Metode Dongeng

2. Manfaat Dongeng Pada Perkembangan Anak

Mulyadi (2000) dalam seminar nasional pendidikan nilai bagi anak mengemukakan bahwa mendongeng adalah cara paling praktis untuk menanamkan nilai-nilai kepada anak. melalui dongeng nilai-nilai akan terserap dan membekas sampai mereka dewasa, nilai-nilai yang mereka serap akan membentuk perilaku anak dan mempengaruhi bagaimana mereka membedakan baik dan benar serta bagaimana mereka bersikap. Dongeng bukan hanya hiburan tetapi menyimpan energi untuk pendidikan dan pengajaran anak-anak.

Greene (dalam Rachmawati, 2002) mengungkapkan beberapa tujuan dongeng antara lain: Greene (dalam Rachmawati, 2002) mengungkapkan beberapa tujuan dongeng antara lain:

b. Memperkenalkan anak pada kemampuan bahasa secara oral

c. Mengembangkan kemampuan anak untuk mendengarkan

d. Memberikan kontribusi pada perkembangan sosial dan kognitif melalui berbagi pengalaman untuk ikut merasakan kebahagiaan dan kesedihan orang lain.

e. Memberikan kontribusi pada kesehatan mental anak.

f. Membantu dalam perkembangan sistem nilai anak. Mulyadi (1987) mengemukakan ada lima peranan cerita pada perkembangan anak yaitu :

a. Menjalin komunikasi yang akrab dengan anak, pembaca cerita menjadi pusat perhatian sehingga jika anak terpesona maka anak akan berani mengungkapkan pendapatnya karena merasa terlibat dengan isi cerita

b. Mengembangkan imajinasi, cerita membuat imajinasi anak melayang ke dunia fantasi, sedangkan imajinasi pada batasan tertentu berkaitan dengan kreativitas.

c. Membantu merangsang aspek perkembangan yang lain seperti aspek moral, bahasa dan kognitif.

d. Menjadi media bagi proses identifikasi anak.

e. Menjadi salah satu hiburan bagi anak.

Pada saat mendengarkan dongeng emosi anak dalam keadaan tergerak dan terpengaruh oleh tema dan masalah dongeng, ekspresi yang keluar dari wajah anak adalah keadaan hati yang tamak dalam gejala riang saat mendengar dongeng yang bahagia dan saat pendongeng mengisahkan hal-hal yang sebaliknya yang sedih dan menakutkan maka emosi anak bergerak kearah itu pula.

3. Dongeng sebagai Identifikasi Anak

Peran pendongeng sangat penting untuk menyampaikan pesan kepada pendengarnya (anak-anak) pesan dedaktis yang biasanya dominan unsur mendidik yang secara langsung atau tidak langsung terimplisit melalui dongeng melalui tokoh-tokoh tertentu anak-anak mengidentifikasikan dirinya dan mengaktualisasi emosi-emosinya. Dongeng yang berkesan bagi anak adalah dongeng yang banyak menyangkut dan berhubungan dengan pengalaman- pengalaman batin masa lalu.

Anak-anak membutuhkan dongeng karena memerlukan pengalaman batin untuk memperkaya aneka emosinya, minat, keinginan, kebutuhan, harapan, dan cerita yang sangat bermakna bagi anak diharapkan mereka dapat memperoleh pengalaman batin dan segala kemungkinan untuk melengkapi keadaan emosinya (Sugihastuti, 1992).

Suryono (1999), menegaskan bahwa cerita sangat erat kaitannya dengan pembentukan karakter, bukan hanya sebagai individu akan tetapi sebagai suatu bangsa. Banyak pakar kebudayaan yang menganggap bahwa nilai jati diri, karakter dan kepribadian suatu bangsa dapat dilihat dari cerita-cerita rakyat yang hidup di bangsa itu. Mc Clelland dalam penelitiannya mengenai kebutuhan Suryono (1999), menegaskan bahwa cerita sangat erat kaitannya dengan pembentukan karakter, bukan hanya sebagai individu akan tetapi sebagai suatu bangsa. Banyak pakar kebudayaan yang menganggap bahwa nilai jati diri, karakter dan kepribadian suatu bangsa dapat dilihat dari cerita-cerita rakyat yang hidup di bangsa itu. Mc Clelland dalam penelitiannya mengenai kebutuhan

19 pada dua negara yaitu Inggris dan Spanyol, Mc Clelland yakin kemajuan yang dicapainya saat ini adalah karena cerita-cerita kepahlawanan yang mereka internalisasikan (Suryono, 1999). Kirschenbaum (dalam Rachmawati, 2002) dalam bukunya 100 cara penanaman nilai dan moral di sekolah menegaskan efektifnya metode bercerita untuk menanamkan nilai-nilai pada anak. Dalam dunia pendidikan para guru menyadari bahwa mendongeng dapat meningkatkan kreativitas dan kemampuan mendengarkan anak. Itulah sebabnya tradisi lisan ini merupakan bagian yang sangat penting dari sebuah budaya nusantara.

