Permintaan Akhir Dampak Investasi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia
34
Pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga untuk semua pembelian barang dan jasa dikurangi dengan
penjualan netto barang bekas. Pengeluaran konsumsi rumah tangga juga mencakup pengeluaran yang dilakukan oleh lembaga swasta yang tidak mencari
untung, seperti lembaga sosial.
b Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
Komponen dari pengeluaran konsumsi pemerintah adalah semua pengeluaran barang dan jasa untuk kegiatan administrasi pemerintah dan pertahanan, baik
yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
c Pembentukan Modal Tetap
Pembentukan modal tetap terdiri dari pengadaan, pembuatan atau pembelian barang-barang modal baru baik dalam negeri maupun impor, termasuk barang
bekas dari luar negeri. Dalam Tabel I-O, komponen pembentukan barang modal hanya mengGambar kan komposisi barang modal yang dihasilkan oleh sektor
produksi.
d Perubahan Stok
Perubahan stok adalah selisih antara nilai stok barang pada akhir tahun dengan nilai stok pada awal tahun. Stok biasanya diatur oleh produsen dan merupakan
hasil produksi yang belum dijual ke konsumen. e
Ekspor dan Impor Transaksi barang dan jasa antar penduduk dalam suatu negara maupun antar
penduduk negara lain merupakan suatu aktivitas dari ekspor dan impor. Beberapa transaksinya terdiri dari, pembelian langsung di dalam negeri oleh penduduk
negara lain dan pembelian langsung di luar negeri oleh penduduk suatu negara.
GAMBARAN UMUM Sejarah Industri TPT di Indonesia
Awal
2
keberadaan industri TPT di Indonesia tidak dapat dipastikan, namun kemampuan masyarakat Indonesia dalam hal menenun dan merajut pakaiannya
sendiri sudah dimulai sejak adanya kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia. Kerajianannya dalam bentuk tenun-menenun dan membatik yang hanya berkembang
disekitar lingkungan istana dan juga ditujukan hanya untuk kepentingan seni dan budaya serta dikonsumsi atau digunakan sendiri.
Sejarah pertekstilan Indonesia dapat dikatakan dimulai dari industri rumahan tahun 1929 yang dimulai dari subsektor pertenunan weaving dan perajutan knitting
dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin ATBM yang diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926. Penggunaan ATBM mulai tergeser oleh Alat Tenun
Mesin ATM yang pertama kali digunakan pada tahun 1939 di Majalaya Jawa Barat,
2
http:egismy.wordpress.com200804 diunduh pada hari Rabu tanggal 13 Juni 2013 pukul 17:00
35
dimana daerah tersebut mendapat pasokan listrik pada tahun 1935. Dan sejak itu industri TPT Indonesia mulai memasuki era teknologi dengan menggunakan ATM.
Tahun 1960-an, sesuai dengan iklim ekonomi terpimpin, pemerintah Indonesia membentuk Organisasi Perusahaan Sejenis OPS yang antara lain seperti OPS Tenun
Mesin, OPS Tenun Tangan, OPS Perajutan, OPS Batik, dan lain sebagainya yang dikoordinir oleh Gabungan Perusahaan Sejenis GPS Tekstil dimana pengurus GPS
Tekstil tersebut ditetapkan dan diangkat oleh Menteri Perindustrian Rakyat dengan perkembangannya sebagai berikut:
1.
Pertengahan tahun 1965-an, OPS dan GPS dilebur menjadi satu dengan nama OPS Tekstil dengan beberapa bagian menurut jenisnya atau subsektornya, yaitu
pemintalan spinning, pertenunan weaving, perajutan knitting, dan penyempurnaan finishing.
2. Menjelang tahun 1970, berdirilah berbagai organisasi seperti Perteksi, Printer’s
Club kemudian menjadi Textile Club, perusahaan milik pemerintah Industri
Sandang, Pinda Sandang Jabar, Pinda Sandang Jateng, Pinda Sandang Jatim, dan Koperasi GKBI, Inkopteksi.
3. Tanggal 17 Juni 1974, organisasi-organisasi tersebut melaksanakan Kongres yang
hasilnya menyepakati mendirikan Asosiasi Pertekstilan Indonesia API dan sekaligus menjadi anggota API.
