Beberapa faktor resiko infeksi pada pasien oleh E.coli dan K.pneumonia penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan

(1)

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

T E S I S

SELASTRI AGNES

117111002 / PK

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS ILMU PATOLOGI

KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

2014


(2)

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

T E S I S

Untukmemperolehgelar Magister KedokteranKlinik di Bidang

Ilmu PatologiKlinik / M. Ked (Clin.Path) pada FakultasKedokteran

Universitas Sumatera Utara

SELASTRI AGNES

117111002 / PK

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS ILMU PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN 2014


(3)

Judul Tesis : Beberapa faktor resiko infeksi pada pasien oleh E.coli dan K.pneumonia penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan

Nama Mahasiswa : Selastri Agnes Nomor Induk Mahasiswa : 117111002

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Patologi Klinik

Menyetujui Komisi Pembimbing

dr. Ricke Loesnihari, Mked (Clin-path), Sp.PK-K Pembimbing I

dr. Muzahar, DMM, Sp.PK-K Pembimbing II

Disahkan oleh :

Ketua Departemen Patologi Klinik Ketua Program Studi Departemen FK-USU/RSUP H. Adam Malik Patologi Klinik FK-USU/

Medan RSUP H. Adam Malik Medan

Prof. dr. Adi Koesoema Aman, Sp.PK-KH Prof.DR.dr.Ratna Akbari Gani, Sp.PK-KH NIP. 19491011 1979 01 1 001 NIP. 1948711 1979 03 2 001


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 21 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Adi Koesoema Aman, Sp. PK-KH ... Anggota : 1. Prof. DR. dr. Ratna Akbari Ganie, Sp.PK-KH ... 2. dr. Ricke Loesnihari, MKed (ClinPath), Sp.PK-K ...

3. dr. Muzahar, DMM, Sp.PK-K ………..

4. Prof. Herman Hariman, Ph.D, Sp. PK-KH ... 5. Prof.dr.Burhanuddin Nasution, SpPK-KN, KGEH ...


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas segala kasih karunia Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan rahmat, berkat serta penyertaan selama seluruh proses ini, sehingga akhirnya saya dapat menyelesaikan tesis saya yang berjudul “Beberapa Faktor Resiko Infeksi Oleh Escherecia coli Atau Klebsiella pneumonia Penghasil Extended Spectrum Beta Lactamase” sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan magister di bidang Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Selama saya mengikuti pendidikan sampai saat ini, saya telah banyak menerima bimbingan, petunjuk, bantuan dan pengarahan serta dorongan dari berbagai pihak. Untuk semua itu, izinkan saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih saya yang tidak terhingga kepada :

Yth.Prof. dr. Adi Koesoema Aman, SpPK(KH),Ketua Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan, bantuan dan dorongan selama dalam pendidikan dan proses penyusunan sampai selesainya tesis ini. Saya mengucapkan terimakasih, kiranya Allah Yang Maha Kuasa membalas semua kebaikannya.

Yth. Prof. Dr. dr.Ratna Akbari Ganie, SpPK(KH), sebagai Kepala Program Studi Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah bimbingan, arahan dan dorongan dalam pendidikan dan proses penyelesaian tesis ini.

Yth. Dr. Ricke Loesnihari, Mked (ClinPath), SpPK(K), sebagai Sekretaris Program Studi Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas


(6)

Sumatera Utara dan dan juga sebagai pembimbing pertama saya, atas bimbingan dan arahan dalam pendidikan dan penyelesaian tesis ini.

Yth. dr. Muzahar, DMM, SpPK-K sebagai pembimbing kedua saya yang telah banyak membantu dan memudahkan saya dalam menyelesaikan pembuatan tesis saya ini. Rasa terima kasih juga saya sampaikan kepada beliau yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk, arahan, bantuan dan dorongan dalam pendidikan, semoga Allah membalas semua kebaikannya.

Yth, seluruh guru-guru saya, Prof. Dr. Burhanuddin Nasution SpPK-KN, Prof. dr. Herman Hariman, PhD, SpPK(K), Dr. Zulfikar Lubis SpPK-K, Dr. Ozar Sanuddin SpPK-K, dan Dr. Nelly Elfrida Samosir SpPK, yang telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, arahan dan dukungan selama saya mengikuti pendidikan dan hingga selesainya tesis ini.

Seluruh teman-teman sejawat Pendidikan Magister Bidang Patologi Klinik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, para analis, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan kerjasama yang baik selama saya menjalani pendidikan dan proses penyelesaian tesis ini.

Terima kasih setulus-tulusnya kepada kedua orang tua saya. Drs. Waldiger Pakpahan, MM dan Hertha Nainggolan, serta mertua saya Jaya Lintar Ginting dan Melinda Situmorang atas cinta, pengorbanan dan kesabaran mereka yang telah membesarkan, mendidik, mendorong dan memberikan bantuan serta selalu tanpa bosan-bosannya mendoakan saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan sampai saat ini.


(7)

Kepada teman hidup saya yang terkasih dr. Guntur M.J Ginting, serta dua malaikat kecilku Jesslyn Elnina Ginting dan Glenn Elnino Ginting yang selalu menjadi motivasi dan tujuan hidup saya. Semoga Tuhan senantiasa menjadikan kita keluarga yang paling bahagia.

Kepada saudara-saudara saya yang tercinta :Elisabeth Ade Putri, Gerginto, Herdinto, Ditha Tamara, Monalisa Ginting, Guruh Ginting, Topan Ginting saya ucapkan terima kasih atas doa dan segala dukungan yang kalian berikan. Semoga Yesus Kristus selalu menyertai mereka.

Kepada sahabat-sahabat saya, teman seiring perjalanan, Imee Surbakti, Naomi Dwipayana, Soraya Masyitah, Kurnia Sari Dewi, Edisyah Raskita, Andy Arfan terima kasih banyak untuk kebersamaan, pengertian, kisah dan inspirasi. Semoga Tuhan Yang Maha Penyayang membalas kebaikan mereka.

Akhir kata, semoga kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah Yang Maha Pengasih senantiasa melimpahkan Rahmat dan BerkatNya kepada kita semua.

Medan , Agustus 2014 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan Tesis ii

Lembar Penetapan Panita Penguji iii

Ucapan Terima Kasih iv

Daftar Isi ix

Daftar Tabel xii

Daftar Lampiran xiii

Daftar Singkatan xiv

Abstrak xvi

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 7

1.3. Hipotesis Penelitian 8

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum 10

1.4.2. Tujuan Khusus 11

1.5. Manfaat Penelitian 11

1.6. Kerangka Konsep 12

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


(9)

2.1.1.β-Lactamase 13

2.1.2. ESBL 15

2.2 Klasifikasi ESBL 16

2.3. Epidemiologi 20

2.4. Organisme penghasil ESBL 23

2.4.1. Klebsiella pneumonia 24

2.4.2. Escherichia coli 25

2.5. Faktor Resiko Infeksi oleh Organisme Penghasil ESBL 25 2.6. Metode Deteksi ESBL

2.6.1. Skrining ESBL

2.6.1. Disk Diffusion Test 27

2.6.1.2 Dilution antimicrobial susceptibility tests 28

2.6.2. Tes Konfirmasi Fenotipik 29

2.6.3. Metode deteksi lain untuk organism penghasil ESBL

2.6.3.1 Double Disk Synergy Test (DDST) 31

2.6.3.2. Tes Komersil ESBL 31

2.7. ESBL Kaitannya dengan Tingkat Mortalitas, Lamanya

Rawatan, dan Beban Ekonomis 32

2.8. Terapi ESBL 35


(10)

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 39

3.3. Populasi Penelitian 39

3.4. Sampel Penelitian

3.4.1. Cara Pengambilan Sampel Penelitian 39

3.4.2. Besar Sampel . 40

3.5. Kriteria Penelitian

3.5.1. Kriteria Inklusi 41

3.5.2. Kriteria Eksklusi . 42

3.6. Identifikasi Variabel

3.6.1. Variabel Bebas . 42

3.6.2. Variabel Terikat 42

3.7. Definisi Operasional 43

3.8. Cara Kerja

3.8.1 Kultur Darah, Sputum, Urin, Cairan Tubuh, dan Sekret

3.8.1.1 Kultur Darah 45

3.8.1.2 Kultur Sputum 46

3.8.1.3 Kultur Urin 47

3.8.1.4. Kultur Cairan Tubuh 47

3.8.1.5. Kultur Sekret 48

3.8.2 Pewarnaan Gram 49


(11)

BD Phoenix 50 3.8.4 Memasukkan Panel yang telah diinokulasi koloni

bakteri ke dalam Mesin Phoenix 55

3.8.5. Mengeluarkan panel dari mesin Phoenix 56

3.8.6. Interpretasi hasil 57

3.9. Pemantapan Kualitas

3.9.1. Pemantapan Kualitas Media Kultur 58

3.9.2. Pemantapan Kualitas Pewarnaan 58

3.9.3. Pemantapan Kualitas BD Phoenix 59

3.10.Etichal Clearance dan Informed Consent 59

3.11.Rencana Pengolahan dan Analisis Data 59

3.12. Perkiraan Biaya Penelitian 60

3.13. Jadwal Kegiatan 60

3.14. Kerangka Kerja 61

BAB 4. HASIL

4.1. Karakteristik Subjek Penelitian 62

4.2. Pola Tes Kepekaan Antibiotik 64

4.3 Faktor Resiko 68


(12)

BAB 6. KESIMPULAN dan SARAN

6.1 Kesimpulan 72

6.1 Saran 72

DAFTAR PUSTAKA 77


(13)

DAFTAR SINGKATAN

BES : Brazilian Extended Spectrum Beta-Laktamase CLSI : Clinical and Laboratory Standards Institute CTX-M-2 : Cefotaxime-Munich-2

CTX-M -3 : Cefotaxime-Munich-3 CTX-M-10 : Cefotaxime-Munich-10 CTX-M : Cefotaxime-Munich CTX-M -14 : Cefotaxime-Munich-14 CTX-M -15 : Cefotaxime-Munich-15 CTX-M -44 : Cefotaxime-Munich-44 DDST : Double Disk Synergy Test

EARSS : European Antimicrobial Resistance Surveillance System ESBL : Extended Spektrum β-Laktamase

GES : Guiana Extended Spectrum Beta-Laktamase IBC : Integron Brone Cephalosporin

MIC : Minimum Inhibitory Concentration

NCCLS : National Committee for Clinical Laboratory Standards PEARLS : The Pan European Antimicrobial Resistance using Local

Surveillance

PER : Pseudomonas Aeruginosa

PER -1 : Pseudomonas Aeruginosa-1 PER -2 : Pseudomonas Aeruginosa -2


(14)

SFO : Serratia fonticola enzyme SHV : Sulfhydryl Variable SHV-1 : Sulfhydryl Variable-1

TEM : Temoneira

TEM-1 : Temoniera-1

TEM-2 : Temnoniera-2

TEM-17 : Temnoniera-17 TEM-42 : Temnoniera-42 TEM-63 : Temnoniera-63 TLA : Tlahuicas Indians

VEB : Vietnam Extended Spectrum Beta-Laktamase VEB-1 : Vietnam Extended Spectrum Beta-Laktamase-1


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Reaksi hidrolitik oleh β-laktamase pada ikatan amida dari

cincin β-laktam 13

Gambar 2. Prevalensi ESBL pada E. Coli dan K. Pneumonia dari

berbagai studi dan EAR 23

Gambar 3. Tes Kepekaan Antibiotik pada Kelompok ESBL 64 Gambar 4. Tes Kepekaan Antibiotik Kelompok Non-ESBL 67


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi β-lactamaseberdasarkan kelas molekuler dan

fungsional 14

Tabel. 2. Kriteria MIC dan Zona Inhibitor untuk mendeteksi ESBL

pada K.pneumoniae and E.coli 29

Tabel 3. Outcomedari pasien-pasien dengan bakteremia yang

disebabkan oleh organism epenghasil ESBL :

studi retrospektif 32

Tabel 4. Karakteristik Subjek Penelitan 62

Tabel 5. Jenis Spesimen 63

Tabel 6. Sumber spesimen yang menghasilkan ESBL 64 Tabel 7. Pola tes kepekaan antibiotik kelompok ESBL 65

Tabel 8. Tes Kepekaan Antibiotik pada Kelompok ESBL 66 Tabel 9. Faktor resiko terkait infeksi oleh E.coli atau


(17)

Beberapa Faktor Resiko Pada Pasien dengan Infeksi oleh E. coli dan

K. pneumonia Penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan

Selastri Agnes1, Ricke L2, Muzahar3

1Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara,

Medan,2,3Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera

Utara, Medan Abstrak

Latar Belakang : Pengidentifikasian faktor resiko terhadap infeksi oleh bakteri penghasil ESBL sangat penting dalam mencegah penyebaran ESBL dan menurunkan mortalitas.

