Latar Belakang Awal Berdirinya Kerajinan Tenun Ikat ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) Bapak Sudarto
B. Latar Belakang Awal Berdirinya Kerajinan Tenun Ikat ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) Bapak Sudarto
Usaha kerajinan tenun ikat ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) atau biasa yang disebut dengan tenun ikat tradisional milik bapak Sudarto ini merupakan industri rumah tangga yang membuat kerajinan sarung goyor. Dimana kerajinan ini menjadi ciri khas dari Desa Pojok, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo. Tradisi
commit to user
tenun ikat ini sudah berkembang sejak tahun 1950 an yang diwarisi secara turun temurun hingga sekarang.
Sejarah adanya kerajinan tenun ikat ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) di Dukuh Kenteng ini ialah bermula dari kampung sebelah, dimana kerajinan tenun ikat ini sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka. Para buruh pengrajin tenun ikat yang berasal dari Dukuh Kenteng mereka bekerja di tempat usaha kerajinan tenun ikat di dukuh sebelah dan mereka selalu menyelesaikan pekerjaannya di rumah. Maka dari itu kerajinan tenun ikat ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) berkembang ke Dukuh Kenteng.
Awal mula berdirinya kerajinan tenun ikat milik bapak Sudarto atau yang biasa dipanggil dengan nama pak Darto ini ialah berawal dari usianya yang masih sangat muda yaitu 18 tahun yaitu sekitar tahun 1972. Maka usaha kerajinan tenun ikat ini sudah berjalan selama kurang lebih 40 tahun. Beliau lahir pada tahun 1953. Dimana pada mulanya pak Darto di usia tersebut pak Darto hidup sebagai seorang pedagang es cendol.
Kampung Arab merupakan salah satu daerah di kota Solo yang di jadikan sebagai tempat berjualan es cendol. Penghasilannya dari berjualan es cendol tersebut dikumpulkannya dan dibelikan 12 ekor kambing. Bapak Sudarto sempat berfikir untuk membuka usaha lain yaitu dibidang pertenunan. Keahliannya di bidang tenun ini di dadapatnya sewaktu beliau masih bekerja di tempat kerajinan tenun ikat milik orang lain. Dari pengalamannya tersebutlah bapak Sudarto memberanikan diri membuka usaha kerajinan tenun ikat ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Namun niat beliau itu sempat tertunda karena terkendalanya masalah biaya. Namun pada akhirnya bapak Sudarto nekat menjual 12 ekor kambing tersebut sebagai modal usahanya dalam mendirikan usaha tenun ikat ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dan bapak Sudarto pun memiliki satu buah mesin tenun tradisional. Pada waktu itu bapak Sudarto belum memiliki seorang istri. Seiring dengan berjalannya waktu bapak Sudarto memiliki tambahan mesin tenun sebanyak 24 buah mesin dan memiliki 67 orang karyawan.
commit to user
Bapak Sudarto yang berpendidikan terakhir SR (Sekolah Rakyat) ini pada akhirnya menikah dan memiliki tiga orang anak. Namun dalam perjalanan usahanya tidak selancar dengan apa yang beliau pikirkan. Sekitar tahun 1975 usaha kerajinan tenun ikat bapak Sudarto mengalami masa-masa kebangkrutan total. Kerajinan tenun ikatnya berupa sarung goyor yang diperjual belikan di pasar lokal yaitu pasar Klewer mengalami kendala yaitu, sarung goyor milik bapak sudarto tidak laku dipasaran khususnya pasar lokal karena kurang berminatnya masyarakat lokal sekitar pada sarung goyor. Bapak Sudarto sempat putus asa dan pada akhirnya menghentikan total usahanya selama kurang lebih 5 tahun yaitu, sekitar tahun 1981. Rumah yang sempat dijadikan sebagai tempat usahanya kerajinan tenun ikat tradisional tersebut pada akhirnya harus di segel bank. Karena pada masa itu pak Darto sempat meminjam uang kepada bank sebagai tambahan modal usahanya.
Bapak Sudarto pun sempat berganti-ganti profesi diantaranya yaitu, beliau pernah menjadi seorang kernet bus, lalu beliau juga merantau ke Jakarta untuk berjualan es potong beliau berjualan di sekitar jembatan besi (salah satu nama tempat di daerah Jakarta) selama kurang lebih 6 bulan. Dan beliau juga sempat berganti profesi lagi sebagai penjual bakso di Surabaya selama 5 bulan dan kembali pergi merantau ke Medan untuk berjualan sebagai pedagang es cendol kurang lebih 1 tahun
2 bulan. Yang pada akhirnya uang hasil berdagang tersebut beliau gunakan untuk membayar angsuran kepada bank. Maka dari itu putra pertama bapak Sudarto di beri nama Selamet Prihatin karena kehidupan bapak Sudarto saat menjalani usaha tenun ikatnya mengalami berbagai macam cobaan yang membuat kehidupan bapak menjadi sangat prihatin.
