Interaksionisme Simbolik KAJIAN PUSTAKA

15 kehadiran komunitas wanita berjilbab seperti hijabers community, yang selain menampilkan ide-ide kreatifitas baru dalam berhijab, kehadiran mereka tampaknya juga menginspirasi banyak wanita muslimah sehingga banyak yang tertarik untuk ikut menjadi bagian dari komunitas-komunitas hijaber yang ada agar dikatakan “gaul”.

2.4 Interaksionisme Simbolik

Teori Interaksionalisme simbolik symbolic interactionism adalah pendekatan teoritis dalam memahami hubungan antara manusia dan masyarakat. Ide dasar teori interaksionisme simbolik adalah bahwa tindakan dan interaksi manusia hanya dapat dipahami melalui pertukaran simbol atau komunikasi yang sarat makna. Teori interaksionisme simbolik mulai berkembang pada pertengahan abad ke-20. interaksionisme simbolik berakar dari dua kata yang bermakna berbeda, yaitu interaksi dan simbol. Menurut seorang filosof Amerika pada awal abad ke-19, George Herbert Mead, orang tak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Interaksi simbolis dilakukan dengan menggunakan bahasa, sebagai satu-satunya simbol yang terpenting, dan melalui isyarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, simbol berada dalam proses yang berkelanjutan. Proses penyampaian makna ini yang merupakan pokok dari sejumlah analisa kaum interaksionis simbolis. Bagi Mead, pokok permasalahan sosiologi ialah interaksi para aktor yang terorganisir dan terpola di dalam situasi-situasi sosial. Universitas Sumatera Utara 16 Setelah Mead meninggal, Herbert Blumer, yang juga merupakan salah satu sosiolog di Universitas Chicago, mengambil alih seluruh karyanya serta membenahi teori sosialnya dan menamai gagasan Mead tersebut: interaksionisme simbolik. Blumer sendiri juga terpengaruh oleh pemikiran Herbert Mead tentang interaksionisme simbolik. Karya Blumer yang terkenal dalam perspektif teori ini adalah kumpulan esainya yang berjudul Symbolic Interactionism: Perspective and Method. Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan meaning, bahasa language, dan pikiran thought. Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, yakni masyarakat. Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of the meanings they assign to those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut. Sebagai contoh, di kota-kota besar jika ada seorang wanita yang berbusana minim sexy ketika mengunjungi sebuah mall, ke tempat-tempat hiburan lain atau ke acara-acara ekslusif seperti di gedung atau hotel-hotel mewah, maka orang- orang yang berada di lingkungan tersebut akan menganggap itu hal yang wajar dan sah-sah saja, atau bahkan malah mengagumi karena keberaniannya untuk berbusana seperti itu. Lain halnya jika seorang yang berbusana minim tersebut datang ke desa, atau melakukan aktivitas-aktivitas disana dengan penampilan yang sexy, masyarakat didesa tersebut akan melihat dan memperhatikannya dari Universitas Sumatera Utara 17 atas sampai bawah dengan tatapan aneh, mereka akan menganggap wanita tersebut tidak mempunyai nilai-nilai kesopanan dan nilai-nilai agama. Maka dapat disimpulkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi antara wanita berbusana sexy tersebut dengan masyarakat kota dan di desa dilandasi dengan pemikiran- pemikiran yang berbeda. Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan. Dalam contoh yang sama apabila kita memaknai wanita yang berbusana sexy tersebut sebagai hal yang wajar dan patut dikagumi maka kita menganggap bahwa pada kenyataannya berbusana sexy memang benar hal yang wajar dan patut dikagumi, begitu pula sebaliknya. Premis kedua Blumer adalah meaning arises out of the social interaction that people have with each other Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa language—dalam perspektif interaksionisme simbolik. Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi human society. Premis ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is modified by his or her own thought process interpretasi seorang individu mengenai simbol disesuaikan dengan proses pemikiran individu itu sendiri. Universitas Sumatera Utara 18 Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Walaupun secara sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama seperti dalam konteks wanita berbusana sexy tadi, belum tentu dalam proses berpikir kita sama-sama menafsirkannya dengan cara atau maksud yang sama dengan orang lain. Semuanya sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam penafsiran simbolisasi itu sendiri. Setelah kita paham tentang konsep meaning, language, dan thought saling terkait, maka kita dapat memahami konsep Mead tentang ‘diri’ self. Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita imagining how we look to another person. Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the looking-glass self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial. Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana orang-orang melihat atau menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu, untuk melihat bagaimana orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap diri kita. Oleh karenanya konsep diri kita terutama kita bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap harapan atau tafsiran orang lain tersebut kepada diri kita. Dikaitkan dengan teori, kelompok berjilbab atau komunitas hijabers ini sesuai dengan namanya yang menonjolkan kata jilbab atau hijab yang merupakan simbol yang sangat islami, mempengaruhi pemikiran dan ekspektasi masyarakat yang mendengar atau melihat keberadaan mereka. Simbol jilbab yang mereka kenakan akan menjadi sorotan dan perbandingan sesuai dengan nilai-nilai dan Universitas Sumatera Utara 19 batasan yang berkembang di masyarakat mengenai esensi jilbab itu sendiri, terutama di kalangan umat muslim. Gebrakan model berhijab mereka yang menjadi tren masa kini mungkin memberikan sumbangsih warna baru dalam dunia mode Indonesia bahkan mancanegara, namun perubahan yang mereka bawa tersebut belum tentu bisa diterima begitu saja oleh setiap lapisan kultur di masyarakat Indonesia. Universitas Sumatera Utara 20

BAB III METODE PENELITIAN