Deteksi Derajat Keasaman (pH) Saliva pada Perokok dan Non Perokok

(1)

PADA PRIA PEROKOK DAN NON-PEROKOK

(Studi Pendahuluan)

Laporan Penelitian

Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Kedokteran (S.Ked)

DISUSUN OLEH

BIMO DWI PRAMESTA

1111103000059

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014 M/1435 H


(2)

(3)

(4)

(5)

KATA PENGANTAR

Assalamaualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini tepat pada waktunya. Saya menyadari tanpa bantuan dan dukungan berbagai pihak, mustahil bagi saya untuk menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan FKIK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang selalu membimbing dan memberikan kesempatan kepada saya untuk berkuliah di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Witri Ardini, M. Gizi, Sp. GK selaku Ketua Program Studi dan kepada seluruh dosen Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing dan memberikam ilmu kepada saya slama menjalani perkuliahan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D dan dr. Ibnu Harris Fadillah,

Sp.THT-KL selaku dosen pembimbing riset saya yang tidak bosan - bosannya dan

tidak kenal lelah untuk membimbing saya sehingga penelitian ini dapat saya selesaikan dengan tepat pada waktunya.

4. Kedua orang tua tersayang dan tercinta, Bambang Trimo Sumarwoto dan

Sofni Wardhani serta kakak kandung saya tersayang Agita Tunjung Sari yang selalu mendukung dan menyayangi saya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini.

5. Hanindyo Riezky Beksono, Muhammad Fahreza Kautsar, Dimas Bagus

Pamungkas, Andhika Pangestu, Muhammad Arif Rahman, Nurul Khafidz Subekti, dan Lintang Suryaning Bumi selaku teman satu kontrakan GPL


(6)

F45 yang selalu mendukung, membantu dan menyemangati saya dalam melakukan penelitian ini.

6. Andhika Pangestu, Dimas Bagus Pamungkas, Madinatul Munawwaroh,

dan Ahmad Muslim Hidayat selaku kelompok riset yang selalu memberikan semangat dalam menyelesaikan penelitian ini.

7. Nadisha Refira, Nissa Rizkiani Basri, Ratu Windi Prihadi, yang selalu menyemangati dan membantu saya dalam melakukan penelitian ini.

8. Seluruh mahasiswa PSPD 2011 serta teman – teman yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu

Saya menyadari laporan penelitian ini masih jauh dari sempurna. Maka, penulis menerima adanya kritik dan saran yang berguna untuk penelitian ini.

Demikian laporan penelitian ini saya tulis, semoga bermanfaat bagi masyarakat dan para pembaca pada umumnya.

Ciputat, 15 September 2014


(7)

ABSTRAK

Bimo Dwi Pramesta. Program Studi Pendidikan Dokter. Deteksi Derajat Keasaman (pH) Saliva pada Perokok dan Non Perokok.

Tujuan: Penelitian ini mendeteksi derajat keasaman (pH) pada saliva pria perokok dan melihat perbedaannya dengan saliva pria non perokok. Metode: Penelitian ini melibatkan 30 subjek yang dibagi rata menjadi dua kelompok pria perokok dan non perokok, sebagai kontrol. Seluruh subjek melewati tahap pemeriksaan fisik gigi dan mulut oleh dokter gigi dan pengumpulan saliva yang tidak distimulasi. Pengukuran derajat keasaman (pH) saliva dilakukan dengan

menggunakan pH meter LAQUAtwin Horiba. Hasil: Parameter klinis dari

kesehatan gigi dan mulut (OHIS, PI, CI, GI, dan DMFT) lebih tinggi pada kelompok perokok dibanding non perokok. Derajat keasaman (pH) secara signifikan (p<0.05) lebih rendah pada saliva perokok dibanding non perokok. Kesimpulan: Merokok dapat mempengaruhi kesehatan mulut dan menurunkan pH saliva.

Kata kunci: merokok, saliva, derajat keasaman, kesehatan mulut ABSTRACT

Bimo Dwi Pramesta. Medical Education Study Program. Detection of Salivary pH in Male Smokers and Non Smokers

Objectives: This study was to detect and compare salivary pH in male smokers and non-smokers. Methods: This study comprised of 30 participants divided equally between male smokers and non-smokers, as a control group. All participants completed the physical examination of mouth and teeth by the dentist and unstimulated whole saliva were collected. Measurement of salivary pH were done using the pH meter LAQUAtwin Horiba. Results: The clinical parameters of oral health (OHIS, PI, CI, GI, DMFT) were higher in smokers than non-smoker. Salivary pH was significantly lower in smokers than non-smokers (p<0.05). Conclusions: Smoking can affect the oral health and decrease salivary pH.


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Hipotesis ... 2

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.4.1. Tujuan Umum ... 3

1.4.2. Tujuan Khusus ... 3

1.5. Manfaat Penelitian ... 3

1.5.1. Bagi peneliti ... 3

1.5.2. Bagi masyarakat ... 3

1.5.3. Bagi civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta... 3


(9)

2.1.1. Saliva ... 4

2.1.2. Kelenjar Saliva ... 5

2.1.4. Pengaturan pH Saliva ... 8

2.1.5. Tembakau ... 9

2.1.6. Rokok ... 10

2.1.7. Jenis Rokok ... 11

2.1.8. Kandungan Kimia Pada Rokok ... 12

2.1.9. Prevalensi Perokok di Indonesia ... 14

2.1.10. Efek Merokok Tembakau terhadap Saliva ... 16

2.1.11. Efek Merokok Tembakau Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut .... 17

2.2. Kerangka Teori ... 21

2.3. Kerangka Konsep ... 22

2.4. Definisi Operasional ... 23

BAB 3 METODE PENELITIAN... 25

3.1. Desain Penelitian ... 25

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25

3.2.1 Tempat... 25

3.2.2 Waktu ... 25

3.3. Kriteria dan Subjek Penelitian ... 25

3.4. Besar Sampel Penelitian ... 26

3.5. Alat dan Bahan ... 27

3.5.1. Alat Penelitian... 27

3.5.2. Bahan Penelitian ... 27

3.6. Cara Kerja Penelitian ... 28

3.7. Alur Penelitian ... 28


(10)

3.9. Manajemen dan Analisis Data ... 29

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 30

4.1. Hasil ... 30

4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 30

4.1.2. Status Kesehatan Gigi dan Mulut Subyek Penelitian ... 31

4.1.3. Derajat Keasaman (pH) Saliva ... 32

4.2. Pembahasan ... 33

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kelenjar saliva beserta tempat dan duktusnya...5

Tabel 2.2 Kelenjar saliva beserta jenis hitologik, sekresi, dan presentase total saliva...7

Tabel 2.3 Kandungan gula total dan nikotin berdasarkan jenis tembakau...10

Tabel 2.4 Jenis rokok berdasarkan pembungkus...11

Tabel 2.5 Kandungan tembakau siap rokok...14

Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian...29


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Anatomi kelenjar saliva ... 6

Gambar 4.1 Kadar pH saliva perokok dan non perokok ... 32

Gambar 6.1 Alat dan Bahan Penelitian ... 44

Gambar 6.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 44

Gambar 6.3 Pengisian inform consent dan kuesioner ... 44

Gambar 6.4 Pemeriksaan Fisik Gigi dan Mulut ... 44

Gambar 6.5 Pengumpulan saliva tidak terstimulasi ... 44


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Gambar Proses Penelitian...43 Lampiran 2 Kuesioner dan Inform Consent...44 Lampiran 3 Riwayat Penulis...51


(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Rokok merupakan salah satu ancaman besar bagi kesehatan masyarakat dunia. Berdasarkan data WHO 2013, dalam satu tahun terdapat 6 juta orang yang meninggal akibat rokok, dimana 5 juta lebih atau sekitar 83% diantaranya merupakan perokok aktif. Dan sekitar 80% dari perokok di dunia berasal dari negara ekonomi rendah dan menengah termasuk Indonesia. (1)

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, prevalensi merokok di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Sekitar 65,6% laki-laki di Indonesia merokok. Sedangkan berdasarkan data Global Adult Tobacco Survey tahun 2011, 34.8% penduduk berumur >15 tahun merupakan perokok aktif dengan 67% laki-laki dan 2.7% wanita. (2) (3) (4)

Selain tembakau, rokok memiliki komponen bahan kimia lain yang berbahaya bagi tubuh manusia. Dari 2.500 senyawa kimia tersebut sebanyak 1.400 komponen mengalami dekomposisi dan 1.100 komponen sisanya langsung diturunkan menjadi asap tanpa adanya proses dekomposisi. Sedangkan pada asap rokok terdapat 4.800 komponen bahan kimia, dan beberapa diantaranya bersifat karsinogen. Diantara bahan tersebut yaitu benzene, formaldehid, pestisida, tar, vinyl chloride, TSNAs. (5) (6) (7)

Rongga mulut merupakan organ pertama yang terpapar oleh rokok. Salah satu sistem pertahanan dalam rongga mulut yaitu saliva. Saliva disekresikan oleh tiga pasang kelenjar liur utama, yaitu kelenjar parotis, submandibula, dan sublingual, serta kelenjar saliva kecil lainnya. Saliva mengandung 99,5% H2O, dan 0,5% elektrolit dan protein. Saliva juga mengandung beberapa enzim dan glikoprotein. Enzim yang terkandung di saliva diantaranya lipase dan α