Tujuan Umum :Mengetahui faktor resiko infeksi oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan

Metoda dan cara :Penelitian analitik dengan pendekatan potong lintang ini dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan pada Januari–Maret 2014. Sampel dibagi 2 kelompok berpasangan: ESBL (n=27) dan Non ESBL (n=27). Faktor resiko yang dibandingkan adalah lamanya rawatan di rumah sakit, pemakaian alat invasif medis dan penyakit komorbid. Tes kepekaan antibiotik pada kedua kelompok juga ikut dievaluasi.

Hasil : Berdasarkan analisa statistik, didapatkan: faktor resiko yang bermakna secara signifikan adalah lama rawatan > 1minggu OR 8.594 (1,680-43.953) p value 0.004, kateter vena perifer OR 0,156 (0,045-0,539) p value 0.002, kateter urin OR 0,116 (0,023-0,595) p value 0.004, ventilator mekanik OR 0,091 (0,011-0,793) p value 0.002, pipa nasogastrik OR 0,160 (0,31-0,831) p value 0,018; penyakit komorbid OR 15,625 (3,067-79,594) p value

<0.001. Sedangkan faktor resiko yang tidak bermakna adalah pemakaian vena sentral OR 0,413 (0,198-1,568) p value 0.190 dan pembedahan OR 5,909 (0,641-54,542) p value 0,096. Antibiotik yang paling sensitif terhadap bakteri E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL adalah meropenem dan imipenem (92,6%) diikuti oleh amikasin (85,2%).

Kesimpulan: Faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi ESBL adalah lama rawatan > 1 minggu, pemakaian kateter vena perifer, kateter urin, ventilator mekanik dan selang nasogastrik dan penyakit komorbid. Golongan karbapenem masih merupakan antibiotik pilihan dalam menangani infeksi ESBL.


(18)

Some Risk Factors in Patient with Infection of ESBL producing

Escherichia Coli or Klebsiella Pneumoniae

Infection In Haji Adam

Malik Hospital

Selastri Agnes1, Ricke L2, Muzahar3

1Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara,

Medan,2,3Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera

Utara,

Abstract

Background: Identification of risk factors for ESBL-producing bacteria infection are very important to avoid spread of ESBL and to decreased mortality.

Purpose: To identify risk factors for infection ESBL-producing E. coli or K. pneumoniae

Method: An analytical study with cross sectional approach was conducted at H. Adam Malik hospital Medan from January-March 2014. Samples were divided into 2 groups of pairs: ESBL (n = 27) and non-ESBL (n = 27). The length of hospital stay, utilization of invasive medical devices, comorbid disease, and surgery procedure are the risk factors that being analyzed. Antibiotic sensitivity tests in both groups also evaluated.

Results: Based on the statistical analysis we found that the risk factors that have a significant relationship with ESBL infection was length of hospital stay > 1 week OR 8,594 (1,680-43.953) p value 0.004, utilization of peripheral venous catheters OR 0,156 (0,045-0,539) p value 0.002, urinary catheters OR 0,116 (0,023-0,595) p value 0.004, mechanical ventilator OR 0,091 (0,011-0,793) p value 0.002 and comorbid disease OR 15,625 (3,067-79,594). There was no significant correlation in utilization of CVC OR 0,413 (0,198-1,568) p value 0.190 and surgery procedure OR 5,909 (0,641-54,542) p value 0,096. The ESBL-producing Escherichia coli or Klebsiella pneumoniae showed very good susceptibility to meropenem, imipenem (92.6%) and amikacin(85.2%).

Conclusions: Risk factors associated with ESBL infections are length of hospital stay > 1 week, utilization of invasive medical devices (peripheral venous catheters, urinary catheters, nasogastric tube and mechanical ventilator) and comorbid disease. Carbapenem is still an option for ESBL infection


(19)

Beberapa Faktor Resiko Pada Pasien dengan Infeksi oleh E. coli dan

K. pneumonia Penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan

Selastri Agnes1, Ricke L2, Muzahar3

1Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara,

Medan,2,3Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera

Utara, Medan Abstrak

Latar Belakang : Pengidentifikasian faktor resiko terhadap infeksi oleh bakteri penghasil ESBL sangat penting dalam mencegah penyebaran ESBL dan menurunkan mortalitas.

Tujuan Umum :Mengetahui faktor resiko infeksi oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan

Metoda dan cara :Penelitian analitik dengan pendekatan potong lintang ini dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan pada Januari–Maret 2014. Sampel dibagi 2 kelompok berpasangan: ESBL (n=27) dan Non ESBL (n=27). Faktor resiko yang dibandingkan adalah lamanya rawatan di rumah sakit, pemakaian alat invasif medis dan penyakit komorbid. Tes kepekaan antibiotik pada kedua kelompok juga ikut dievaluasi.

Hasil : Berdasarkan analisa statistik, didapatkan: faktor resiko yang bermakna secara signifikan adalah lama rawatan > 1minggu OR 8.594 (1,680-43.953) p value 0.004, kateter vena perifer OR 0,156 (0,045-0,539) p value 0.002, kateter urin OR 0,116 (0,023-0,595) p value 0.004, ventilator mekanik OR 0,091 (0,011-0,793) p value 0.002, pipa nasogastrik OR 0,160 (0,31-0,831) p value 0,018; penyakit komorbid OR 15,625 (3,067-79,594) p value

<0.001. Sedangkan faktor resiko yang tidak bermakna adalah pemakaian vena sentral OR 0,413 (0,198-1,568) p value 0.190 dan pembedahan OR 5,909 (0,641-54,542) p value 0,096. Antibiotik yang paling sensitif terhadap bakteri E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL adalah meropenem dan imipenem (92,6%) diikuti oleh amikasin (85,2%).

Kesimpulan: Faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi ESBL adalah lama rawatan > 1 minggu, pemakaian kateter vena perifer, kateter urin, ventilator mekanik dan selang nasogastrik dan penyakit komorbid. Golongan karbapenem masih merupakan antibiotik pilihan dalam menangani infeksi ESBL.


(20)

Some Risk Factors in Patient with Infection of ESBL producing

Escherichia Coli or Klebsiella Pneumoniae

Infection In Haji Adam

Malik Hospital

Selastri Agnes1, Ricke L2, Muzahar3

1Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara,

Medan,2,3Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera

Utara,

Abstract

Background: Identification of risk factors for ESBL-producing bacteria infection are very important to avoid spread of ESBL and to decreased mortality.

Purpose: To identify risk factors for infection ESBL-producing E. coli or K. pneumoniae

Method: An analytical study with cross sectional approach was conducted at H. Adam Malik hospital Medan from January-March 2014. Samples were divided into 2 groups of pairs: ESBL (n = 27) and non-ESBL (n = 27). The length of hospital stay, utilization of invasive medical devices, comorbid disease, and surgery procedure are the risk factors that being analyzed. Antibiotic sensitivity tests in both groups also evaluated.

Results: Based on the statistical analysis we found that the risk factors that have a significant relationship with ESBL infection was length of hospital stay > 1 week OR 8,594 (1,680-43.953) p value 0.004, utilization of peripheral venous catheters OR 0,156 (0,045-0,539) p value 0.002, urinary catheters OR 0,116 (0,023-0,595) p value 0.004, mechanical ventilator OR 0,091 (0,011-0,793) p value 0.002 and comorbid disease OR 15,625 (3,067-79,594). There was no significant correlation in utilization of CVC OR 0,413 (0,198-1,568) p value 0.190 and surgery procedure OR 5,909 (0,641-54,542) p value 0,096. The ESBL-producing Escherichia coli or Klebsiella pneumoniae showed very good susceptibility to meropenem, imipenem (92.6%) and amikacin(85.2%).

Conclusions: Risk factors associated with ESBL infections are length of hospital stay > 1 week, utilization of invasive medical devices (peripheral venous catheters, urinary catheters, nasogastric tube and mechanical ventilator) and comorbid disease. Carbapenem is still an option for ESBL infection


(21)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Antibiotika, yang pertama kali ditemukan oleh Paul Ehlrich pada 1910, sampai saat ini masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasus-kasus penyakit infeksi. Pemakaiannya selama 5 dekade terakhir mengalami peningkatan yang luar biasa, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga menjadi masalah di negara maju seperti Amerika Serikat. Center for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat menyebutkan terdapat 50 juta peresepan antibiotik yang tidak diperlukan (unnecessary prescribing) dari 150 juta peresepan setiap tahun. Menurut Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, sekitar 92 % masyarakat di Indonesia tidak menggunakan antibiotika secara tepat. Bahkan Indonesia menduduki peringkat ke-8 dari 27 negara dengan beban tinggi kekebalan obat terhadap kuman (Multidrug Resistance/MDR) di dunia berdasarkan WHO (World Health Organization) tahun 2009.1

Pemakaian antibiotik yang irasional menyebabkan resistensi dan menimbulkan berbagai masalah baik dari segi kesehatan maupun segi ekonomi. Resistensi antibiotik merupakan ancaman yang meningkat dan melanda rumah sakit di seluruh dunia.1,2,3 Antibiotik β-laktam merupakan antibiotik yang paling sering digunakan dan β-laktamase merupakan enzim


(22)

yang dihasilkan oleh bakteri yang mampu menghidrolisis antibiotik β-laktam. β-laktamase adalah penyebab utama dari resistensi untuk senyawa ini.3

ESBL adalah salah satu bentuk resistensi akibat β-laktamase dan dikenal berspektrum luas karena memiliki kemampuan menghidrolisis antibiotik golongan penisillin, cephalosporin generasi I, II, III serta golongan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem). ESBL berasal dari jenis enzim TEM dan SHV.2-6

Infeksi yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL menimbulkan tantangan serius bagi para mikrobiologi klinis, dokter, para profesional pengontrol infeksi, serta para ilmuwan penemu antibiotik karena mereka resisten terhadap berbagai β-laktam, termasuk generasi ketiga sefalosporin. ESBL terletak di plasmid yang dialihkan dari strain ke strain bahkan antar spesies bakteri. Oleh karenanya infeksi nosokomial yang disebabkan oleh mikroorganisme ini menyulitkan terapi.2-5

Sejak pertama kali, ditemukan yaitu pada pertengahan tahun 1980-an, ESBL telah semakin cepat menyebar dan bermutasi menjadi beberapa tipe. Sebenarnya prevalensi yang jelas terhadap angka kejadian ESBL tidaklah diketahui dengan pasti. Hal tersebut disebabkan sulitnya dalam menemukan dan mendeteksinya. Namun demikian, jelas bahwa organisme penghasil ESBL memang telah menyebar secara luas di seluruh dunia dan prevalensinya semakin meningkat.5

Meskipun ESBL telah banyak ditemukan pada berbagai Enterobacteriaceae dan Pseudomonadaceae di berbagai belahan dunia,


(23)

namun mereka paling sering teridentifikasi dalam Klebsiella pneumonia dan Escherechia coli.5,7-9Pada berbagai belahan dunia 10-40% strain Escherichia

coli dan Klebsiella pneumoniae mengekspresikan ESBL.5,6 Bakteri lain yang pernah dilaporkan sebagai penghasil ESBL adalah Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter spp., Salmonella spp., Morganella morganii, Proteus mirabilisdanSerratia marcescens.9-13

Prevalensi ESBL bervariasi dari satu negara dengan negara lain dan dari suatu institusi dengan institusi lain. Dari sebuah survei oleh SENTRY Antimicrobial pada 81,213 kultur darah selama tahun 1997-2002 menunjukkan bahwa isolat Klebsiella spp. yang memiliki fenotip sebagai penghasil ESBL adalah sebanyak 42.7% di Latin America, 21.7% di Eropa dan 5.8% di Amerika Selatan.14 Menurut studi yang dilakukan The Pan

