Pemetaan batimetri perairan laut dangkal

berhubungan dengan atenuasi cahaya pada perairan, dimana sensor satelit dengan cahaya biru dan hijau yang mampu menembus hingga ke dasar perairan, sedangkan cahaya merah umumnya akan diserap atau dihamburkan di kolom perairan sehingga tidak mampu menembus lebih jauh lagi ke dasar perairan. Oleh karena itu, dalam memetakan kedalaman perairan dangkal juga memerlukan data lain, seperti turbiditas air yang mempengaruhi penetrasi kedalaman. Ada beberapa metode yang dikenal untuk memetakan batimetri, seperti metode Benny dan Dawson, metode Jupp, dan metode Lyzenga Green et al., 2000. Metode-metode pemetaan batimetri ini umumnya mengasumsikan 3 hal, yaitu i atenuasi cahaya merupakan fungsi eksponensial untuk kedalaman, ii kualitas air yang tidak tampak berbeda pada citra, iii albedo penampakan warna dari substrat adalah konstan. Biasanya metode satu dengan yang lain merupakan metode yang dikembangkan dari metode sebelumnya, seperti metode Jupp merupakan pengembangan dari metode Lyzenga. Sedangkan metode yang paling modern yang lebih tinggi tingkat teknologinya adalah metode Airborne Lidar Bathymetry Selamat dan Nababan, 2009. Metode yang digunakan untuk menduga batimetri melalui citra juga dapat menimbulkan permasalahan apabila terjadi variasi pemantulan yang signifikan pada karakteristik substrat dasar sehingga perlu dilakukan validasi data kedalaman yang biasanya menggunakan metode pemeruman. Oleh karena itu dibutuhkan suatu uji akurasi atau validasi data yang berfungsi untuk menguji ketelitian dari data atau informasi yang dihasilkan dari pengolahan citra. Pada umumnya uji akurasi ini dilakukan untuk membandingkan antara kedua data atau informasi, yaitu data dari peta hasil analisis penginderaan jauh dan data dari hasil pemeruman Ground truth, dimana data dari hasil pemeruman berisi sumber informasi atau data yang lebih akurat dan detail. Hasil dari uji akurasi ini biasanya disusun dalam bentuk matriks kesalahan yang juga dinamakan dengan matriks konfusi. Selain mengindentifikasi kesalahan dalam suatu kategori, matriks konfusi juga dapat mengindentifikasi kesalahan pada klasifikasi antar kategori Siregar, 2008. Kedalaman perairan yang terukur, baik secara in situ maupun melalui citra satelit, terukur mulai dari bawah permukaan air. Pengukuran kedalaman ini perlu dilakukan akurasi data sehubungan dengan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi pengukuran kedalaman tersebut, seperti tinggi pasang surut pasut pada waktu pengukuran. Ketinggian pasang surut dalam satu hari dapat berbeda- beda sehingga hal ini sangat mempengaruhi pengambilan data kedalaman tersebut. Agar menghindari kesalahan klasifikasi pada pembuatan peta batimetri, maka perlu dilakukan koreksi data kedalaman terhadap data pasang surut seperti pada Gambar 1 berikut : Sumber: Modifikasi dari Green et al. 2000. Gambar 1. Konversi kedalaman ke kedalaman bawah datum Z t = kedalaman air pada saat waktu t baik di lapangan, maupun pada saat pengukuran melaui penginderaan jauh, h t = ketinggian pasut di Ketinggian air pada waktu t Datum h t Z Z t Dasar atas datum pada saat waktu t. Kedalaman dasar perairan dihitung mulai dari bawah datum, yaitu Z t - h t . Nilai kedalaman dasar perairan yang diukur umumnya nilai kedalaman sebenarnya ditambah dengan nilai pasut. Oleh karena itu penting untuk mencatat waktu pada saat pengukuran kedalaman agar datum yang diperoleh dapat dikoreksi dengan benar.

2.2. Karakteristik Citra Satelit ALOS Advanced Land Observing Satellite

ALOS singkatan dari Advanced Land Observing Satellite adalah satelit milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. ALOS yang diluncurkan pada tahun 2006 adalah satelit pemantau lingkungan yang biasa dimanfaatkan untuk kepentingan kartografi, observasi wilayah, pemantauan bencana alam, dan survei sumber daya alam. Selain Indonesia, Jepang juga mengajak Thailand sebagai mitra proyek ALOS di Asia. Satelit ALOS ini membawa 3 jenis sensor, yaitu PALSAR, PRISM dan AVNIR-2. ALOS diluncurkan dari Pusat Ruang Angkasa Tanagashima, Jepang pada tahun 2006 seperti telihat pada Gambar 2 berikut : Gambar 2. Citra satelit ALOS Sumber : JAXA, 2006 Sensor Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar PALSAR mempunyai keistimewaan dapat menembus awan, sehingga informasi permukaan bumi dapat diperoleh setiap saat, baik malam maupun siang hari. Resolusi untuk high resolusion mode dan ScanSAR masing-masing 10 meter dan 100 meter. Data PALSAR ini dapat digunakan untuk pembuatan DEM Digital Elevation Model, interferometry untuk mendapatkan informasi pergeseran tanah, monitoring kehutanan, pertanian, tumpahan minyak, mineral, soil moisture, pencarian pesawat dan kapal yang hilang. ALOS dilengkapi dengan dua teknologi yang lebih maju : pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan kedua adalah untuk menentukan posisi satelit dan ketinggian yang lebih tepat. Karakteristik dari Satelit ALOS dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Karakteristik satelit ALOS Alat Peluncuran Roket H-IIA Tempat Peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima Berat Satelit 4000 Kg Power 7000 W Waktu Operasional 3 sampai 5 Tahun Orbit Sun-Synchronous Sub-Recurr Orbit Periode Ulangan 46 hari sub-cycle 2 hari Tinggi Lintasan 692 km di atas equator Inclinasi 98,2 ° Sumber : JAXA, 2006 Sensor AVNIR-2 merupakan instrumen pada satelit ALOS yang dilengkapi kanal multispektral untuk pengamatan permukaan daratan dan wilayah pesisir dengan resolusi spasial lebih baik dari AVNIR-ADEOS. Sensor ini digunakan untuk tujuan pemetaan dan klasifikasi penutuppenggunaan lahan skala regional, dengan memiliki kemampuan “cross track pointing” untuk pemantauan bencana alam yang gambarannya dapat dilihat pada Gambar 3.