(15)

-Secara umum saliva memiliki fungsi dalam membantu proses penceranaan, antibakteri, remineralisasi gigi, dan keseimbangan pH mulut. Terkait dengan pH mulut, saliva memiliki peran penting dalam menetralisasi pH mulut, karena kemampuannya dalam mengatur kapasitas dapar, oleh sebab itu pH mulut selalu dijaga dalam kadar normal agar keadaan mulut tetap stabil. (8) (9) (10) (11)

Reibel, dkk tahun 2001 melaporkan bahwa pH saliva akan meningkat saat merokok namun setelah jangka waktu panjang pH saliva ada perokok mengalami penurunan jika dibandingkan dengan non perokok. Sedangkan pada tahun 2013, Kanwar, dkk, melakukan penelitian di India mengenai derajat keasaman (pH) pada kelompok perokok dan non perokok dengan 20 sampel pada masing-masing kelompok. Dan didapatkan hasil bahwa pH saliva pada kelompok perokok lebih rendah dibandingkan dengan pH saliva kelompok non perokok. (9) (12)

Banyaknya komunitas perokok, terutama pria, yang ada di Indonesia, maka sangat perlu dilakukan penelitian mengenai efek merokok terhadap perubahan keasaman dari saliva rongga mulut. Menurunnya derajat keasaman dari rongga mulut dapat berakibat menurunnya kemampuan saliva untuk memproteksi mulut dari demineralisasi gigi dan netralisasi asam pada mulut. Penurunan pH saliva juga meningkatkan risiko terjadinya penyakit pada rongga mulut. (12)

1.2.Rumusan Masalah

 Bagaimana derajat keasaman (pH) saliva pria perokok dan non perokok?  Apakah terdapat perbedaan antara pH saliva perokok dan non perokok?

1.3.Hipotesis

 pH pada saliva pria perokok lebih rendah jika dibandingkan dengan pH pada pria non-perokok.


(16)

1.4.Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

- Untuk mengetahui derajat keasaman (pH) pada saliva perokok.

1.4.2. Tujuan Khusus

- Membandingkan pH pada saliva perokok dan non-perokok.

- Mengetahui peningkatanatau penurunan pH pada saliva perokok dan non-perokok.

1.5.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat untuk : 1.5.1. Bagi peneliti

- Merupakan syarat kelulusan preklinik Program Studi Pendidikan Dokter.

- Menambah pengetahuan mengenai efek rokok terhadap

peningkatan atau penurunan pH saliva. 1.5.2. Bagi masyarakat

- Menambah pengetahuan mengenai efek merokok terhadap

peningkatan atau penurunan pH saliva.

1.5.3. Bagi civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

- Sumber pengetahuan dan sebagai referensi bagi peneliti

selanjutnya yang akan melakukan penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Saliva

Liur atau saliva, merupakan suatu sekresi yang berkaitan dengan mulut, terutama dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar liur utama yang terletak di luar rongga mulut dan mengeluarkan saliva melalui duktus pendek ke dalam mulut. Saliva mengandung 99,5% H2O, dan 0,5% elektrolit dan protein. Konsentrsi NaCl (garam) pada saliva hanya sepertujuh dari konsentrasi di plasma, yang penting dalam mempersepsikan rasa asin. Di sisi lain, diskriminasi rasa manis ditingkatkan oleh tidak adanya glukosa di liur. Di dalam saliva itu sendiri terdapat beberapa protein yang berperan penting yaitu amilase, mukus, dan lizosim. (10) (11) (13)

Sekresi saliva normalnya antara 800 sampai 1500 mililiter dengan rata-rata sekitar 1000 mililiter. Untuk pH, saliva memiliki pH antara 6,0 sampai 7,0, yang merupakan pH yang baik untuk mengaktifkan ptyalin (α-amilase). Pada saliva sendiri, pH yang di keluarkan dapat dipengaruhi saat aktivitas kelenjar itu sendiri. Pada keadaan saat kelenjar sedang istirahat, pH saliva sedikit lebih rendah dari 7,0, sedangkan saat kelenjar sedang aktif melakukan sekresi, pH pada saliva dapat mencapai 8,0. (13)

Saliva sendiri juga mengandung beberapa enzim dan glikoprotein. Enzim yang terkandung di dalam saliva diantaranya terdapat lipase lingual yang di keluarkan oleh kelenjar di lidah, dan α-amilase saliva yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar saliva. Selain itu saliva juga mengandung suatu glikoprotein yang bernama musin, yang berguna untuk melumasi makanan, mengikat bakteri, dan melindungi mukosa mulut. (13)


(18)

Secara umum saliva memiliki beberapa fungsi, yaitu:

1. Membantu proses pencernaan

2. Membantu dalam proses menelan

3. Memiliki sifat antibakteri

4. Bahan pelarut yang merangsang kuncup kecap

5. Berperan dalam remineralisasi gigi dan membentuk barier untuk mencegah demineralisasi gigi

6. Menjaga keseimbangan pH

7. Membantu proses fonasi

8. Berperan dalam higiene mulut dengan membantu menjaga mulut dan gigi bersih

2.1.2. Kelenjar Saliva

Secara umum kelenjar saliva merupakan suatu kelenjar yang bertugas untuk menyekresikan saliva ke dalam rongga mulut. Pada membran mukosa di mulut dan lidah memiliki banyak kelenjar-kelenjar saliva kecil. Kelenjar-kelenjar tersebut secara langsung berhubungan dengan rongga mulut ataupun secara tidak langsung dengan melalui suatu duktus pendek ke rongga mulut. Namun kelenjar-kelenjar ini hanya berperan kecil dalam menghasilkan saliva ke rongga mulut. (8)

Tabel 2.1. Kelenjar saliva beserta tempat dan duktusnya

Kelenjar Lokasi/Tempat Duktus

Parotis Inferior dan anterior dari

telinga, serta diantara kulit dan otot masseter

Duktus Parotis

Submandibula Dasar mulut, dan di

bagian tengah dan sedikit inferior dari mandibula

Duktus Submandibula

Sublingual Di lidah dan superior dari

kelenjar submandibular

Duktus Lesser Sublingual


(19)

Sebagian besar saliva di sekresikan oleh kelenjar saliva mayor yang terdiri dari 3 kelenjar yaitu: (14) (15)

1. Kelenjar Parotis

Merupakan kelenjar saliva terbesar yang terletak diantara mastoid dan m.sternocleidomastoid. kelenjar parotis terdiri dair dua bagian, yaitu pars superfacial dan pars profunda. Terdapat beberapa hal yang melewati kelenjar parotis, yaitu saraf facialis, vena retromandibular, arteri karotis eksterna. Keluarnya saliva dari kelenjar ini melalui duktus parotis (Stensen) yang berasal dari bagian anterior kelenjar parotis.

2. Kelenjar Submandibula

Merupakan kelenjar saliva yang terletak di hampir seluruhnya di bawah mylohyoid. Duktus yang mengalirkan saliva keluar dari kelenjar ini yaitu kelenjar submandibula (Wharton).

3. Kelenjar Sublingual

Merupakan kelenjar saliva dengan tipe saliva yang disekresikannya yaitu mukus. Kelenjar sublingual berada di bawah dari dasar mulut dan berada di depan dari pars profunda kelenjar submandibular. Kelenjar ini memiliki beberapa duktus drainase, yaitu duktus sublingual mayor sebagai yang utama dan duktus sublingual minor yang terdiri dari sekitar 40 duktus kecil.

Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Saliva Sumber: Tortora, 2011


(20)

Tabel 2.2. Kelenjar saliva beserta jenis histologik, sekresi, dan persentase total saliva

Kelenjar Jenis Histologik Sekresi Persentase total

saliva (1,5L/hr)

Parotis Serosa Cair 20

Submandibula Campuran Agak kental 70

Sublingual Mukosa Kental 5

Sumber: Ganong, 2008 2.1.3.Sekresi Saliva

Kontrol sekresi dari saliva diatur oleh rangsangan saraf. Saraf kranial facial dan saraf kranial glossofaringeal menyuplai serat parasimpatik dari dua nukleus salivasi, superior dan inferior, yang ada di batang otak. Sedangkan persarafan simpatis berasal dari derivat rantai simpatis servikal. (16)

Adanya dua perangsangan saraf, simpatis dan parasimpatis, menghasilkan karakteristik saliva yang berbeda pula. Dari perangsangan simpatis menghasilkan saliva yang lebih sedikit dan kental, yang menyebabkan mulut menjadi kering. Ketika tubuh kita mengalami dehidrasi, kelenjar saliva akan menghentikan sekresi saliva ke rongga mulut, dan menimbulkan kekeringan pada mulut dan merangsang rasa haus. Jadi ketika kita minum saat keadaan dehidrasi, maka itu tidak hanya mengembalikan homeostasis tubuh tapi juga melembabkan mulut kita yang kering.