European Antimicrobial Resistance using Local Surveillance (PEARLS) selama 2001-2002 menunjukkan persentase ESBL diantara E. coli, K. pneumonia dan Enterobacter spp adalah 5,4 %, 18,2%, dan 8,8%.15Sangat mengejutkan bahwa ternyata menurut data dari European Antimicrobial Resistance Surveillance System (EARSS) tahun 2010, resistensi terhadap generasi ketiga cephalosporin pada E.coli meningkat 2,6% di Sweden hingga 25% di Bulgaria; sedangkan pada K. pneumonia di Sweden sebanyak 1,7% dan meningkat ke level yang sangat tinggi yaitu 75,6% dan 74,6% di Bulgaria dan Yunani.16 Sementara di daerah lain di Asia cukup bervariasi, yaitu 4,8% di Korea, 8,5% di Taiwan dan 12% di Hongkong.17,18


(24)

Data prevalensi kejadian ESBL di Indonesia masih belum jelas. Hanya terdapat beberapa studi terkait ESBL. Menurut penelitian yang dilakukan oleh

The Indonesia Antimicrobial Resistance tahun 1999, didapati bahwa terdapat 33.3% K. pneumonia penghasil ESBL dan 23.0% E. coli penghasil ESBL. 19 Sebuah studi lain yang dilakukan pada tahun 2005 di RS. Dr. Soetomo di Surabaya, melaporkan bahwa terdapat 86% K.pneumonia penghasil ESBL yang didapat dari isolat urin dan darah.20 Sebelumnya, tahun 2004 prevalensi

E.coliESBL di Surabaya sebesar 10,8%.21

Peningkatan penyebaran ESBL ini diduga oleh karena beberapa faktor resiko. Banyak sekali faktor resiko yang diduga berhubungan dengan kejadian ESBL, antara lain; tingkat keparahan dari penyakit, lamanya rawatan di rumah sakit, lamanya mendapat perawatan di ruang rawat intensif, mendapat prosedur-prosedur invasif, pemakaian selang infus, pemakaian kateter vena sentral, pemakaian ventilator, pemberian nutrisi secara parenteral, pemakaian kateter urin, usia, hemodialisa, pemakaian antibiotik yang tidak tepat, berat lahir rendah dan status gizi yang kurang.4

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ebbing Lautenbach dkk di Philadelphia tahun 2001 didapatkan bahwa infeksi nosokomial, pemakaian selang infus, pemakaian kateter dan durasi lamanya rawatan rumah sakit merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian ESBL.22 Berbeda dengan Pena C dkk, mereka menemukan bahwa satu-satunya faktor resiko yang meningkatkan resiko mortalitas pada pasien dengan infeksi oleh E. coli penghasil ESBL adalah infeksi saluran kemih.23


(25)

Rizky, tahun 2010, melakukan penelitian di RS. Kariadi Semarang dan mendapatkan bahwa perawatan di ruang rawat intensif dan BBRT (Bangsal Bayi Beresiko Tinggi) merupakan faktor risiko independen kejadian infeksi oleh bakteri penghasil ESBL.24

ESBL menimbulkan banyak masalah, yaitu tingginya tingkat mortalitas, lamanya rawatan dan beban ekonomis. Kompleksnya masalah resistensi pada ESBL menyebabkan sulitnya pengobatan karena terbatasnya pilihan antibiotik. Keterlambatan pemberian terapi antibiotik yang tepat diduga merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada infeksi oleh organisme penghasil ESBL. Quresi dkk dengan studi kontrol-kasus menemukan bahwa pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat berhubungan kuat dengan tingginya angka mortalitas pada pasien-pasien yang terinfeksi oleh baik K. pneumonia dan E. coli penghasil ESBL.16 Hasil yang sama dibuktikan juga oleh Emese Szilagyi di Hungaria yang dilakukan oleh pada tahun 2009 bahwa tingkat mortalitas pada pasien dengan infeksi K. pneumonia penghasil ESBL berbeda singnifikan dengan K. pneumonia non-ESBL.25 Angka mortalitas terhadap pasien yang terkena infeksi ESBL yang diterapi dengan antibiotik yang tidak tepat mencapai 42-100%.4

Pemberian terapi yang tidak tepat pada infeksi ESBL ini juga tentunya berdampak pada lamanya rawatan rumah sakit dan kemudian berdampak besar pada biaya episode bakteremia. Jadi tidaklah mengherankan jika infeksi oleh organisme penghasil ESBL ini mengakibatkan peningkatan beban ekonomis. Lautenbach menunjukkan bahwa infeksi oleh karena K.


(26)

pneumonia dan E. coli penghasil ESBL membutuhkan biaya 2.9 kali lebih tinggi dengan infeksi oleh bakteri non-ESBL, pada studi lain juga terjadi peningkatan 1.5-1.7 kali lipat biaya yang diperlukan.16 Pendapat lain mengatakan bahwa biaya oleh karena E. coli dan K. pneumonia penghasil ESBL meningkat sampai 71% dibandingkan non-ESBL.26

Oleh karenanya, pengidentifikasian faktor resiko dan adanya pola sensitivitas antibiotik terhadap infeksi oleh penghasil ESBL sangat diperlukan dalam menekan angka kejadian ESBL dan berbagai masalah yang ditimbulkannya.

Di RSUP H. Adam Malik Medan belum ada penelitian mengenai faktor resiko infeksi oleh kuman ESBL. Karena E. coli dan K. pneumonia merupakan bakteri yang paling banyak menghasilkan ESBL, maka pada tulisan ini akan disampaikan mengenai faktor resiko yang berpengaruh terhadap infeksi E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL yaitu perawatan inap di rumah sakit, pemakaian alat invasif medis, penyakit komorbid dan tindakan pembedahan. Akan dipaparkan juga prevalensi dan pola sensitivitas bakteri E. coli dan K. pneumonia penghasil ESBL. Hal ini tentunya berguna untuk meningkatkan kewaspadaan tentang keberadaan ESBL dan sebagai rekomendasi antibiotik untuk klinisi sehingga semakin tepat dalam penangan pasien dengan infeksi oleh ESBL.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :


(27)

1. Apakah perawatan inap di rumah sakit merupakan faktor resiko terjadinya infeksi yang disebabkan oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL?

2. Apakah pemakaian alat invasif medis; yaitu : kateter vena sentral, kateter vena perifer, kateter urin, ventilator mekanik, dan pipa nasogastrik merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL ?

3. Apakah penyakit komorbid merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL?

4. Apakah tindakan pembedahan merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL?

1.3. Hipotesis Penelitian

1. Perawatan inap di rumah sakit merupakan faktor resiko terjadinya infeksi yang disebabkan oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL.

2. pemakaian alat invasif medis; yaitu : kateter vena sentral, kateter vena perifer, kateter urin, ventilator mekanik, dan pipa nasogastrik merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL

3. Penyakit komorbid merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL


(28)

4. Tindakan pembedahan merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

1. Mengetahui apakah perawatan inap di rumah sakit merupakan faktor resiko terjadinya infeksi yang disebabkan oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL.

2. Mengetahui apakah pemakaian alat invasif medis; yaitu : kateter vena sentral, kateter vena perifer, kateter urin, ventilator mekanik, dan pipa nasogastrik merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL

3. Mengetahui apakah penyakit komorbid merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL

4. Mengetahui apakah tindakan pembedahan merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui prevalensi E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan

2. Mengetahui pola sensitivitas tes kepekaan kuman pada bakteri E.coli atau K. pneumonia penghasil ESBL


(29)

1.5. Manfaat Penelitian

1. Identifikasi terhadap faktor-faktor risiko terjadinya infeksi ESBL, maka dapat dilakukan berbagai usaha terkait untuk pengendalian dan pencegahan infeksi oleh E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL.

2. Sebagai data angka kejadian infeksi E.coli atau K. pneumonia penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik

3. Didapatnya acuan antibiotik pilihan dalam penanganan kasus infeksi oleh E.coli atau K. pneumonia penghasil ESBL

1.6 Kerangka Konsep

Ket : = Variabel yang diteliti

Isolat darah, sputum dan urin yang teridentifikasi sebagai E. coli atau K. pneumonia

Faktor Resiko

:

1.Lamanya rawatan 2. Pemakaian alat invasif medis

3. Penyakit komorbid 4. Tindakan

Pembedahan

Kelompok Kontrol: E. coli atau K. pneumonia tidak penghasil ESBL (ESBL (-)) Kelompok

Kasus: E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL (ESBL (+))


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

2.1.1. β- Lactamase

β-lactamase adalah enzim yang memiliki kemampuan menghidrolisis ikatan 4-cincin betalaktam dari antibiotik beta-laktam (penisilin, cephalosporins, monobactams dan carbapenems).27,28 Enzim ini memiliki mekanisme yang penting atas terjadinya resistensi antibiotik β-laktam. Sampai tahun 2001, sudah ada 340 varian β-lactamase yang berhasil diidentifikasi. Sangat penting untuk mengetahui tipe dari β-lactamase ini karena berdampak terhadap pemilihan agen antimikroba dalam penanganannya.

Gambar 1. Reaksi hidrolitik oleh laktamase pada ikatan amida dari cincin β-laktam28

Cincin ß-lactam : target dari ß-lactamase

lactam ring terbuka oleh ß-lactamase : menghasilkan kelemahan dalam


(31)

β-lactamase dikelompokkan atas 4 kelas (Ambler,1980) yaitu kelas A, B, C dan D yang berasal dari dua kelompok utama serine dan metallo-b-lactamases. Ada beberapa pembagian untuk klasifikasi betalaktamase.3,19,29 ESBL umumnya diturunkan dari enzim TEM atau SHV dan keduanya termasuk kelas molekuler kelas A dan menjadi grup fungsional 2be.28

Tahun 1968, beberapa metode klasifikasi diajukan. Namun klasifikasi menurut Bush, Jacoby dan Medeiros lebih lengkap dengan mengkombinasikan elemen-elemen dari pembagian sebelumnya dan mengkorelasikannya dengan struktur molekuler19.

Tabel 1. Klasifikasi β-lactamaseberdasarkan kelas molekuler dan fungsional28

Kelas

Fungsional MolekulerKelas Karakteristik

Grup 2a A 25-32 Penicillinase spektrum sempit, dibawa oleh bakteri Gram-negatif dan diinhibisi oleh asam klavulanat

Contoh:Klebsiella pneumoniae

chromosomal β-lactamase, LEN-1. Grup 2b A 22-36 kDa penicillinase spektrum luas,

diinhibisi oleh asam klavulanat

Contoh:Enterobacter cloacaeplasmid pDSO76 β-lactamase, OHIO-1.

Grup 1 C 40 kDa Cephalosporinase tidak diinhibisi oleh inaktivator.

Contoh :Pseudomonas aeruginosastrain PA01 chromosomal AmpC β-lactamase Grup 2be A 28-29 kDa, extended spectrum

β-lactamases (ESBL) tipe TEM dan SHV, diinhibisi oleh inaktivator.

Contoh :Pseudomonas aeruginosa, PER-1.


(32)

Grup 2b5 A 24 kDa β-lactamases spektrum luas, tidak diinhibisi dengan baik oleh inaktivator Contoh:Escherichia coli strain GUER plasmid β-lactamase,TEM-30.

Grup 2c A 22-34 kDa Carbenicillinase tipe PSE diinhibisi oleh inaktivator.

Contoh : Acinetobacter calcoaceticus

strain A85-145 β-lactamase, CARB-5. Grup 2d D 29-53 kDa Oxacillinases, tidak diinhibisi

dengan baik oleh inaktivator

Contoh:Salmonella typhimuriumstrain type 1a β-lactamase, OXA-2.

Grup 2e A 27-48 kDa Cephalosporinases diinhibisi oleh inaktivator.

Contoh:Yersinia enterocoliticastrain y56 chromosomal β-lactamase

Grup 2f A 29-30 kDa Serine Carbapenemases Contoh:Serratia marcescensstrain S6 chromosomal β-lactamase, Sme-1. Grup 3 B 25-120 kDa, Metallo-carbapenemases)

métallo-β-lactamases. Contoh:Chryseopbacterium (Flavobacterium) indologenes

chromosomal β-lactamase ditemukan di Burkina Faso (Africa) dinamakan IND-B.

