37
2.6 Konsep Willingness to Pay dan Willingness to Accept
Dalam literatur yang terkait dengan teori dan pengukuran surplus konsumen, perkembangan keduanya tumbuh sangat pesat. Konsep teori
surplus konsumen pertama kali diperkenalkan oleh Dupuit 1884, 1993 dalam Johansson 2002 yang pada waktu itu, ia sangat perhatian terhadap
analisis manfaat-biaya dalam pembangunan. Kemudian dilanjutkan Marshall 1920 dalam Johansson 2002 yang memperkenalkan konsep tersebut
bahwa penetapan surplus konsumen menggunakan daerah dibawah kurva permintaan dikurangi dengan pengeluaran uang aktual untuk barang,
sekurang-kurangnya itulah interpretasi umum tentang surplus konsumen. Ternyata apa yang dijelaskan Marshall itu sama dengan yang dijelaskan
Dupuit dalam teori dan setidaknya pada pengukuran surplus konsumen. Kemudian, dijelaskan bahwa kelebihan dari harga yang akan dibayar lebih
dari yang dikehendaki tanpa sesuatu yang ia mampu membayar secara ekonomis dari tingkat pemuasaan surplusnya Marshall 1920.
Barang publik atau public goods adalah barang jika diproduksi, produsen tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan siapa yang
berhak mendapatkannya; artinya produsen tidak dapat meminta konsumen untuk membayar atas konsumsi barang tersebut, sedangkan di sisi
konsumen, bahwa sekali diproduksi maka produsen tidak mempunyai kendali sama sekali, siapa yang mengkonsumsinya Fauzi 2006. Barang
publik berarti menjelaskan secara spesifik barang yang dibagi dan dimanfaatkan untuk banyak orang pada suatu komunitas. Adapun ciri-ciri
barang publik adalah: a. Non-rivalry tidak ada ketersaingan dan non-divisible tidak habis.
Non rivalry mengandung pengertian bahwa konsumsi seseorang terhadap barang publik tidak mengurangi konsumsi orang lain
terhadap barang yang sama. Contohnya : Udara.
38 b. Non-exludable tidak ada larangan. Arti dari Non-exludable adalah
sulit untuk melarang pihak lain untuk mengkonsumsi barang yang sama. Contohnya : Pemandangan Alam.
Pengukuran masing-masing nilai sumber daya dan lingkungan serta perubahan tingkat kualitas lingkungan adalah tahap kritis dalam
pembangunan dengan salah satu tujuannya adalah kebijakan lingkungan. Informasi ini sangat esensial dalam menentukan kebijakan manfaat-manfaat
lingkungan dalam perbandingannya dengan biaya-biaya lingkungan CBA atau cost benefit analysis barang publik. Pengukuran nilai lingkungan
adalah sangat penting pada pembahasan masalah ekonomi lingkungan, contohnya dalam menentukan: 1 tingkat polusi optimal atau tingkat solusi
optimum sosial; 2 konsep kerusakan marginal marginal damage dan biaya marginal penurunan kualitas lingkungan marginal abatement cost; 3
pengukuran nilai dalam analisis biaya-manfaat CBA; 4 pilihan diantara alternatif-alternatif perbandingan biaya-biaya dan manfaat-manfaat pada
setiap pilihan tersebut. Secara umum nilai dapat didekati dari 2 perspektif, yaitu dari
pendekatan ekonomik maupun dalam perspektif ekologi. Pertama, Nilai dari pendekatan ekonomik didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum
seseorang yang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya, maka secara formal, menurut Fauzi 2006 konsep
ini disebut keinginan membayar willingness to pay atau WTP seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan
lingkungan. Kedua, dari persfektif ekologis, nilai-nilai ekologis ekosistem dapat diterjemahkan kedalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilainya,
seperti yang terjadi pada ekosistem hutan yang mengalami kerusakan lingkungan akibat penebangan ilegal, maka nilai yang hilang akibat
degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya.
Sebaliknya kesediaan untuk menerima pembayaran willingness to accept
39 atau WTA dimana masyarakat yang terkena dampak bersedia untuk
menerima pembayaran atas penggunaan sumberdaya air dari para pengguna atau pemanfaat jasa lingkungan dimaksud berupa imbal jasa
lingkungan dimana dana lingkungan tersebut dapat digunakan untuk pemulihan atas degradasi atau kerusakan lingkungan yang terjadi.