Fase perkembangan industri tekstil Indonesia diawali pada tahun 1970-an industri TPT Indonesia mulai berkembang dengan masuknya investasi dari Jepang di
subsektor industri hulu spinning dan man-made fiber making. Adapun fase perkembangannya sebagai berikut:
1. Tahun 1986, industri TPT Indonesia mulai tumbuh pesat dengan faktor
utamannya adalah: 1 iklim usaha kondusif, seperti regulasi pemerintah yang efektif yang difokuskan pada ekspor non migas, dan 2 industrinya mampu
memenuhi standar kualitas tinggi untuk memasuki pasar ekspor. 2.
Periode 1986-1997 kinerja ekspor industri TPT Indonesia terus meningkat dan membuktikan sebagai industri yang strategis dan sekaligus sebagai andalan
penghasil devisa negara sektor non migas. Pada periode ini pakaian jadi sebagai komoditi primadona.
3. Periode 1998-2002 merupakan masa paling sulit. Kinerja ekspor tekstil nasional
fluktuatif. Pada periode ini dapat dikatakan periode cheos, rescue, dan survival. 4.
Periode 2003-2006 merupakan outstanding rehabilitation, normalization, dan expansion
. Upaya revitalisasi stagnant yang disebabkan multi-kendala, yang antara lain dan merupakan yang utama: 1 sulitnya sumber pembiayaan, dan 2
iklim usaha yang tidak kondusif. 5.
Periode 2007, dimulainya restrukturisasi permesinan industri TPT Indonesia.
Perkembangan Investasi Industri TPT di Indonesia
Industri TPT merupakan bentuk industri manufaktur modern pertama yang dibangun pada awal proses industrialisasi di Indonesia. Dalam tataran global,
Indonesia bisa dikatakan terlambat dalam mengembangkan industri TPT modern.
36
Bagaimanapun juga, industri TPT memainkan peranan yang kritikal dalam tahap awal industrialisasi negara-negara di dunia seperti di Inggris, Amerika Utara, Jepang,
Hongkong Korea, Taiwan, serta negara-negara ASEAN Association of Southeast Asian Nation
dan China. Perkembangan industri TPT di Asia Timur dan Asia Tenggara sangat terkait
dengan perkembangan industri TPT di Jepang. Hubungan tersebut dapat terlihat dalam aktivitas PMA Jepang pada industri TPT di negara-negara Asia Timur dan
Asia Tenggara. Dalam periode 1955-1974, negara-negara Asia Timur dan ASEAN masing-masing menyerap 40 persen dan 28 persen dari total PMA Jepang di sektor
TPT. Jumlah proyek PMA Jepang di sektor TPT meningkat signifikan setelah pertengahan tahun 1960-an sampai dengan tahun 1974 ketika Jepang kehilangan
keunggulan komparatifnya karena meningkatnya upah tenaga kerja dan terjadinya kekurangan tenaga kerja. Hal ini memaksa pelaku industri TPT Jepang memindahkan
industri TPT ke negara-negara yang upahnya lebih rendah seperti di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi untuk ekspor Kemenperin, 2011.
Dalam sejarahnya, industri TPT Indonesia merupakan relokasi dari Asia Timur melalui proses perdagangan internasional dan PMA. PMA di sektor TPT di tahun
1960-1990-an paling banyak berasal dari Jepang dan Korea Selatan. Di tahun 1990- an nilai investasi PMA Jepang dan Korea Selatan apabila digabungkan mencapai
lebih dari 50 persen dari total PMA yang bergerak di bidang TPT di Indonesia. Konsekuensinya, kedua PMA tersebut memberikan pengaruh yang signifikan bagi
perkembangan industri TPT di Indonesia.
Untuk PMA Jepang, investor paling banyak bergerak di segmen mid-stream terutama untuk rajut knitting. Selain itu segmen garmen juga paling banyak menarik
minat investor Jepang. Sebaliknya PMA Korea Selatan selama 1990-1998 terkonsentrasi di segmen garmen sektor hilir. Selain berinvestasi di garmen, PMA
Korea Selatan juga terdistribusi pada sektor tengah seperti tenun weaving, rajut knitting dan finished textile. Di periode tersebut hanya ada satu perusahaan Korea
Selatan yang berinvestasi di segmen spinning. Baik PMA Jepang maupun Korea Selatan sama-sama kurang tertarik untuk berinvestasi di sektor hulu. Modernisasi
industri TPT di Indonesia ditandai dengan masuknya PMA ke sektor ini. Industri TPT Indonesia mengalami beberapa fase pengembangan. Apabila dibagi ke dalam
beberapa tahap industrialisasi, maka perkembangan industri TPT dapat dibagi ke dalam beberapa fase yakni fase pengenalan, fase substitusi impor, dan fase ekpor.