Sejak usia tujuh sampai limabelas tahun, K.H. Ahmad Sanusi menimba pengetahuan dari ayahnya sendiri. Kepada ayahnya ia belajar menulis dan
menbaca huruf Arab dan latin serta ilmu-ilmu agama bersama-sama santri lainnya dipesantren Cantayan. Setelah cukup dewasa, untuk menambahkan pengetahuan
dan pengalamannya, ia disuruh ayahnya untuk memperdalam ilmu agama di luar lingkungan pesantren ayahnya.
10
Dari sinilah setelah menginjak usia 16 tahun kurang lebih pada tahun 1905, K.H. Ahmad Sanusi mulai belajar serius untuk mendalami pengetahuan agama
Islam. Atas anjuran ayahnyauntuk lebih mendalami pengetahuan agama Islam, menambah pengalaman dan memperluas pergaulan dengan masyarakat, beliau
nyantri ke berbagai pesantren yang ada di Jawa Barat. Adapun Pesantren yang pernah beliau kunjungi dengan perkiraan lamanya mesantren, diantaranya:
1. Pesantren Selajambe Cisaat Sukabumi
Pimpinan Ajengan SolehAjengan Anwar, lamanya nyantri lebih kurang sekitar enam bulan;
2. Pesantren Sukamantri Cisaat Sukabumi
Pimpinan Ajengan Muhammad Siddiq, lamanya nyantri lebih kurang sekitar dua bulan;
3. Pesantren Sukaraja Cisaat Sukabumi
Pimpinan Ajengan SulaemanAjengan Hafidz, lamanya nyantri lebih kurang sekitar enam bulan;
4. Pesantren Cilaku Cianjur untuk belajar ilmu Tasawwuf, lamanya nyantri
lebih kurang sekitar dua belas bulan; 5.
Pesantren Gentur Warung Kondang Cianjur Pimpinan Ajengan Ahmad Syatibi dan Ajengan Qortobi, lamanya nyantri
lebih kurang sekitar enam bulan; Namun demikian, yang paling berkesan di hati K.H Ahmad Sanusi adalah
ketika ia masantren di Pesantren Gentur ini. Kesannya itu muncul karena K.H Ahmad Syatibi memiliki sikap terbuka dan toleran terhadap santrinya. Sikap
10
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, cet.2, hlm. 170.
tersebut diperlihatkan sang guru itu dengan tidak keberatan atas perbedaan pendapat antara dirinya dan santrinya itu dalam menafsirkan Ilmu
MantiqLogika. Para santri menganggapnya sebagai santri kurang ajar, karena ia yang sering menentang pendapat gurunya. Ia berani bertanya dan
mengemukakan pendapatnya yang berbeda dengan gurunya, padahal tradisi pesantren pada saat itu sangat tabu untuk bertanya apalagi berdebat dengan
guru. Saat itu ia mempunyai pendapat yang berbeda dengan kyai dalam menafsirkan ilmu mantiq yang dipelajarinya.
6. Pesantren Ciajag Cianjur, lamanya nyantri lebih kurang sekitar lima bulan;
7. Pesantren Burniasih Cianjur, lamanya nyantri lebih kurang sekitar tiga
bulan; 8.
Pesantren Keresek Blubur Limbangan Garut, lamanya nyantri lebih kurang sekitar tujuh bulan;
9. Pesantren Sumursari Garut, lamanya nyantri lebih kurang sekitar empat
bulan; 10.
Pesantren Gudang Tasikmalaya Pimpinan K.H.R.
Suja’i, lamanya nyantri lebih kurang sekitar dua belas bulan.
11
Namun, lamanya mesantren seluruhnya hanya 4,5 tahun. Dari sekian banyak guru dan pesantren yang ia singgahi, ia tinggal antara dua bulan sampai satu
tahun, karena ilmu-ilmu yang ia pelajarinya di tiap pesantren pada umumnya sudah ia kuasainya dan sudah dipelajari di pesantren lainnya. Jadi, K.H Ahmad
Sanusi pun tidak bersekolah hanya mesantren saja.
12
Setelah melanglangbuana ke berbagai pesantren, pada tahun 1909, akhirnya K.H Ahmad Sanusi kembali ke Sukabumi dan masuk ke Pesantren Babakan
Selawi Baros Sukabumi. Ketika nyantri di Pesantren tersebut beliau bertemu dengan seorang gadis yang bernama Siti Djuwariyah putri Kyai Haji Affandi dari
kebon Pedes, akhirnya beliau menikahi gadis tersebut.
13
11
Munandi Shaleh, M,Si, op.cit., hlm. 4.
12
Wawancara dengan Drs.H. Munandi Shaleh, M,Si, pada tanggal 11 Februari 2014.
13
Munandi Shaleh, M,Si, loc.cit., hlm. 5.
Dan pada tahun 1910 sampai tahun 1915 K.H Ahmad Sanusi mulai aktif di Sarikat Islam ketika bermukim menuntut ilmu di Makkah. Namun, pada tahun
1910 terlebih dahulu K.H Ahmad Sanusi menikah dan pergi haji ke Mekah bersama istrinya serta bermukim di sana beberapa waktu lamanya sekitar 5 lima
tahun untuk memperdalam pengetahuan agama Islam. Dalam kesempatan itu ia telah mengenal tulisan para pembaru, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha. Ia tetap berpegang pada madzhab Syafi’i yang beraliran Ahlusunnah waljama’ah.
Orang-orang yang beliau kunjungi sewaktu di kota Makkah al- Mukarramah baik untuk ditimba ilmunya maupun untuk dijadikan teman diskusi dalam
berbagai bidang, diantaranya
14
: 1.
Dari kalangan Ulama: a.
Syeikh Saleh Bafadil b.
Syeikh Maliki c.
Syeikh Ali Thayyib d.
Syeikh Said Jawani e.