2.1.2 ESBL

ESBL termasuk subgroup 2be (Ambler’s class A ) dan subgrup 2d (Ambler’s class D) berdasarkan kriteria β-lactamase Bush Jacoby Medieros. ESBL dikenal berspektrum luas karena memiliki menghidrolisis antibiotik golongan penicillin, cephalosporin generasi I, II, III serta golongan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem).5,7,13,16,19,22,28-30


(33)

Enzim ini muncul segera setelah pengenalan spektrum luas sefalosporin dan pertama kali dilaporkan di Eropa pada awal tahun 80-an, namun saat ini telah ditemukan di seluruh dunia. ESBL, seperti disebutkan sebelumnya, adalah bentuk mutan enzim TEM-1, TEM-2 dan SHV-1. ESBL sering berbeda dari enzim aslinya dengan hanya satu sampai beberapa perubahan dalam urutan asam aminonya.27,29

Faktor genetik memegang peranan penting dalam terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik.29 Gen penyebab resistensi terletak pada elemen genetik yaitu kromosom, plasmid, transposon dan integron. Elemen genetik khususnya transposon, plasmid dan integron dapat bertukar bebas antar bakteri secara horizontal melalui proses konjugasi, transduksi dan transformasi. Proses tersebut menyebabkan terjadinya MDR pada beberapa antibiotik. ESBL termasuk plasmid-mediated β lactamase yang dapat menyebar secara horizontal melalui konjugatif plasmid dan integron.27,29

2.2 Klasifikasi ESBL

Banyak variasi genotip ESBL. Genotip yang paling banyak adalah tipe SHV, TEM, dan CTX-M. Tipe lain yang penting adalah VEB dan PER,7,27,30

2. 2.1. TEM (Temniore)29,30

Klasifikasi TEM berdasarkan perbedaan perubahan kombinasi asam amino. TEM-1 pertama kali dilaporkan pada tahun 1965, dimana TEM-1 ini berasal dari isolat E.coli di Athena, Yunani dan disebut “Temoneira” sehingga sejak itu digunakan istilah TEM. TEM-1 β-lactamase menimbulkan resisten


(34)

terhadap ampicillin, penicillin dan generasi pertama cephalosporin seperti cephalothin dan cephaloridine. Enzim ini berperan 90% dalam resistensi ampicillin pada E. coli, juga berperan pada resistensi penicillin pada H. influenza dan Neisseria gonorrhea.

Walaupun tipe TEM lactamase kebanyakan ditemukan pada E. coli dan K. pneumonia, tapi ditemukan juga pada bakteri gram negatif lainnya. Tipe TEM ESBL dilaporkan pada Enterobacteriaceae seperti Enterobacter aerogenes, Morganella morganii, Proteus mirabilis, Proteus rettgeri, dan

Salmonella spp. Tipe TEM ini juga ditemukan pada bakteri gram negatif non-Enterobacteriaceae. TEM-42 lactamase ditemukan pada P. aeruginosa. TEM 17-lactamse didapatkan dari kultur darah dariCapnocytophaga ochracea

2.2.2. SHV (Sulfhydryl Variable)27,29,30

SHV-1 dan TEM-1 memiliki struktur yang mirip, 68% asam amino yang ada di SHV-1 juga terdapat di TEM-1. Tipe SHV-1 lactamase, awalnya ditemukan pada K. pneumonia, yang mana merupakan chromosomally encoded-enzyme yang menimbulkan resistensi pada penicillin dan generasi pertama cephalosporin. SHV mengacu pada variabel sulfhydril dan termasuk dalam grup 2be. Kebanyakan varian SHV yang memiliki fenotip ESBL memiliki karakter khusus pada pertukaran asam amino dari serin ke glisin pada posisi 238. Variasi atau turunan dari SHV lebih sedikit dari TEM. Saat ini, telah ditemukan 36 turunan SHV. Tipe SHV kebanyakan ditemukan pada K. pneumonia, namun dapat ditemukan pula pada Citrobacter diversus, E. coli, andP. aeruginosa


(35)

2.2.3. CTX-M (Cefotaxime Munich)5,26,28,29

Beberapa tahun belakangan ini, sudah ditemukan sebuah famili plasmid-mediated ESBL yang memiliki tingkat hidrolisis yang kuat terhadap cefotaxime, dinamakan CTX-M. Tipe ini banyak ditemukan pada Salmonella enterica serovar Typhimurium dan E. coli, namun ditemukan juga pada beberapa spesies Enterobacteriaceae lain. Enzim ini terdiri dari CTX-M-1, CTX-M-2 sampai CTX-M-10.

2.2.4. ESBL tipe lain5

Variasi ß-lactamase lainnya telah berhasil ditemukan yaitu plasmid-mediated atau integron-associated class A enzyme. Tipe ini memiliki titik mutasi yang tidak sederhana dari ß-lactamase. Mereka dikarakteristikkan berdasarkan perbedaan geografisnya.

2.2.4.1. PER ( Pseudomonas aeruginosa)

Bagian dari ESBL tipe PER hanya 25-27% yang homologi dengan tipe TEM dan SHV. PER-1 memiliki kemampuan untuk menghidrolisis penisilin dan cephalosporin, namun sensitif terhadap inhibisi dari asam klavulanat. PER-1 pertama ditemukan pada strain Pseudomonas aeruginosa di Turki. Pada perkembangannya ditemukan pula pada Salmonella entericaserovar typhimurium, Acitenobacter baumanii, Proteus mirabilis dan Alcaligenes fecali. Walaupun PER-1 kebanyakan ditemukan di Turki, namun belakangan dideteksi juga di Prancis, Italia, Belgia dan Korea. PER-2 yang 85 % -nya homology dengan PER-1, telah didapatkan pada Salmonella entericaserovar


(36)

typhimurium, E. coli, K. pneumonia, dan Vibrio cholera O1. PER-2 kebanyakan terdapat di Amerika Selatan

2.2.4.2. VEB (Vietnam Extended Spectrum β-lactamase)

VEB-1 memiliki homologi yang paling besar dengan PER-1 dan PER-2 (38%). Mereka memiliki kemampuan resistensi tingkat tinggi terhadap ceftazidime, cefotaxime and aztreonam. VEB-1 pertama kali ditemukan pada isolat E. coli di Vietnam. Sebuah ß-lactamase lain yang memiliki struktur yang identik dengan VEB-1 telah ditemukan juga pada K.pneumonia, Enterobacter cloaca and Pseudomonas aeruginosa di Thailand. Enzim VEB lainnya ditemukan juga di Kuwait dan China.

Masih ada juga beberapa tipe ESBL lainnya yang telah ditemukan namun jarang dilaporkan karena masih dalam jumlah yang sedikit pada daerah geografis yang terbatas. GES dan IBC ß-lactamase ditemukan di P. aeruginosa. Tipe yang jarang lainnya : BES, SFO, dan TLA yang ditemukan pada Enterobacteriaceae.

2.3. Epidemiologi

Saat ini ESBL telah menjadi masalah yang serius di beberapa rumah sakit di berbagai negara dan di berbagai institusi. Sejak ditemukannya pertama kali, yaitu pada pertengahan tahun 1980-an, ESBL telah semakin cepat menyebar dan bermutasi menjadi beberapa tipe. Saat ini, organisme penghasil ESBL memang telah menyebar secara luas di seluruh dunia dan prevalensinya semakin meningkat.5


(37)

Fenomena ESBL dimulai di Eropa Barat, kemungkinan karena disanalah pertama β-laktam kali antibiotik β-laktam digunakan secara klinis. Namun tidak membutuhkan waktu yang lama sampai akhirnya ESBL ditemukan di Amerika Serikat dan Asia. ESBL pertama kali ditemukan di Jerman pada tahun 1983, sedangkan di Prancis tahun 1985. Tak lama setelah itu,terjadi wabah infeksi nosokomial di Prancis yang disebabkan oleh strain K. pneumonia. Sedangkan di Amerika Serikat ESBL ditemukan pada akhir 1980-an.16

Dari sebuah survei oleh SENTRY Antimicrobial pada 81,213 kultur darah selama tahun 1997-2002 menunjukkan bahwa isolat Klebsiella spp. yang memiliki fenotip sebagai penghasil ESBL adalah sebanyak 42.7% di Latin America, 21.7% di Eropa dan 5.8% di Amerika Selatan.14 Menurut studi yang dilakukan The Pan European Antimicrobial Resistance using Local Surveillance (PEARLS) selama 2001-2002 menunjukkan persentase ESBL diantara E. coli, K. pneumonia dan Enterobacter spp adalah 5,4 %, 18,2%, dan 8,8% secara respektif.15 Sangat mengejutkan bahwa ternyata menurut data dari EARSS tahun 2010, resistensi terhadap generasi ketiga cephalosporin pada E.coli meningkat 2,6% di Sweden hingga 25% di Bulgaria; sedangkan pada K. pneumonia berada pada angka 1,7% di Sweden dan meningkat ke level yang sangat tinggi yaitu 75,6% dan 74,6% di Bulgaria dan Yunani.16 Secara keseluruhan tingkat produksi ESBL pada kombinasi Enterobacteriaceae adalah 10,5%. Angka kejadian tertinggi adalah di Mesir (38,5%) dan Yunani (27,4%) sedangkan yang terendah adalah di Belanda


(38)

Di Afrika, studi pertama dilakukan di Tanzania pada tahun 2001-2002 dengan mengambil sampel darah dari neonatus. Hasilnya ditemukan 25% E. coli dan 17% K.pneumonia penghasil ESBL, kebanyakan merupakan jenis CTX-M-15 dan TEM-63.31 Pada penelitian lebih lanjut yang dilakukan di sebuah rumah sakit tersier di Mwanza, Tanzania, didapati prevalensi ESBL pada bakteri Gram Negatif sebanyak 29%, yang kebanyakan 64% K. pneumonia dan 24% E. coli.32

Di Saudi Arabia prevalensi yang tepat untuk kejadian ESBL belum diketahui, namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PEARLS (2001-2002) menunjukkan bahwa keseluruhan tingkat produksi ESBL dari Enterobacteriaceae adalah 18,6 % dan laporan lainnya menunjukkan bahwa ESBL telah menjadi umum dan semakin menyebar diantara Rumah Sakit.14,33 Dalam sebuah Rumah Sakit perawatan tersier di Riyadh, 48 % K. pneumonia dan 15,8% E.coli dari kultur darah yang dikumpulkan dari Januari 2003 sampai Desember 2004 adalah merupakan produsen ESBL.34

Di Asia, diterbitkan beberapa artikel pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an melaporkan adanya muncul infeksi ESBL jenis enzim SHV-2 dan Toho-1 (CTX-M-44) di China dan Jepang.35 Berdasarkan survei yang dilakukan SENTRY telah terjadi peningkatan prevalensi K. pneumonia penghasil ESBL (sampai 60%) dan E. coli (13-35%) di beberapa bagian China dengan predominan jenis enzim CTX-M-14 dan CTX-M-3.36 Sedangkan di New Delhi, laporan pertama infeksi Enterobacteriaceae diterbitkan pada tahun 2001.37 Kemudian, Ensor dkk menemukan telah terjadi


(39)

resistensi dari cephalosporin generasi ketiga pada E.coli dan K. pneumonia dari tiga pusat kesehatan di India sedangkan di Mathai menemukan bahwa tingkat infeksi dari Enterobaacteriaceae penghasil ESBL telah mencapai 70%.38,39Sementara di daerah lain di Asia, prevalensi ESBL cukup bervariasi, yaitu 4,8% di Korea sampai 12% di Hongkong.15,17

Di Indonesia, masih sedikit sekali data mengenai ESBL. Menurut penelitian yang dilakukan oleh The Indonesia Antimicrobial Resistance tahun 1999, didapati bahwa terdapat 33.3% K. pneumonia penghasil ESBL dan 23.0% E. coli penghasil ESBL.19 Sebuah studi lain yang dilakukan pada tahun 2005 di RS. Dr. Soetomo di Surabaya, melaporkan bahwa terdapat 86% K.pneumonia penghasil ESBL yang didapat dari isolat urin dan darah.20 Sebelumnya, tahun 2004 prevalensi E.coli ESBL di Surabaya sebesar 10,8%.21