Sedangkan pada saat ada rangsangan parasimpatis seperti pada saat ada makanan, maka saliva akan menjadi lebih banyak dan cair. Ketika ada bahan kimia makanan merangsang taste bud kita yang ada di lidah, maka hal itu akan di lanjutkan berupa impuls ke nukleus salivasi yang ada di batang otak. tidak hanya bahan kimia makanan saja yang dapat merangsang parasimpatis dari proses salivasi, tapi juga bau, suara, visual, dan juga ketika kita memikirkan suatu makanan dapat menjadi stimulus dari sekresi saliva. (8) (10) (11)


(21)

2.1.4. Pengaturan pH Saliva

Saliva memiliki kemampuan dalam pengaturan derajat keasaman, yang berperan penting dalam menjaga nilai pH di lingkungan mulut seseorang. Pengaturan keasaman saliva meliputi beberapa hal yaitu sistem protein, bikarbonat, dan fosfat. Konsentrasi bikarbonat di dalam saliva dan pH saliva sangat dipengaruhi oleh kadar laju salivasi. Konsentrasi bikarbonat didalam saliva dan pH saliva akan meningkat jika kadar laju salivasi meningkat dan begitu juga sebaliknya. Hal tersebut terbukti pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Kanwar dkk tahun 2013 yang menunjukkan bahwa ketika kadar laju saliva menurun maka pH saliva akan menjadi lebih asam.

Kadar bikarbonat itu sendiri paling tinggi di saliva yang dihasilkan oleh kelenjar parotid dan paling rendah pada saliva yang dihasilkan oleh kelenjar saliva kecil. Dalam keadaan tidak terstimulasi, bikarbonat dan fosfat berperan dalam pengaturan keasaaman saliva. Sedangkan dalam keadaan terstimulasi, bikarbonat memiliki peran hampir 90% dalam pengaturan derajat keasamaan saliva. Sedangkan dalam keadaan pH saliva yang sangat rendah atau dibawah 5, peran utama dalam pengaturan keasamaan saliva yaitu protein dan derivatnya. (17) (18)

Bikarbonat, fosfat, dan histidine-rich peptide, memiliki peran ganda, selain sebagai regulator pH juga sebagai agen antibakterial. Komponen saliva ini dapat berdifusi ke dalam plak bakteri dan dapat secara langsung menetralisasi asam yang diproduksi oleh bakteri tersebut. Selain itu, urea dari saliva digunakan oleh urease bakteri untuk membentuk ammonia, yang juga dapat menetralisasi asam. (19)

Jadi dalam menjaga pH saliva tetap normal dan mengatur proses remineralisasi gigi, kapasitas dapar memiliki peran yang sangat penting dalam hal tersebut. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pengaturan derajat keasaman di saliva, diantaranya yaitu jenis kelamin, status merokok, dan konsumsi alkohol. Dimana wanita memiliki pengaturan derajat keasaman yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. Sedangkan pH saliva berdasarkan status merokok dan konsumsi alkohol masih diperdebatkan, hal


(22)

tersebut dikarenakan banyaknya variasi di kelompok tersebut. Makanan dan minuman juga dapat membuat pH pada rongga mulut menjadi asam seperti makanan tinggi karbohidrat, kacang-kacangan, kopi, teh, dan minuman bersoda. Selain itu psikis juga dapat mempengaruhi saliva, ketika dalam keadaan stres maka simpatis akan lebih bekerja sehingga produksi saliva menurun dan kadar bikarbonat juga menurun, hal tersebut menyebabkan pH saliva menjadi lebih asam. (17)(20)

2.1.5. Tembakau

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tembakau merupakan tumbuhan berdaun lebar yang diracik halus dan dikeringkan untuk bahan rokok. Tembakau memiliki nama latin Nikotiana tabacum. (5)

Tembakau berbeda dengan tanaman pada umumnya, tanaman ini tidak untuk dimakan, tetapi digunakan sebagai bahan pokok untuk rokok. Namun tidak semua tembakau dapat digunakan sebagai bahan pokok untuk rokok, tembakau yang digunakan untuk bahan rokok harus memiliki mutu yang tinggi, antara lain aromanya harum, menyegarkan, rasa isapnya enteng, dan tidak pahit.

Kurang lebih sudah sekitar 50 tahun telah dilakukan identifikasi terhadap kandungan kimia pada tembakau. Pada data terakhir dari hasil identifikasi tersebut, setidaknya terdapat 2.500 komponen bahan kimia pada tembakau yang sudah dilakukan proses fermentasi selama 1-3 tahun yang siap untuk bahan rokok.

Dari 2.500 komponen kimia tersebut yang sudah diidentifikasi, sebanyak 1.400 komponen mengalami dekomposisi atau terpecah karena bereaksi dengan komponen lain. Serta 1.100 komponen langsung diturunkan menjadi asap tanpa adanya proses dekomposisi akibat dari pembakaran.

Tembakau memiliki banyak jenisnya. Setiap jenis dari tembakau memiliki komponen kimia yang berbeda-beda pula, sehingga memiliki karakterisktik yang berbeda juga. Pada satu batang rokok pun dapat terdiri


(23)

berbeda dan khas. Berikut merupakan kandungan gula dan nikotin pada setiap jenis tembakau. (5)

Tabel 2.3. Kandungan gula total dan nikotin berdasarkan jenis tembakau

Sumber: Samsuri, 2009

Pada suatu tembakau mengandung beberapa jenis bahan yang akan mempengaruhi kualitas dari tembakau itu sendiri. Salah satu kandungan pada tembakau yaitu persenyawaan nitrogen, seperti nikotin dan protein. Nikotin (β-pyridil-α-N-methyl pyrrolidine) adalah suatu senyawa organik spesifik yang ada di dalam tembakau. Nikotin itu sendiri jika dapat menyebabkan efek ketagihan dan juga sebagai rangsangan yang sifatnya psikologis pada penggunanya. (6) (7)

Selain itu juga terdapat senyawa karbohidrat pada tembakau. Senyawa karbohidrat yang di maksud yaitu seperti pati, pektin, selulosa, dan gula. Namun selama proses pembuatan dari tembakau menjadi rokok, senyawa karbohidrat seperti pati pektin, dan selulosa akan mengalami perombakan menjadi gula. (5)

2.1.6. Rokok

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus oleh daun nipah atau kertas. Sedangkan berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri, rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dan/atau dihisap termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana rustica,

Jenis tembakau Gula total (%) Nikotin (%)

Virginia FC 12-25 1,5-3,5

Virginia rajangan 5-20 1,0-2,5

Temanggung 0,5-7 3,0-8,0

Madura 10-15 1,0-3,5

Weleri 1-11 1,0-3,0

Cerutu - 0,9-2,68


(24)

dan spesies lainnya atau sintesis yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan. (5)

Rokok merupakan bentuk dari hasil olahan tembakau. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (riskesdas) tahun 2007, prevalensi merokok di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Sekitar 65,6% laki-laki di Indonesia merokok. Sedangkan berdasarkan data Global Adult Tobacco Survey tahun 2011, 34,8% penduduk berumur >15 tahun merupakan perokok aktif dengan 67% laki-laki dan 2,7% wanita. (2) (3) (4) (5)

2.1.7. Jenis Rokok

Saat ini banyak jenis rokok dengan berbagai merk yang ada di pasaran atau di Indonesia. Jenis rokok pun dibagi berdasarkan klasifikasinya. Jenis rokok berdasarkan pembungkusnya terbagi menjadi 4 macam, yaitu seperti pada tabel 2.4 dibawah ini.

Tabel 2.4. Jenis rokok berdasarkan pembungkus

Jenis Rokok Bahan Pembungkus

Rokok Klobot Daun Jagung

Rokok Kawung Daun Aren

Rokok Sigaret Kertas

Rokok Cerutu Daun Tembakau

Sumber: Samsuri, 2009

Selain itu juga terdapat jenis rokok yang dibagi berdasarkan bahan baku dan isi rokok. Untuk klasifikasi ini jenis rokok dibagi menjadi 4 macam, yaitu:

a. Rokok putih

Rokok yang bahan baku atau isinya hanya mengandung tembakau saja tanpa campuran bahan lain. Untuk jenis tembakaunya bisa bermacam-macam.


(25)

b. Rokok kretek

Rokok jenis ini mengandung bahan baku atau isi berupa campuran tembakau dan cengkeh. Rokok jenis memiliki ciri khas yaitu akan timbul bunyi kretek-kretek ketika dihisap.

c. Rokok klembak

Pada rokok ini mengandung bahan baku atau isi berupa campuran tembakau, cengkeh dan juga kemenyan yang akan memberi aroma khas.

d. Cerutu

Cerutu merupakan jenis rokok yang pada bagian luarnya adalah daun tembakau dengan bentuk lembaran dan bagian dalam atau isinya berupa campuran tembakau tanpa adanya tambahan bahan lain. (21) (22)

Sedangkan berdasarkan cara pembuatannya rokok dibagi menjadi 2 macam, yaitu:

a. Sigaret kretek tangan (SKT)

Merupakan jenis rokok yang cara pembuatannya menggunakan tangan atau alat yang sederhana. Dalam proses pembuatannya dilakukan dengan cara digiling atau dilinting.

b. Sigaret kretek mesin (SKM)

Jenis rokok ini adalah rokok yang dibuat dengan menggunakan mesin. Jadi material rokok dimasukkan kedalam mesin, dan akan keluar sebagai batang rokok. (22)

2.1.8. Kandungan Kimia Pada Rokok

Secara garis besar suatu rokok mengandung bahan kimia campuran antara produk spesifik dan produk yang non-spesifik. Pada bahan yang tergolong non-spesifik mengandung seperti asetaldehid dan formaldehid. Sedangkan pada golongan produk yang spesifik mengandung bahan seperti tobacco-specific nitrosamines. (6) (7)