Haji Muhammad Junaedi f.
Haji Muhammad Jawawi g.
Haji Mukhtar 2.
Dari kalangan kaum Pergerakkan:
a. K.H. Abdul Halim Tokoh Pendiri PUI Majalengka
Dari sinilah pada tahun 1911 K.H Ahmad Sanusi bertemu dengan K.H Abdul Halim dari Majalengka di kota Mekkah. Mereka berasal dari satu
daerah yang sama yakni Tatar Pasundan pertemuan tersebut menjadi sebuah
persahabatan. Dan
mereka pun
mulai berusaha
mengimplementasikan cita-citanya membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan melalui pendidikan. Dari hubungan itulah, kelak di kemudian
hari lahir sebuah organisasi yang bernama Persatuan Umat Islam PUI yang merupakan organisasi masa hasil fusi antara PUI dan PUII.
15
14
Munandi Shaleh, M,Si, op.cit., hlm. 5-6.
15
Miftahul Falah, S.S,op.cit., hlm. 26.
b. Haji Abdul Muluk Tokoh SI
Dari sini, seiring K.H Ahmad Sanusi berguru kepada para ulama di Mekkah. Beliau pun kontinyu melakukan diskusi dengan para santri atau
mukminin lainnya. Yang membicarakan tentang berbagai permasalahan umat pada kalangan yang satu mazhab maupun mazhab lain dengan K.H
Ahmad Sanusi. Dari kegiatan inilah, pada tahun 1913 K.H Ahmad Sanusi bertemu dengan K.H Abdul Muluk yang memperlihatkan statuten atau
anggaran dasar Sarikat Islam SI kepada K.H Ahmad Sanusi. Setelah anggaran itu di diskusikan, K.H Abdul Muluk mengajak K.H. Ahmad
Sanusi untuk bergabung di Serikat Islam. Ajakan tersebut pun di respon positif oleh K.H Ahmad Sanusi untuk masuk organisasi Sarikat Islam.
Akhirnya peristiwa tersebut menghantarkan K.H Ahmad Sanusi untuk terlibat dalam bidang politik.
Menurutnya tujuan SI dipandang memiliki tujuan yang baik, yaitu tujuan akhirat dan duniawi. K.H Ahmad Sanusi sangat membela SI, karena
terbukti bermula adanya sebuah surat kaleng yang beredar tanpa identitas dengan mengatakan kalau SI adalah organisasi yang bukan berlandaskan
Islam. Namun,surat tersebut tidak hanya sampai ke tangan K.H Ahmad Sanusi melainkan kepada beberapa ulama yaitu Syaikh Achmad Khatib
dan K.H Muchtar, dua orang ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Bahkan surat itu sampai kepada K.H Moehammad Basri dari pesantren
Babakan, Cicurug, Sukabumi. Menurut K.H Moehammad Basri surat tersebut ditulis oleh Sayyid Utsman Betawi karena ada kemiripan dari
gaya bahasanya. Denagn ini, K.H Ahmad Sanusi merasa terpanggil untuk menyelesaikannya dengan membuat karangan buku yang berjudul
Nahratoeddarham yang berisikan tentang kebaikan-kebaikan sesuai dengan anggarannya, antara lain mengenai tujuan didirikannya SI.
16
c. K.H. Abdul Wahab Hasbullah Tokoh Pendiri NU
d. K.H. Mas Mansyur Tokoh Muhammadiyah.
16
Miftahul Falah, S.S,op.cit., hlm. 27-30.
Selain itu, masalah kepercayaan dan mazhab pun menjadi tema perdebatan K.H Ahmad Sanusi ketika berdebat dengan para ulama Ahmadiyah. Dengan ilmu
dan pengetahuannya yang begitu dalam serta wawasan yang begitu luas, perdebatan-perdebatan tersebut dapat dilakukan oleh K.H Ahmad Sanusi dengan
baik. Oleh karena itu, di kalangan kaum mukminin di Mekkah ia dikenal sebagai ahli debat.
17
Selama 5 lima tahun lebih bermukim di Makkah, K.H Ahmad Sanusi memanfaatkan waktu tersebut dengan sebaik-baiknya, untuk mendalami,
mengkaji dan memahami berbagai disiplin ilmu tentang ke-Islaman, sehingga menurut tradisi lisan yang berkembang di kalangan para Ulama Sukabumi,
bahwa: Saking mendalamnya ilmu yang ia miliki, maka sebagai wujud penghargaan dan pengakuan ketinggian ilmunya tersebut dari para Syeikh yang
ada di Makkah, K.H Ahmad Sanusi mendapat kesempatan untuk menjadi imam Shalat di Masjidil Haram. Bahkan, salah seorang Syeikh sampai mengatakan
bahwa jika seseorang yang berasal dari Sukabumi hendak memperdalam ilmu kegamaannya, ia tidak perlu pergi jauh-jauh ke Makkah karena di Sukabumi telah
ada seorang guru agama yang ilmunya telah mencukupi untuk dijadikan sebagai guru panutan yang pantas diikuti.
18
Tepatnya pada bulan Juli 1915 K.H Ahmad Sanusi pulang ke kampung halamannya yaitu Cantayan yang telah ditinggalkannya sejak tahun 1910.
Setibanya di Cantayan, K.H Ahmad Sanusi langsung membantu orang tuanya mengajar agama di Pesantren Cantayan, gaya mengajar berbeda dengan para kyai
lainnya, termasuk dengan orang tuanya. Beliau mengajar dengan bahasa sederhana dan menerapkan metode halaqoh. Ternyata pada saat itu berdampak
positif karena materi pelajaran yang disampaikannya dapat diterima dengan mudah oleh para santri dan jama’ahnya. Santrinya tidak hanya berasal dari
Sukabumi, tetapi juga dari luar daerah dan luar Pulau Jawa.Oleh karena itu, dalam waktu yang relatif singkat, K.H Ahmad Sanusi telah mendapat gelar dari
17
Miftahul Falah, S.S,op.cit., hlm. 32.
