178
memarodikan media yang memuat tulisannya, dalam hal ini Harian Umum Kompas
.
2. Intertekstualitas
Dalam tulisan Samuel Mulia yang menjadi objek analisis diketahui bahwa budaya populer seringkali diidentifikasikan sebagai tempat bagi
dialektika Timur dan Barat. Selain itu, budaya populer adalah sebuah produk dari media massa.
Teks pertama misalnya merepresentasikan budaya populer dengan penggunaan kata ‘karefor‘; ‘tas Birkin Hermes‘; ‘Cartier‘; ‘ Christian Dior‘;
‘Versace‘. Dalam teks berita ketiga Panggil Aku Diva Saja, Samuel Mulia sebagai penulis teks berusaha merepresentasikan gaya hidup kosmopolitkota
Jakarta sebagai budaya populer dan gaya hidup desa sebagai lawannya. Akan tetapi, budaya kota tersebut masih direpresentasikan sebagai halnya praktik
budaya massa. Teks berita kelima Im Nobody, menuliskan bahwa budaya populer telah mensubjeksi orang menjadi ‘orang biasa‘ dan ‘orang terkenal‘
yang melahirkan perlakuan yang berbeda terhadap dua jenis orang tersebut. Pada akhirnya penulis tetap mengidentifikasi budaya populer ini sebagai
budaya massa, dimana media massa mempunyai peran penting dalam mendefinisikan siapa yang layak dikenali atau tidak dikenali. Hal ini dapat
dilihat dalam kosakata majalah dan koran, stasiun televisi swasta, wartawan majalah gaya hidup
. Budaya populer dilihat oleh Samuel Mulia sebagai bentuk kolonialisme
baru. Dalam pengertian ini, Samuel Mulia memaknai budaya populer dalam
179
konteks di alektika ―barat dan timur‖. Meski dalam pemahaman ini, Samuel
Mulia memposisikan dirinya cair; dalam arti, berada dalam ketegangan ‗barat dan timur‘. Ia sendiri adalah pecinta dari komersialisme, popularitas yang
menjadi penyakit dari budaya populer. Menurut Samuel, budaya populer itu sah-sah saja dilakukan oleh orang
Indonesia. ―Toh saya juga melakukan itu‖. Akan tetapi, yang terpenting untuk Samuel Mulia, adalah tidak overdosis terhadap budaya populer. Tidak
overdosis berarti adalah budaya populer dilihat dalam konteks permainan.
Bagaimanapun juga Samuel Mulia mempunyai pemahaman budaya populer yang sama wacana budaya populer mulai tahun 1990-an dimana
budaya populer tidak lagi dibicarakan dalam konteks ‗barat‘ dan ‗timur‘. Wacana budaya populer pada tahun 1990-an lebih mempermasalahkan
kategori ‗barat-timur‘ itu sendiri. ―Timur‖, menurut Piliang 1995 adalah sebuah metafora yang
berfungsi di dalam wacana pengetahuan Barat sebagai semacam teater, sebuah panggung tempat pertunjukan tentang kebudayaan yang dimainkan secara
berulang- ulang. ―Masyarakat Barat‖ bertindak sebagai ―penonton‖ yang
melihat Timur melalui kacamata yang ditentukan. Dalam hal ini orientalisme dimana ia menghendaki kategori barat-timur pen. merupakan sebuah upaya
untuk ‗menilai‘ atau ‗mengadili‘ kebudyaan timur dari sudut pandang Barat. Yasraf juga menggarisbawahi, kategori ―Timur dan Barat‖ itu telah merasuki
budaya populer yang dalam hal itu media massa memegang peranan penting.