(26)

Diantara banyak bahan kimia pada suatu rokok diantaranya yaitu bahan karsinogen. Secara umum berdasarkan the International Agnecy for Research on Cancer (IARC) terdapat 36 daftar bahan karsinogen, dan pada rokok terdapat 10 jenis bahan karsinogen dari 36 bahan karsinogen secara umum. Selain 10 jenis bahan tersebut yang ada pada rokok, ada juga bahan pada rokok yang termasuk klasifikasi “probably carcinogenic” atau “possibly

carcinogenic”. (6) (7)

Pada rokok terkandung beberapa macam bahan kimia. Dan secara garis besar terdapat 2 kelompok besar yang terkandung dalam rokok yaitu nikotin sebesar 24% dan hirokarbon sebesar 15%. Selain 2 hal tersebut, didalam rokok juga terkandung seperti karbon monoksida sekitar 5-23mg/batang rokok, asam nitrat yaitu 0,1-1,6mg/batang rokok, asetaldehid sebesar 0,2-1,3mg/batang rokok, asam format sebesar 0,1-1,1 mg/batang rokok, metil klorida yaitu 0,1-0,8mg/batang rokok, asam sianida sekitar 0,03-0,7mg/batang rokok, dan sekitar 50 macam senyawa lainnya yang tergolong karsinogen. (23)

Nikotin yang terkandung dalam suatu rokok mungkin dapat berbeda-beda, tergantung dari jenis tembakau sebagai bahan utama pembuat rokok. Namun sekitar 20,9mg nikotin terkandung dalam suatu rokok, dan sekitar 2mg nikotin yang akan masuk kedalam tubuh. (21)

Selain itu juga terdapat beberapa bahan kimia yang tergandung dalam rokok. Pada rokok yang siap pakai mengandung beberapa bahan, yaitu:

Tabel 2.5 Kandungan tembakau siap rokok

Golongan Kandungan (%)

Selulose 7-16

Gula 0-22


(27)

Nikotin 0,6-5,5

Pati 2-7

Abu (Ca, K) 9-25

Bahan organik 7-25

Lilin 2,5-8

Pektinat, polifenol,

flavon, karotenoid,

minyak atsiri, parafin, sterin, dll

7-12

Sumber: Samsuri, 2009

Pada asap rokok terdapat banyak komponen kimia, dan dari yang telah diidentifikasi terdapat 4.800 komponen kimia pada asap rokok. Bahan kimia pada asap rokok diantaranya bersifat karsinogen, antara lain:

1. Benzene

2. Formaldehid

3. Pestisida

4. Tar

5. Vinyl Chloride

6. TSNAs

2.1.9. Prevalensi Perokok di Indonesia

Berdasarkan beberapa hasil survey di Indonesia terhadap prevalensi perokok di Indonesia, memperlihatkan bahwa merokok merupakan salah satu masalaah terbesar di Indonesia. Setidaknya dapat kita lihat pada hasil survey yang sudah dilakuakn. Dan di Indonesia sendiri setidaknya ada tiga jenis survey yang melakukan survey terhadap prevalensi perokok di Indonesia, yaitu:

 Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar)

Riskesdas merupakan suatu survey nasional kesehatan yang berbasis populasi yang dilakukan secara rutin setiap tiga tahun sekali di Indonesia. Riskesdas terakhir yang dilakukan yaitu pada tahun 2010. (2)


(28)

 GYTS (Global Youth Tobacco Survey)

Merupakan suatu survey berbasis sekolah untuk masalah merokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun dan masyarakat sekolah yang telah dilakukan di beberapa negara termasuk Indonesia. Untuk jenis survey yang satu ini, data terakhir yaitu pada tahun 2009. (24)

 GATS (Global Adult Tobacco Survey)

Merupakan suatu survey yang mencakup pada orang dewasa, yaitu usia 15 tahun keatas. GATS ini merupakan jenis survey yang paling terbaru datanya yaitu tahun 2011. (4)

Hasil data survey menunjukkan bahwa prevalensi merokok di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, baik pada laki-laki maupun perempuan. Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 memperlihatkan bahwa 65,6% laki-laki merokok dengan daerah tertinggi yaitu Sulawesi Tenggara dengan 74,2%. Sedangkan pada perempuan merokok memperlihatkan hasil 5,2% dengan daerah tertinggi berada di Nusa Tenggara Timur. Dari hasil tersebut pula memperlihatkan bahwa prevalensi merokok pada perempuan di Indonesia mengalami peningkatan sekitar empat kali lipat dari tahun 2001. (2)

Pada hasil Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada tahun 2009 yang merupakan survey yang dilakukan untuk melihat prevalensi merokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun menunjukkan bahwa 30,4% anak sekolah pernah merokok dan 20,3% anak sekolah merupakan perokok aktif. (24)

Sedangkan berdasarkan hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada tahun 2011 memperlihatkan bahwa 34,8% penduduk berumur >15 tahun merupakan perokok aktif dengan 67% laki-laki merokok dan 2,7% perempuan merokok. (4)


(29)

2.1.10.Efek Merokok Tembakau terhadap Saliva

Saat ini sudah banyak penelitian dilakukan mengenai efek rokok, dan rokok dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan. Bisa dikatakan

bahwa, rokok dapat mempengaruhi segala sistem tubuh. Dan Mulut

merupakan organ pertama yang terpapar oleh rokok, dan banyak penyakit yang timbul akibat paparan rokok. Gangguan kesehatan yang ditimbulkan pun bervariasi, seperti kebersihan mulut dan gigi yang buruk, terdapat lesi dan juga terdapat peradangan. Bahan toksik yang terdapat pada rokok dapat menyebabkan iritasi pada jaringan lunak di rongga mulut, infeksi mukosa, memperlambat penyembuhan luka, memperlemah kemampuan fagositois, dan bahkan mengurangi asupan aliran darah ke ginggiva. Dan saliva merupakan cairan biologis pertama dari tubuh kita yang terpapar oleh tembakau dari rokok yang mengandung bahan-bahan bersifat toksik yang dapat mengubah saliva baik secara struktural maupun fungsional. (12) (25) (26)

Tembakau yang merupakan bahan pembuat rokok mengandung senyawa karbohidrat yang menjadi salah satu dapat kita temukan didalam tembakau. Beberapa jenis karbohidrat yang dapat ditemukan yaitu pati, pektin, selulosa, dan gula. Menurut Kidd dan Bechal (1992) beberapa jenis karbohidrat seperti gula, pada tembakau dapat diragikan oleh bakteri tertentu yang terdapat pada rongga mulut seseorang sehingga akan membentuk asam dan menurunkan pH saliva bahkan sampai 5. (27)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Tri Ayu Hidayani dan Juni Handajani mengenai efek merokok terhadap status pH dan volume saliva pada laki-laki usia dewasa dan usia lanjut menunjukkan bahwa terjadi penurunan pH pada pria perokok yang berusia lanjut (>60 tahun). Proses pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari, setelah subyek penelitian merokok sekitar 60 menit dan menggunakan metode tidak terstimulasi. (28)

Pada tahun 2009, Fujinami Y dkk melakukan sebuah penelitian mengenai efek paparan rokok terhadap sistem fungsional di mulut tikus. Pada awal paparan tidak ada perbedaan yang terjadi. Namun jika paparan sudah berlangsung selama 15 hari, terdapat penurunan kadar protein dan aktivitas


(30)

enzim amilase dan peroksidase. Penelitian pada tahun 1998 yang dilakukan oleh Trudgill menunjukkan terjadinya penurunan kadar bikarbonat saliva pada sampel yang merokok selama 28 hari. (29) (30)

Reibel tahun 2001 mengatakan bahwa pH saliva akan meningkat saat merokok namun setelah jangka waktu panjang pH saliva ada perokok mengalami penurunan jika dibandingkan dengan non perokok. Sedangkan pada penelitian tahun 2013 yang dilakukan Kanwar dkk, menunjukkan bahwa kelompok perokok memiliki pH yang lebih rendah dibandingkan kelompok non-perokok, akan tetapi pH pada kedua kelompok tersebut masih dalam kategori normal. (9) (12)

Secara umum rokok, baik dari kandungan kimia atau asap rokoknya, dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan pada kelenjar saliva sehingga dapat mempengaruhi kelenjar saliva dan salivanya itu sendiri yang pada akhirnya terjadi penurunan pH saliva. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hal itu, yang pertama efek dari paparan rokok saat menghisap rokok yang dapat mengiritasi mukosa mulut secara langsung. Selain itu bahan kimia pada rokok dan asap rokok dapat merangsang pelepasan zat kimia dari sel makrofag dan neutrofil aktif seperti IL-1, Prostaglandin 2, Elastase proteinase 3, katepsin G yang pada tubuh yang dapat merusak sel dan jaringan kelenjar saliva. Dan hal tersebut di pengaruhi juga oleh lamanya merokok dan jumlah batang perhari yang dapat memperburuk keadaan saliva. 2.1.11.Efek Merokok Tembakau Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut

Dampak buruk dari rokok salah satunya dapat bermanifestasi pada organ mulut karena mulut merupakan organ pertama yang terpapar oleh rokok, baik dari rokoknya secara langsung ataupun dari asap rokok. Kesehatan dan kebersihan gigi dan mulut dapat dinilai dengan menggunakan indeks yang hasilnya didapat dari pemeriksaan fisik gigi dan mulut. Terdapat beberapa indeks yaitu Oral higiene index simplified (OHIS) adalah indeks untuk menentukan status kebersihan mulut seseorang yang dinilai dari Debris Index (DI) dan Calculus Index (CI) yang menunjukkan adanya sisa


(31)

index (PI) digunakan untuk mengukur ketebalan plak pada permukaan gigi. Gingival index (GI) digunakan untuk menilai keadaan gusi seseorang dengan melihat keparahan gingivitis berdasarkan warna gusi, konsistensi dan kecenderungan untuk berdarah. Decayed, missing, and filled teeth (DMFT) digunakan untuk melihat jumlah gigi yang berlubang, hilang dan jumlah gigi yang ditambal. (31) (32)

OHIS merupakan indeks untuk menentukan keadaan kebersihan mulut seseorang yang dinilai dari adanya sisa makanan/debris dan kalkulus (karang gigi) pada permukaan gigi. Jadi skor OHIS merupakan penjumlahan dari DI (Debris Indeks) dan CI (Calculus Indeks). Kriteria untuk OHIS dalam menentukan keadaan mulut seseorang yaitu:

 Skor 0,0-1,2 : baik  Skor 1,3-3,0 : sedang  Skor 3,1-6,0 : buruk

Sedangkan pada pemeriksaan DI (Debris Indeks) digunakan untuk melihat adanya sisa makanan/debris yang menempel pada gigi. Kriteria untuk DI sebagai berikut: (31)

 0 : tidak ada debris/sisa makanan yang menempel pada gigi.  1: debris lunak menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi.

 2 : debris lunak menutupi lebih dari 1/3 permukaan, tetapi tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi.

 3 : debris lunak menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi.

Pada pemeriksaan CI (Calculus Index) kita melihat adanya kalkulus atau karang gigi. Kriteria unutk CI yaitu: (31)

 0 : tidak terdapat kalkulus.

 1 : kalkulus supragingival menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi.  2 : kalkulus supragingival lebih dari 1/3 tetapi tidak lebih dari 2/3

permukaan gigi.


(32)

Pada pemeriksaan GI dapat dinilai adanya inflamasi gingival dengan melihat apakah ada perdarahan atau tidak pada gigi yang diperiksa. Kriteria skor GI adalah: (31)

 0 : gingiva normal.

 1 : inflamasi ringan pada gingiva yang ditandai perubahan warna, sedikit edema, palpasi tidak terjadi perdarahan.

 2 : inflamasi gingiva sedang, warna merah, edema, berkilat, palpasi terjadi perdarahan.

 3 : inflamasi gingiva parah, warna cenderung berdarah seperti merah menyolok, edema terjadi ulserasi, gingiva spontan.

Sampai saat ini sudah ada penelitian yang melihat efek rokok terhadap kesehatan gigi dan mulut. Arowojolu, dkk, tahun 2013 melakukan penelitian di India pada kelompok perokok dan non perokok untuk melihat efek merokok pada kesehatan gingival dan status kesehatan mulut responden. Arowojolu, dkk, menggunakan metode potong lintang dengan membagi responden dalam 2 kelompok, yaitu kelompok perokok dan non perokok, sebagai kontrol. Dari hasil penelitian tersebut dilaporkan bahwa OHIS dan GI pada kelompok perokok lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non perokok. Di Indonesia pun sudah ada penelitian mengenai efek rokok terhadap kesehatan mulut, Emilia, 2009 melakukan penelitian efek rokok terhadap kondisi periodontal pada tukang becak di kelurahan Tanjung Reji kota Medan yang salah satunya dinilai dengan indeks OHIS. Dan hasilnya menunjukkan indeks OHIS pada perokok lebih tinggi dibandingkan pada kelompok non perokok. (33) (34)

Menurut Arowojolu, dkk, tingginya OHIS pada perokok berhubungan dengan fakta bahwa kandungan pada rokok, salah satunya tar dapat menyebabkan adanya penodaan pada gigi, dimana permukaan gigi akan menjadi kasar dan mempercepat akumulasi plak pada gigi yang menandakan buruknya kesehatan gigi dan mulut perokok. Peningkatan GI menandakan adanya inflamasi pada gingival, yang ditandai dengan adanya penurunan


(33)

substansi sitotoksik, seperti nikotin, yang dapat menginisiasikan dan/atau memperburuk penyakit periodontal. Selain itu penurunan pH saliva akibat dari rokok dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Ketika pH saliva turun ada beberapa hal yang dapat terjadi di rongga mulut, yaitu peningkatan mikroorganisme asidogenik, melarutkan komponen enamel gigi, serta merusak gigi dan jaringan sekitarnya akibat dari peningkatan konsentrasi ion hidrogen. Hal tersebut di perburuk jika seseorang sudah mengalami karies gigi sehingga pH pada rongga mulut dapat lebih asam.(33)


(34)

2.2.Kerangka Teori

Komponen pada enamel gigi larut Erosi gigi Konsentrasi ion H+

meningkat Merusak gigi dan Pertumbuhan

mikroorganisme asidogenik meningkat

Kerusakan sel dan jaringan kelenjar Mempengaruhi kelenjar

saliva dan saliva

Penurunan kadar bikarbonat pH saliva turun Paparan panas pada

pembakaran rokok Iritasi mukosa mulut

secara langsung Mempengaruhi vaskularisasi Nikotin Peningkatan aktivitas MMP, IL-1, Prostaglandin 2 Melepaskan granul Elastase proteinase 3, katepsin G

Radikal bebas Zat

karsinogenik dan toksik Kemoatraktan neutrofil Neutrofil aktif Iritasi dan inflamasi kelenjar karies gigi Asam dari mikroorganis me asidogenik meningkat Stres Simpatis > Parasimpatis Kebiasaan makan

dan minum yang bersifat basa Lingkungan rongga mulut asam Produksi saliva turun Lama merokok dan jumlah batang perhari Rongga mulut dan

kelenjar saliva semakin terpapar Paparan bahan kimia pada

rokok dan asap rokok Perokok


(35)

2.3.Kerangka Konsep

Variabel yang diteliti Variabel terikat Variabel perancu


(36)

2.4.Definisi Operasional

No Variabel Definisi

Operasional

Alat Ukur Cara pengukuran Skala

pengukuran

1 pH

saliva

Derajat keasamaan

yang digunakan

untuk menyatakan

tingkat keasaman

atau kebasaan pada

suatu cairan

kompleks pada

rongga mulut yang

terdiri atas

campuran sekresi

dari kelenjar saliva mayor dan minor .

pH meter LAQUAt win Horiba

Sampel saliva diambil menggunakan mikro

pipet kemudian di

letakkan dialat

pengukur pH

Numerik

2 Status

merokok

Keadaan seseorang mengenai

kebiasaan merokok.

Kuisioner Wawancara dan

Mengisi Kuesioner

Kategorik

3 OHIS Merupakan indeks

untuk menentukan

status keberihan

mulut seseorang

berdasarkan nilai Debris Index dan Calculus Index.

Indeks Pemeriksaan fisik gigi

dan mulut

Numerik

4 Calculus

Index

Indeks yang

digunakan untuk

melihat adanya

Indeks Pemeriksaan fisik gigi

dan mulut


(37)

karang gigi pada permukaan gigi.

5 Debris

Index

Indeks yang

digunakan untuk

melihat adanya

sisa makanan atau

debris pada

permukaan gigi.

Indeks Pemeriksaan fisik gigi

dan mulut

Numerik

6 Plaque

Index

Indeks yang

digunakan untuk

mengukur

ketebalan plak

pada permukaan

gigi.

Indeks Pemeriksaan fisik gigi

dan mulut

Numerik

7 Gingival

Index

Indeks yang

digunakan untuk

menilai keadaan

gusi seseorang

dengan melihat

keparahan gingivitis

berdasarkan warna gusi, konsistensi, dan kecenderungan untuk berdarah.

Indeks Pemeriksaan fisik gigi

dan mulut

Numerik

8 DMFT Indeks yang

digunakan untuk

melihat jumlah

gigi berlubang,

hilang dan jumlah gigi yang ditambal.

Indeks Pemeriksaan fisik gigi

dan mulut


(38)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1.Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian analitik bivariat dengan desain penelitian potong lintang.