18
Munandi Shaleh, M,Si, op. cit., hlm. 6-7.
masyarakat dengan panggilan Ajengan Cantayan atau dalam sumber kolonial dipanggil dengan sebutan Kyai Cantayan.
Ditengah-tengah kesibukannya mengajar di Pesantren Cantayan, K.H Ahmad Sanusi didatangi oleh H. Sirod, presiden Serikat Islam Sukabumi itu meminta K.H
Ahmad Sanusi untuk menjadi penasehat adviseur Serikat Islam di Sukabumi. Sebelum menerima penawaran itu, K.H Ahmad Sanusi mengajukan beberapa
persyaratan, yaitu
19
: 1.
Tidak menerima perempuan sebagai anggota. 2.
Para anggota harus secara mutlak patuh terhadap anggaran dasar statuten. 3.
Para anggota harus berpegang teguh kepada agama. 4.
Iuran anggota sebesar f 0,10 jangan semuanya disetorkan kepada pengurus besar, iuran itu harus dibagi menjadi dua, masing-masing f 0,50 untuk
pengurus besar dan f 0,05 lagi harus dijadikan sebagai kas sebagai modal organisasi untuk memajukan anggotanya dalam urusan perdagangan atau
urusan lainnya. Syarat tersebut diterima oleh K.H Sirod hingga sejak Juli 1915, selama 10
bulan K.H Ahmad Sanusi memegang jabatan itu. Namun, sekitar bulan Mei tahun 1916, K.H Ahmad Sanusi mundur dari jabatannya karena dua hal yaitu: Pertama,
ia merasa sudah tidak dapat mengerti lagi arah perjuangan Sarekat Islam. Kedua, ia merasa dikhianati oleh pengurus Sarekat Islam Sukabumi karena persyaratan
yang diajukannya ternyata sama sekali tidak dijalankan oleh pengurus Sarekat Islam Sukabumi.
Kiprah K.H Ahmad Sanusi di Sarekat Islam memang tidak terlalu lama, hanya 3 tahunan. Meskipun terbilang cepat, namun mampu menunjukkan
perhatian yang luar biasa terhadap Sarekat Islam. Karena K.H Ahmad Sanusi sebagai pengurus juga anggota, hubungan personal dengan para anggota Sarekat
Islam Sukabumi terus telah terjalin. Selain itu, perkembangan organisasi itu pun dapat dipantau oleh K.H Ahmad Sanusi, karena banyak santrinya yang masuk
menjadi anggota Sarekat Islam. Namun, mereka tidaklah di susupkan oleh K.H Ahmad Sanusi ke Sarekat Islam Sukabumi dengan tujuan untuk mengendalikan
19
Miftahul Falah, S.S,op. cit., hlm. 32-34.
organisasi tersebut. Para santrinya masuk menjadi anggota Sarekat Islam karena keinginan sendiri, bukan disuruh oleh gurunya itu. Hal itu, karena K.H Ahmad
Sanusi sangat menghargai perbedaan pendapat. Di dalam buku karangan Miftahul Falah, menurut R. Karnadibrata, Wedana
Patih Afdeeling Sukabumi, bahwa dirinya sudah tidak aktif lagi di Sarekat Islam Sukabumi, tidak dapat dipercayai begitu saja oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Gerak geriknya terus di awasi oleh Pemerintah kolonial karena mereka merasa terancam oleh kewibawaan Ajengan Cantayan itu. Hubungan baik dengan para
pengurus dan anggota Sarekat Islam Sukabumi, oleh pemerintah kolonial dipandang sebagai bentuk terselubung bagi aktivitasnya di organisasi tersebut.
Pandangan pemerintah kolonial itu semakin menguat karena K.H Ahmad Sanusi masih sering diundang untuk menghadiri rapat-rapat terbuka Sarekat Islam.
20
Setelah lama, K.H Ahmad Sanusi kembali melakukan rutinitasnya sebagai seorang ajengan. Metode halaqoh yang diterapkan K.H Ahmad Sanusi dalam
mengajar santri begitu efektif. Selain itu juga, di Pesantren Cantayan secara rutin digelar pengajian yang selalu dihadiri kaum muslimin dari berbagai daerah. Dari
sinilah, jumlah jama’ah semakin banyak karena kemampuan K.H Ahmad Sanusi dalam berpidato dan ketenarannya semakin meluas ketika berpolitik.
Dari sinilah, K.H Abdurrahim menyarankan kepada anaknya untuk mendirikan sebuah Pesantren. Sesuai dengan keinginan ayahnya, pada tahun 1919
K.H Ahmad Sanusi kemudian mendirikan sebuah pesantren di Genteng, Distrik Cibadak, Afdeeling Sukabumi. Di kompleks Pesantren Genteng itu, K.H Ahmad
Sanusi mendirikan sebuah masjid yang dikelilingi oleh beberapa bangunan. Di sebelah timur berdiri bangunan tempat pengajian masyarakat umum; sebelah
Selatan berdiri sebuah bangunan untuk belajar para santri madrasah; dan sebelah Barat dibangun tempat tinggal K.H Ahmad Sanusi beserta keluarganya.
Sementara itu, disebelah Utara masjid dibuat sebuah kolam kulah tempat para santri d
an jama’ah mengambil air wudlu. Dan pada tahun-tahun awal perkembangannya, santrinya yang belajar di Pesantren Genteng tidak lebih dari
170 orang.
20
Miftahul Falah, S.S, op. cit., hlm. 34-36.
