emblem yang dapat dilihat dari jauh c. Memakai senjata secara terbuka d. Melaksanakan gerakan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang Pada Bagian II mengenai Permusuhan di Bab I tentang alat-alat untuk melukai musuh, pengepungan dan pemboman tercantum pada pasal 22 dimana didalamnya terdapat bagian terpenting yaitu klausula pokok yang menyatakan bahwa: hak para pihak yang berperang untuk menggunakan alat-alat untuk melukai musuh adalah tidak tak terbatas. §§§§§§§§§§§§§§ Juga dalam pasal 23 a. Menggunakan racun atau senjata beracun berisi tambahan mengenai larangan-larangan yang ditentukan oleh konvensi-konvensi khusus, maka secara khusus dilarang untuk : b. Membunuh atau melukai secara kejam orang-orang atau tentara dari pihak musuh §§§§§§§§§§§§§§ Pasal 22 Haque Convention IV,1907 I bid c. Membunuh atau melukai lawan yang telah meletakkan senjatanya, atau yang tidak lagi memiliki alat pertahanan, atau yang telah menyerah d. Menyatakan bahwa perlindungan tidak akan diberikan e. Menggunakan senjata, proyektil, atau bahan-bahan yang mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu f. Menyalahgunakan bendera perdamaian, bendera nasional, atau tanda militer dan seragam musuh, dan juga atribut-atribut pembeda dari Konvensi Jenewa g. Menghancurkan atau menyita harta benda milik musuh, kecuali jika penghancuran atau penyitaan tersebut diperlukan bagi kepentingan militer; h. Menyatakan penghapusan, penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya hak- hak pembelaan warga negara pihak musuh dalam suatu pengadilan. Setelah pada tahun 1899 mennghasilkan Konvensi Den Haaq 1899 pada tahun 1907 dilakukan Konferensi Perdamaian II dan menghasilkan kembali Konvensi Den Haaq 1907 dimana sebenarnya isi dari Konvensi Den Haaq 1899 sama dengan isi dari Konvensi Den Haaq 1907 mengenai tata cara dan alat yang diperbolehkan dalam perang bagi negara-negara yang melakukanya. Konvensi Den Haaq 1907 ini hanya sebagai penyempurnaan dari Konvensi Den Haaq 1899. Konferensi Perdamaian II adalah merupakan gagasan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Hay pada tanggal 21 Oktober 1904 membuat Surat Edaran yang ditujukan kepada wakil-wakil Amerika Serikat yang ditempatkan dinegara yang meratifikiasi Final Act 1899. Pada saat itu Rusia sedang berperang dengan Jepang. Namun demikian Tsaar dari Rusia menyatakan keinginanya untuk menyelenggarakan konferensi ini, karena ia mendengar bahwa Presiden Theodore Roosevelt mempersilahkan Tsaar untuk bertindak sebagai penyelenggara. Konferensi ini lebih besar memfokuskan dan menitikberatkan masalah perang dilaut, karena pada saat itu ketentuan perang laut belum ditetapkan pada kenvensi sebelumnya.Pada saat itu Inggris mencoba memasukkan putusan mengenai pembatasan persenjataan di perang laut, namun hal ini digagalkan oleh negara negara peserta yang dipimpin oleh negara netral.Putusan mengenai pembatasan persenjataan perang di laut ditolak oleh Jerman karena beranggapan bahwa putusan tersebut merupakan buatan negara Inggris dengan maksud untuk membatasi ruang gerak armada laut Jerman yang pada saat itu sangat kuat dan sulit dikalahkan oleh negara sekutu.Jerman menolak usulan tentang arbitrse wajib.Hasil konferensi tersebut berhasil memperbesar mekanisme untuk arbitrase sukarela dan menetapkan sejumlah konvensi yang mengatur penagihan utang, aturan perang, dan hak serta kewajiban negara netral dan Konferensi Perdamaian II di Den Haaq mengasilkan 13 Konvensi dan sebuah deklarasi. Konvensi-konvensi yang dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian II di Den Haaq tahun 1907 adalah sebagai berikut ††††††††††††††† 1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional : 2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata 3. Konvensi III tentang Cara Memulai Perang 4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat ††††††††††††††† Haryomatam, op cit, hlm 47 5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warganegara Netral dalam Perang di Darat 6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Perang 7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang 8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di Dalam Laut 9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkutan Laut di Waktu Perang 10. Konvensi X tentang Adaptasi Azas-Azas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut 11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu Terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang di Laut 12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan 13. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut Konvensi VI sampai dengan konvensi XII Den Haaq 1907 pada umumnya mengatur masalah kapal, kapal perang, jadi menyangkut perang di laut Adapun satu-satunya deklarasi yang dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian II tersebut adalah Deklarasi yang melarang Penggunaan proyektil-proyektil atau bahan-bahan peledak dari balon. Mengenai sarana dan metoda berperang adalah berbicara tentang hukum Den Haaq yang bukan hanya terdapat dalam hasil Konferensi Perdamaian I dan II saja.Perkembangannya bahwa ketentuan-ketentuan mengenai sarana dan metoda berperang tersebut tidak hanya terdapat dalam konvensi-konvensi Den Haaq saja melainkan pada Protokol Tambahan 1977. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Ketentuan utama tentang metoda dan sarana berperang terdapat dalam Konvensi Den Haaq ke-IV 1907 §§§§§§§§§§§§§§§ 1. In many armed conflict, the right of the Parties to the conflict to choose methods on means of wrfare is not unlimited terutama lampiran Annexnya terutama yang berjudul “Regulations respecting the laws and customs of war on land” atau yang biasa disebut Haque Regulations Peraturan-peraturan Den Haaq. Haque Regulations ini mengatur mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat, termasuk ketentuan-ketentuan mengenai metoda dan sarana berperang. Peraturan Den Haaq mengenai sarana alat berperang terlebih dahulu diketahui dua peraturan dasar basic rules yang melandasinya yaitu 2. It is prohibited to employ weapons, projectiles and material and methods of warfare of a nature to cause superfluous injury or unnecessary suffering. Peraturan dasar yang paling utama dalam menggunakan sarana atau alat untuk melakukan peperangan means of warfare dalam suatu sengketa bersenjata ialah keterbatasan dalam memilih dan menggunakan sarana atau alat berperang. Prinsip ini tercantum dalam ketentuan Pasal 22 Haque Regulations yang menyatakan bahwa : “hak belligerents untuk menggunakan sarana dalam menghancurkan musuh adalah tidak tak terbatas is not unlimited.” Prinsip ini ditegaskan kembali dalam Resolusi ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Oleh karena itu, menurut ICRC, protokol Tambahan 1977 juga disebut dengan Hukum Campuran mixed law karena tidak hanya mengatur tentang perlindungan terhadap penduduk sipil saja, melainkan juga mengatur tentang metoda dan saran berperang §§§§§§§§§§§§§§§ Karena telah diperbarui, maka pembahasan Lampiran Konvensi II 1899 dilakukan sekaligus dengan Lampiran Konvensi IV 1907. Dengan mengutamakan konvensi yang terakhir, serta membandingkan kedua klausula dalam kedua konvensi dimana dianggap perlu XXVIII pada Konferensi Internasional Palang Merah ke XX di Wina 1965 dan juga dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2444XXIII. Contoh penggunaan prinsip ini tampak pada konvensi yang dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian II, misalnya Pasal 1 Konvensi VIII Convention relative to the laying of outomatic submarine contact mines yang melarang penggunaan ranjau dan torpedo, dengan pengecualian yang cukup ketat sebagai berikut : 1. To lay unanchored automatic contact mines, except when they are so constructed as to become harmless one hour at most after the person who laid them ceases to control them 2. To lay unanchored automatic contact mines which do not become harmless as soon as they have broken loose from their moorings 3. To use torpedoes which do not become harmless when they have missed their mark Melihat rumusan pasal 1 diatas, jelas bahwa negara yang bersengketatidak dapat sebebas-bebasnya menggunakan ranjau, namun dibatasi oleh syarat-syarat tertentu.Contoh diatas mencerminkan bahwa penggunaan senjata oleh para pihak yang bersengketa adalah tidak tak terbatas sangat terbatas.

C. Penggunaan Senjata yang dilarang dalam Perang menurut Hukum