Fungsi bercerita bagi anak-anak menurut Suryono (1999) adalah,

a. Sarana kontak batin antara pendidik dengan anak didik

b. Media untuk menyampaikan pesan-pesan moral atau nilai-nilai ajaran tertentu

c. Metode untuk memberikan bekal kepada anak didik agar mampu melakukan proses identifikasi diri maupun identifikasi perbuatan

d. Sarana pendidikan emosi anak didik

e. Sarana pendidiak imajinasi/fantasi/kreativitas

f. Sarana pendidikan bahasa anak didik

g. Sarana pendidikan daya pikiran anak didik

h. Sarana untuk memperkaya pengalaman batin dan khasanah pengetahuan anak didik

i. Salah satu metode terapi terhadap anak-anak yang memiliki masalah psikologis.

j. Sarana hiburan dan pencegah kejenuhan. Dari uraian tentang manfaat dongeng bagi perkembangan dan identifikasi anak maka peneliti meyakini bahwa sebuah cerita yang dipilih dan disesuaikan dengan pendengarnya akan mempunyai dampak yang baik pada proses identifikasi anak.

4. Dongeng Sebagai Sebuah Media Terapi

Penggunaan cerita-cerita metaforis yang sistematis, terstruktur, dan bernilai terapeutik telah dipelopori oleh Milton Erickson, dan secara luas karyanya telah didokumentasikan oleh pakar-pakar lain seperti Rosen (1982), Rossi, Ryan, & Sharp (1984) dalam Burns (2001). Metafora digunakan menggantikan istilah dongeng, cerita, maupun anekdot sebagai penekanan bahwa satu cerita bukan hanya cerita biasa akan tetapi memiliki nilai terapeutik. Metafora dirancang dengan sasaran terapeutik yang jelas, rasional dan etis (Burns, 2001).

Kopp (1995 dalam Burns 2001) tidak hanya mengandalkan metafora yang sudah ada akan tetapi pada pemanfaatan metafora yang dihasilkan oleh klien. Selama ini di dunia penggunaan cerita dilakukan oleh Psikoterapi Ericksonian (dalam Burns, 2001). Gardner (1994) menggunakan pendekatan melalui permainan dan cerita atau metafora dan atau dongeng sebagai bagian dari psikoterapi terhadap anak-anak dengan gangguan-gangguan perilaku (www.APA.com). Herman (Hermans, H. J. M., & Hermans-Jansen, E. (1995) menggunakan pendekatan psikoterapi melalui cerita-cerita motivasi, ia percaya bahwa individu adalah organisme yang selalu mencari makna. Cerita telah lama dikenal dalam peradaban manusia sebagai hiburan, nasihat, penanaman nilai dan sebagainya. Armstrong (2002) memanfatkan cerita dalam perusahaannya untuk Kopp (1995 dalam Burns 2001) tidak hanya mengandalkan metafora yang sudah ada akan tetapi pada pemanfaatan metafora yang dihasilkan oleh klien. Selama ini di dunia penggunaan cerita dilakukan oleh Psikoterapi Ericksonian (dalam Burns, 2001). Gardner (1994) menggunakan pendekatan melalui permainan dan cerita atau metafora dan atau dongeng sebagai bagian dari psikoterapi terhadap anak-anak dengan gangguan-gangguan perilaku (www.APA.com). Herman (Hermans, H. J. M., & Hermans-Jansen, E. (1995) menggunakan pendekatan psikoterapi melalui cerita-cerita motivasi, ia percaya bahwa individu adalah organisme yang selalu mencari makna. Cerita telah lama dikenal dalam peradaban manusia sebagai hiburan, nasihat, penanaman nilai dan sebagainya. Armstrong (2002) memanfatkan cerita dalam perusahaannya untuk

Metafora, dongeng maupun cerita bagaimanapun bukanlah ‖obat ajaib‖untuk mengobati stres, cerita-cerita ini adalah sebuah cara komunikasi yang lebih baik,

dan dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri pada anak, maupun orang dewasa.

kemampuan untuk menginterpretasikan peristiwa-peristiwa diluar pengalaman, melalui sudut pandang yang baru (www.seanet.com)