Namun, Masjid Pesantren Genteng yang dibangun oleh K.H Ahmad Sanusi sudah berubah fungsi. Sebagian ruangannya dipakai sebagai kantor Yayasan
Pendidikan Islam K.H Ahmad Sanusi dan sebagian lagi dijadikan sebagai ruangan belajar kelas Sekolah Menengah Islam Terpadu SMPIT. Sementara itu,
bangunan tempat belajar para santri sudah tidak ada lagi karena memang Pesantren Genteng itu sendiri sekarang sudah tidak berjalan lagi.
21
Bagi K.H Ahmad Sanusi, Pesantren Genteng merupakan sebuah alat bagi perjuangannya untuk menegakkan sebuah syariat Islam di Sukabumi. Oleh karena
itu, ia tidak bersikap pasif, artinya hanya berdiam di pesantrennya menunggu kaum muslimin mendatangi dirinya. Beliau berkeliling dari satu kampung ke
kampung lainnya untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya itu. Dengan sangat lugas, beliau me
nyampaikan pemikirannya itu kepada para jema’ah yang menghadiri dakwahnya itu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau sejak
awal tahun 1920-an, masyarakat tidak hanya memanggil dirinya dengan sebutan Ajengan Cantayan, melainkan juga dengan panggilan Ajengan Genteng.
Metode yang diterapkan K.H Ahmad Sanusi kepada santrinya tidaklah berbeda ketika beliau masih membantu ayahnya mengasuh Pesantren Cantayan.
Beliau tidak hanya mengajar santrinya dengan menggunakan metode tradisional yakni sorogan dan bandungan, tetapi lebih sering menggunakan metode halaqoh.
Dengan metode ini, para santri diajak untuk mendiskusikan setiap persoalan keagamaan. Untuk mengefektifkan proses diskusi tersebut, para santri dibagi ke
dalam beberapa kelompok. Mereka mendiskusikan setiap permasalahan agama di masing-masing kelompok yang kemudian dibicarakan lagi dengan kelompok
lainnya. Hasil diskusi itu dibahas bersama-sama dengan K.H Ahmad Sanusi sehingga para santri akan memiliki pemahaman yang jauh lebih mendalam
dibandingkan dengan sistem sorogan dan bandungan. Metode halaqoh diterapkan untuk santri yang sudah duduk tingkat atau kelas
lanjut sedangkan metode sorogan dan bandungan diterapkan untuk santri yang baru duduk di tingkat dasar. Untuk metode bandungan, beliau mengajar santrinya
selama empat kali yakni setelah Shalat Subuh, Dzuhur, Ashar, dan Isya. Meskipun
21
Miftahul Falah, S.S,op. cit., hlm. 38-39.
sifatnya bandungan, tetapi beliau masih memberikan kesempatan bertanya kepada para santri. Dengan metode seperti itulah, K.H Ahmad Sanusi mendidik para
santrinya untuk berjuang menegakkan hukum Islam khususnya di Sukabumi.
22
K.H Ahmad Sanusi adalah orang yang tegas dalam berdakwah mengakibatkan dirinya memiliki keberanian untuk menentang setiap hukum yang
dipandangnya tidak sejalan dengan Al- Qur’an. Beliau tidak akan melaksanakan
fatwa yang dikaluarkan oleh ulama selama fatwa tersebut dipandang tidak memiliki landasan hukumnya.
23
Pada tahun 1920-an, ada beberapa masalah keagamaan yang mengakibatkan terjadinya perdebatan antara K.H Ahmad Sanusi dan ulama pakauman. Beberapa
masalah keagamaan yang krusial yang menjadi topik perdebatan antara lain masalah zakat fitrah, zakat maal, dan selamatan. Masalah penulisan dan
penerjemahan Al- Qur’an pun mengundang perdebatan dengan ulama dari
kalangan tradisional. Dengan demikian, perdebatan masalah-masalah keagamaan tidak hanya terjadi dengan kalangan ulama, birokrat dan modernis, melainkan
juga dengan kalangan tradisional. Salah satu tugas dari ulama pakauman adalah menarik zakat fitrah dan zakat
maal dari umat Islam yang dilakukan oleh para amil. Zakat fitrah dan zakat maal yang berhasil dikumpulkan oleh mereka, sebesar 70 disetorkan kepada
hoofdpenghulu atau penghulu kepala yang berkedudukan di kabupaten. Sisanya yang 30 menjadi milik para amil sebagai gajinya. Dapat dibayangkan bahwa
zakat fitrah dan zakat maal yang terkumpul tidak sampai secara utuh kepada masyarakat yang berhak menerimanya.
Hal ini sungguh membuat K.H Ahmad Sanusi menentang karena bertentangan dengan Al-
Qur’an dan Sunnah. Bahkan dalam aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sendiri, urusan zakat tidak akan diatur oleh mereka
karena pada dasarnya pemerintah tidak akan mencampuri urusan agama Islam. Namun ternyata, pemerintah tidak bersikap konsisten.
24
22
Miftahul Falah, S.S,op.cit., hlm. 45-46.
23
Ibid., hlm. 46.
24
Ibid., hlm. 51-52.
K.H Ahmad Sanusi berpendapat bahwa masalah zakat fitrah dan zakat maal adalah urusan umat Islam bukan urusan pemerintah. Amil yang bertugas
mengumpulkan zakat fitrah dan zakat maal adalah amil yang ditunjuk oleh masyarakat bukan amil yang ditunjuk oleh pemerintah. Zakat yang terkumpul
kemudian dibagikan kepada masyarakat yang berhak menerimanya mustahik sesuai hukum yang telah diatur Al-
Qur’an dan Sunnah. Pendapat K.H Ahmad Sanusi tersebut ternyata sangat berpengaruh di
kalangan masyarakat Sukabumi. Rupanya, masyarakat Sukabumi lebih menerima fatwa yang dikeluarkan oleh Ajengan Genteng tersebut daripada fatwa yang
dikeluarkan oleh Ulama pakauman. Hal ini dapat dilihat dari suatu kenyataan bahwa setidaknya sampai awal 1928, masyarakat yang menyerahkan zakat fitrah
dan zakat maal kepada Amil yang ditunjukkan oleh pemerintah semakin berkurang.