Pada akhirnya bapak Sudarto kembali memiliki keyakinan untuk mendirikan kembali usahanya di bidang kerajinan tenun ikat tersebut. Dan berkat dorongan sang istri dan tekad bapak Sudarto yang begitu yakin, beliau berusaha mendirikan kembali usaha kerajinan tenun ikatnya yang sempat bangkrut. Dengan modal perhiasan milik sang istri seberat 3,5 gr emas atau seharga Rp. 16.700 Bapak Sudarto membelanjakan uang tersebut untuk membelikan bahan baku pembuatan tenun ikat yaitu benang
commit to user
lungsi sebanyak seperempat pack dan setengah pack benang pakan, sisanya dibelikan pewarna naptol sebanyak 25 gr.
Selama kurun waktu 7 bulan kerja menjalani usahanya tersebut bapak Sudarto tidak tinggal diam beliau juga menjalani sebuah ritual. Ritual itu bapak Sudarto lakukan untuk berdoa kepada Allah SWT memohon agar usahanya diberikan kelancaran. Seperti yang diutarakan Bapak Sudarto pemilik kerajinan tenun ikat ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin):
“Aku mbak selama waktu tujuh bulan penuh, bapak ini menjalani sebuah ritual. Ritual ini hampir setiap hari bapak jalani dan hampir setiap malam juga tidak tidur. Yang pada akhirnya mata bapak ini sakit dan mengalami pembengkakan selama satu minggu. Karena sakit mata tersebut akhirnya
bapak menyelesaikan ritual ini.”
Maka hasil dari menjalani ritual dan berkat tekatnya yang kuat tersebut usaha beliau semakin hari mengalami kemajuan pesat. Dari mulai beliau hanya memiliki satu buah mesin tenun sekarang beliau sudah memiliki 32 buah mesin tenun dan yang tadinya hanya memiliki 63 karyawan sekarang bertambah menjadi 74 karyawan tetap. Bapak Sudarto juga tidak pernah ketinggalan mengikuti berbagai macam pameran industri. Maka Dari situlah bapak Sudarto dapat memasarkan dan memamerkan kembali hasil kerajinan tenun ikat ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) nya kepada masyarakat luas. Hingga pada akhirnya tenun ikat yang berupa sarung goyor tersebut sampai pada pasar internasional yaitu Pakistan, Libia, dan Hongkong.
Hingga pada suatu saat bapak Sudarto mengikuti sebuah pelatihan yang dibina oleh bapak Tiyoso yang sewaktu itu masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Pelatihan ini diberikan kepada para pengusaha industri kecil untuk membantu para pengrajin dalam memperdalam ilmunya di bidang kewirausahaan. Dari sanalah usaha kerajinan bapak Sudarto diberi nama PERUSAHAAN MAJU oleh bapak Tiyoso, karena pada waktu mengikuti pelatihan pak Darto belum mempunyai nama usaha kerajinannya. Usaha beliau dapat berkembang dan bertahan hingga sekarang.
commit to user
Gambar 4.3 Tempat Produksi Tenun Ikat Perusahaan Maju (Dokumentasi: Maylinda Ambarwati, 2012)
Berkat keuletannya sekarang bapak Sudarto sudah memiliki cabang di sekitar daerah sukoharjo yaitu diantaranya Tawangsari, Weru dan Klaten. Cabang-cabang ini beliau modali dan beliau bimbing sendiri. Dan cabang-cabang tersebut dijadikan sebagai tempat proses menenun kain sarung goyor karena untuk dirumah hanya dilakukan proses pencelupan warna. Kegiatan ini dilakaukan dikarenakan pesanan bapak Sudarto yang semakin hari semakin bertambah. Cabang-cabang tersebut diantaranya;
1. Desa Malangan terdapat lima usaha kerajinan tenun ikat ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yang masing-masing dipimpin oleh bapak Tarno, Samsuri, pak Bayan Sumanto, dan Bapak Widnyo.
2. Desa Gemethuk terdapat satu usaha kerajinan di pimpin oleh Pa Ji.
3. Desa Grogolan yaitu daerah Weru terdapat satu usaha kerajinan tenun yang dipimpin oleh ibu Murtini.
4. Desa Tegal Rejo terdapat dua usaha kerajinan tenun yang di pimpin oleh bapak Lurah Triyono dan ibu Sri (Klaten).
commit to user
5. Desa Gunung Gajah di pimpin oleh ibu Sari (Klaten).
6. Desa Gajal Rejo di pimpin oleh ibu Poniem (Klaten).
7. Desa Trucuk di pimpin oleh pak Sugimin (Klaten).
8. Desa Kalioso terdapat dua cabang kerajinan tenun yang di pimpin oleh Mas Bambang dan pak Budi (Klaten).
9. Desa Cawas di pimpin oleh ibu Parini (Klaten). Sedangkan untuk daerah Desa Tawangsari sendiri yaitu, dipimpin oleh ibu Marni, ibu Jadi, ibu Hasri, dan mbak Ririn yang tidak lain ialah keponakan dari pak Darto.