Hal yang sama menurut Kahn 1998, beberapa pengertian nilai, antara lain adalah: 1 dalam perspektif konsep antroposentrik
anthropocentric concept, bahwa nilai ditentukan oleh masyarakat dan bukan hukum alam atau pemerintah; 2 Nilai ditentukan oleh kemauan
masyarakat untuk membuat pertimbangan untung rugi willingness to make trade-offs, hal ini dapat terlihat baik pada pasar barang, dimana kemauan
membayar masyarakat untuk membuat pertimbangan untung rugi trade- offs direfleksikan kedalam kemauan masyarakat membayar barang dengan
harga uang. Tambahan pengeluaran dari jumlah pengeluaran uang aktual pada barang akan menghasikan total WTP willingness to pay untuk jumlah
barang tertentu. Pendekatan WTP dapat digunakan untuk menilai jasa lingkungan yang dapat dirasakan oleh konsumen atau kemauan konsumen
untuk membayar jasa lingkungannya atau kemauan pemanfaat atau pengguna jasa lingkungan untuk membayar lingkungannya.
Pada pasar barang, kurva permintaan merepresentasikan fungsi marginal willingness to pay WTP. Pada Gambar 2.4, dimana P
1
merepresentasikan berapa banyak masyarakat harus membayar untuk tambahan satu unit output Q untuk dikonsumsi. Misalnya Total willingness
to pay WTP untuk unit Q
1
direpresentasikan pada daerah sebesar OQ
1
EP
1
.
40
Gambar 2.4 Marginal Total Willingness to Pay
Fungsi marginal
willingness to pay WT P
Q
I
P
I
Harga Rp
O E
Kuantitas
Total biaya sumberdaya SD dapat dijelaskan dengan bantuan fungsi biaya marginal MC. Sedangkan Gambar 2.5, biaya sumberdaya
diasosiasikan dengan unit output Q
1
tertentu dibawah fungsi MC atau daerah segitiga OBQ
1
. Total Revenue adalah sama dengan daerah OP
1
BQ
1
Gambar 2.5 Biaya Oportunitas, Surplus Consumers’, dan Surplus Producers’ Keterangan : Nilai bersih = area OBE, dimana untuk pasar barang =
total consumers surplus E P1 B dan producers surplus O P1 B. Konsep demikian, Analog untuk pengukuran ekonomi yang dapat
dikembangkan pada pasar non barang, seperti jasa lingkungan.
Kuantitas
Fungsi biaya marginalMC
Fungsi keinginan untuk
membayarWTP
Biaya oportunitas
Surplus Konsumen
Surplus Produsen
Q
I
O E
PI B
Rp
. Pada pasar persaingan sempurna PPS : TR=TC.
Keinginan untuk membayar atau WTP dapat juga diukur dalam bentuk kenaikan pendapatan yang menyebabkan seseorang berada dalam
posisi indeferrent terhadap perubahan exogenous. Menurut Fauzi 2006 perubahan exogenous ini bisa terjadi karena perubahan harga misalnya
41 akibat sumberdaya menjadi langka atau karena perubahan kualitas
sumberdaya. Dengan demikian konsep WTP tersebut terkait erat dengan konsep Compensating Variation CV dan Equivalent Variation EV dalam
teori permintaan. Karenanya WTP dapat juga diartikan sebagai jumlah
maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya penurunan
kualitas lingkungan terhadap adanya
sesuatu dalam
pembangunan. Dengan demikian dalam analisis WTP maka pertanyaan mendasarnya terhadap responden atau masyarakat adalah berapa maksimal
responden masyarakat bersedia membayar untuk perbaikan kualitas lingkungan?