Tentunya, pendapat K.H Ahmad Sanusi tentang zakat ditentang keras oleh ulama pakauman yang dimotori oleh K.H. R. Ahmad Juwaeni, Hoofdpenghulu
Sukabumi. Karena pendapatan mereka dari hasil menarik zakat akan berkurang atau bahkan menjadi hilang. Mereka memandang pendapat K.H Ahmad Sanusi
sebagai fatwa yang bukan hanya menyinggung dasar hukum masalah zakat. Lebih jauh mereka berpandangan bahwa fatwa tersebut merupakan suatu bentuk
ancaman terhadap kewibawaan ulama pakauman di mata masyarakat.
25
Selain argumen K.H Ahmad Sanusi yang begitu bijaksana dalam ketentraman umat jika dicermati, bagi K.H Ahmad Sanusi siapa pun yang berpihak kepada
Belanda itu dianggapnnya sebagai musuhnya. Dengan prinsipnya beliau yang kuat, dan tidak adanya kemunafikan pada diri beliau.
26
Ketika masalah zakat belum mendapatkan titik temu, K.H Ahmad Sanusi pun menolak acara selamatan bagi umat Islam yang telah meninggal dunia. Pada
waktu itu, bahkan sampai sekarang, dalam praktik keagamaan dikalangan masyarakat terdapat suatu tradisi yaitu upacara kematian hari ketiga, hari ketujuh,
dan seterusnya. Bagi K.H Ahmad Sanusi, upacara kematian tersebut merupakan
25
Miftahul Falah, S.S,op.cit., hlm. 53-54.
26
Wawancara dengan Drs. K.H Hasanudin, M.Ag, pada tanggal 11 Februari 2014.
praktik keagamaan yang hukumnya makruh. Apabila upacara kematian itu dikatakan sebagai suatu ketentuan agama Islam, maka hukumnya menjadi haram
karena tidak ada satupun ayat dalam Al- Qur’an yang mengatur upacara tersebut.
Dalam pandangan beliau, bahwa upacara kematian tersebut merupakan sebuah warisan karuhun belaka yang tidak memiliki implikasi hukum agama apapun jika
hal itu tidak dilaksanakan. Bahkan sebaiknya hal itu ditinggalkan karena hubungannya dengan kemusyrikan sangat dekat. Oleh karena itu, K.H Ahmad
Sanusi memandang upacara kematian sebagai masalah dhiafah yaitu sedekah kematian.
Pendapat beliau tersebut, kembali mendapat reaksi keras dari ulama pakauman. K. H. R. Uyek Abdullah merupakan sosok ulama pakauman yang
sangat keras menentang fatwa K.H Ahmad Sanusi. Ia adalah saudara K. H. R. Ahmad Juwaeni, Hoofdpenghulu Sukabumisekaligus sebagai pengasuh Pesantren
Pabuaran. Selain itu, ia pun berkedudukan sebagai anggota Raad Igama Sukabumi dan menjadi Imam masjid Agung Kaum Sukabumi. Menyangkut upacara
kematian, Kyai Uyek berpendapat bahwa upacara tersebut tidak termasuk masalah Dhiafah dan hukumnya tidak haram. Upacara kematian dipandang sebagai salah
satu bentuk sedekah bagi kaum muslimin sehingga hukumnya menjadi Wenang diperbolehkan.
Dua pendapat tersebut dari dua orang ulama berpengaruh mengakibatkan masyarakat Sukabumi menjadi kebingungan. Dengan alasan menjaga
ketentraman, K.H.R Ahmad Juwaeni mempertemukan kedua kyai tersebut dalam suatu acara debat terbuka. Dalam debat tersebut yang diselenggarakan tahun 1922,
baik K.H Ahmad Sanusi maupun K.H.R Uyek Abdullah sependapat bahwa upacara kematian boleh diselenggarakan sepanjang diniatkan untuk melakukan
sedekah yang tidak terikat oleh ketentuan hari tertentu, yaitu tiluna, tujuhna, matang puluh, natus, dan seterusnya.
27
Perdebatan K.H Ahmad Sanusi dengan ulama pakauman menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya konflik dengan elite birokrasi. Betapa tidak,
dengan kharismanya yang begitu kuat terpancar dari dirinya, kalangan elite
27
Miftahul Falah, S.S,op. cit., hlm. 54-56.
birokrasi merasa kewibawaannya di mata masyarakat menjadi tentram. Dengan perkataan lain, dari perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah keagamaan,
bergeser menjadi konflik pribadi karena perbedaan pendapat tersebut berubah menjadi hasutan dan fitnahan. Oleh karena itu, kalangan elite birokrasi berusaha
dengan berbagai cara untuk menjauhkan K.H Ahmad Sanusi dari masyarakat Sukabumi.
Konflik antara K.H Ahmad Sanusi dan elite birokrasi sudah ada ketika dirinya dikaitkan dengan peristiwa Cimareme 1919 serta adanya dampak negatif atas
perdebatannya dengan ulama pakauman yang dihembuskan oleh kalangan elite birokrasi, namun titik pangkal konflik itu adalah perbedaan pandangan dalam
tradisi mendo’akan bupati setiap hari Jum’at. Tradisi ini memang tidak hanya terjadi di Sukabumi, tetapi umum terjadi di Pulau Jawa. Dalam setiap pelaksanaan
Shalat Jum’at, setiap khatib diwajibkan untuk memanjatkan do’a bagi bupatinya. Bagi K.H Ahmad Sanusi, tradisi tersebut bukanlah sebuah kewajiban, malah
menyarankan tradisi tersebut tidak perlu dilakukan. Mendo’akan para pemimpin memang
diwajibkan dalam syari’at Islam, tetapi yang dido’akan itu seorang pemimpin atau raja yang adil dalam konteks ibadah Islam. Mendo’akan raja atau
pemimpin Islam yang dzalim hukumnya haram, apalagi mendo’akan bupati.
