Pandangan Ulama Tentang Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî

36

D. Pengenalan Tafsir al-Sya’râwî

Tafsir ini dinamakan Tafsir al- Sya’râwî, diambil dari nama penulisnya. Menurut Muhammad ‘Alî Iyâzy judul yang terkenal dari karya ini adalah Tafsir Khawâtir al- Sya’râwî Haul al-Qur’ân al-Karim. Pada mulanya, tafsir ini hanya diberi nama Khawâtir al- Sya’râwî yang dimaksudkan sebagai sebuah perenungan Khawatir dari diri al- Sya’râwî terhadap ayat-ayat al-Qur’ân yang tentunya bisa saja salah dan benar. 18 Al- Sya’râwî dalam muqaddimah tafsirnya, menyatakan bahwa : “Hasil renungan saya terhadap al-Qur’ân bukan berarti tafsiran al-Qur’ân , melainkan hanya percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seorang mukmin saat membaca al- Qur’ân . Kalau memang al-Qur’ân dapat ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak menafsirkannya hanya Rasulullah SAW, karena kepada Rasulullah ia diturunkan. Dia banyak menjelaskan kepada manusia ajaran al- Qur’ân dari dimensi ibadah, karena hal itulah yang diperlukan umatnya saat ini. Adapun rahasia al- Qur’ân tentang alam semesta, tidak ia sampaikan, karena kondisi sosio-intelektual saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal itu disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya akan merusak puing-puing agama, bahkan akan memalingkan umat dari jalan Allah SWT.” 19 Kitab ini merupakan hasil kreasi yang dibuat oleh murid al- Sya’râwî yakni Muhammad al-Sinrâ wi, ‘Abd al-Wâris al-Dasuqî dari kumpulan pidato- pidato atau ceramah-ceramah yang dilakukan al- Sya’râwî . Sementara itu, hadis- hadis yang terdapat di dalam kitab Tafsir al- Sya’râwî di takhrij oleh Ahmad ‘Umar Hasyim. Kitab ini diterbitkan oleh Akhbâr al-Yawm Idarah al-Kutub wa al-Maktabah pada tahun 1991 tujuh tahun sebelum al- Sya’râwî meninggal dunia. Dengan demikian, Tafsir al- Sya’râwî ini merupakan kumpulan hasil-hasil 18 www.islamiyyat.com. Akses 08 Desember 2010. 19 Lihat al- Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, Jilid I,h.9. 37 pidato atau ceramah al- Sya’râwî yang kemudian diedit dalam bentuk tulisan buku oleh murid-muridnya. 20 Sebelum berbicara tentang suatu tema, al- Sya’râwî biasa menyendiri beberapa saat untuk berfikir dan merenung. Setelah itu dia keluar dengan ilmu yang Allah berikan kepadanya. Dengan menyendiri, seseorang dapat lebih konsentrasi sehingga menghasilkan hasil yang optimal, 21 seperti dalam QS. Saba’[34] : 40 : “Katakanlah, sesungguhnya aku memperingatkan kepada kalian tentang suatu hal, yaitu supaya kalian menghadap Allah dengan ikhlas berdua- dua atau sendiri- sendiri, kemudian kalian fikirkan hal itu…” Al- Sya’râwî sebelum merenungi suatu ayat, terlebih dahulu merujuk beberapa pendapat para mufassir, seperti Fakhr al-Râzî, Zamakhsyarî, Sayyid Quthb, al-Alûsî, dan lain-lain. Pada saat menerangkan kandungan suatu ayat, al- Sya’râwî tidak memegang tafsir yang berjilid, melainkan hanya mushaf al- Qur’ân . Dengan teliti, diuraikan kandungan al- Qur’ân ayat per ayat, bahkan kata per kata dan korelasi antara satu ayat dengan ayat sebelumnya. Sistematikanya dimulai dengan muqaddimah, menerangkan makna ta’awuz, dan tartib nuzul al-Qur’ân . Dalam memulai menafsirkan setiap surat, beliau mulai dengan menjelaskan makna surat, hikmahnya, hubungan surat yang ditafsirkan dengan surat sebelumnya kemudian menjelaskan maksud ayat dengan menghubungkan ayat lain sehingga disebut menafsirkan ayat al- Qur’ân dengan al- Qur’ân . 20 www.islamiyyat.com. Akses 08 Desember 2010. 