Kekerasan Psikis KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PADA NOVEL TEA FOR

36 kebetulan saja Tea for Two mengangkat sisi lain dari manusia yang menjalankan pernikahan dengan bumbu-bumbu yang kurang sedap.

4.1.2 Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal seperti: menghina, berkata kasar dan kotor yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam di hati istri. Kekerasan psikologis atau emosional dalam novel Tea for Two adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Prilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau, menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak. dapat kita lihat pada isi novel Tea for Two karya Clara Ng 2007: 168 di bawah ini : “Alan mulai mengkritik gaya hidup dan penampilan saya. “Kenapa sih kamu selalu harus memotong rambut pendek.” “Panjang dong. Baru panjang sedikit saja sudah ke salon.” “Kan dari dulu rambutku selalu pendek.” “Kamu tidak kelihatan dewasa dengan rambut pendek seperti itu. Kamu kayak balita sehat. Aku kayak opa-opa girang di sebelah kamu.” “Tapi aku pantas dendan rambut pendek.” “Kamu mau aku kelihatan seperti om buncit yang menggandeng anak muda, ya?” “Kamu nyindir?” “Kamu juga Nyindir?” “Ya Aku nyindir. Terus terang, aku malu berjalan di sebelahmu,” kata Alan, membuang muka kesal. “Cewek-cewek lain dapat memanjangkan rambutnya, kenapa kamu nggak dapat? Kamu seperti bayi yang baru lahir.” Universitas Sumatera Utara 37 Saya mengelak dari tatapan Alan yang menghujam. Terasa melecehkan, menembus ke jantung hati saya. Saya merasa diri saya buruk rupa. Saat itu juga saya merasa rambut saya adalah benda terburuk yan menempel di tubuh. Saya merasa diri saya cerdil. “Please deh. Jangan pakai sepatu itu lagi Haknya terlalu tinggi. Kamu seperti cewek penggoda. Pakai saja sepatu yang berhak rendah.” “Warnanya terlalu ngejreng. Kamu mau dianggap pereknya?” “Atasan Kamu norak.. Bikin kamu kelihatan seperti nenek-nenek.” “Dasar nggak punya selera berpakaian Beli baju dimana sih?” “Potongan Rambutmu Jelek Nggak dapat cari salon yang lebih eksklusif?” Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk tindak kekerasan yang juga dialami oleh Sassy dalam novel Tea for Two berupa kekerasan psikis. Kekerasan psikologis atau emosional adalah perilaku yang menghancurkan nonfisik, seperti menyerang kompetensi sosial dan diri, bentuk dari kekerasan ini adalah penolakan, mengisolasi, meneror, dan menghindari. Kekerasan psikis merupakan kekerasan yang dilakukan Alan tidak ditujukan untuk menyakiti tubuh tetapi lebih banyak pada psikis Sassy. Oleh karena itu terjadinya tindak kekerasan psikis tidak melalui kontak fisik antara pelaku tindak kekerasan dengan seseorang yang dikenai oleh tindak kekerasan. Berdasarkan isi novel Tea for Two sedikit mengalami kekerasan psikis yang menyebabkan Sassy tidak dapat berbuat apa-apa. Tindak kekerasan psikis yang dialami Sassy terjadi dalam berbagai bentuk dari hanya sekedar menghina sampai membodoh-bodohkan Sassy karena dianggap kurang mampu menangkap apa yang Alan inginkan. Bentuk tindak kekerasan psikis yang ditemukan dalam Novel Tea for Two adalah berupa dihina, dicaci-maki, dihardik, atau dibodoh-bodohi. Bentuk kekerasan psikis lain yang juga sangat berpengaruh pada Sassy dalam novel Tea for Two adalah memberi julukan atau nama panggilan yang Universitas Sumatera Utara 38 memalukan di luar nama aslinya. Perlakuan kekerasan psikis pada Sassy akan memberi konsekuensi pada masa tuanya, seperti ketidakmampuan untuk percaya diri, self-esteem yang rendah atau perasaan tidak berharga. Dalam agama tidak dibenarkan memanggil nama orang dengan panggilan yang jelek, karena nama yang diberikan merupakan doa dari orangtuanya terhadap anaknya.

4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya KDRT pada Novel Tea