180
Sejalan dengan wacana budaya populer tahun 1990-an, Samuel Mulia menjadikan budaya populer sebagai lapangan permainan. Di dalam permainan
bahasa post-modernisme yang bersifat ironis, menurut Piliang, bukan keefektifan pesan dan kedalaman makna komunikasi yang ingin dicari,
melainkan kesenangan ‗bermain dengan bahasa‘ dan kenikmatan melalui apa yang disebut Baudrillard ‗ekstase komunikasi‘ Piliang, 1995:25. Salah satu
permainan kebahasaan itu adalah Parodi. Dikatakannya juga bahwa Parodi adalah penggunaan kembali karya
masa lalu yang dimuati dengan ‗ruang kritik‘, yang menekankan perbedaan ketimbang persamaan. Titik berangkat parodi bukanlah penghargaan, akan
tetapi kritik, sindiran, kecaman, sebagai ungkapan rasa tidak puas atau sekadar menggali rasa humor dari karya rujukan yang bersifat serius.
Akan tetapi proses produksi Kolom Parodi di Kompas mempunyai konteks yang unik, selain keterkaitannya dengan wacana identitas budaya
populer dalam konteks sosiokultural. Parodi di Kompas membentuk wacana sendiri ketika ia direlasikan dengan institusi Kompas, terutama dengan terbitan
harian, yang menurut Samuel Mulia; ‗serius‘. Samuel Mulia memahami Kolom Parodi yang ditulisnya menjadi
representasi ketidakmapanan dalam Harian Kompas yang cenderung ―mapan‖.
―Mapan‖ dalam pengertian Samuel adalah ‗Truman Capote‘ atau ‗Goenawan Mohamad‘ yang tidak ia sukai.
Apa yang dipilih oleh Samuel Mulia adalah gaya Romo Mangun dalam Burung-Burung Manyar
dan juga Ahmad Tohari. Dua orang penulis yang
181
tulisannya dinilai sebagai tonggak penolakan kategori ‗Indonesia dan non- Indonesia‘ dalam wilayah sastra.
Kedua penulis tersebut menganggap Bahasa Indonesia dipahami sebagai bahasa yang bersifat plural Aruk H.T dalam Horison No. 7 tahun
XXVIIJuli 1993. Oleh karenanya keduanya turut menggoyahkan kategori ‗Indonesia dan non-Indonesia‘. Jika keduanya memberi pemaknaan bahasa
Indonesia yang plural dengan menggunakan bahasa lokal, maka Samuel Mulia berusaha melawan pada apa yang disebut non-Indonesia. Dengan banyak
menggunakan kosakata barat, Samuel Mulia ingin merusak kategori ‗Indonesia‘ dan ‗Non-Indonesia‘ dengan mengatakan bahwa bahasa non-
Indonesia telah menjadi bagian dari Indonesia. Karena merupakan penulis free-lance, dan bebas menentukan tema
Kolom Parodi, situasi-situasi keseharian yang dialami oleh Samuel Mulia kerap menjadi bahan tulisannya, dalam hal ini termasuk bagaimana ia menjadi
bagian dari budaya populer itu sendirijuga dimensi spiritualitas yang ‗abu-abu‘ yang kerap muncul dan bahkan menjadi tujuan tulisannnya. Ia sering berada di
‗tengah-tengah‘; mengejek budaya populer, sekaligus menjadi bagian dari budaya populer tersebut. Tulisannya yang kemudian terbit belakangan pun
tidak lagi mempunyai fokus pada gaya hidup, akan tetapi lebih pada masalah moralitas. Akan tetapi, dengan semangat spiritualitasnya itu, tulisannya lebih
bergaya menyentil tapi tidak menggurui, sehingga kesan ceramah moral yang hitam-putih tidak ada dalam tulisan Samuel Mulia
182
Tema- tema yang ‗tidak serius‘ dimana Samuel Mulia temukan dalam
kesehariannya pun muncul. Ini juga sejalan dengan diskursus terbitan Kompas dimana tersedia kategori:
“Kompas Harian”-“Kompas Minggu”. Dimana Kompas
Minggu dikategorikan sebagai ‗anti kemapanan‘ dari Kompas yang ―serius‖ itu sendiri.
C. Parodi sebagai Strategi Wacana terhadap Identitas Budaya Populer
1. Sejarah Wacana Budaya Populer di Indonesia