2.2.4 Sifat Fisis
2.2.4.1 Kadar Air Kadar air dalam batang bambu dapat mempengaruhi sifat mekanisnya.
Kadar air pada batang bambu yang telah dewasa berkisar antara 50-90. Dan pada batang yang belum dewasa sekitar 80-150, sedangkan untuk bambu yang
telah dikeringkan bervariasi antara 12-18. Kadar air pada batang meningkat dari usia 1-3 tahun; batang mengalami penurunan kadar air setelah usianya tiga tahun.
Hal ini dapat lebih tinggi disaat musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau Dransfield dan Widjaja 1995.
2.2.4.2 Berat Jenis Menurut Haygreen dan Bowyer 1989 Berat jenis kayu adalah suatu sifat
fisika kayu yang paling penting. Kebanyakan sifat mekanis kayu yang sangat berhubungan dengan berat jenis dan kerapatan.
Berat jenis bambu bervariasi dari 0,5 – 0,8 gcm
3
, bagian luar dari batang mempunyai berat jenis lebih besar daripada bagian dalamnya. Berat jenis akan
meningkat di dalam batang dari bagian bawah sampai bagian atas Dewi 2009. 2.2.4.3 Pengembangan Dan Penyusutan
Berbeda dengan kayu, penyusutan bambu dimulai secara langsung setelah panen, tetapi tidak berlangsung seragam. Penyusutan dapat mempengaruhi baik
ketebalan dinding maupun diameter batang. Pengeringan bambu dewasa untuk sekitar 20 kadar air, menyebabkan penyusutan 4-14 dalam ketebalan dinding
dan 3-12 untuk diameter. Penyusutan arah radial lebih besar daripada penyusutan tangensial dengan perbandingannya 7 berbanding 5, sedangkan
penyusunan arah longitudinal tidak lebih dari 0,5 Dransfield dan Widjaja 1995.
2.2.5 Sifat Mekanis
Sifat mekanis pada bambu umumya menyerupai sifat mekanis pada kayu. Semua nilai untuk kekuatan sifat mekanis meningkat seiring dengan penurunan
kadar airnya dan berbanding lurus dengan berat jenis Dransfield dan Widjaja 1995.
Modulus of Elasticity MOR menunjukkan rasio antara tegangan lentur suatu bahan dengan perubahan bentuk yang diakibatkan tegangan itu sendiri.
MOE merupakan ukuran kekakuan, sehingga nilai yang lebih tinggi menunjukkan bahan yang lebih kaku. Nilai MOE batang bambu yng telah dikeringkan berkisar
antara 17.000 – 20.000 sedangkan pada batang yang masih segar 9000 – 10.100
Nmm
2
Dransfield dan Widjaja 1995. Modulus of Rapture MOR merupakan tegangan yang terjadi pada serat
ketika beban mencapai maksimum dan mengindikasikan terjadinya kerusakan pada bahan tersebut. Pada bambu tanpa buku nilai MOR berkisar antara 79
– 94 Nmm
2
dan 82 – 120 Nmm
2
pada bambu dengan buku Dransfield dan Widjaja 1995.
2.3 Bambu Tali Gigantochloa apus
Bambu tali Gigantochloa apus [J. A dan J. H Schultes] Kurz berasal dari Burma Myanmar dan Selatan Thailand. Kemudian diperkenalkan di Pulau Jawa
seiring dengan perpindahan penduduk. Bambu tali biasa disebut pring tali, pring apus Jawa, dan awi tali Sunda. Di Pulau Jawa bambu tali banyak ditanam,
sedangkan habitat alaminya banyak berada di Gunung Salak Jawa Barat dan Blambangan Jawa Timur Dransfield dan Widjaja 1995.
Di Indonesia bambu tali banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan peralatan dapur, peralatan memancing, funitur, tali dan macam-macam keranjang.
Batangnya dapat tahan lama dan digunakan sebagai bahan bangunan seperti atap, dinding, dan jembatan. Dengan tidak memperhatikan jenis yang lebih sesuai, G.
apus kadang kala digunakan untuk membuat alat musik, walaupun kualitas nada
yang dihasilkan tidak terlalu baik. G. apus tidak cocok untuk dibuat sumpit dan tusuk gigi secara mekanis, karena memiliki serat yang saling tindih.
Bambu tali termasuk tanaman bambu simpodial, berdiri tegak, tinggi batang 8-30 m dengan diameter buluh 4-13 cm tebalnya bisa mencapai 1,5 cm. Berwarna
hijau terang sampai kuning. Panjang ruas 20-60 cm, buku sedikit membengkok pada bagian luar. Panjang serat sekitar 0,9-5,5 mm. Bambu tali mempunyai
panjang serat sebesar 0,9-5,5 mm, dengan diameter dinding serat 5,3 µm, tebal dinding sel 1-3 µm. Kadar air rata-rata batang bambu segar adalah 54,3 dan
batang bambu kering 15,1. Komponen-komponen kimia dari batang bambu tali