Dalam kontek CBA barang publik, maka selain pengukuran dengan WTP terdapat sisi lain dari pengukuran nilai ekonomi yaitu dengan
melakukan pengukuran willingness to accept WTA didefinisikan sebagai jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan
sesuatu; dengan kata lain, berapa minimal seharusnya orang atau responden masyarakat membayar resiko sehingga responden tersebut
dapat menerima kualitas lingkungan yang rusak? Dalam hal yang praktikal kedua pengukuran nilai ekonomi tersebut dapat digunakan, namun di
lapangan pengukuran WTP lebih sering digunakan daripada WTA. Konsep WTP dan WTA menurut Ahlheim dan Buchholz siap terbit
diturunkan dari kurva tingkat kesejahteraan Hicksian yang berkaitan dengan pengukuran tentang CV dan EV dan dalam praktik bahwa pengukuran WTP
lebih sering digunakan daripada WTA. Hal ini, menurut Fauzi 2006 dikarenakan dalam pengukuran WTA bukanlah pengukuran yang
berdasarkan insentif insentive based sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia behavioural model. Lebih jauh lagi,
menurut Garrod dan Willis 1999 serta Hanley dan Spash 1993 dalam Fauzi 2006 menyatakan bahwa meski besaran WTP dan WTA sama,
namun selalu terjadi perbedaan pengukuran, dimana umumnya besaran WTA berada pada kisaran dua sampai lima kali lebih besar daripada WTP;
42 hal ini disebabkan karena faktor: 1 Ketidaksempurnaan dalam rancangan
kuesioner dan teknik wawancara; 2 Pengukuran WTA terkait dengan endowment effect dampak pemilikan, dimana responden mungkin menolak
untuk memberikan nilai terhadap sumberdaya yang ia miliki. Dengan kata lain, responden bisa saja mengatakan bahwa sumberdaya yang ia miliki
tidak bisa tergantikan, sehingga mengakibatkan tingginya harga jual. Fenomena demikian sering juga disebut sebagai loss aversion menghindari
kerugian, dimana seseorang cenderung memberikan nilai yang lebih besar terhadap kerugian; 3 Responden mungkin bersikap cermat terhadap
jawaban WTP dengan mempertimbangkan pendapatan ataupun preferensinya.
Dalam hal menggantikan nilai kerugian atau kehilangan loss dari barang dan jasa lingkungan terhadap barang dan jasa lainnya adalah
mengenai penilaian kompensasi yang lebih tinggi, agar individu dapat menerima kerugian loss tersebut. Karena itu, telah menghasilkan
perbedaan yang besar antara pengukuran kompensasi WTA dengan WTP untuk barang-barang lingkungan. Dalam kontek lain jika dalam pengukuran
terdapat tingkat substituabilitas yang tinggi antara barang-barang lingkungan dan barang-barang yang ada di pasar sebagaimana umumnya, maka WTP
dan WTA harus dilihat dengan penjustifikasian dalam nilai tertentu. Pendekatan WTA dapat digunakan untuk menilai kemauan produsen atau
masyarakat yang menyediakan atau menghasilkan jasa lingkungan untuk menerima pembayaran terhadap jasa lingkungannya. Secara faktual,
karena WTP terkait dengan pengukuran CV dan EV maka WTP lebih tepat diukur berdasarkan permintaan Hicksian atau kurva permintaan
terkompensasi dimana harga pada daerah dibawah kurva permintaan Hicks relevan untuk pengukuran kompensasi, dengan kata lain di bawah
kurva permintaan Marshall atau kurva permintaan biasa yang mengukur terjadi perubahan surplus.
43 Hanemann 1991 dalam Ahlheim dan Buchholz siap terbit
memberikan argumentasi bahwa dari hasil analisisnya memperlihatkan bahwa adanya perbedaan WTP dan WTA tidak hanya sekedar sebuah
pertanyaan mendasar yang “diakibatkan dari adanya efek pendapatan tetapi juga disebabkan oleh karena adanya kemungkinan substitusi antara
lingkungan dan barang-barang yang diperdagangkan”. Hal ini, tentu saja adanya perbedaan yang begitu besar antara WTP dan WTA ketika tidak
terjadi substitusi untuk suatu lingkungan yang baik kualitasnya yang telah dinilai dan dapat tersedia daripada kasus lainnya dimana dengan mudah
ditempatkannya kembali oleh barang-barang lainnya. Evaluasi terhadap jasa lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya
air dapat dilakukan, sekalipun hanya sebagian barang dan jasa yang dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya air dapat diukur nilainya karena
