Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008;
11. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat 1, Pasal 5 ayat 1, Pasal 8 ayat 3 huruf b,
dan Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, KPU provinsi, antara lain, memiliki fungsi dan kewenangan untuk
“melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh KPU danatau undang-
undang”. Artinya, pemberian ijin oleh KPU kepada Pemohon KPU Provinsi Maluku Utara untuk menindaklanjuti
permasalahan Pemilukada di Maluku Utara adalah amanat Undang-Undang. 12.
Saya berpendapat bahwa, berpijak dari berbagai pemikiran dan pemahaman a quo, Pemohon memiliki kedudukan hukum legal standing untuk menjadi Pemohon
dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara dan Mahkamah memiliki kewenangan untuk memeriksa serta memutus perkara a quo, karenanya Mahkamah
seyogianya memeriksa pokok perkara bodem geschil.
3. Putusan No. 26SKLN-V2007 tentang sengketa antara Komisi Pemilihan Aceh
Tenggara Kabupaten dan parlemen lokal Aceh Tenggara Kabupaten vs independen pemilihan komisi dari Provinsi Aceh dan Gubernur Aceh, dan
Presiden Republik Indonesia u.p Menteri dalam negeri.
Masalah permohonan pemohon adalah para pemohon berargumen bahwa termohon I dan II telah mengambil alih kewenangan dari pemohon dalam
menentukan dan mengeluarkan dokumen resmi pada hasil dari rekapitulasi dari pemilihan dari Bupati di Aceh Tenggara. Mahkamah Konstitusi tidak menerima
permohonan dari pemohon karena pemohon dan termohon adalah lembaga yang memiliki kewenangan yang diberikan oleh hukum, mahkamah berpendapat bahwa
pertikaian ini bukanlah sengketa mengenai kewenangan antarlembaga negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C 1 UUD 1945 Konstitusi, dan Pasal 61 1
dari undang-undang mahkamah konstitusional, dan Pasal 2 1 Peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 08PMK2006. Dengan kata lain, pemohon gagal
memenuhi objectum litis dalam permohonan.
4. Putusan No. 004SKLN-IV2006 tentang Perselisihan antara Drs. Saleh Manaf,
Bupati Kabupaten Bekasi, Jawa Barat dan Drs. Solihin Sari, Wakil Bupati
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat vs Presiden RI, Menteri Dalam Negeri, dan parlemen lokal Kabupaten Bekasi.
Hal ini disebut sebagai keputusan “landmark” yang dibuat oleh MK
berkaitan dengan definisi objectum litis yang dianggap memberikan batasan kepada pemohon. Batasan ini objectum litis sengketa yang kemudian dilaksanakan
oleh Mahkamah Konstitusi dalam keputusan-keputusan berikutnya. Dalam keputusan ini, Mahkamah tidak menerima posisi Bupati dan Wakil Bupati sebagai
subyek permohonan karena didasarkan pada objectum litis permohonan, kewenangan yang dipertanyakan oleh pemohon bukan merupakan bagian dari
kewenangan yang diberikan UUD 1945. Dalam keputusan ini, Mahkamah memberikan beberapa persyaratan objectum litis, yaitu:
b. kewenangan lembaga-lembaga negara yang diberikan oleh UUD eksplisit;
c. kewenangan dapat secara implisit didelegasikan oleh UUD dan lebih lanjut diatur
oleh Undang-Undang; d.
ada korelasi yang tepat dan diperlukan antara kewenangan secara implisit dinyatakan dalam Konstitusi dan hukum yang mengatur lebih lanjut tentang
kewenangan tersebut. Namun, dalam kasus vs Bupati dan Wakil Bupati, Presiden, Menteri dalam
negeri - DPRD Kabupaten Bekasi, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 29-33 dari UU No. 32 tahun 2004 tidak menyebutkan secara tekstual dan secara implisit atau tidak ada
korelasi yang tepat dan diperlukan dengan ketentuan utama dari UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 29-33 dari UU No. 32 tahun 2004 tidak bisa menjadi dasar hukum
pemohon sebagai objectum litis permohonan. Oleh karena itu, Mahkamah tidak menerima permohonan dari pemohon.