3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat

Pengukuran pH pada saliva akan dilakukan di tempat pengambilan sampel dan Medical Research Laboratory, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2.2 Waktu

Penelitian dilakukan selama bulan Juli – Agustus 2014. 3.3.Kriteria dan Subjek Penelitian

Kriteria inklusi umum: 1. Laki-laki

2. Usia 17-50 tahun

3. Bisa membuka mulut

4. Tidak memiliki riwayat penyakit sistemik yang berhubungan dengan kelenjar saliva (seperti DM, tumor)

5. Tidak mengkonsumsi alkohol dan NAPZA

6. Kriteria subjek perokok:

- Menjadi perokok aktif saat pengambilan saliva

- Merokok dengan jumlah minimal 1 batang setiap hari

- Saat pengambilan saliva, subjek tidak sedang mengkonsumsi obat yang

dapat mempengaruhi keadaan saliva 7. Kriteria subjek non-perokok:


(39)

Kriteria eksklusi umum:

1. Sedang berpuasa pada saat pengambilan saliva

2. Tidak dapat berpartisipasi karena keadaan psikologis yang buruk (gadug gelisah, agitasi, nutrisi jelek)

3.4.Besar Sampel Penelitian

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel penelitian analitik tidak berpasangan dengan variabel numerik yakni sebagai berikut:

Keterangan:

Zα = kesalahan tipe I sebesar 5% = 1,645 Zβ = kesalahan tipe II sebesar 5% = 1,645

(X1– X2) = selisih minimal yang dianggap bermakna = 0,23 S = Sg = standar deviasi, diperoleh dengan rumus:

Sg = standar deviasi gabungan

S1 = standar deviasi kelompok 1 pada penelitian sebelumnya n1 = besar sampel kelompok 1 pada penelitian sebelumnya S2 = standar deviasi kelompok 2 pada penelitian sebelumnya n2 = besar sampel kelompok 2 pada penelitian sebelumnya

Hasil perhitungan berdasarkan peneltian Kanwar, dkk tahun 2013: (Sg)2 = [ 0,112 x (20 1) + 0,142 x (20 1)]

20 + 20 – 2 = 0,2299 + 0,3724

38


(40)

Sg = 0,126

Setelah dimasukkan kedalam rumus:

N = 2{(1,645 + 1,645) 0,126}2

{0,23}2

N = 6,4 (Bulatkan 7)

Dari kerangka teori didapatkan bahwa terdapat 4 faktor yang mempengaruhi pH saliva akan tetapi tidak dapat di eksklusikan pada penelitian ini, yaitu status merokok, karies gigi, lama merokok dan jumlah rokok perhari, serta kebiasaan makan dan minum yang bersifat asam. Dengan demikian, jika digunakan rumus besar sampel role of ten, didapatkan perhitungan sebagai berikut.

N1=N2= Cofounding factors x 10 = 4 x 10 = 40

Dengan demikian diambil jumlah sampel terbanyak untuk penelitian ini yaitu 40 orang untuk setiap kelompok.

3.5.Alat dan Bahan 3.5.1. Alat Penelitian

 Tabung sampel

 Corong

 Pipet mikrometer

 pH meter LAQUAtwin Horiba

3.5.2. Bahan Penelitian

 Saliva perokok dan non-perokok


(41)

3.6.Cara Kerja Penelitian

 Menentukan subjek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi.

 Mendapatkan informed consent dari subjek penelitian, pengisian kuisioner serta memberikan penjelasan kepada subjek mengenai prosedur pengambilan saliva.

 Pemeriksaan gigi dan mulut responden dilakukan oleh dokter gigi, untuk mengetahui status DMFT (Decayed, Missing, Filled Teeth) score, GI (Gingival index), PI (Plaque index), DI (debri index), CI (calculus index), dan Oral Higiene Index Score (OHIS).

 Subjek diminta untuk membuang saliva pada wadah penampung melalui corong. Waktu pengambilan saliva antara pukul 07.00- 09.00

 Pengukuran pH saliva dengan pH meter LAQUAtwin Horiba.

G

3.7.Alur Penelitian

Pengambilan sampel saliva

Pemeriksaan pH saliva sampel Pemilihan subjek penelitian

Inform consent kepada subjek Pembuatan proposal penelitian


(42)

3.8.Identifikasi Variabel

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :  Variabel bebas/independen pada penelitian ini adalah pH saliva.

 Variabel terikat/dependen pada penelitian ini adalah kebiasaan merokok dan kebiasaan tidak merokok.

 Variabel perancu pada penelitian ini antara lain: objek penelitian yang tidak memiliki kebiasaan merokok namun terpapar asap rokok dengan jangkan waktu yang cukup lama (perokok pasif), diet pada waktu 1 jam atau kurang sebelum pemeriksaan pH saliva dilakukan, karies gigi.

3.9.Manajemen dan Analisis Data

Data hasil pengukuran pH saliva pada saliva subjek dan data dari kuesioner yang telah didapatkan dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam komputer dan dianalisis menggunakan software SPSS v16. Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif untuk mengetahui rata-rata dan standar deviasi. Normalitas distribusi data di uji dengan Uji Shapiro Wilk karena jumlah sampel kurang dari 50.

Uji hipotesis untuk membandingkan pH saliva pada perokok dengan non perokok diuji dengan menggunakan uji unpaired t-test dan untuk data dengan distribusi data tidak normal diuji dengan menggunakan uji Mann Whitney. Jika nilai p<0.05 maka terdapat perbedaan signifikan pH saliva pada saliva perokok dibandingkan dengan non perokok.


(43)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini melibatkan 30 orang laki-laki sebagai subjek penelitian, yang terdiri dari 15 orang perokok dan 15 orang bukan perokok yang seharusnya melibatkan 40 orang laki-laki pada setiap kelompoknya.

4.1.Hasil

4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakeristik dari 30 subjek penelitian meliputi usia, status pendidikan, dan status pernikahan, seperti terlihat pada tabel 4.1 dibawah ini.

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian (n=30) Karakteristik

Non Perokok Perokok

Jumlah (n)

Presentase (%)

Jumlah (n) Presentase (%) Usia

17-24 tahun 10 33.3 3 10

25-34 tahun 2 6.7 6 20

35-44 tahun 1 3.3 5 16.7

45-50 tahun 2 6.7 1 3.3

Median (Min-Maks) 24 (19-50)* 33.4 ± 9.2

Pendidikan

SD 2 6.7 6 20

SMP 2 6.7 8 26.7

SMA 10 33.3 1 3.3

Perguruan Tinggi 1 3.3 0 0

Lama Merokok

tidak ada 15 50 0 0

<5 tahun 0 0 2 6.7

6 - 10 tahun 0 0 2 6.7

>10 tahun 0 0 11 36.7

Jumlah Rokok

Perhari

0 15 50 0 0

<10 batang 0 0 7 23.3

11 - 20 batang 0 0 8 26.7


(44)

Dari tabel 4.1 didapatkan bahwa jumlah perokok terbanyak terdapat pada kelompok usia 25-34 tahun sebesar 6 (20%) subjek, sedangkan jumlah non perokok terbanyak terdapat pada kelompok usia 17-24 tahun sebesar 10 (33,3%) subjek. Berdasarkan status pendidikan, didapatkan bahwa jumlah perokok terbanyak terdapat sebesar 8 (26,7%) subjek pada tingkat lulusan pendidikan SMP atau sederajat, sedangkan jumlah non perokok terbanyak terdapat pada tingkat lulusan pendidikan SMA atau sederajat sebesar 10 (33,3%) subjek. Pada kelompok perokok sebagian besar subjek merupakan perokok yang sudah lebih dari 10 tahun yaitu 11 (36.7%) subjek. Selain itu sebagian besar subjek memiliki kebiasaan merokok 11-20 batang perhari (26.7%).

4.1.2. Status Kesehatan Gigi dan Mulut Subyek Penelitian

Tabel 4.2 Oral Hygiene Index dan Skor OHIS

Non Perokok Perokok

n=15 n=15 p

Oral Hygiene(OHIS

Index) 1.74±0.54 2.46±0.82 0.009

Plaque Index 0.67 (0-1.2)* 1 (0-1.2)* 0.019

Calculus Index 1.12±0.45 1.60±0.62 0.022

Gingival Index 0.77±0.48 1.02±0.48 0.153

DMFT Index 6.73±4.62 10.13±6.72 0.118

* = median (minimal-maksimal)

Untuk mengukur status kesehatan gigi dan mulut, dinilai dari beberapa indeks yang berdasarkan hasil pemeriksaan fisik gigi dan mulut. Oral higiene index simplified (OHIS) adalah indeks untuk menentukan status kebersihan mulut seseorang yang dinilai dari Debris Index (DI) dan Calculus Index (CI) yang menunjukkan adanya sisa makanan/debris dan kalkulus (karang gigi) pada permukaan gigi. Plaque index (PI) digunakan untuk mengukur ketebalan


(45)

keadaan gusi seseorang dengan melihat keparahan gingivitis berdasarkan warna gusi, konsistensi dan kecenderungan untuk berdarah. Decayed, missing, and filled teeth (DMFT) digunakan untuk melihat jumlah gigi yang berlubang, hilang dan jumlah gigi yang ditambal. Semakin tinggi nilai indeks-indeks tersebut, makin buruk status kesehatan gigi dan mulut seseorang. (31) (32)

Hasil penelitian didapatkan nilai rerata OHIS pada subjek perokok lebih tinggi dibanding subjek non perokok yaitu 2.46 berbanding 1.74, hal itu menunjukkan status kesehatan mulut pada subjek perokok lebih buruk dibandingkan dengan subjek non-perokok. Nilai CI pada subjek perokok juga lebih tinggi yaitu 1.60 dan pada subjek non-perokok 1.12, hal tersebut menunjukkan bahwa karies pada gigi perokok lebih banyak dibanding subjek non-perokok. Pada nilai rerata PI subjek perokok lebih tinggi yaitu 0.86 dibanding 0.62 pada non-perokok, hal tersebut menunjukkan ketebalan plak pada gigi perokok lebih tebal daripada subjek non-perokok. Status gusi perokok memiliki kecenderungan lebih mudah berdarah daripada subjek non-perokok, hal tersebut dilihat dari nilai GI yang lebih tinggi pada perokok yaitu 1.02 dibanding 0.77 pada subjek non-perokok. Jumlah gigi yang berlubang, hilang dan yang ditambal pada subjek perokok lebih banyak dibandingkan pada subjek non-perokok, dibuktikan berdasarkan nilai DMFT yang lebih tinggi pada subjek perokok yaitu 10.13 dibanding 6.73 pada subjek non-perokok. Secara keseluruhan pada penelitian ini, status kesehatan gigi dan mulut pada subjek perokok lebih buruk dibandingkan subjek non-perokok, dilihat dari nilai OHIS, PI, CI, GI, dan DMFT yang lebih tinggi pada subjek perokok dibanding subjek non-perokok.