(40)

Gambar 2. Prevalensi ESBL pada E. coli dan K. pneumonia dari berbagai studi dan EARRS16

2.4. Organisme penghasil ESBL

Meskipun ESBL telah banyak ditemukan pada berbagai Enterobacteriaceae dan Pseudomonadaceae di berbagai belahan dunia, namun mereka paling sering teridentifikasi dalam Klebsiella pneumonia dan Escherechia coli.5,7-9Pada berbagai belahan dunia 10-40% strain Escherichia

coli dan Klebsiella pneumoniae mengekspresikan ESBL.5,6 Bakteri lain yang pernah dilaporkan sebagai penghasil ESBL adalah Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter spp., Salmonella spp., Morganella morganii, Proteus mirabilisdanSerratia marcescens.9-13

2.4.1. Klebsiella pneumonia

Anggota genus Klebsiella tersebar luas di lingkungan (air, tanah, dan tanaman). Mereka dapat hidup dalam keadaan bebas di lingkungan untuk periode waktu yang panjang. Klebsiella juga ditemukan sebagai bakteri komensal yang normal dalam saluran pencernaan vertebrata dan mamalia, termasuk burung, reptil dan bahkan serangga. Pada manusia, K. pneumonia merupakan kuman saprofit yang terdapat di nasofaring dan saluran cerna.13

Klebsiella, biasanya K. pneumonia dan K. oxytoca, merupakan kuman patogen yang penting dalam pelayanan kesehatan. Spesies ini sering menyebabkan infeksi nosokomial, seperti septikemia, endokarditis, pneumonia, osteomielitis dan infeksi saluran kemih. Klebsiella sebagai penyebab infeksi nosokomial terkait dengan pemakaian antibiotik yang luas.


(41)

Pemakaian antibiotik yang luas ini menyebabkan terjadinya resistensi. Pada tahun 1980-an ditemukan Klebsiella yang menghasilkan ESBL. K. pneumonia menghasilkan ESBL tipe enzim SHV-1 diperantarai plasmid ataupun kromosomal.3

Mekanisme lain yang menyebabkan terjadinya resisten dan multiresisten pada K. pneumonia yaitu melalui permeabilitas membran luar. Permeabilitas membran luar K. pneumonia dipengaruhi oleh adanya porin. Klebsiella mempunyai dua porin, yaitu OmpK35 dan OmpK36. K. pneumonia yang menghasilkan ESBL mengalami mutasi pada gen gyrA sehingga hanya mempunyai satu porin saja. Penurunan ekspresi dari membrane luar porin ini sering disertai dengan produksi ESBL yaitu tipe TEM atau SHV yang menyebabkan resisten terhadap cefepime atau tipe AmpC yang resisten terhadap imipenem.29

2.4.2. Escherichia coli

Spesies bakteri dari genus Escherichia yang paling sering diisolasi dari specimen klinik adalah E. coli. Organisme merupakan penghuni utama di usus besar, dan juga merupakan isolate penyebab utama infeksi saluran kemih, pneumonia, meningitis, serta septicemia.13

Paparan terhadap antibiotika yang tidak tepat akan menyebabkan berkembangnya bakteri E. coli yang resisten, naik melalui plasmid maupun melalui kromosom. Terbentuknya enzim ESBL menyebabkan E. coli resisten terhadap golongan penisilin, cephalosporin dan aztreonam. Resistensi E. coli terhadap golongan quinolon disebabkan karena berkurangnya pembentukan porin, sehingga permeabilitas melalui membrane luar akan berkurang.29


(42)

2.5. Faktor Resiko Infeksi oleh Organisme Penghasil ESBL

Peningkatan penyebaran infeksi ESBL diduga terkait dengan berbagai faktor resiko. Sangat penting untuk mengidentifikasi faktor risiko untuk infeksi organisme penghasil ESBL secara jelas sehingga strategi yang efektif untuk membatasi wabah infeksi ini dapat dikembangkan. Beberapa studi telah berusaha menjelaskan berbagai faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi oleh organisme penghasil ESBL. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan dalam epidemiologinya, kurangnya konsensus termasuk kegagalan untuk membedakan kolonisasi dari infeksi yang sebenarnya, kurangnya kelompok pembanding, kecilnya jumlah pasien dan terbatasnya pada populasi pasien tertentu serta membatasi penyelidikan hanya untuk pasien-pasien di ruang rawat intensif.24

Secara umum, pasien yang memiliki resiko tinggi mendapat kolonisasi atau terinfeksi bakteri penghasil ESBL adalah mereka yang memiliki penyakit yang serius dengan durasi rawatan rumah sakit yang lama dan menggunakan peralatan medis invasive (kateter urin, endotracheal tube, central venous lines).11,16,25

Dari beberapa penelitian, durasi rawatan antara 11 sampai 67 hari merupakan faktor resiko infeksi oleh bakteri penghasil ESBL. 11 Perawatan ICU juga merupakan salah satu resiko, hal ini terkait dengan penggunaan berbagai alat invasive seperti ventilator, nasogastric tube, endotracheal tube, gastrostomy atau jejunostomy tube, central venous line, pemberian nutrisi parenteral, 11,16,40


(43)

Faktor resiko lain adalah perawatan di rumah atau fasilitas kesehatan lain dalam jangka waktu yang lama, penyakit dasar, pembedahan, tingkat keparahan penyakit, hemodialisa dan nutrisi yang kurang, 16,28 Beberapa penyakit dasar juga dilaporkan memiliki hubungan dengan infeksi oleh organisme penghasil ESBL, yaitu : infeksi saluran kemih berulang, diabetes mellitus, keganasan, penyakit paru obstruktif, pembedahan, dan sepsis2,16, 22, 41 Pemakaian antibiotik pertama juga turut berperan, biasanya berhubungan dengan kuinolon, cephalosporin generasi III, co-trimoxazole, dan metronidazol.2,11,16

2.6. Metode Deteksi ESBL

Mengidentifikasi organisme yang produsen ESBL adalah tantangan utama untuk laboratorium mikrobiologi klinik. Karena ESBL telah ditemukan di seluruh dunia, berbagai strategi pendeteksiannya telah dikembangkan.

2.6.1. Skrining ESBL

Menurut CLSI, metode skrining untuk organisme penghasil ESBL adalah metode cakarm difusi (disk diffusion test) dan “dilution antimicrobial susceptibility test”.42

2.6.1.1Disk Diffusion Test

CLSI menyarankan tes ini untuk klebsiella, Escherichia coli, and

Proteus mirabilis. Pemeriksaan dengan metode cakram difusi ini dapat menskrining organisme penghasil ESBL dengan mencatat diameter zona


(44)

tertentu yang mengindikasikan dengan kuat kecurigaan adanya ESBL. Disk yang sering digunakan adalah Cefpodoxime, Ceftazidime, Cefotaxime, atau Ceftriaxon. Penggunaan disk lebih dari satu agen dapat meningkatkan sensitivitas deteksi ESBL. Jika salah satu diameter zona menunjukkan kecurigaan ESBL (+), maka dilakukan konfirmasi dengan tes fenotipik untuk memastikan diagnosa.

Pada 1995, Thomson dan Sanders mendapatkan bahwa metode cakram difusi dengan menggunakan cefpodoxime sangat baik untuk membedakan organisme penghasil ESBL dan bukan penghasil ESBL pada

Klebsiella pneumoniae dan E. coli.43 Awalnya CLSI merekomendasikan zona diameter <22 mm untuk cakram 10 μg cefpodoxim dalam menskrining ESBL. Namun sayangnya, skrining dengan menggunakan cefodoxime pada diameter <22mm kurang sensitif untuk menyaring E. coli penghasil ESBL. Untuk itu, CLSI memberikan rekomendasi baru untuk mengubah batas diameter zona cefodoxime menjadi <17mm untuk menskrining ESBL. Acuan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.42

2.6.1.2Dilution antimicrobial susceptibility tests(Metode MIC)

CLSI menyarankan metode dilusi untuk menskrining keberadaan ESBL pada Klebsiella dan E. coli. Awalnya tes skrining ESBL menggunakan cefpodoxime dengan MIC > 2 μg/ml. Namun sekarang, tes ini dapat menggunakan ceftazidime, aztreonam, cefotaxime, dan ceftriaxone pada konsentrasi 1 μg/ml. Jika didapati nilai MIC > 2 μg/ml, maka dicurigai sebagai penghasil ESBL yang kemudian dilanjutkan dengan tes konfirmasi fenotipik.


(45)

Tabel. 2. Kriteria MIC dan Zona Inhibitor untuk mendeteksi ESBL pada K.pneumoniae and E.coli19

Antibiotik Diameter untuk sensitif strain Zona Diameter untuk kemungkinan strain ESBL MIC strain sensitif MIC untuk kemungkinan strain ESBL

Aztreonam 30g ≥ 22 mm ≤ 27 mm ≤ 8 mg/L ≥ 2 mg/L Cefotaxime 30g ≥ 23 mm ≤27 mm ≤ 8 mg/L ≥ 2 mg/L Cefpodoxime

10g ≥ 21 mm ≤ 22 mm ≤ 8 mg/L ≥ 2 mg/L

Ceftazidime 30g ≥ 18 mm ≤ 22 mm ≤8 mg/L ≥ 2 mg/L Ceftriaxone 30g ≥21 mm ≤ 25 mm ≤ 8 mg/L ≥2 mg/L 2.6.2 Tes Konfirmasi Fenotipik41,44

NCCLS merekomendasikan tes konfirmasi fenotipik pada K. pneumoniae, K. oxytoca, or E. coli penghasil ESBL dengan menggunakan cefotaxime - ceftazidim saja dan mengkombinasikannya dengan asam clavulanat. Menurut CLSI, tes konfirmasi fenotipik organisme penghasil ESBL adalah Cephalosporin /Clavulanat Combination Disc ) dan Broth dilution test

2.6.2.1. Cephalosporin / ClavulanatCombination Disc

CLSI menggunakan cakram cefotaxime (30 μg) atau ceftazidime (30 μg) tanpa clavulanat untuk konfirmasi fenotipik keberadaan ESBL pada Klebsiellae dan E. coli. Cara membuat disk ini yaitu larutan asam klavulanat ditambahkan pada disk cephalosporin, kemudian di inkubasi selama 1 jam, setelah itu baru dapat digunakan. Tes ini dilakukan pada agar Mueller Hinton.


(46)

diameter ≥ 5 mm antara disk cephalosporin (tanpa klavulanat) dengan disk cephalosporin / klavulanat. Harus ditekankan bahwa cefotaxime dan ceftazidime dengan atau tanpa clavulanat harus digunakan. Alasannya, penggunaan ceftazime secara tunggal menimbulkan ketidakmampuan untuk mendeteksi organisme yang memproduksi enzim CTX-M.

2.6.2.2. Broth Dilution

Tes konfirmasi fenotipik dapat juga dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan broth dilution dengan menggunakan ceftazidime (0.25 s/d 128 μg/ml), ceftazidime ditambah clavulanic acid (0.25/4 s/d 128/4 μg/ml), cefotaxime (0.25 s/d 64 μg/ml), dan cefotaxime ditambah clavulanic acid (0.25/4 to 64/4 μg/ml. Untuk meningkatkan sensitivitas metoda ini, ceftazidime dan cefotaxime harus digunakan. Dikatakan phenotypic conformation ESBL

positif jika terdapat penurunan ≥ 3 kali lipat serial pada MIC cephalosporin yang mengandung asam klavulanat dibandingkan yang tidak mengandung asam klavulanat. Metoda ini dapat bekerja dengan baik untuk K.pneumoniae

danE.coliyang memproduksi ESBL.

2.6.3 Metode deteksi lain untuk organism penghasil ESBL


(47)

Pada tes ini cakram cephalosporin (30 μg/ml) dan asam klavulanat (10 μg/ml) dipisahkan sejauh 30 mm dari tengah ke tengah pada media Muller-Hinton Agar (MHA). Tes ini dikatakan positif jika terdapat zona yang jernih dan memanjang dari zona penghambatan cephalosporin terhadap cakram asam klavulanat, keadaan ini disebut “sinergi”.

2.6.3.2. Tes Komersil ESBL

Metode pendeteksian ESBL yang komersil adalah E test, AB Biodisk (Solna, Sweden), Vitek 2 (bioMerieux Vitek, Hazelton, Missouri), MicroScan panels dari Dade Behring MicroScan (Sacramento,California, USA), BD Phoenix Automated Microbiology System dari Becton Dickinson Biosciences (Sparks, MOMaryland,USA).45

Wiegand dkk melakukan suatu studi perbandingan terhadap tes konfirmasi fenotipik yang konvensional dibandingkan dengan beberapa tes yang telah tersedia secara komersil. Hasilnya : Phoenix memiliki sensitivitas tertinggi (99%) diikuti oleh Vitek 2 (98%) dan Micro Scan (94%); sedangkan spesifisitasnya sangat bervariasi yaitu 52% pada Phoenix dan 78 % pada Vitek 2. Sedangkan pada uji E test strips dengan empat cakram kombinasi (termasuk ceftazidime, cefotaxime, cepodoxime, dan cefpirome) menunjukkan sensitivitas 94% dan 93% dan spesifisitas 85 % dan 81%.46

2.7. ESBL Kaitannya dengan Tingkat Mortalitas, Lamanya Rawatan, dan Beban Ekonomis

Berbagai penelitian telah banyak dilakukan untuk mencari hubungan antara infeksi oleh organisme penghasil ESBL dengan tingkat mortalitas.


(48)

Beberapa studi tersebut menemukan adanya hubungan antara oleh organisme penghasil ESBL dengan kegagalan terapi yang kemudian mengakibatkan kematian, namun sebaliknya ada juga studi yang tidak menemukan hubungan tersebut. Keberbedaan studi tersebut dirangkumkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Outcome dari pasien-pasien dengan bakteremia yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL : studi retrospektif47

Bentuk penelitian,

referensi Strain ESBL Spesifik antibiotikyang berhubungan dengan mortalitas Outcome (mortality atau gagal) Studi nonkomparatif, Paterson et al

K. pneumonia Semua pasien diterapi dengan 3GCs dan 4GCs; CTZ (n = 2),

Ceftriaxone (n = 4), dll (n = 4)

60% gagal terapi, 40 % meninggal

Wong-Beringer et

al E. coli & K.pnemumonia 14% gagalterapi. 19% meninggal studi Komparatif menemukan tidak ada hubungan antara status ESBL dengan outcome, Du

E. coli & K.

pnemumonia 2 (28%) dari 7pasien yg diberikan 3GC : meninggal 12 (36%) dari 33 pasien yg diberikan 3GC : meninggal

26% gagal terapi, 13% meninggal 27% gagal terapi, 29% meninggal Schiappa et al E. coli & K.

pnemumonia 19 dari 31 pasiendengan CTZ-R mendapat terapi yang tepat: 1 (5%) meninggal, 12 pasien tidak mendapat terapi yang tepat; 5 (42%) meninggal

19% meninggal


(49)

-Chemaly et al K. pneumonia - 29% meninggal 12% meninggal

Kim et al K. pneumonia - 23% meninggal

Studi komparatif menemukan adanya hubungan penting antara status ESBL dengan outcome, Arrifin et al

K. pneumonia 8 (50%) dari 16

pasien strain CTZ-R Meninggala; 2(13.3%) dari 15 pasien strain CTZ-S

meninggal Kim et al E. coli & K.

pnemumonia 4(23%) dari 17pasien yang diberikan ES Ceph meninggal

1 (2%) dari 50 pasien yang

diberikan ES Ceph meninggal

27% meninggal

6% meninggal

Ho et al E. coli 3 (43%) dari 7 pasien diberikan terpi empiric CTZ (MIC < 8 µg/mL) meninggal

-18% meninggal 7% meninggal

Catatan : 3GC, cephalosporin Generasi 3; 4GC, Cephalosporin Generasi 4; CTZ, ceftazidime; CTZ-R, CTZ-resistant; CTZ-S, CTZ-susceptible; ES Ceph : extended-spectrum cephalosporin; UTI : Urinary Tract Infection.

Secara umum, pasien dengan infeksi oleh organisme penghasil ESBL memiliki outcome klinis yang kurang baik karena organisme ini memiliki tingkat resistensi yang tinggi pada berbagai antibiotik. Angka mortalitas terhadap pasien yang diterapi dengan antibiotik yang tidak tepat mencapai 42-100%.5 Di Inggris, Meltzer dan Jacobsen melakukan suatu studi prosepektif pada pasien dengan bakteremia E. coli dan mereka menemukan secara signifikan bahwa angka kematian pada pasien dengan E. coli penghasil ESBL lebih tinggi 32 persen dibandingkan dengan kelompok E. coli


(50)

yang tepat diduga merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada infeksi oleh organisme penghasil ESBL. Hampir dengan hasil yang hampir sama, suatu studi kasus-kontrol oleh Quresi dkk meemukan bahwa pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat berhubungan kuat dengan tingginya angka mortalitas pada pasien-pasien yang terinfeksi oleh baik K. pneumonia dan ESBL penghasil ESBL16

Pemberian terapi yang tidak tepat pada infeksi ESBL ini juga tentunya berdampak pada lamanya rawatan rumah sakit dan kemudian berdampak besar pada biaya episode bakteremia. Jadi tidaklah mengherankan jika infeksi oleh organisme penghasil ESBL ini mengakibatkan peningkatan beban ekonomis.Para klinisi harus menggunakan terapi antibiotik yang lebih mahal karena timbulnya berbagai resistensi, bahkan tak jarang pasien membutuhkan terapi antibiotik secara parenteral. Lautenbach menunjukkan bahwa infeksi oleh karena K. pneumonia dan E. coli penghasil ESBL membutuhkan biaya 2.9 kali lebih tinggi dengan infeksi oleh bakteri non-ESBL, pada studi lain juga terjadi peningkatan 1.5-1.7 kali lipat biaya yang diperlukan.16

2.8. Terapi ESBL

Keterbatasan pemilihan antibiotik untuk penanganan infeksi oleh organisme penghasil ESBL menjadi suatu persoalan yang rumit bagi para klinisi. ESBL yang dihasilkan oleh Enterobacteriaceae seringkali menunjukkan resistensi terhadap antibiotik beta-laktam termasuk cephalosporin, aztreonam dan penisilin. Lebih jauh lagi, jenis antibiotik seperti


(51)

trimethoprim-sulfamethoxazole dan aminoglikosida terutama gentamisin seringkali ko-transfer melalui plasmid sehingga menimbulkan MDR.

Berikut ini beberapa antibiotik yang telah dilakukan uji in vitro terhadap keefektifannya menghadapi infeksi oleh organisme penghasil ESBL :

1. Carbapenem

Secara in vitro, golongan carbapenem (termasuk imipenem, meropenem, doripenem, ertapenem) adalah yang memiliki aktivitas paling tinggi dalam menghadapi aktivitas organisme penghasil ESBL karena kestabilannya dalam menghidrolisis ESBL. Berdasarkan berbagai penelitian-penelitian , Carbapenem merupakan antibiotik pilihan dalam menghadapi berbagai infeksi serius yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL.11 Penggunaan carbapenem terbukti menurunkan angka mortalitas pada infeksi serius yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL.47

The Meropenem Yeary Susceptibility Test Information Collection Surveillance Program melaporkan bahwa dari tahun1997 sampai dengan 2000, meropenem dan imipenem memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghadapi aktivitas isolat gram negatif pada ICU-ICU di Negara Eropa , bahkan lebih kuat dari Ceftazidime. Perbedaan tersebut lebih nampak pada strain organisme penghasil ESBL. Carbapenem secara konsisten memiliki aktivitas tinggi dalam menghadapi E. coli dan K. pneumonia penghasil ESBL.47


(52)

The SENTRY Antimicrobial Surveillance Program memeriksa 2773 organisme dari pasien pneumonia yang dirawat di 30 Rumah Sakit di Amerika Serikat dan Kanada pada tahun 1998. Mereka mendapati bahwa secara tes in vitro, > 90% organisme penghasil ESBL sensitif terhadap piperacilin-tazobactam, hampir sama kemampuannya dengan cefepime, imipenem, meropenem, aminoglikosida, dan fluoroquinolon. Sebagai perbandingan, hanya 77,6% dan 79,6% Klebsiella penghasil ESBL yang sensitif terhadap ceftazidime dan cefotaxime.

3. Aminoglikosida47,48

Golongan aminoglikosida memberikan berbagai aktivitas yang berbeda. Sebagian besar organisme penghasil ESBL sudah resisten terhadap gentamisin sehubungan dengan co-transfer oleh plasmid. Dari antara semua aminogikosida, amikasin menunjukkan angka sensitivitas yang cukup baik di beberapa Negara bagian Amerika Serikat. Dengan tingkat resistensi sekitar 10% di Amerika Serikat, amikasin merupakan alternatif lain sebagai terapi empirik ketika agen yang lain tidak dapat digunakan. Pemakaian aminoglikosida dalam menghadapi organisme penghasil ESBL sudah dengan baik dibuktikan. 4. Fluoroquinolon47

Antibiotik quinolon menunjukkan keterbatasan dalam terapi infeksi oleh organisme penghasil ESBL. Ciprofloxacin dilaporkan efektif untuk pasien dengan infeksi oleh K. pneumonia penghasil ESBL yang gagal diterapi dengan cefotaxime dan resisten terhadap ceftazidime.


(53)

Fluoroquinolones sangat berguna untuk pengobatan infeksi saluran kemih, karena konsentrasinya tinggi dalam urin.

Peningkatan co-resisten fluoroquinolon mulai melemahkan efektivitasnya dalam menghadapi organisme penghasil ESBL. Suatu studi prospektif multisenter terhadap infeksi aliran darah oleh K. pneumonia dilakukan pada 7 negara menemukan bahwa 18% isolat penghasil ESBL resisten terhadap ciprofloxacin. Faktor resiko yang menyebabkan resistensi ini adalah pemakaian fluoroquinolon sebagai antibiotik pertama, pemakaian aminoglikosida dan lamanya rawatan.

5. Cephalosporin generasi empat

Cefepime adalah salah generasi keempat cephalosporin yang lebih stabil dibandingkan generasi ketiga cephalosporin terhadap beberapa organisme penghasil ESBL dan sangat stabil terhadap tipe AmpC β-laktamase. Penelitian secara in vitro telah mengkonfirmasi bahwa organisme penghasil ESBL sebagian besar sensitif terhadap cefepime.47


(54)

2.9. Kerangka Teori

Extended Spectrum Beta-Laktamase

Penyebaran Sangat Cepat Masalah : Kesulitan pemilihan antibiotik untuk terapi, Lamanya rawatan, Beban Ekonomis,Mortalitas

F a k t o r R e s i k o


(55)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional dengan metode pengumpulan data secara potong lintang untuk menilai beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi E. coli dan K. pneumonia penghasil ESBL.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan mulai Januari – Maret 2014.

3.3. Populasi Penelitian

Populasi terjangkau penelitian ini adalah isolat darah, sputum,urin, feses, sekret, dan cairan tubuh yang diterima di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Patologi Klinik FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang teridentifikasi sebagai E. coli dan K. pneumonia penghasil ESBL mulai bulan Januari – Maret 2014.

3.4. Sampel Penelitian

3.4.1. Cara Pengambilan Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemilihan sampel dalam penelitian ini


(56)

menggunakan teknik consecutive sampling atau sampai dengan jumlah sampel terpenuhi. Sampel pada kelompok kasus adalah pasien dengan hasil kultur E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL (ESBL positif). Sampel pada kelompok kontrol adalah pasien dengan hasil kultur E. coli atau K. pneumonia yang bukan penghasil ESBL (ESBL negatif).

Pada kedua kelompok sampel dipasangkan dengan rasio 1:1 yaitu pada 2 variabel :

1. spesies organisme yang menginfeksi :

 pasien dengan E. coli ESBL positif dipasangkan dengan E. coli ESBL negatif

 Pasien dengan K. pneumonia ESBL positif dipasangkan dengan K. pneumonia ESBL negatif

2. Waktu masuknya isolat

 pasien dengan E. coli ESBL positif di bulan januari dipasangkan dengan E. coli ESBL negatif di bulan januari juga, dst

 pasien dengan K. pneumonia ESBL positif di bulan januari dipasangkan dengan K. pneumonia ESBL negatif di bulan januari juga, dst

3.4.2. Besar Sampel

Dalam menentukan besar sampel digunakan rumus uji hipotesis untuk dua sampel berpasangan besar, sebagai berikut :


(57)

Dimana :

n1,2 : besar sampel masing-masing untuk kelompok kasus dan kontrol

Z(0,5 – α/β) : nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada nilai α yang ditentukan. Untuk α = 0,05 → Zα = 1,96.

Z(0,5-β) : nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada nilai  yang ditentukan. Untuk  = 0,20 → Z= 1,036.

P1 : proporsi kejadian ESBL pada E.coli dan K.pneumonia, sebesar 0,10*

P1– P2 : Beda proporsi yang bermakna, ditetapkan sebesar 0,35 P2 : Perkiraan proporsi kejadian ESBL pada E. coli dan K.

pnemumonia yang diteliti, sebesar 0,275

Sesuai dengan rumus diatas, maka sampel minimal yang diperlukan untuk penelitian ini adalah sebesar 25 sampel.

3.5. Kriteria Penelitian

3.5.1. Kriteria Inklusi

1. Setiap pasien yang dimasukkan ke dalam kelompok kasus adalah yang dari isolatnya teridentifikasi sebagai bakteri E.coli atau K. pneumonia penghasil ESBL.

2. Pasien yang dimasukkan dalam kelompok kontrol adalah yang dari isolatnya teridentifikasi sebagai bakteri E. coli atau K.pneumonia yang tidak menghasilkan ESBL.

3. Memiliki data rekam medis yang jelas


(58)

1. Sampel yang tidak representatif (Label tidak cocok/ tidak lengkap, transportasi terlalu lama, penampung tidak sesuai atau tidak steril, penampung pecah/retak, jumlah tidak cukup)

2. Jika pada pasien dijumpai lebih dari satu jenis isolat yang teridentifikasi sebagai E. coli atau K. pneumonia, maka hanya satu isolat yang diambil dan isolat lainnya tidak digunakan.

3. Data rekam medis yang tidak lengkap

3.6. Identifikasi Variabel

3.6.1. Variabel Bebas

Infeksi oleh E.coli atau K. pneumonia penghasil ESBL

3.6.2. Variabel terikat

Faktor resiko infeksi ESBL, yaitu :

1. Perawatan inap 2. Lamanya rawatan

3. Pemakaian kateter vena sentralis 4. Pemakaian kateter vena perifer 5. Pemakaian kateter urin

6. Pemakaian pipa nasogastrik 7. Pemakaian ventilator mekanik 8. Penyakit komorbid


(59)

1. E. coli Penghasil ESBL : E. coli yang mengandung ESBL, diperiksa dengan menggunakan BD Phoenix

2. K. pneumonia Penghasil ESBL : K. pneumonia yang mengandung ESBL, diperiksa dengan menggunakan BD Phoenix

3. Faktor resiko infeksi ESBL : karakteristik, tanda dan gejala pada individu yang secara statistik berhubungan dengan peningkatan insiden penyakit. Faktor risiko merupakan faktor-faktor yang ada sebelum terjadinya penyakit.

4. Umur adalah interval waktu dari lahir sampai masuk rumah sakit, umur dinyatakan dalam tahun.57

5. Lama rawat inap adalah lamanya pasien tinggal di rumah sakit dalam jumlah malam. Dihitung dengan mengurangkan tanggal keluar dengan tanggal masuk. Jika pasien masuk dan keluar pada hari yang sama maka lamanya rawatan adalah 0. 58 Lama rawatan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu lebih dari 1 minggu dan kurang dari atau sama dengan 1 minggu.

6. Perawatan inap : pemeliharaan kesehatan rumah sakit dimana penderita tinggal/mondok sedikitnya satu hari berdasarkan rujukan pelaksanaan pelayanan kesehatan atau rumah sakit pelaksana kesehatan lain.57

7. Pemakaian kateter vena sentral : pemakaian kateter yang ditempatkan ke dalam vena besar di leher (vena jugularis interna atau vena jugularis eksterna), dada (vena subclavian), lengan (vena basilica),


(60)

atau paha (vena femoralis). 57Dibedakan menjadi dua kategori; ya dan tidak.

8. Pemakaian kateter vena perifer : Pemasukan selang berukuran kecil dan fleksibel yang terbuat dari plastik ke dalam vena perifer untuk pemberian obat-obatan atau cairan.57Dibedakan menjadi dua kategori; ya dan tidak.

9. Pemakaian kateter urin : pemasukan selang yang terbuat dari plastik atau karet melalui uretra menuju kandung kemih. 57Dibedakan menjadi dua kategori; ya dan tidak

10.Pemakaian pipa nasogastrik : pemakaian pipa nasogastrik dengan ukuran sesuai umur pasien, yang terpasang dari hidung menuju ke lambung dan dipergunakan sebagai metode pemberian makanan enteral yang optimal bagi pasien.57 Dibedakan menjadi dua kategori; ya dan tidak.

11.Pemakaian ventilator mekanik : pemakaian suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi. Dibedakan menjadi dua kategori; ya dan tidak.

12.Penyakit komorbid : merupakan suatu kondisi yang dapat memperberat penyakit utama. Dibedakan menjadi dua kategori; ya dan tidak. Kondisi yang termasuk penyakit komorbid (sesuai dengan charlson comorbidity index) : Myocardial infarction, Congestive heart failure, Peripheral vascular disease, Cerebrovascular disease or transient ischemic disease, Hemiplegia, Pulmonary disease


(61)

(COPD)/asthma), Diabetes, Diabetes with end organ damage, Renal disease, Mild liver disease, Severe liver disease, Gastric or peptic or peptic ulcer, Cancer (lyphoma, leukemia, solid tumor), Rheumatic or connective tissue disease, HIV atau AIDS, Hypertension, Skin ulcer/cellulitis, Depresion. Dibedakan menjadi dua kategori; ya dan tidak.

13.Tindakan pembedahan : semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani.

3.8. Cara Kerja

3.8.1 Kultur Darah, Sputum, Urin, Feses, Cairan Tubuh, dan Sekret

3.8.1.1 Kultur Darah

Pengertian : Pemeriksaan kultur darah merupakan tehnik pemeriksaan untuk menumbuhkan bakteri patogen yang ada dalam darah.

Prosedur :

1. Darah dimasukkan ke dalam Bactec dengan perbandingan 1 : 10, inkubasi pada suhu 37° C selama 24 jam.

2. Amati pertumbuhan kuman

3. Jika tampak ada pertumbuhan inokulasikan ke dalam agar darah Mc Conkey, inkubasi pada suhu 37° C selama 24 jam.


(62)

5. Koloni yang tumbuh pada agar darah dilanjutkan dengan pewarnaan gram.

Bila dijumpai kuman gram negatif, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan BD Phoenix untuk melihat jenis kuman dan pola sensitifitasnya

3.8.1.2 Kultur Sputum

Pengertian : Pemeriksaan kultur sputum merupakan teknik pemeriksaan untuk menumbuhkan bakteri patogen yang ada dalam sputum

Prosedur :

1. Satu ose bahan sputum ditanam ke media padat Blood Agar dan & Mc Conkey, masukkan ke inkubator 370C selama 24 jam

2. Dibaca dan dilihat pertumbuhan bakterinya, jika tumbuh dibuat direct smear dan dilakukan pengecatan Gram

Bila dijumpai kuman batang gram negatif, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan BD Phoenix untuk melihat jenis kuman dan pola sensitifitasnya

3.8.1.3 Kultur Urin

Pengertian : Pemeriksaan kultur urin merupakan teknik pemeriksaan untuk menumbuhkan bakteri patogen yang ada dalam urin


(63)

Prosedur :

1. Bahan urin ditanam ke media padat CLED

2. Masukkan media yang sudah ditanam tadi ke dalam inkubator dengan temperatur 370C selama 24 jam, baru dibaca.

3. Media yang tumbuh koloninya tadi dilakukan pengecatan gram.

Bila dijumpai kuman gram negatif, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan BD Phoenix untuk melihat jenis kuman dan pola sensitifitasnya

3.8.1.4. Kultur Cairan Tubuh (cairan otak, cairan asites, cairan pleura)

Pengertian : merupakan tehnik pemeriksaan untuk menumbuhkan bakteri patogen yang ada dalam cairan tubuh tersebut.

Prosedur :

1. Masukkan cairan ke Bactec dan inkubasi pada 370 C selama 24 jam.

2. Lalu ditanam ke agar darah, Mc. Conkey dan inkubasi pada 370C selama 24 jam.

3. Bila koloni kuman tumbuh, buat pewarnaan Gram

4. Jika ditemui bakteri batang Gram negatif maka diinokulasi ke panel Gram negatif BD phoenix untuk identifikasi dan sensitivitas antibiotiknya.


(64)

3.8.1.5. Kultur Sekret

Pengertian : merupakan tehnik pemeriksaan untuk menumbuhkan bakteri patogen yang ada dalam cairan tubuh tersebut

Prosedur :

1. Sekret yang sudah diambil dengan kapas lidi steril ditanam ke media cair Bouillon dan masukkan ke inkubator 370 C semalaman.

2. Keesokan harinya ditanam ke media padat Blood Agar & Mc Conkey, masukkan ke inkubator 370C selama 24 jam.

3. Dibaca dan dilihat pertumbuhan bakterinya jika tumbuh dibuat direct smear dan dilakukan pengecatan gram.

4. Jika ditemui bakteri batang Gram negatif maka diinokulasi ke panel Gram negatif BD phoenix untuk identifikasi dan sensitivitas antibiotiknya

3.8.2 Pewarnaan Gram

Persyaratan spesimen untuk pewarnaan Gram : Spesimen dapat berupa koloni bakteri dari media agar dan sputum

Persiapan reagen : Larutan Gentian Violet, Larutan lugol (Iodine), Aceton Alkohol – Aceton : Alkohol 96% (1:1), Larutan Fuchsin (Safranin ), Kaca objektif dan air.


(65)

Prosedur pemeriksaan

1. Buat sediaan Gram pada kaca objektif perhatikan ketebalannya, jangan terlalu tebal atau terlalu tipis.

2. Fiksasi dengan menggunakan Bunsen.

3. Genangi sediaan dengan larutan gentian violet selama 30 detik kemudian bilas dengan air.

4. Genangi sediaan dengan larutan Lugol selama 30 detik kemudian bilas dengan air.

5. Genangi sediaan dengan larutan Acetone Alkohol selama 15 detik kemudian bilas dengan air.

6. Genangi sediaan dengan larutan Fuchin ( Safranin ) selama 30 detik kemudian bilas dengan air hingga bersih.

7. Keringkan sediaan pada suhu kamar.

8. Observasi dengan menggunakan mikroskop.

3.8.3 Inokulasi Koloni Bakteri pada Panel BD Phoenix49

Prinsip Pemeriksaan dengan panel BD Phoenix:

Dengan menggunakan panel-panel kombinasi pada instrumen phoenix, dapat dilakukan maksimal 100 identifikasi serta uji sensitivitas antimikroba. Sistem phoenix menggunakan indikator redoks kolorimetrik yang dioptimalkan untuk AST, sedangkan untuk ID menggunakan variasi indikator fluorometrik dan kolorimetrik


(66)

Panel phoenix terdiri dari 51 sumur pada bagian ID serta 85 sumur pada bagian AST. Bagian ID terdiri dari 45 sumur dengan substrat biokimia yang dikeringkan serta 2 sumur berfluoresens sebagai kontrol. Bagian AST terdiri dari dari 84 sumur yang berisi agen antimikroba yang dikeringkan dan 1 sumur sebagai kontrol pertumbuhan. Panel ini tersedia dalam bentuk hanya bagan ID saja, AST saja ataupun kombinasi keduanya. Sumur-sumur yang tidak terpakai dapat digunakan kemudian hari.

