2.1.3. Faktor Risiko
Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, umur, genetik, prenatal dan perinatal Soetomenggolo,1999. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Fuadi dkk, 2010 dikatakan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam risiko kejang demam yaitu, faktor demam, usia, dan riwayat keluarga, dan riwayat
prenatal usia saat ibu hamil, riwayat perinatal asfiksia, usia kehamilan, dan bayi
berat lahir rendah Fuadi dkk, 2010. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fuadi dkk, 2010 dengan jumlah
sampel 164 anak, didapati bahwa anak dengan demam lebih besar dari 39ºC memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk menderita bangkitan kejang demam
dibanding dengan anak yang demam kurang 39ºC. Anak usia kurang dari dua tahun mempunyai risiko 8,9 kali lebih besar dibanding anak yang lebih dari dua
tahun.
2.1.4. Etiologi
Beberapa teori dikemukakan mengenai penyebab terjadinya kejang demam, dua diantaranya adalah karena lepasnya sitokin inflamasi IL-1-beta,
atau hiperventilasi yang menyebabkan alkalosis dan meningkatnya pH otak sehingga terjadi kejang.
Kejang demam juga diturunkan secara genetic sehingga eksitasi neuron terjadi lebih mudah. Pola penurunan genetic masih belum jelas, namun beberapa
studi menunjukkan keterkaitan dengan kromosom tertentu seperti 19p dan 8q13- 21, sementara studi lain menunjukkan pola autosomal dominan.
Demam yang memicu kejang berasal dari proses ekstrakranial, paling sering disebabkan karena infeksi saluran nafas akut, otitis media akut, roseola,
infeksi saluran kemih, dan infeksi saluran cerna Lilihata et al., 2014.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Klasifikasi
Secara klinis, kejang demam dibagi menjadi dua, yaitu kejang demam simplekssederhana dan kejang demam kompleks. Keduanya memiliki perbedaan
prognosis dan rekurensi. Tabel 2.1 Karakteristik kejang demam sederhana dan kompleks
No Klinis
KD sederhana KD kompleks 1
Durasi 15 menit
≥15 menit 2
Tipe kejang Umum
Umumfokal 3
Berulang dalam satu episode 24 jam 1 kali
1 kali 4
Defisit neurologis -
± 5
Riwayat keluarga kejang demam ±
± 6
Riwayat keluarga kejang tanpa demam ±
± 7
Abnormalitas neurologis sebelumnya -
± Udin, 2014
Kejang demam simpleks lebih banyak ditemukan dan memiliki prognosis baik. Kejang demam kompleks memiliki risiko lebih tinggi terjadinya kejang
demam berulang dan epilepsi di kemudian hari Lilihata et al., 2014.
2.1.6. Patofisiologi
Demam adalah kenaikan suhu tubuh oleh karena adanya kenaikan titik ambang regulasi panas hipotalamus. Pusat regulasi suhu hipotalamus dapat
mengendalikan suhu tubuh dengan menyeimbangkan sinyal dari reseptor –
reseptor neuronal perifer dingin dan panas sehingga suhu tubuh berada pada suhu normal.
Banyak protein, pemecahan produk protein, dan zat-zat tertentu lainnya, khususnya toksin lipopolisakarida yang dilepaskan dari membrane sel bakteri,
danpat menyebabkan peningkatan set-point hipotalamus. Zat yang menyebabkan kenaikan set-point hipotalamus ini disebut pirogen. Produksi pirogen endogen
Universitas Sumatera Utara
oleh sel – sel radang dapat dirangsang oleh berbagai macam agen seperti agen
infeksius, imunologis, atau agen yang berikatan dengan toksin pirogen eksogen. Pirogen endogen ini adalah sitokine, misalnya interleukin IL-1 dan IL-6, tumor
necrosis factor TNFa dan TNFb, dan interferon-a INF. Sitokin endogen yang bersifat pirogen akan menstimulasi metabolisme asam arakhidonat di hipotalamus.