4.1.3. Derajat Keasaman (pH) Saliva

Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) saliva yang tidak distimulasi pada subjek perokok dan non perokok dapat terlihat dari Gambar 4.1 berikut.


(46)

Gambar 4.1 Kadar pH Saliva Perokok dan Non Perokok

Hasil pengukuran pH saliva didapatkan nilai median pH saliva perokok pria lebih rendah dibanding pH saliva non perokok pria yaitu 6.7 (4.9-7.3) pada perokok dan 7.4 (6.1-7.8) pada non perokok. Setelah dilakukan uji statistik Mann Whitney pada pH saliva subjek perokok dan non perokok didapatkan hasil p value 0.001, hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara rata-rata pH saliva perokok dan non perokok. 4.2.Pembahasan

Pada penelitian ini, kelompok pria perokok memiliki rata – rata usia 33,4 tahun ± 9,2, dengan jumlah perokok terbanyak terdapat pada kelompok usia 25 – 34 tahun yaitu 6 orang ( 20 % ). Hal ini hampir sesuai dengan prevalensi pria perokok berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Riskesdas pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa pada rentang usia 25 – 34 tahun didapatkan prevalensi perokok sebesar 31,1 % ( 1,1 % lebih rendah dari


(47)

urutan kedua prevalensi perokok berdasarkan usia. Sedangkan pada kelompok pria non perokok didapatkan jumlah terbanyak pada usia 17-24 tahun dengan jumlah 10 orang (33,3%). Hal tersebut sesuai dengan data dari Riskesdas tahun 2010 yang menunjukkan bahwa prevalensi terbanyak kelompok non perokok berada di rentang usia 17-24 tahun. Dari penelitian ini juga didapatkan bahwa pada kelompok perokok sebagian besar subjek memiliki kebiasaan merokok 11-20 batang perhari (26.7%). Hal ini hampir sesuai dengan data Riskesdas tahun 2010 dimana paling banyak jumlah rokok perhari yaitu 1-10 batang dan urutan kedua 11-20 batang. (2)

Pada tabel 4.2 kita dapat menentukan status kesehatan gigi dan mulut subjek penelitian berdasarkan beberapa indeks. Pada tabel tersebut rerata OHIS pada perokok lebih tinggi dibandingkan non perokok, yang artinya status kesehatan mulut pada perokok lebih buruk dibandingkan non perokok. Begitu juga dengan PI, CI, GI, dan DMFT Index dimana pada kelompok perokok lebih tinggi dibandingkan kelompok non perokok. Nilai rerata OHIS dan GI pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arowojolu, dkk, tahun 2013 mengenai perbedaan status kebersihan mulut pada perokok dan non perokok di Ibadan, Oyo State, Nigeria dengan memperhatikan OHIS dan GI. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa rerata indeks OHIS dan GI lebih tinggi pada kelompok perokok dibandingkan non perokok. (31) (33)

Nilai rerata DMFT Index yang lebih tinggi pada perokok di penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya. Al-Weheb pada tahun 2005 melakukan penelitian untuk melihat hubungan merokok dengan karies gigi dan jumlah lactobacillus saliva, yang hasilnya menunjukkan DMFT Index pada perokok lebih tinggi dibanding non perokok. (35)

Menurut Arowojolu, dkk, tingginya OHIS pada perokok berhubungan dengan fakta bahwa merokok dapat menyebabkan adanya penodaan pada gigi, dimana permukaan gigi akan menjadi kasar dan mempercepat akumulasi plak pada gigi yang menandakan buruknya kesehatan gigi dan mulut perokok. Peningkatan GI menandakan adanya inflamasi pada gingival, yang ditandai dengan adanya penurunan aliran darah gingival yang dipengaruhi oleh nikotin.


(48)

Rokok terdiri dari substansi sitotoksik, seperti nikotin, yang dapat menginisiasikan dan/atau memperburuk penyakit periodontal. (33)

Pada penelitian ini utamanya melihat keadaan saliva, khususnya pH pada saliva. Saliva merupakan suatu sekresi yang berkaitan dengan mulut, dan saliva merupakan cairan biologis pertama dari tubuh kita yang terpapar oleh tembakau dari rokok yang mengandung bahan-bahan bersifat toksik yang dapat mengubah saliva baik secara struktural maupun fungsional. Untuk pH, normalnya saliva memiliki pH antara 6,0 sampai 7,0. Namun pada keadaan saat kelenjar penghasil saliva sedang istirahat, pH saliva sedikit lebih rendah dari 7,0, sedangkan saat kelenjar sedang aktif melakukan sekresi, pH pada saliva dapat mencapai 8,0. Pada dasarnya derajat keasaman (pH) saliva antar individu bervariasi, hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pH saliva, yaitu salah satunya diet makanan. Pada diet yang mengandung karbohidrat dapat menaikkan metabolisme produksi asam oleh bakteri yang ada di mulut sehingga dapat menurunkan pH saliva, sedangkan protein dapat dimanfaatkan oleh bakteri sebagai sumber makanan yang selanjutnya terjadi pengeluaran zat-zat basa seperti amoniak. (10) (11) (13) (36)

Berdasarkan gambar 4.1 diperoleh nilai rata-rata pH saliva pada kelompok pria perokok dan non perokok masih dalam batas normal. Akan tetapi jika kita bandingkan pH saliva antara kedua kelompok tersebut pH saliva pada kelompok perokok lebih rendah dari pada kelompok non perokok. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Trudgill tahun 1998 yang menunjukkan terjadinya penurunan kadar bikarbonat saliva pada sampel yang merokok selama 28 hari sehingga menyebabkan pH saliva perokok lebih rendah daripada non perokok. (30)

Reibel tahun 2001 melaporkan bahwa pH saliva akan meningkat saat merokok namun setelah jangka waktu panjang pH saliva pada perokok mengalami penurunan jika dibandingkan dengan non perokok. Kemudian hal tersebut dikuatkan pada penelitian tahun 2013 yang dilakukan Kanwar, dkk, di India yang membandingkan kelompok perokok dan non perokok dimana


(49)

perokok memiliki pH yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok nonperokok, akan tetapi pH pada kedua kelompok tersebut masih dalam kategori normal. Kanwar, dkk, berpendapat bahwa terjadi perubahan pada elektrolit dan ion sehingga mengubah dari pH saliva. (9) (13)

Hal tersebut berkebalikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Palomares, dkk tahun 2004 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan secara statistik pada saliva perokok dan non perokok (p>0.05). Pada penelitian tersebut melibatkan 159 subjek dengan 41 diantaranya perokok dan sisanya non perokok. Al-Weheb tahun 2005 melakukan penelitian untuk melihat efek rokok terhadap keadaan mulut seseorang. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa pH saliva pada perokok dan non perokok tidak signifikan secara statistik, dan Al-Weheb menyimpulkan bahwa kebiasaan merokok jangka panjang tidak berpengaruh terhadap pH saliva. (20) (35)

Pada keadaan normal pH saliva dipertahankan pada batas normal, akan tetapi jika pH saliva seseorang lebih rendah dapat menimbulkan beberapa efek yang merugikan. pH, baik pada rongga mulut atau saliva, merupakan salah satu faktor yang menentukan kelarutan enamel gigi. Derajat keasaman (pH) saliva memiliki nilai kritis sekitar 5.5, dan pada pH dibawah nilai kritis tersebut dapat menyebabkan enamel gigi mudah larut dan memicu terjadinya demineralisasi sehingga mempermudah terjadinya kerusakan struktur gigi. Selain itu juga pada pH yang lebih asam dapat meningkatkan proliferasi dari bakteri asidogenik yang dapat menimbulkan plak gigi dan karies gigi yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya struktur gigi. Menguatkan hal tersebut dilaporkan oleh Reibel, dkk, tahun 2001 bahwa pada kelompok perokok ditemukan lebih banyak lactobacillus dan Streptococcus mutans. Pada 2005 Al-Washhadani melakukan penelitian untuk melihat hubungan pH saliva dengan status kesehatan mulut yang dibandingan pada 2 kelompok, yaitu anak-anak dan dewasa. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa pada kelompok dengan pH saliva yang lebih rendah memiliki nilai Plaque Index dan karies gigi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan pH saliva lebih tinggi. Pada keadaan yang asam di rongga mulut maka akan terjadi demineralisasi


(50)

yang diakibatkan larutnya komponen penyusun enamel gigi seperti kalsium sehingga dapat menyebabkan karies gigi atau erosi gigi. Hal tersebut menandakan bahwa pH saliva berpengaruh terhadap status kesehatan mulut. (9) (12) (36) (37)

pH saliva merupakan salah satu barrier pertahanan di rongga mulut, maka dengan adanya perubahan pada pH saliva dapat menyebabkan seseorang rentan terhadap penyakit mulut dan gigi. Selain itu juga karena pentingnya peran dari pH saliva dalam menjaga kesehatan mulut, maka penting bagi kita untuk mengetahui pH saliva sebagai salah satu indikator kesehatan rongga mulut seseorang dan oleh sebab itu sebaiknya kita selalu menjaga pH saliva dalam batas normal. Oleh karena merokok terbukti dapat menurunkan pH saliva maka saran terbaik untuk subjek perokok penelitian ini adalah berhenti merokok. Akan tetapi sulitnya proses berhenti merokok maka saran yang dapat diberikan adalah mengurangi konsumsi makanan atau minuman yang bersifat asam setelah merokok seperti makanan tinggi karbohidrat atau minuman kopi dan teh.