21 Muhammad Rajab al-Bayumi, Muhammad Mutawallî Al- Sya’râwî Jawlatun fî Fikrihi al- Mausû’î al-Fasîh, Al-Qâhirah: Maktabah Al-Turâs Al-Islâmî,t.t,h.69. 38 Menurut Mahmud Basuni Faudah bahwa, sebagian ayat al- Qur’ân merupakan tafsiran dari sebagian yang lain. Yang dimaksud ialah sesuatu yang disebutkan secara ringkas di satu tempat diuraikan di tempat yang lain. Ketentuan yang mujmal dijelaskan dalam topik yang lain. Sesuatu yang bersifat umum dalam suatu ayat di-takhsis oleh ayat yang lain. Sesuatu yang berbentuk mutlak di suatu pihak disusul oleh keterangan lain yang muqayyad terbatas. 22 Dalam menafsirkan ayat atau kelompok ayat, al- Sya’râwî menganalisis dengan bahasa yang tajam dari lafadz yang dianggap penting dengan berpedoman pada kaidah-kaidah bahasa dari aspek nahwu, balaghah, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam menafsirkan ayat aqidah dan iman beliau mengikuti mufasir terdahulu, seperti Muhammad Abduh, Rasyîd Rîda, dan Sayyid Quthb. 23 Dalam hal ini al- Sya’râwî membahasnya secara mendalam dan mendetail dengan argumen yang rasional dan ilmiah agar keyakinan dan ketauhidan mukminin lebih mantap, dan mengajak selain mereka untuk masuk dalam agama Allah yaitu Islam. Menurut ‘Umar Hasyîm, metodelogi al-Sya’râwî dalam tafsirnya bertumpu kepada pembedahan kata dengan mengembalikan asal kata tersebut, dan mengembangkan ke dalam bentuk lain, kemudian mencari korelasi makna antara asal kata dengan kata jadiannya. 24 22 Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al- Qur’ân Perkenalan dengan Metodelogi Tafsir, terj. M.Muhtar Zoeni dan Abdul Qad’ir Hamid, Bandung:Pustaka, 1987, h.24-25. 23 Muhammad ‘Alî Iyâzy, Al-Mufassrûn Hayatuhum wa Manhajuhum, Teheran: Mu’assasah Al-Thabâ’ah wa Al-Nasyr,t.t, h.270. 24 Ahmad Umar Hâsyim, Al-Imâm Al- Sya’râwî Mufassirân wa Dâ’iyah, Al-Qahirah: Maktabah Al-Turâs Al-Islâmî,t.t., h.51. 39 Tafsir al- Sya’râwî tidak terbatas kepada pengungkapan makna suatu ayat, baik makna umum maupun makna rinci. Lebih dari itu, al- Sya’râwî berusaha mensosialisasikan teks al- Qur’ân ke dalam realitas bumi. Dalam mengupas satu ayat, al- Sya’râwî sering memulainya dengan menerangkan korelasi ayat tersebut dengan ayat sebelumnya, kemudian melanjutkan dengan tinjauan bahasa, akar kata, sharaf, dan nahwunya, terlebih lagi, jika kalimat tersebut mempunyai banyak i’rab. Terkadang, ia membeberkan aneka qira’at untuk menerangkan perbedaan maknanya, menyitir ayat lain dan hadis yang berhubungan dengan ayat yang ditafsirkan, juga menyitir syair dalam menerangkan makna satu kata, sisi sastra suatu ayat dijelaskan, ditulis asbâb nuzûl-nya apabila berdasarkan hadis sahih. 25 Adapun dilihat dari isi dan sistematikanya, tampak bahwa kitab ini terdiri dari 18 jilid yang dapat digambarkan dalam tabel berikut ini: NO. JILID ISI 1. I Pendahuluan, Qs. al-Fâtihah sampai Qs. al-Baqârah ayat 154. 2. II Qs. al-Baqârah ayat 155 sampai Qs. Ali ‘Imrân ayat 13. 3. III Qs. Ali ‘Imrân ayat 14 sampai 189. 4. IV Qs. Ali ‘Imrân ayat 190 sampai Qs. al-Nisâ’ ayat 100. 5. V Qs. al-Nisâ ’ ayat 101 sampai Qs. al-Mâidah: 54. 6. VI Qs. al-Mâidah: 55 sampai Qs. al- An’âm: 109. 7. VII Qs. al- An’âm: 110 sampai Qs. al-A’râf: 188. 8. VIII Qs. al- A’râf: 189 sampai Qs. al-Taubah: 44 9. IX Qs. al-Taubah: 45 sampai Qs. Yunus: 14. 10. X Qs. Yunus: 15 sampai Qs. Hûd: 27. 11. XI Qs. Hûd: 28 sampai Qs. Yûsuf: 96. 12. XII Qs. Yûsuf: 97 sampai Qs. al-Hijr: 47. 13. XIII Qs. al-Hijr: 48 sampai Qs. al-Isrâ ’: 4. 25 Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al- Sya’râwî, h.49.