87
87
Jika dibaca dokumen Perubahan UUD 1945 terkait dengan perdebatan masalah ini, ada dua usulan terhadap pasal 24C 1 UUD 1945 ini Pertama, Asnawi Latief dari Fraksi Daulat Ummat mengusulkan
sebuah konsep yang lebih luas untuk pasal 24C 1 UUD 1945 tersebut. Beliau mengusulkan: “perselisihan terkait kewenangan lembaga negara dalam menjalankan peraturan perundang-undangan. Di
sisi lain, On the other hand, Hamdan Zulva dari Fraksi Bulan Bintang, saat ini merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi, lebih suka menggunakan konsep yang lebih sempit untuk pasal terkait. Beliau
mengusulkan draf: “subject dalam sengketa kewenangan hanya dibatasi kepada lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Lihat lebih jauh Rofiqul Umam-Ahmad, Naskah
Komprehensif Perubahan UUD 1945-Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002, at 372- 377. Maruarar dalam
“dissenting opinion”nya dalam Putusan No. 004SKLN-IV2006 juga mengusulkan sebuah konsep yang lebih luas, yang sama dengan Asnawi Latief. Beliau mengusulkan sebagai berikut:
V. Putusan yang tidak diterima karena Subjectum litis dan Objectum Litis
1. Putusan Nomor 2SKLN-XI2013 antara Panitia Pengawas Pemilihan Umum
Provinsi Sumatera Utara, terhadap Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan
Komisi Pemilihan Umum
Masalah permohonan pemohon adalah Pemohon adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi berdasarkan Pasal 22E ayat 6
Undang-Undang Dasar 1945 juncto UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Pemohon telah menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai
dengan Undang –Undang Nomor 15 Tahun 2011, akan tetapi Pemohon I tidak
melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai lembaga negara sesuai dengan Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2011, yang kemudian hak Pemohon dihilangkan oleh
Termohon I vide Undang –Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, dimana berdasarkan Pasal 72 ayat 9 UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum menyatakan bahwa “Masa keanggotaan Bawaslu dan Bawaslu Provinsi adalah 5 lima tahun terhitung sejak pengucapan
sumpahjanji”. Faktanya berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Termohon I Nomor 256-kep Tahun 2012 tanggal 1 Juni 2012 dimana dalam surat
keputusan tersebut sangatlah bertentangan dengan konstitusi perundang-undangan, dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut Pemohon secara lembaga tidak lagi
bersifat tetap sebagaimana vide Pasal 69 ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Lembar Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 101 melainkan beralih menjadi lembaga adhoc sebagaimana penafsiran semena
– mena dari Tergugat I yang mengutip Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2007 Pasal 70 ayat 3 sebagai rujukan, dalam hal ini Pemohon
merasa dirugikan karena tidak dapat secara utuh melaksanakan konstitusional yang telah diatur dalam Undang-Undang yang berlaku.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, tindakan-tindakan para Termohon yang telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan danatau
sengketa di dalam sistem ketatanegaraan sebagai hasil dari pelaksanaan kewenangan oleh lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, yang telah menghilangkan atau menggangu kewenangan
lembaga negara lainnya.
merugikan kewenangan konstitusional Pemohon merupakan suatu tindakan inkonstitusional, sehingga Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang bertugas
dan berwenang dalam menjaga dan menegakkan konstitusi patut mengoreksi tindakan inkonstitusional para Termohon tersebut terutama Termohon I. dalam hal
ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa maksud dan tujuan permohonan
Pemohon adalah untuk memutus sengketa antara Panitia Pengawas Pemilihan
Umum Tingkat Provinsi Sumatera Utara dan Badan Pengawas Pemilihan Umum
sebagai Termohon I, serta Komisi Pemilihan Umum sebagai Termohon II yang
menurut Pemohon merupakan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Setelah mencermati permohonan Pemohon, ternyata bahwa subjectum
litis Pemohon dan objectum litis yang dipersoalkan oleh Pemohon tidak diatur dan tidak ditentukan dalam UUD 1945, melainkan diatur dalam Undang-Undang
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum UU 222007 dan UU 152011.
Walaupun Komisi Pemilihan Umum diajukan sebagai Termohon II dalam perkara
a quo, akan tetapi persoalan kewenangan yang dipersengketakan tidak ada
kaitannya dengan kewenangan Termohon II. Oleh karena itu, Termohon II tidak
tepat untuk diposisikan sebagai pihak dalam permohonan a quo. Dengan demikian,
baik Pemohon, Termohon I, maupun Termohon II tidak memenuhi syarat
subjectum litis dalam permohonan a quo. Demikian pula mengenai objek sengketa objectum litis dalam permohonan a quo tidak memenuhi syarat. Berdasarkan
pertimbangan di atas, permohonan Pemohon a quo bukanlah sengketa kewenangan lembaga negara yang merupakan salah satu kewenangan Mahkamah, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24C ayat 1 UUD, oleh karena Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan a quo, maka pokok permohonan tidak dipertimbangkan; dan
Amar Putusannya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
2. Putusan Nomor 3SKLN-XI2013 Badan Pengawas Pemilihan Umum