Stimulasi ini akan memproduksi prostaglandin E2, yang mengatur titik ambang pengaturan suhu. Transmisi neuronal ke perifer menyebabkan konservasi dan
pembentukan panas. Keadaan ini menyebabkan terjadinya peningkatan suhu 15 tubuh bagian dalam Guyton, 2006.
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada
kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat Celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15,
sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia
jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus Creb normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada
keadaan hipoksi jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksi akan
kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel g1ia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na+ ke
dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel
terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Ion Na+ ke dalam sel dipermudah pada keadaan demam, sebab demam akan
meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membrane sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan
potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi
inhibisi terganggu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat mempengaruhi perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat
Universitas Sumatera Utara
Na+ influx sehingga menimbulkan keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat menurunkan kemampuan inhibisi akibat kerusakan neuron GABA-
nergik. Setiap kenaikan suhu 0,3°C secara cepat akan menimbulkan discharge di daerah oksipital, discharge di daerah oksipital dapat dilihat dan hasil rekaman
EEG. Kenaikan mendadak suhu tubuh menyebabkan kenaikan kadar asam glutamat dan menurunkan kadar glutamin tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh
secara pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar asam glutamat. Perubahan glutamin menjadi asam glutamat dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam
glutamat merupakan eksitator, sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak Fuadi, 2010.
Patofisiologi dari kejang demam belum sepenuhnya dipahami. Peran aktivasi sistem sitokin saat ini masih sedang terus diteliti. Adanya sitokin
meningkatkan kecurigaan terhadap kejang demam yang berhubungan dengan varian tertentu dari gen peradangan terkait, khususnya alel interleukin, sedangkan
yang lain mungkin sebagai pelindung. Pada penelitian meta-analisis yang dilakukan Wu dkk, menduga bahwa keterkaitan ini cukup kompleks, dengan
adanya hubungan peran alel interleukin dengan kejang demam pada populasi Asia, tetapi tidak berhubungan dengan penelitian yang dilakukan di Eropa.
Ada kemungkinan bahwa peredaran toksin dan produk reaksi imun memodulasi rangsangan sistem saraf. Suatu penelitian menunjukkan bahwa dalam
keadaan terinfeksi virus RNA, leukosit pada anak yang mengalami kejang demam memproduksi lebih banyak interleukin-
1β dibandingkan dengan kontrol yang sehat, dan interleukin-
1β dapat menyebabkan hipertermia yang memicu kejang pada tikus muda. Sebuah penelitian yang dilakukan pada 41 anak dengan kejang
demam menunjukkan peningkatan 4 kali lipat interleukin- 1β, 1,8 kali lipat
interleukin- 1α, dan penigkatan 2,8 kali lipat interleukin-10 dibandingkan dengan
subyek kontrol demam dan tidak kejang. Namun, penelitian lain tidak menemukan peran penting interleukin-
1β, interleukin-1α, atau interleukin-1Ra dalam patogenesis kejang demam.
Universitas Sumatera Utara
Pada suatu penelitian case-control menyatakan bahwa kekurangan besi dan seng mungkin juga menjadi faktor risiko kejang demam. Penelitian yang
dilakukan pada anak Indian yang berusia 3 bulan sampai 5 tahun menunjukkan kadar seng serum lebih rendah pada pasien yang kejang dibandingkan pasa pasien
demam tanpa kejang Reesee, 2012. Seng merupakan modulator penting dalam sintesis GABA. Kedua temuan ini meningkatkan kemungkinan bahwa penurunan
inhibisi dari reseptor GABA pada keadaan demam, mengakibatkan terjadinya kejang demam.
Pada kasus terinfeksi human herpes virus-6 HHV-6, menyatakan bahwa invasi virus secara langsung pada otak, ketika pada keadaan demam,
menyebabkan bangkitan kejang demam dan virus tersebut mungkin diaktifkan kembali jika demam pada penyakit berikutnya, dan dapat menyebabkan kejang
demam berulang. Penelitian pada hewan telah menunjukkan peningkatan rangsangan saraf selama pematangan otak normal, yang mungkin menjelaskan
hubungan kerentanan usia anak kejang demam Shellhaas, 2014.
2.1.7. Manifestasi Klinis