langsung diperdagangkan; ternyata terdapat pula beberapa kelemahan dalam pengukuran keinginan untuk membayar WTP ini, misalnya
pengukuran dalam hal pentingnya kebersihan, keindahan dan kesejukan
suatu tempat, ketertiban, dan keaslian alamnya; pertama, sumber daya air
baku tersebut tidak diperdagangkan sehingga tidak atau sulit diukur atau diketahui nilainya, karena masyarakat tidak membayarnya secara langsung;
selain itu; kedua, karena masyarakat tidak familiar dengan cara pembayaran jasa lingkungan seperti itu; ketiga, keinginan membayar mereka juga sulit
diketahui. Walaupun demikian, dalam pengukuran nilai sumber daya alam, nilai tersebut tidak selalu harus diperdagangkan untuk mengukur nilai
moneternya. Akan tetapi yang diperlukan disini adalah pengukuran seberapa besar kemampuan membayar purchasing power masyarakat
untuk memperoleh barang dan jasa dari sumber daya air; dalam hal ini dapat diukur dari seberapa besar masyarakat harus diberi kompensasi atas
hilangnya barang dan jasa dari sumberdaya dan lingkungan dimaksud. Secara umum penilaian atas sumberdaya non pasar digolongkan
dalam dua kelompok. Pertama, teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana WTP dinilai melalui revealed WTP atau keinginan membayar
44 yang terungkap, contohnya adalah travel cost, hedonic pricing, dan random
utility models. Kedua, teknik valuasi yang didasarkan pada survai dimana keinginan membayar WTP dan kesediaan menerima WTA diperoleh
langsung dari responden yang langsung diungkapkan secara lisan atau tertulis, contohnya adalah contingent valuation method CVM dan discrete
choice method. Pada penelitian ini teknik penilaian yang digunakan adalah menggunakan pengukuran langsung dimana pendekatan pengukuran atas
nilai dari jasa lingkungan dapat diukur secara langsung dengan menanyakan kepada responden dengan teknik valuasi mengenai kemauan membayar
dan kesediaan menerima terhadap perubahan lingkungan atau kondisi air yang saat ini terjadi penurunan baik secara kuantitas maupun kualitas.
Menurut Fauzi 2006; Ahlheim dan Buchholz; Kristrom dalam Bergh 2002 dalam melakukan penetapan nilai besaran kompensasi yang
diberikan pengguna kepada penyedia jasa lingkungan dalam ekonomi lingkungan menunjukkan bahwa nilai keuntungan yang diperolehnya tidak
mempunyai nilai pasar non marketable langsung, sehingga pelaksanaan survainya dilakukan dengan teknik contingent valuation sebagai basis dalam
penentuan nilai WTP ataupun WTA untuk menerima kompensasi atas jasa lingkungan yang hilang Carson dan Mitchell 1993 berupa pembayaran jasa
lingkungan. Keadaan demikian dikarenakan barang non-market tersebut bersifat eksternalitas, dimana keuntungan atau manfaat pengelolaan
lingkungan atau kerugian dan biaya kerusakan lingkungan berada di luar sistem pasar. Dalam ekonomi lingkungan, menurut Johansson dalam Bergh
2002 bahwa variasi kompensasi atau compensating variation CV terjadi pada level kegunaan awal dimana kondisi lingkungan dengan kegunaan dan
manfaatnya cenderung masih lebih tinggi, sementara itu untuk variasi ekuivalen atau equivalent variation EV yang dievaluasi pada level
kegunaaan akhir dimana kegunaannya kondisi lingkungannya cenderung mendekati nilai nol.
45 Aplikasi ekonomi lingkungan dalam kebijakan perlindungan dan
perbaikan lingkungan menghadapi beberapa permasalahan, misalnya sulitnya mengidentifikasi dan mengkuantifikasi jasa lingkungan, sulitnya
valuasi keuntungan dan tingginya biaya serta adanya faktor diskonto, termasuk penilaian jasa lingkungan berdasarkan pada kesediaan orang
untuk membayar jasa lingkungan yang lebih baik variasi kompensasi atau CV dan atau kesediaan menerima pembayaran bila diperoleh jasa
lingkungan yang lebih inferior atau lebih buruk variasi ekuivalen atau EV. Itulah pentingnya pendekatan ekonomi lingkungan dalam mekanisme
pembayaran jasa lingkungan yang lebih adil dan merata dalam kerangka efisiensi dan efektivitas konservasi dan dapat diterima oleh semua
stakeholders dari wilayah hulu-hilir dalam pengelolaan sumber air minum terpadu yang partisipatif, transparan dan akuntabel dan dikelola secara co-
management antar aktor stakeholders yang terlibat.
2.7 Konsep Alokasi Air antara Hulu Hilir