Bupati bukanlah raja, melainkan seorang pemimpin di suatu daerah yang dalam menjalankan kepemimpinannya itu tidak berdasarkan syariat Islam. Ia diangkat
dan diberhentikan oleh pemerintah kolonial yang dikategorikan sebagai pemerintahan kafir. Oleh karena itu, ia bekerja bukan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat melainkan untuk menjaga kepentingan kolonialisme. Oleh karena itu, mendo’akan mereka hukumnya haram karena tidak termasuk dalam
konteks ibadah Islam. Pandangan tersebut yang kemudian dikenal sebagai kasus Abdaka Maulana
dianggap oleh para penguasa bahwa K.H Ahmad Sanusi sebagai rongrongan dan ancaman terhadap kedudukan serta kewibawaan mereka. Hal ini diperkuat dari
pihak oleh penguasa karena seiring dengan adanya laporan yang menggambarkan pembangkangan masyarakat terhadap aparat desa sepulangnya mereka dari
pengajian yang digelar oleh K.H Ahmad Sanusi. Bahkan lebih dari itu, meskipun
sudah tidak memiliki hubungan organisasi tersebut mempergunakan pandangan K.H Ahmad Sanusi dalam berbagai kegiatan pengajian dan propagandanya.
28
Peristiwa tersebut kemudian menjadi kartu as bagi elite birokrasi yang menyudutkan K.H Ahmad Sanusi. Mereka semakin gencar menuduh dirinya
sebagai biang keladi dan mereka menyebarkan bahwa propaganda K.H Ahmad Sanusi merupakan seorang ulama yang memiliki anti-pemerintah. Mereka
mengajukan berbagai sikap penentangan K.H Ahmad Sanusi terhadap berbagai sikap persoalan praktik keagamaan yang sebenarnya sudah diatur oleh pemerintah
kolonial. Penuduhan itu, jelas dibantah oleh K.H Ahmad Sanusi, karena beliau tidak merasa ulama yang memiliki anti-pemerintah. Karena seandainya beliau
benci kepada Bupati beserta aparatnya, sudah barang tentu dirinya tidak akan menginjakkan kakinya di Masjid Kaum. Malah sebaliknya, beliau selalu Shalat
Jum’at di masjid yang dikelola oleh ulama pakauman tersebut. Namun, dapat dipahami bahwa permasalahan ini disimpulkan bahwa dari pihak elite birokrasi
menginginkan K.H Ahmad Sanusi untuk diasingkan ke luar Sukabumi.
29
Meskipun demikian, kekhawatiran dan ketidaknyamanan kalangan elite birokrasi pribumi tidak dapat ditindaklanjuti oleh Pemerintahan Hindia Belanda.
Karena tidak ada bukti kuat yang dapat menangkap dan mengasingkan kyai kharismatik tersebut ke luar Sukabumi. Sampai suatu ketika, terjadilah
pengrusakan dua jaringan kawat telepon yang menghubungkan Sukabumi dengan Bandung dan Bogor. Peristiwa tersebut terjadi pada Agustus 1927 dijadikan
sebagai bukti awal bagi Pemerintahan Hindia Belanda untuk menangkap dan menahan K.H Ahmad Sanusi. Alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah Hindia
Belanda itu adalah salah satu jaringan kawat telepon yang dirusak itu lokasinya tidak terlalu jauh dari Pesantren Genteng. Dari itu, K.H Ahmad Sanusi mendekam
di penjara selama sembilan bulan sampai pada bulan Mei 1928 beliau dipindahkan ke penjara di Kota Sukabumi.
Namun, pihak pemerintah kolonial tidak segera membebaskan K.H Ahmad Sanusi malah mengaitkan dirinya dengan peristiwa perlawanan Kyai Asnawi di
28
Miftahul Falah, S.S,op. cit., hlm. 56-58.
29
Ibid., hlm. 59.
Menes, Banten yang terjadi tahun 1926. Meskipun tidak bukti dan kesaksian atas keterlibatan K.H Ahmad Sanusi dalam perlawanan Kyai Asnawi 1926 dan
pengrusakan jaringan kawat telepon 1927, Gubernur Jenderal B. C. De Jonge mengeluarkan keputusan untuk mengasingkan K.H Ahmad Sanusi ke Tanah
Tinggi di Batavia Centrum. Pengasingan itu sendiri resmi diberlakukan sejak November 1928. Pemerintah Hindia Belanda mengatakan bahwa penahanan
tersebut adalah untuk menjaga ketentraman umum rust en order karena pemikiran-pemikiran K.H Ahmad Sanusi memiliki potensi untuk menciptakan
suatu masyarakat yang memiliki semangnat revolusioner. Untuk mencegah perkembangan potensi tersebut, Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu
untuk mengasingkan K.H Ahmad Sanusi dari lingkungan sosial budayanya.
30
Selama K.H Ahmad Sanusi menjalani pengasingan dari tahun 1928-1934 di Batavia Centrum itu, K.H Ahmad Sanusi tidak lantas berpangku tangan atau
kemudian berubah pandangannya. Pengasingan tersebut justru telah membentuk watak dan kepribadiannya semakin kuat untuk berjuang menegakkan kebenaran.
Beliau terus berjuang melalui pemikirannya yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang disebarkan kepada masyarakat sehingga pemikirannya pun menyebar
di kalangan masyarakat. Meskipun sedang mengalami pengasingan di tempat yang jauh dari kampung
halamannya, namun pemerintah kolonial tidak melarang dirinya bertemu dengan orang-orang yang sepaham dengan dirinya maupun dengan orang-orang yang
bertolak belakang dengan dirinya. Para santri dan Jama’ah dari Sukabumi berdatangan ke Batavia Centrum untuk menjenguk kyai kharismatik tersebut.