(51)

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1Simpulan

Pada penelitian ini didapatkan bahwa:

 Hasil rerata derajat keasaman (pH) pada saliva pria perokok lebih rendah dibandingkan dengan pria non perokok.

 Terdapat perbedaan bermakna secara statistik dengan p<0.05 antara pH saliva pria perokok dan pria non perokok.

5.2 Saran

Bagi peneliti selanjutnya,

1. Diharapkan pada penelitian selanjutnya sampel yang digunakan pada kelompok perokok adalah sampel yang sudah lama merokok sehingga efek dari rokok lebih terlihat.

2. Diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan

pemeriksaan pH saliva tidak dalam satu waktu sehingga diharapkan hasilnya lebih objektif.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Tobacco, Key Facts. [Online].; 2013. diunduh tanggal 3 Juli 2013. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs339/en/.

2. BPdPKK. Riset Dasar Kesehatan Tahun 2010. Jakarta:, Kesehatan Kementerian Republik Indonesia; 2010: p. 329-334.

3. KKRI. Rokok Membunuh Lima Orang Setiap Tahun.; 2009. di unduh tanggal 3 Juli 2013. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/458-rokok-membunuh-lima-juta-orang-setiap-tahun.html.

4. WHO. Global Adult Tobacco Survey: Indonesia Report 2011. Jakarta: World Health Organization, Regional Office for South-East Asia; 2012. Report No.: ISBN 978-92-9022-424-2: p. 14-24.

5. Tirtosarto S, Murdiyati AS. Kandungan Kimia Tembakau dan Rokok. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri. 2010 April; 2(1): p. 33-35. 6. Fawles J, Bates M. The chemical constituents in cigarettes and cigarette

smoke: priorities for harm reduction. Porirua: Kenepuru Science Centre, Epidemiology and Toxicology Group; 2000 March: p. 7-11.

7. Geiss O, Kotzias D. Tobacco, Cigarettes and Cigarette Smoke. Luxembourg: Institute for Health and Consumer Protection, Directorate-General Joint Research Centre; 2007. Report No.: ISBN 978-92-79-06000-7: p.4-11.

8. Tortora GJ. Principles of Anatomy and Physiology. 13th ed. Roesch B, editor.: John Wiley & Sons; 2011: p. 929-931.

9. Kanwar A, Sah K, Grover N, Chandra S, Singh RR. Long-term effect of tobacco on resting whole mouth salivary flow rate and pH: An institutional based comparative study. European Journal of General Dentistry. 2013


(53)

10. Sherwood ,L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 7th ed. Jakarta: EGC; 2011: p. 650-651.

11. Ganong WF. Buku ajar fisiologi kedokteran. 22nd ed. Jakarta: EGC; 2008. 12. Reibel J. Tobacco and Oral Diseases. Update on the Evidence, with

Recommendations. 2001 October: p. 22-28.

13. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Jakarta: Elsevier; 2006: p. 792-794.

14. Feneis H, Dauber W. Pocket Atlas of Human Anatomy. 4th ed. Stuttgart: Thieme; 2000: p. 208-210.

15. Ellis H. Clinical Anatomy. 11th ed. USA: Blackwell; 2006: p. 289-293.

16. Keshav S. The Gastrointestinal System at a Glance Australia: Blackwell Science Asia; 2004: p.14-15.

17. Almeida PDVd, Gregio AMT, Machado MAN, Lima AASd, Azevedo LR. Saliva Composition and Functions: A Comprehensive Review. The Journal of Contemporary Dental Practice. 2008 March; 9(3): p. 3-7

18. Pedersen AM. Saliva. University of Copenhagen, Odontology; 2007.

19. Hall HD. Protective and Maintenance Functions of Human Saliva. Oklahama City: University of Oklahama, Department of Periodontics; 1993.

20. Palomares CF. Unstimulated salivary flow rate, pH and buffer capacity of saliva in healthy volunteers. 2004 June; 96(11): p. 773-777.

21. Kusuma DA, Yuwono SS, Wulan SN. Studi Kadar Nikotin dan Tar Sembilan Merk Rokok Kretek Filter yang Beredar di Wilayah Kabupaten Nganjuk. ; 5(3): p. 151-152.


(54)

Ruangan. 2012: p. 18-19.

23. Mellawati J, Chichester D. Penentuan kandungan unsur beracun dalam asap rokokdengan metode pengaktifan neutron. 1996 Agustus;: p. 271-272.

24. WHO. Global Youth Tobacco Survey: Indonesia Report 2009. Jakarta: World Health Organization, Regional Office for South-East Asia; 2009: p.15-18. 25. Rad M, Kakoie S, Brojeni FN, Pourdamghan N. Effect of Long-term Smoking

on Whole-mouth Salivary Flow Rate and Oral Health. Journal of Dental Research, Dental Clinics, Dental Prospects. 2010 November; 4(4): p. 110-113. 26. Kusuma ARP. Pengaruh Rokok Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut. Majalah

Ilmiah Sultan Agung. 2011 Juli; 49.

27. Suryadinata A. Kadar Bikarbonat Saliva Penderita Karies dan Bebas Karies. Sainstis. 2012 September; 1(1): p. 35-36.

28. Hidayani TA, Handajani J. Efek merokok terhadap status ph dan volume saliva pada laki-laki usia dewasa dan usia lanjut. 2007;: p. 145.

29. Fujinami Y. The effects of cigarette exposure on rat salivary proteins and salivary glands. NCBI. 2009 Juni; 15(7).

30. Trudgill. Impact of smoking cessation on salivary function in healthy volunteers. NCBI. 1998 Juni; 33(6).

31. Muller HP. Periodontology : the essentials New York: Thieme; 2005.

32. Notohartojo IT, Halim FXS. Gambaran kebersihan mulut dan gingivitis pada murid sekolah dasar di Puskesmas Sepatan, Kabupaten Tangerang. Media Litbang Kesehatan. 2010; 10(4).

33. Arowojolu MO, Fawole OI, Dosumu EB, Opeodu OI. A comparative study of the oral hygiene status of smokers and non-smokers in Ibadan, Oyo state.


(55)

Nigerian Medical Journal. 2013 Agustus; 54(4).

34. Emilia P. Efek merokok terhadap kondisi periodontal pada tukang becak di kelurahan Tanjung Rejo Kota Medan. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 2009.

35. Al-Weheb AM. Smoking and its relation to caries experience and salivary lactobacilli count. Journal college dentistry. 2005; 17(1): p. 92-95.

36. Grobler SR, Chikte U, Westraat J. The pH levels of different methamphetamine drug samples on the street market in Cape Town. International Scholarly Research Network. 2011 May;: p. 1-3.

37. Indriana T. Perbedaan laju aliran saliva dan pH karena pengaruh stimulus kimiawi dan mekanis. Jurnal Kedokteran Meditek. 2011 Agustus; 17(44): p. 2-5.


(56)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Gambar Proses Penelitian

Gambar 6.1 Alat dan Bahan Penelitian Gambar 6.2 Alat dan Bahan

Penelitian

Gambar 6.3 Pengisian inform concern dan kuesioner

Gambar 6.4 Pemeriksaan Fisik Gigi dan Mulut


(57)

Lampiran 2 Kuesioner dan Inform Consent


(58)

(59)

(60)

(61)

(62)

(63)

(64)

Lampiran 3 Riwayat Penulis Identitas

Nama : Bimo Dwi Pramesta

Jenis kelamin : Laki-laki

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 26 November 1993

Agama : Islam

Alamat : Jl. Cipinang Baru Bunder No.30, Kompleks

Kehakiman, Jakarta-Timur

Email : bpramesta@gmail.com

Riwayat Pendidikan

 1999 - 2005 : Sekolah Dasar Muhammadiyah 24 Jakarta

 2005 - 2008 : Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah 31

Jakarta

 2008 – 2011 : Sekolah Menengah Atas Negeri 12 Jakarta

 2011 – sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN


(1)

46


(2)

47


(3)

48


(4)

49


(5)

50


(6)

51

Lampiran 3 Riwayat Penulis Identitas

Nama : Bimo Dwi Pramesta

Jenis kelamin : Laki-laki

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 26 November 1993

Agama : Islam

Alamat : Jl. Cipinang Baru Bunder No.30, Kompleks

Kehakiman, Jakarta-Timur

Email : bpramesta@gmail.com

Riwayat Pendidikan

 1999 - 2005 : Sekolah Dasar Muhammadiyah 24 Jakarta

 2005 - 2008 : Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah 31

Jakarta

 2008 – 2011 : Sekolah Menengah Atas Negeri 12 Jakarta

 2011 – sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta