BAB 5 PEMBAHASAN
Hasil penelitian tentang tingkat pengetahuan mahasiswa pada penanganan trauma maksilofasial oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut
FKG USU pada 17 Desember 2015 menunjukkan kebanyakkan mahasiswa mempunyai pengetahuan yang cukup dalam penanganan trauma maksilofasial. Secara
garis besar 56,7 responden memiliki pengetahuan kategori baik, 30 dari keseluruhan responden termasuk kategori berpengetahuan cukup dan 13.33
responden termasuk kategori berpengetahuan kurang. Trauma pada bagian maksilofasial bisa mengakibatkan gangguan pada jalan
napas disebabkan oleh pendarahan, pembengkakan jaringan dan fraktur yang mengakibatkan perubahan bentuk wajah.
18
Trauma pada maksilofasial jarang menyebabkan kematian, tetapi memberikan komplikasi dan kecacatan fungsi tubuh.
19
Sebagian besar pengetahuan responden mempunyai pengetahuan baik yaitu 89.2 tentang definisi trauma maksilofasial dan sebagian kecil mempunyai pengetahuan
yang rendah yaitu 10.8. Menurut Obuekwe dkk dalam Associated injuries in patients with
maxillofacial trauma. Analysis of 312 consecutive cases due to road traffic accidents, menyatakan bahwa korban kecelakaan lalu lintas biasanya mengalami cedera wajah
yang serius.
20
Pengetahuan responden tentang definisi anatomi maksilofasial wajah termasuk kategori berpengetahuan kurang yaitu hanya 40,9 yang mengetahui
sedangkan yang tidak mengetahui adalah lebih besar yaitu sebanyak 59.2. Etiologi terjadinya trauma maksilofasial adalah bervariasi.
3
Beberapa penyebab utama terjadinya trauma maksilofasial adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan atau
perkelahian, terjatuh, cedera saat bermain olahraga, dan trauma akibat senjata api.
2
Menurut Sunita dkk dalam Incidence Of Maxillofacial Trauma In Sonepat, India, kebanyakan penelitian terkini menyatakan bahwa kecelakaan lalu
48
Universitas Sumatera Utara
lintas merupakan penyebab yang paling utama terjadinya trauma maksilofasial.
21
Persentase dalam pengetahuan responden yang mengetahui tentang etiologi terjadinya trauma maksilofasial adalah sebesar 60 dari jumlah keseluruhan responden yang
terlibat dan termasuk kategori cukup. Pengetahuan responden mengenai klasifikasi trauma maksilofasial adalah
termasuk dalam kategori baik. Klasifikasi trauma maksilofasial terbagi dua yaitu trauma pada jaringan lunak yang meliputi luka pada kulit dan trauma pada jaringan
keras yang meliputi fraktur tulang.
9
Dari hasil penelitian, persentase rata-rata yang diperoleh adalah termasuk dalam kategori baik yaitu sebesar 76,7 yang mana
persentase bagi pengetahuan tentang trauma pada jaringan lunak adalah sebesar 56,7 adalah termasuk kategori cukup dan 96,7 bagi pengetahuan tentang trauma
pada jaringan keras adalah termasuk kategori baik. Trauma pada sepertiga wajah midface akan memberikan gangguan pada
nasofaring, orofaring yang diakibatkan oleh fraktur dan dislokasi tulang. Kehancuran tulang yang parah atau fraktur mandibula bilateral juga akan mengakibatkan
gangguan pada jalan napas dikarenakan hilangnya struktur penahan pada faring posterior.
18
Tingkat pengetahuan responden mengenai klasifikasi fraktur maksilofasial adalah lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat pengetahuan responden
mengenai klasifikasi trauma maksilofasial yaitu, persentase rata-rata adalah sebesar 79,4 termasuk dalam kategori baik yang mana 75 pemahaman pada tipe fraktur,
70 pada pemahaman mengenai fraktur maksila dan 93.3 pada pemahaman mengenai fraktur mandibula.