Bahkan tidak hanya yang berasal dari Sukabumi, tidak sedikit juga Jama’ah yang menjenguknya berasal dari daerah luar Sukabumi.
Para jema’ah yang datang ke Tanah Tinggi, Batavia Centrum ternyata bukan hanya sekedar menjenguknya. Mereka selalu membawa permasalahan umat dan
mendiskusikan dengan K.H Ahmad Sanusi. Dengan perkataan lain, para jama’ah yang mendatangi dirinya memiliki dua tujuan, yakni menjenguk dan mengadukan
berbagai persoalan keagamaan. Puncak pengaduan para jama’ah itu terjadi seiring
30
Miftahul Falah, S.S,op. cit., hlm. 61-64.
dengan semakin gecarnya usaha yang dilakukan oleh para pembaharu Islam di wilayah Priangan Barat, termasuk Sukabumi.
31
Terhadap permasalahan keagamaan itu, K.H Ahmad Sanusi banyak melakukan perdebatan dengan beberapa orang ulama terkemuka dari kalangan
pembaharu, antara lain K. H. R. Muhammad Anwar Sanusi dari Pesantren Biru Tarogong; K. H. R. Muhammad Zakaria dari Pesantren Cilame; K. H. Jusuf
Taujiri dari Pesantren Cipari; dan K. H. Romli dari Pesantren Haur Koneng. Para Ajeungan tersebut semuannya berasal dari Garut. Bahkan K.H Ahmad Sanusi pun
pernah melakukan debat soal keagamaan dengan A. Hasan, tokoh Persis dari Bandung, ketika ia telah mendirikan Al Ittihadul Islamiyah AII.
32
C. Peran K.H. Ahmad Sanusi Dalam Pendidikan Islam
1. Dunia Pendidikan dan Penerbitan K.H Ahmad Sanusi.
Pengasingan yang dijalani oleh K.H Ahmad Sanusi memberikan dampak positif terhadap dirinya. Selama dipengasingan Batavia Centrum K.H Ahmad
Sanusi menunjukkan dirinya sebagai ulama yang produktif dalam menulis buku. Perjuangan dalam menegakkan kebenaran dalam konteks ibadah Islam tidak
hanya dapat dilakukan dengan cara berdakwah secara langsung. Pemikiran- pemikirannya yang sedikit banyaknya terpancing oleh adanya pengaduan dari para
jama’ah dituangkan oleh K.H Ahmad Sanusi dengan menulis buku. Hal tersebut mudah dipahami karena sebagai orang yang sedang menjalani pengasingan, ruang
geraknya sangat dibatasi. Sementara itu, jika tidak menanggapi pengaduan- pengaduan para jama’ah yang menyangkut masalah keagamaan, maka masyarakat
akan mengalami kebingungan dalam menjalankan praktik-praktik keagamaannya. Oleh karena itu, K.H Ahmad Sanusi menuliskan pemikirannya dengan
menerbitkan berbagai buku. Selain itu, produktivitasnya dalam penerbitan buku menunjukkan bahwa K.H
Ahmad Sanusi merupakan kyai tradisional yang memiliki pikiran yang progresif. Beliau tidak hanya berdiam diri sambil memegang kuat keyakinan tradisionalnya.
31
Miftahul Falah, S.S, op.cit., hlm. 66.
32
Ibid., hlm. 67-68.
Beliau memberikan suatu pembelaan terhadap para ulama terdahulu yang menurut kaum mujadid pemikirannya tidak perlu dijadikan bahan rujukan untuk ber-taqlid.
Di dalam pengasingan beliau yang meninggalkan para santri dan jama’ahnya di
Sukabumi, K.H Ahmad Sanusi tidak meninggalkan dunia pendidikan. Dalam proses pembelajaran terhadap mereka pun tetap dapat dilakukan oleh dirinya.
Pada hakikatnya, K.H Ahmad Sanusi tetap melaksanakan proses mengajar tetapi dengan menggunakan media berbeda.
33
Adapun materi-materi keagamaan yang disampaikan kepada para santri dan jama’ahnnya dilakukan melalui sebuah buku. Tafsir Qur’an, misalnya, K.H
Ahmad Sanusi secara rutin menuliskannya ke dalam beberapa buku buletin yang secara rutin beliau terbitkan di Batavia Centrum. Dari menulis buku inilah, K.H
Ahmad Sanusi dapat bertahan hidup selama pengasingannya di Batavia Centrum karena buku-bukunya itu banyak dibeli orang. Kemampuannya dalam
menerbitkan buku yang jumlahnya mencapai ratusan judul, seperti yang dilaporkan oleh dirinya kepada Pemerintahan Militer Jepang tahun 1942.
34
Buah karya Ahmad Sanusi berdasarkan pengakuan-nya sebagaimana yang tercantum dalam lampiran Pendaf-taran Orang Indonesia yang Terkemoeka yang
ada di Djawa. R.A. 31. No. 2119., untuk disampaikan kepada Gunseikanbu Tjabang I, Pegangsaan Timoer 36 Djakarta, ada 125 judul kitab yang terdiri dari
101 judul kitab berbahasa Sunda dan 24 judul kitab berbahasa Indonesia. Adapun judul kitab tersebut adalah sebagi berikut:
1. Kitab Tafsir al-Qur’anIlmu Tajwid
a. Raoedlotoel ‘Irfan 17 Boekoe dari 17 Djoez Qoeran;
b. Tamsjijjatoel Moeslimin 53 Boekoe dari 7 ½ Djoez Qoeran;
c. Tafsir Maldjaoettolibien Djoez Ama;
d. Tafsier Maldjaoettolbien 1 Boekoe;
e. Maldjaoettolibien 24 Boekoe dari 100 Djoez Qoeran;
f. Tidjanul Gilman Elmoe Tadjwied Qoeran;
33
Miftahul Falah, S.S,op. cit., hlm. 74-75.