Panel-panel phoenix terdiri dari media (inokulum) yang terstandarisasi. Suspensi organisme harus dipersiapkan dengan BBL CrystalSpecTM nephelometer, BD PhoenixSpecTM nephelometer, atau BD PhoenixTM AP Instrumen. Setelah diinokulasi, panel diletakkan pada instrumen dan secara kontiniu diinkubasi pada suhu 35oC. Instrumen akan menguji tiap-tiap panel. Panel-panel phoenix hanya bisa dibaca oleh instrumen. Panel-panel phoenix tidak dapat dibaca secara manual.

a. Identifikasi Bakteri:

Bagian ID pada panel phoenix menggunakan serangkaian kromogenik konvensional dan uji biokimia fluorogenik untuk menentukan identifikasi organisme. Kerja media pertumbuhan dan substrat enzimatik meliputi pengenalan terhadap jenis-jenis reaktivitas yang berbeda dalam ruang taksa. Uji-uji tersebut didasarkan pada utilisasi dan degradasi mikrobial terhadap substrat spesifik yang dideteksi oleh bermacam indikator yang berbeda. Produksi asam ditandai oleh perubahan indikator fenol merah. Hal ini terjadi jika isolat mampu mengutilisasi substrat karbohidrat.


(67)

Substrat kromogenik menghasilkan warna kuning ketika terjadi hidrolisis enzimatik terhadap campuran p-nitrophenyl atau p-nitroanilide. Hidrolisis enzimatik substrat fluorogenik ini menghasilkan pelepasan derivat coumarin berfluoresence. Organisme yang mengutilisasi sumber karbon yang spesifik dapat mengurangi indikator yang berbasis resazurin. Sebagai tambahan, terdapat beberapa uji-uji lain yang dapat mendeteksi kemampuan organisme untuk menghidrolisis, mendegradasi, mereduksi atau menggunakan substrat dengan cara lainnya.

b. Uji Sensitivitas Antimikroba:

Metode AST phoenix merupakan uji mikrodilusi berbasis kaldu. Sistem phoenix menggunakan indikator redoks untuk mendeteksi pertumbuhan organisme dengan keberadaan agen antimiroba. Pemeriksaan yang berkelanjutan terhadap perubahan pada indikator dan kekeruhan bakteri digunakan untuk menentukan pertumbuhan bakteri. Setiap konfigurasi panel AST teridiri dari beberapa agen antimikroba dengan ruang lingkup yang luas dari dua kali lipat konsentrasi dilusi. Identifikasi organisme digunakan dalam interpretasi nilai –nilai MIC dari tiap agen antimikroba dalam klasifikasi sensitif, intermediate atau resisten (SIR).

Persyaratan inokulasi koloni bakteri pada panel Phoenix;

 Koloni harus murni

 Dari pewarnaan Gram diketahui jenis bakterinya apakah bakteri Gram Positif atau bakteri Gram Negatif. Pada penelitian ini dipilih bakteri Gram Negatif


(68)

Persiapan reagen : Panel Phoenix; NMIC/ID untuk bakteri Gram negatif, penutup panel, Phoenix ID Broth, Phoenix AST Broth, Phoenix AST indicator solution, Phoenix Inoculation Station, Phoenix Panel Caddy, Phoenix SpecNephelometer, tabung kalibrasit, pipette 25L dan 50L, dan Vortex

Prosedur pengerjaan

1. Siapkan inokulum, (usia isolat antara 18-24 jam)

2. Beri label pada tabung ID broth dan panel (jangan memberi label pada barcode)

3. Secara teknik aseptik, pilih koloni dengan dengan sterile cotton swab dari media pertumbuhan. (Jangan gunakan polyester atau calcium alginate swab)

4. Masukkan dan larutkan koloni ke dalam ID broth. 5. Tutup tabung dan vortex selama 5 detik.

6. Diamkan selama 10 detik untuk menghilangkan gelembung udara (tabung dapat dijentikkan juga untuk menghilangkan gelembung udara)

7. Gunakan PhoenixSpec Nephelometer untuk mengukur kekeruhan; standar yang digunakan; 0,50 – 0,60 McFarland untuk Gram Negatif

8. Jika kekeruhan sample lebih tinggi dari standar yang ditetapkan. Lakukan langkah berikut untuk mengencerkannya.


(1)

78

Enterobacteriaceae from Indian hospitals. J Antimicrob Chemother.2006 Dec. p:1260-3.

39. Mathai D, Rhomberg PR, Biedenbach DJ, Jones RN. Evaluation of the in vitro activity of six broad-spectrum beta-lactam antimicrobial agents tested against recent clinical isolates from India: a survey of ten medical center laboratories. Diagn Microbiol Infect Dis 2002 Dec.p:367-77.

40. Harris AD, McGregor JC, Johnson JA, et al. Risk Factors for Colonization with Extended-Spectrum β-Lactamase–Producing Bacteria and Intensive Care Unit Admission. Emerging Infectious Diseases Vol. 13, No. 8, August 2007. Diunduh dari : www.cdc.gov/eid

41. Clark J, Dhillon RH-P. ESBLs: A Clear and Present Danger? Hindawi Publishing Corporation Critical Care Research and Practice. 2012.

42. Clinical and Laboratory Standard Institute. Performance standards for antimicrobial susceptibility testing: sixteenth informational supplement. CLSI document M100-S16. CLSI,Wayne, Pa. 2006

43. Thomson KS, Sanders CC. A simple and reliable method to screen isolates of Escherichia coli and Klebsiella pneumoniae for the production of TEM- and SHV-derived extended-spectrum beta-lactamases. Clin Microbiol Infect1997. p: 549-54.

44. Drieux L, Brossier F, Sougakoff Wet all. Phenotypic detection of extended-spectrum b-lactamase production in Enterobacteriaceae: review and bench guide. Clin Microbiol Infect 2008.p: 90–103

45. Taneja, Sarma. ESBLs detection in clinical microbiology: why & how ? Indian J Med Res 127. April 2008. p: 297-300

46. Wiegand I, Geiss HK, Mack D,et all. Detection of Extended-Spectrum Beta-Lactamases Among Enterobacteriaceae by Use of Semiautomated Microbiology Systems and Manual Detection Procedures. J Clin Microbiol 2007.p : 1167-74.

47. Ramphal R, Ambrose PG. Extended-Spectrum b-Lactamases and Clinical Outcomes: Current Data. The Infectious Diseases Society of America. 2006. p:164-72


(2)

79

48. Helfand MS, Rice LB. Problematic Beta-Lactamases: An Update. In : Antimicrobial Resistance : problem pathogen and clinical counter measures. Roberts C. Owens Jr, Ebbing Lautenbach (editor). Informa Healthcare. 2008. Pp:205

49. BD PhoenixTM. System User’s Manual. USA. 2009. p:8-2 – 8-11

50. Shobha K L , Ramachandra L,et al. Extended Spectrum Beta-Lactamases (ESBL) In Gram Negative Bacilli At A Tertiary Care Hospital. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2009Feb;(3)1307-1312.

51. Alipourfard, Nili NY. Antibiogram of Extended Spectrum Beta-lactamase (ESBL) producing Escherichia coli and Klebsiella pneumoniae isolated from Hospital Samples. Bangladesh J Med Microbiol 2010; 04 (01): 32-36. 52. Mumtaz et al. Prevalence of extended spectrum beta lactamases (ESBL) in clinical isolates from a teaching hospital in Peshawar, Pakistan. African Journal of Microbiology Research Vol. 5(19), pp. 2880-2884, 23

September, 2011.

53. Suryawanshi NM et al. Extended Spectrum Beta - Lactamase Producing Escherichia coli at a Tertiary Care Hospital in Maharashtra, India:

Phenotypic Detection and Antimicrobial Sensitivity Pattern.

54. García-Ferna´ndez A et al. An Ertapenem-Resistant Extended-Spectrum-_-Lactamase-ProducingKlebsiella pneumoniaeClone Carries a Novel OmpK36 Porin Variant. Antimicrobial Agents adn Chemotherapy. Oct. 2010, p. 4178–4184

55. Tham J et al. Risk factors for infections with extended-spectrum beta-lactamase-producingEscherichia coliin a county of Southern Sweden. Infection and Drug Resistance Journal 2013:6 93–97

56. Shanthi M, Sekar U. Extended Spectrum Beta Lactamase Producing Escherichia Coli and Klebsiella Pneumoniae: Risk Factors for Infection and Impact of Resistance onOutcomes. Supplement to JAPI. December 2010. VOL. 58


(3)

80

58. Medical Dictionary. Diunduh dari http://medical-dictionary.threedictionary.com/lenght+of+stay


(4)

Lampiran

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Selamat Pagi/Siang Bapak/Ibu,

Pada hari ini, saya dr. Selastri Agnes yang sedang menjalani pendidikan dokter spesialis patologi klinik di FK USU, ingin menjelaskan kepada Bapak-Ibu tentang penelitian yang akan saya lakukan “ Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Infeksi oleh Escherecia coli atau Klebsiella pneumonia Penghasil Extended Spectrum Beta-Laktamase di RSUP H. Adam Malik Medan”. Penelitian ini bermaksud untuk mencari faktor resiko infeksi oleh bakteri penghasil ESBL yang terdapat pada Bapak-Ibu. Ada pun tujuannya adalah untuk dapat dilakukan pencegahan guna mengurangi angka kejadian oleh infeksi ini di RSUP H. Adam Malik Medan.

Dalam penelitian ini, jika dari hasil kultur yang diperiksakan pada Bapak-Ibu ternyata merupakan bakteri Escherecia coli atau Klebsiella pneumonia penghasil Extended Spectrum Beta-Laktamase maupun yang bukan penghasil menghasilkan Extended Spectrum Beta-Laktamase, maka saya akan meminta data-data kepada Bapak/Ibu terkait faktor resiko yang saya teliti, yaitu mengenai lamanya rawatan, pemakaian alat invasif medis, dan penyakit yang mendasari.

Penelitian ini tidak menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi Bapak-Ibu. Namun, bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama penelitian berlangsung, yang disebabkan oleh perlakuan yang dilakukan penelitian ini, saya akan bertanggung jawab untuk memberikan pertolongan membantu mengatasi masalah/ efek yang ditimbulkannya.

Keikutsertaan Bapak-Ibu dalam penelitian ini adalah sukarela. Bila keterangan yang saya berikan masih belum jelas atau ada hal-hal yang belum jelas, Bapak-Ibu dapat langsung bertanya kepada saya. Kerahasiaan data Bapak-Ibu tetap saya jaga. Setelah Bapak-Ibu memahami berbagai hal yang menyangkut penelitan ini, diharapkan Bapak-Ibu yang telah terpilih pada penelitian ini dapat mengisi dan menandatangani lembar persetujuan penelitan. Atas bantuan dan kerjasama Bapak-Ibu, saya ucapkan terima kasih.

Nama : dr. Selastri Agnes Telepon : 085297004237


(5)

Lampiran

FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

Departemen Patologi Klinik FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : ………

Umur : ……… tahun

Pekerjaan : ………...

Alamat : ………...

………

Nomor Telepon : ………

Telah mendapat keterangan secukupnya serta menyadari manfaat dan resiko penelitian yang berjudul “Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Infeksi oleh Escherecia coli atau Klebsiella pneumonia Penghasil Extended Spectrum Beta-Laktamase di RSUP H. Adam Malik Medan”, dan memahami bahwa subyek dalam penelitian ini sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri dalam keikutsertaannya, maka setuju ikut serta dalam penelitian ini dan bersedia berperan serta dengan mematuhi semua ketentuan yang telah disepakati.

Medan, 2013

Mengetahu, Yang menyatakan,

Peneliti Saksi Peserta Penelitian

Dr.Selastri Agnes


(6)

Lampiran

STATUS PASIEN Data Pribadi

Nama : ………

Umur : ……….tahun MR : ……….

Jenis Kelamin : ……….

Alamat : ……….

Suku Bangsa : ………..

Agama : ………..

Pekerjaan : ………..

Data Klinis

Tanggal Masuk :

Tanggal Keluar : ………..

Diagnosa : ……….

Tanggal Kultur : ……….

Jenis Kultur : ……….

Hasil Kultur : ………..

Pemakaian alat invasif medis Kateter vena sentral Kateter vena perifer Kateter urin

Ventilator mekanik Pipa nasogastrik Selang drainase