Budaya Populer dalam Orde Lama

183 pembacaan budaya populer yang masih bertarung hingga sekarang dalam medan wacana.

a. Budaya Populer dalam Orde Lama

17 Agustus1959, Presiden Soekarno dalam pidatonya berjudul “Manipol Usdek”, terang-terangan mengutuk musik ngak-ngik-ngok rock n‘roll. Alasannya musik tersebut melemahkan semangat bangsa Indonesia yang sedang menyelesaikan revolusinya. Wacana nasionalisme yang anti imperialis ini akhirnya melahirkan lagu pop yang dipraktekkan sebagai ‗lagu daerah dengan aransemen baru‘. Olan Husein di tahun 1962 dengan band ―Teruna Ria‖ yang mengawali corak ini. Saat itu keroncong favorit Bengawan Solo karya Gesang digubah dengan keroncong gaya mereka sendiri. ―Dondong opo Salak‖, lagu Jawa yang terkenal itu, diubah menjadi pop oleh Kris Biantoro. Lagu Makassar ―Angin Mamiri‖ dibawakan biduanita Lenny Beslar. Bah kan, ‗Manipol Usdek‘ juga Soekarno pun menjadi lirik bagi lagu pop yang dibawakan Lilis Suryani. Tahun 1963, lagu Rahmat Kartolo berjudul ‗Patah Hati‘ dilarang keras pemerintah karena dianggap sebagai lagu ‗penguras air mata dan memperlemah semangat bangsa Indonesia, yang pada saat itu masih menyelesaikan revolusi‘. Dua tahun kemudian, beberapa bulan sebelum pecah peristiwa 1965, Sinar Harapan, memuat berita soal peristiwa Koes Plus yang dipenjarakan karena menyanyikan lagu-lagu populer atau apa 184 yang disebu t ‗musik ngak-ngik-ngok‘ oleh Presiden RI Pertama, Soekarno. Mereka, yang berkiblat pada band barat The Beatles dan Bee Gees, dipenjara selama 100 hari lihat Sinar Harapan Edisi 20 Juni 1965. Dengan demikian, budaya populer bagi jaman ini adalah ‗yang t idak revolusioner‘. Apakah dengan definisi ini, ia mempermasalahkan massifikasi? Tentu tidak, karena pada jaman itu segala sesuatu dimassifikasi asalkan mempunyai tujuan ‗menyelesaikan revolusi Indonesia‘. Salah satu hal yang dimassifikasi demi tujuan kebangsaan misalnya adalah batik. Pada tahun 1950-an kain cap sebagai material batik dipakai hanya untuk pakaian tradisional saja. Padahal sebelumnya, eksklusivitas batik ditampilkan dalam pola, corak serta bahan yang dipilih secara tradisional. Batik adalah eksotis. Batik pun dimassifikasi. Dengan cepat seluruh penduduk tiba-tiba tergetar untuk memiliki –sebatas jangkauan ekonomi mereka – suatu produk yang menunjukan kehidupan yang ―halus‖ Philip T Kitley dalam Batik dan Kebudayaan Populer, Prisma, 5, Mei 1987. Batik diambil Soekarno secara sadar. Ia berusaha melepaskan batik dari asosiasi-asosiasi regional dan kebudayaan tradisional untuk mengembangkannya lebih luas sesuai semangat nasionalisme. Soekarno menganjurkan serta mendorong perkembangan batik. Namun dengan catatan, Batik yang cenderung lokal dinamainya dengan sentuhan semangat revolusioner bangsa: ―Batik Indonesia‖ Kartini, jilid 289, 1984. 185 Dengan demikian apa yang ‗Pop‘ pada masa orde lama, didefinisikan sebagai sesuatu yang melemahkan revolusi Indonesia. Populer selalu dilawankan dengan semangat perjuangan bangsa Indonesia melawan Imperialisme, bukan pada masalah teknologi atau masalah massifikasi industri budaya. Praktik-praktik kebudayaan pada jaman ini diarahkan pada yang lokal. ‗Yang lokal‘ bukan berarti mengembangkan ‗apa yang lokal‘, akan tetapi pada apa yang dianggap sebagai ‗representasi dari nasionalisme Indonesia‘. Pertanyaannya kemudian apakah yang ditunjuk sebagai ‗imperialisme‘ atau ‗yang tidak nasionalis‘? Diskursus budaya populer jaman itu tentu saja menunjuk ‗yang bukan Indonesia‘. Ketika ‗yang lokal‘ adalah ‗Indonesia‘, maka kategori ini dengan mudah menunjuk budaya populer sebagai medan persengketaan ‗barat‘ dan ‗timur‘; diskursus yang akan selalu membayangi diskursus budaya populer di Indonesia selanjutnya.

b. Budaya Populer dalam Orde Baru