34
Wawancara Drs.H. Munandi Shaleh, M,Si, pada tanggal 11 Februari 2014.
g. Hiljatoellisan;
h. Sirodjoel Moeminien Doe’a Fadilah Jasin;
i. Hidajatoel Azkija Tardjamah Azkija;
j. Tafsier Soerat Jasin;
k. Tafsier Soerat Waqi’ah;
l. Tafsier Soerat Tabarok;
m. Tafsier Soerat Doechon;
n. Tafsier Soerat Kahfi;
o. Sirodjoel Wahadj Kitab Mi’radj;
p. Jasin Waqi’ah;
q. Hilaatoel Iman Kaifijat Chatam Qoeran;
r. Silahoel Irfan 2 Boekoe dari 2 Djoez Qoeran;
s. Miftahoel Djannah;
t. Jasin Waqi’ah di Gantoeng Loegat dan Keterangannja;
u. Ajjoehal Walad Gozalie Tardjamah.
2. Kitab Hadits
a. Tafsier Boechorie;
b. Al Hidajah Menerangkan Hadits2 Kitab Sapinah
3. Kitab Ilmu TauhidAqidah
a. Al loe loeoen nadid Menerangkan Bahasan Ilmoe Taoehid;
b. Matan Ibrohiem Badjoeri Gantoeng Logat;
c. Matan Sanoesi Gantoeng Logat;
d. Madjma’oel Fawaid Tardjamah Qowaidoel Aqoid;
e. Taoehidoel Moeslimien Tentang Ilmoe Taoehied;
f. Taoehidoel Moeslimien;
g. Tardjamah RisalahQoedsijah;
h. Tardjamah Djauharotoettaoehid;
i. Al-Moefhimat Menerangkan Pabid’ahan dan Idjtihad;
j. Hiljatoel Aqli Bab Moertad,;
k. Loe Loeunnadies Ilmoe Taoehid;
l. Al-Moethohhirot Bab Moesjrik;
m. Noeroel Jakin Penolakan Ahmadijah Qadian Lahore, 2 Boekoe;
n. Oesoeloel Islam;
o. Silahoel Mahijah Firqoh 73;
p. Hoeljatoel A’qli Bab Moertad;
q. Assoejoefoessorimah MenolakMatjam2 Bid’ah .
4. Kitab Ilmu Fiqh
a. Al Djaoeharotoel Mardijah Fiqih Sjafe’ie;
b. Tardjamah Fiqih Akbar karangan Imam Hanafi;
c. Hiljatoel Goelam Bab Siam;
d. Mifathoe Darissalam;
e. Al Adwijatoessafiah Bab Solat Hadjat dan Istihoroh;
f. Al Oekoedoel Fachiroh Menerangkan Istiharoh Moetahadjdjiroh;
g. Bab Zakat dan Fithrah,;
h. Qowaninoeddinijjah Bab Zakat;
i. Bab Nikah;
j. Bab Taraweh;
k. Hidajatussomad Tardjamah Zoebad;
l. Targib Tarhib;
m. Kitab Talqin;
n. Bab Kematian;
o. Firqoh 8 Nomer;
p. Bab Woedloe;
q. Bab Bersentoeh;
r. Bab Aer The;
s. Kasjifoel Aoeham Tentang Menjentoeh Qoeran;
t. Al-Aqwaloel Moefidah Tentang Adzan Awal.
u. Kitab Bab Tioeng;
v. Dijafah dan Sodaqoh;
w. Al-Isjaroh Membedakan antara Dijafah dan Sodaqoh,
x. Al-Oehoed fil Hoedoed;
y. Idjtihad Taqlied.
5. Kitab Ilmu Bahasa Arab
a. Doeroesoennahwijjah KeteranganAjurmijah;
b. Bahasan Adjroemijah;
c. Kasjfoenniqob Tardjamah Qowai’doel Irob;
d. Matan Sorof Bina Dengan Segala Ketera-ngannya;
e. Bahasan Nadlom Jaqoeloe Ilmoe Sorof;
f. Tanwiroerribat Sjarah Nadom Imriti.
6. Kitab AkhlakTasawwufTariqatDo’aAurod.
a. Misabahoel Falah Wiridan Sore dan Soeboeh;
b. Sirodjoel Afkar Wiridan Siang dan Malam;
c. Matolioel Anwar Bab Istigfar;
d. Bab Istighfar;
e. Miftahoel Gina Tentang Tasbeh,
f. Kitab Asmaoel Hoesna,
g. Al Kawakiboeddoerrijjah Do’a2 Nabi;
h. Daliloessairien Menerangkan Keoetamaan Solawat;
i. Asmaoel Hoesna Dengan ma’nanja serta Choesoe-sijatnja;
j. Fadoiloel Kasb iBab Kasab dan Ichtiar,
k. Al-Madjama’atoelMoefidah Menerangkan Tiga Kitab;
l. Attamsjijjatoel Islamijjah Manaqib Imam Ampat;
m. Fachroel Albab Manaqib Wali2;
n. Doe’a Nabi Ibrohiem;
o. Mandoematurridjal Tawasoel Kepada Aulija;
p. A’qoiduddoeror Mema’nakan Kitab Barzandji,
q. Manaqib Sjech Abdoel Qodie Djaelani,
r. Tardjamah Kitab Hikam,
s. Al Djawahiroel Bahijah Tentang Adab-Adaban Istri,
t. Pengadjaran Istri 2 Nomer;
u. Al-DjawahiroelBahijjah Peradaban Istri;
v. Tarbijatoel Islam Menerangkan Adab2 Islam.
7. Kitab Ilmu Mantiq