Dari empat pertanyaan yang diajukan kepada responden tentang proses menegakkan suatu diagnosa, hanya 17 termasuk dalam kategori berpengetahuan
kurang dan 83 termasuk dalam kategori baik. Proses menegakkan suatu diagnosa meliputi pemeriksaan intraoral, pemeriksaan extraoral yang mencakup pemeriksaan
pada jaringan lunak, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis.
2
Menurut Charles Stewart, Director of Research, Department of Emergency Medicine, University of Oklahoma dalam Maxillofacial Trauma:
Challenges In ED Diagnosis And Management, tujuan dilakukan perawatan pada
Universitas Sumatera Utara
cedera maksilofasial adalah untuk mengembalikan fungsi mata, hidung, pengunyahan, fungsi bicara, penyembuhan tulang dan fungsi estetik. Dengan adanya
kecanggihan dalam bidang radiologi, ahli bidang akan dapat melakukan diagnosa yang cepat pada kasus fraktur wajah yang biasa terjadi. Tetapi, pada kasus yang
mengalami fraktur wajah yang kompleks dengan komplikasi cerebrospinal leaks, fraktur tulang temporal dan cedera saraf kranial yang tidak terdiagnosa atau yang
terlambat terdiagnosa akan menyebabkan kematian.
22
Pasien dengan trauma maksilofasial harus ditangani dengan segera.
3
Tujuan dilakukan penatalaksanaan awal dan tindakan resusitasi pada pasien yang mengalami
trauma maksilofasial adalah untuk memperbaiki jalan napasnya agar tidak menghambat penapasan, mengontrol perdarahan dan mencegah terjadinya deformitas
reduksi pada fraktur hidung dan zigoma.
18
Dari tiga pertanyaan yang diajukan kepada responden, persentase rata-rata responden yang mengetahui termasuk dalam kategori
cukup yaitu sebesar 66,7 dan yang tidak mengetahui sebesar 33.3. Hal utama yang harus diperhatikan pada saat merawat pasien yang mengalami
trauma maksilofasial adalah membebaskan jalan napasnya agar tidak menghambat penapasan, mengontrol perdarahan dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan.
2
Menurut Elitsa dkk dalam Maxillofacial Trauma Management In Polytraumatized Patiens - The Use Of Advance Trauma Life Support ATLS
Principles, Jika pasien tidak dapat mempertahankan jalan napasnya, maka hanya dalam waktu empat menit akan mengakibatkan kerusakan total pada otak yang tidak
bisa disembuhkan.
23
Persentase rata-rata pengetahuan responden yang mengetahui tentang penatalaksanaan jalan napas pada pasien trauma adalah paling rendah dan
termasuk dalam kategori berpengetahuan kurang yaitu 23,4 sedangkan yang tidak mengetahui adalah lebih besar yaitu 76,7. Rata-rata mahasiswa tidak mengerti
tentang apa yang dimaksudkan dengan persoalan yang ditanyakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata mahasiswa kepaniteraan klinik
mempunyai pengetahuan yang sederhana tentang penanganan trauma maksilofasial. Penguasaan teori tentang anatomi, etiologi, klasifikasi dan penatalaksanaan yang
telah diajarkan sewaktu perkuliahan juga adalah sederhana. Hal ini kemungkinan
Universitas Sumatera Utara
disebabkan karena kurangnya pengalaman mahasiswa kepaniteraan klinik kepada kasus-kasus yang melibatkan trauma pada maksilofasial dan tidak pernah menangani
kasus yang berkaitan dengan kasus yang berat di Departemen Bedah Mulut FKG USU.
Akhirnya, keterbatasan pada penelitian ini, adalah tidak ditemukan perbandingan peneliti tentang pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik pada
penanganan trauma maksilofasial sehingga peneliti tidak dapat membandingkan hasil penelitian di FKG USU dengan hasil penelitian yang lainnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN