232
Untuk kasus PPITPI Kamal Muara, kondisinya jauh lebih baik. Di sini hampir semua fungsi pelabuhan dan tempat pelelangan ikan masih berfungsi
meskipun belum sempurna. Sebagai contoh: 1
Fasilitas pokok belum lengkap, seperti tidak tersedia breakwater sebagai pelindung dari gelombang dan arus;
2 Fasilitas fungsional belum lengkap dan belum difungsikan optimal, seperti:
1 TPI tidak lagi digunakan sebagai tempat pelelangan; pelelangan ikan malah dilakukan di jalan di depan TPI; 2 belum lengkapnya sistem
navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu- rambu, lampu suar, dan menara pengawas; 3 kurangnya suplai air bersih,
es, listrik; 4 tempat pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan dilakukan di sekitar kolam pelabuhan oleh dan ditempat nelayan sendiri; 5 tempat
penanganan dan pengolahan hasil perikanan tidak tersedia, dan hanya dilakukan di tempatrumah masing-masing pedagangpengolah; 6 tidak
tersedia laboratorium pembinaan mutu; serta 7 belum adanya TPA tempat pengolahan limbah seperti instalasi pengolah air limbah IPAL.
3 Fasilitas penunjang belum lengkap, seperti: 1 kios IPTEK; serta 2 tempat
penyelenggaraan tugas pemerintahan seperti keselamatan pelayaran, keimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan masyarakat, dan karantina
ikan. Ketiadaan fasilitas yang tersedia tersebut memang tampaknya belum
diperlukan untuk pelabuhan perikanan yang berukuran kecil dan skala usahanya hanya tingkat lokal saja. Jadi di PPITPI Kamal Muara fungsi pelabuhan
perikanan yang dapat dijalankan jika mengacu kepada Lubis 2002, meliputi: 1 fungsi jasa; 2 fungsi pendaratan dan pembongkaran; serta 3 fungsi pemasaran.
5.4.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan
Keberhasilan suatu aktivitas pembangunan, sangat dipengaruhi oleh aspek kelembagaan yang merupakan sebuah kerangka pengelolaan yang efektif.
Analisis kelembagaan mencakup aspek peran dan tanggungjawab dari berbagai
233
badan. Bilamana perlu dapat dilakukan revisi, sehingga pada suatu sisi yurisdiksi yang tumpang tindih atau yang berselisih dapat diminimumkan, dan pada sisi lain
tidak ada isu penting yang tidak ditangani oleh suatu badan yang bertanggungjawab. Oleh karena itu, sebagaimana dicantumkan dalam
Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF
, sebuah mekanisme kelembagaan bagi pengelolaan pesisir terpadu akan menjamin hal berikut: pertama, ditetapkan
tanggungjawab secara sektoral yang tepat; kedua, ditetapkan tatanan-tatanan pengkoordinasianpengintegrasian yang tepat; dan ketiga, badan-badan pada
semua tingkat tetap terus diberi informasi menyangkut kebijakan kawasan pesisir untuk menjamin pertalian dalam pelaksanaan kebijakan FAO 1996.
Mengamati perkembangunan kegiatan pembangunan di wilayah DKI Jakarta melalui hasil evaluasi pilot proyek Teluk Jakarta setelah tiga tahun
pelaksanaan, UNESCO-CSI berkesimpulan bahwa perlu peningkatan dan pengembangan pilot proyek tersebut Nur et al 1999. Menurut Nur et al 1999,
pada saat itu sebuah proyek sedang dirumuskan, yaitu Environmental governance and wise practices for tropical coastal mega-cities: Sustainable human
development of the Jakarta Metropolitan Area. Proyek ini akan berfungsi sebagi sebuah forum koordinasi dari proyek-proyek yang berkaitan dengan peningkatan
kualitas lingkungan hidup di Kawasan Metropolitan Jakarta, garis begar kegiatan adalah sebagai berikut: 1 Menggalakkan partisipasi masyarakat dalam
peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan mendorong partisipasi masyarakat dan LSM dalam pembangunan masyarakat berkelanjutan; 2 Mengintegrasikan
kegiatan peningkatan kualitas kawasan pesisir sebagai salah satu bagian dari program permbangunan pemerintah pusat dan daerah, merumuskan
kebijaksanaan lingkungan hidup dan system pemantauan, analisis and desiminasi hasil lapangan; dan 3 Meningkatkan kesadaran sektor swasta para pengelola
kawasan pariwisata dan kawasan industri akan pentingnya arti dari pelertarian lingkungan hidup. Program kegiatan disusun berdasarkan analisa ruang dari
permasalahan, misalnya : untuk mengurangi tekanan masyarakat terhadap sumberdaya pesisir yang disebabkan oleh tata cara penangkapan ikan yang tidak
berwawasan lingkungan pemakaian bom ataupun racun maka kita akan cari
234
alternatif kegiatan ekonomi baru bagi masyarakat setempat yang sifatnya tidak merusak lingkungan; dan untuk menurunkan polusi perairan Teluk Jakarta oleh
pestisida dan pupuk maka kita akan memperkenalkan dan membimbing petani yang berada di hulu di Kabupaten Bogor dan Purwakarta, terletak sekitar 70
hingga 90 km dari pantai untuk melakukan praktek pertanian berwawasan lingkungan.
Adanya Badan Kerja Sama Pembangunan BKSP Jabodetabekjur, merupakan suatu titik awal yang baik untuk melakukan pengelolaan suatu wilayah
yang terletak diperbatasan, sebagaimana Dadap dan Kamal Muara. Informasi dari Sekretarian BKSP Jabodetabekjur menyebutkan bahwa koordinasi sudah berjalan
baik, meskipun ternyata diperlukan waktu yang lebih banyak untuk sampai pada tingkat implementasi di lapangan. Nur et al 1999 menyatakan bahwa
permasalahan lingkungan hidup di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu tidak dapat dipecahkan hanya pada tingkat lokal, melainkan dibutuhkan pemecahan
persoalan yang skalanya regional, yaitu Kawasan Metropolitan Jakarta. Hingga saat ini belum ada satu pun Badan Pemerintah yang berhasil menangani
pembangunan dan pengelolaan Kawasan Jakarta Metropolitan DKI Jakarta dan beberapa Dati II di Jawa Barat secara keseluruhan. Pada prinsipnya, Badan
Kerjasama Pembangunan Jabotabek BKSP adalah satu-satunya badan yang bertanggung jawab atas koordinasi inter-regional dan inter-sectoral baik antara
pemerintah pusat dan instansi-instansi lain yang terlibat dalam pembangunan Jabotabek. Pada saat ini, BKSP menghadapi beberapa persolan untuk
melaksanakan tugas ini, persoalan yang dihadapi antara lain: 1 tidak ada dana khusus yang diperuntukkan bagi kegiatan BKSP; 2 kegiatan BKSP bertumpang
tindih dengan beberapa lembaga pemerintah lainnya, teurama Bappeda Tkt. I DKI Jakarta dan Jawa Barat; 3 peran BKSP dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengelolaan dan penyususnan anggaran pembangunan Jabotabek tidak begitu jelas; dan 4 tidak ada petunjuk pelaksanaan pembangunan di Jabotabek.
Singkatnya BKSP tidak memiliki alat untuk mengkoordinaksikan dan mengintegrasikan program pembangunan di Jabotabek. Setelah mengidentifikasi
permasalahan yang dihadapi BKSP, ditarik kesimpulan bahwa Pemerintah Pusat dan Daerah perlu memberikan dukungan kepada lembaga ini berupa penjelesan
235
statusnya, dukungan politik dan pendanaan agar dapat menjalankan tugas dan fungsi dengan baik.
Selain persoalan-persoalan di atas, beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya keterlambatan fungsi BKSP Jabodetabekjur adalah:
1 Hasil rapat koordinasi diantara anggota di dalam BKSP Jabodetabekjur
masih memerlukan waktu pembahasan di daerah masing-masing, kecepatan proses pembahasan tersebut juga tidak sama.
2 Setelah adanya era otonomi daerah ini, birokrasi pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan pemerintah daerah lain harus melalui proses pembahasan di kalangan DPRD.
3 Masih adanya perbedaan persepsi dikalangan tokoh-tokoh masyarakat
tentang konsep “Jakarta Megapolitan”. Khusus untuk poin 3 di atas, beberapa tokoh masyarakat Jawa Barat berbeda
pendapat tentang konsep pembentukan Jakarta Megapolitan. Sengketa dan rencana pencaplokan wilayah Jawa Barat oleh DKI Jakarta ternyata bukan
terjadi saat ini saja. Menurut Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H {mantan Sekretaris Eksekutif Badan Kerja Sama Pembangunan Jakarta Bogor Tangerang
Bekasi Jabotabek}, wacana seperti itu sudah pernah dilontarkan DKI Jakarta sejak 1974, saat Gubernur DKI dipegang Ali Sadikin. Namun ide tersebut
ditentang keras Gubernur Jawa Barat saat itu, Solihin G.P. Anonimous 2006b. Sejalan dengan perkembangan jaman, ternyata ide serupa yang kembali
dilontarkan oleh Gubernur DKI Jakarta sekarang, Sutiyoso, justru mendapat sambutan positif dari beberapa tokoh Jawa Barat. Sesepuh Jawa Barat, Tjetje
Hidayat Padmadinata, berpendapat bahwa tidak seharusnya warga Jawa Barat bereaksi secara berlebihan over reaction dalam menanggapi konsep Jakarta
Megapolitan. Pemikiran secara tenang dan cerdas adalah yang seharusnya dilakukan. Konsep Megapolitan baru dikemukakan secara sepihak oleh Sutiyoso
hingga perlu lebih dicermati untuk melihat permasalahan secara menyeluruh. Tjetje mengemukakan, konsep kawasan Megapolitan sebagai upaya membangun
ibu kota, dilakukan dengan merevisi UU No. 34 Tahun 1999 tentang pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Kalau saja konsep Megapolitan hanya untuk daerah ibu
236
kota, maka sebenarnya Jakarta tidak cocok sebagai ibu kota RI. Siapa bilang ibu kota negara harus besar? Menurut Tjetje sebagaimana dikutif dari PIKIRAN
RAKYAT, beberapa negara besar lain seperti Amerika Serikat dan Australia, yang menunjukkan bahwa tak selamanya ibu kota negara adalah kota besar. Ibu kota
negara seharusnya berada di tempat yang tenang sebagai tempat berpikir untuk para negarawan. Bukan penuh hiruk pikuk. Konsep ibu kota yang seharusnya
tenang dan hening itu, bahkan telah dikemukakan Presiden RI Soekarno tahun 1950-1960. Menurut Tjetje, saat itu Soekarno pernah mengusulkan kota
Palangkaraya Kalimantan Tengah sebagai ibu kota RI, bukan Jakarta Anonimous 2006b.
Terhambatnya kinerja BKSP Jabodetabekjur mungkin pula ada kesan negatif terhadapnya. Sebagaimana disampaikan oleh Atje, pembentukan BKPS
Jabotabek saat itu telah menarik banyak pejabat yang melamar untuk masuk di dalamnya. Tapi, sayang dalam perkembangannya, lembaga itu malah dijadikan
tempat pembuangan pejabat-pejabat bermasalah. Ateng menyayangkan, lembaga yang dirintisnya itu hanya jadi tempat pembuangan. Dia ingin lembaga
itu memiliki posisi yang penting karena kinerjanya. Satu hal lagi yang menjadi penghambat kinerja tersebut adalah karena pemerintah pusat, ternyata tidak mau
mengakui lembaga itu sebagai lembaga struktural, sehingga para pejabatnya tidak bisa naik pangkat. BKP Jabotabek hanya menjadi lembaga temporer, sehingga
para pegawai tidak bisa naik pangkat. Prof. Ateng Syafrudin berpendapat, penanganan persoalan di perbatasan wilayah DKI Jakarta dengan Jawa Barat dan
Banten, tidak akan berjalan jika konsepnya perluasan wilayah. Persoalan hanya bisa diatasi jika konsepnya adalah kerja sama antara tiga pemerintah provinsi,
dengan keterlibatan pemerintah pusat. Pusat harus memberikan atensi tinggi, Anonimous 2006b.
Selama ini, lembaga resmi yang ditunjuk oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tangerang untuk mengelola kegiatan perikanan di PPITPI
Dadap adalah KUD Mina Bahari. Namun demikian, setelah meninggalnya ketua KUD tersebut tahun 1997, informasi dari nelayan menyebutkan bahwa TPI Dadap
tidak lagi berfungsi sebagai tempat pelelangan ikan. Sama sekali tidak ada
237
aktivitas yang berkaitan dengan perikanan, gedung TPI juga menunjukkan sebagai tempat yang sudah lama tidak dihuni.
Untuk mengaktifkan kembali pengelolaan PPITPI Dadap sesuai dengan aktivitas yang direkomendasikan, maka lembaga pengelolanya haruslah berupa
kantor bersama, dimana terdapat wakil-wakil dari instansi-instansi yang berkaitan dengan aktivitas tersebut. Aktivitas-aktivitas tersebut meliputi:perikanan yang
mengarah pada wisata sport fishing, perhubungan, penelitian, perdagangan, dan pariwisata. Untuk PPITPI Kamal Muara, setelah dilakukan rehabilitasi sesuai
dengan kapasitas yang akan diembannya, maka pengelolaannya diharapan dipegang oleh UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan
Pendaratan Ikan, sebagaimana yang sekarang berlaku di TPI Muara Baru dan TPI Muara Angke. Hal ini perlu dilakukan semata-mata untuk meningkatkan efisiensi
dan koordinasi secara profesional diantara pelabuhan-pelabuhan perikanan besar yang ada di DKI Jakarta. Rekomendasi kelembagaan pengelola TPI di Dadap dan
Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.29. Tabel 5.29
Aspek kelembagaan pengelola TPI Dadap dan Kamal Muara No AKTIVITAS
INSTANSI PPITPI
DADAP PPITPI
KAMAL MUARA
1 Koordinasi pembangunan
BKSP Jabodetaberkjur √
√ 2 Perikanan
tangkap Dinas Perikanan-Kelautan -
√ 3
Perikanan wisata Dinas Pariwisata
√ -
4 Wisata pantai
Dinas Pariwisata √ -
5 Kapal penelitian
LIPIBPPT √ -
6 Kapal pesiar
Dinas Pariwisata √ -
7 Seafood restorant
Dinas Perindag √
√ 8
Kapal petikemas Dinas Perindag
√ - 9 Kepelabuhanan
Syahbandar √ -
10 Pindah baranghewan
Dinas Karantina √ -
11 Migrasi Dinas
Imigrasi √ -
12. Pajak
Dinas Bea cukai √ -
238
Dalam bentuk diagram, kelembagaan yang diusulkan untuk dibentuk dalam rangka pengelolaan kawasan Dadap dan Kamal Muara dicantumkan dalam
Gambar 5.12.
Catatan:
1 = Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten
2 = BupatiWalikota
3 = Sekretaris
4 = Sekretariat
5 = SUB BAGIAN TATA RUANG PERTANAHAN
6 = BAGIAN PEREKONOMIAN
7 = BAGIAN PEMERINTAHAN DAN KESRA
8 = BAGIAN UMUM
9 = SUB BAGIAN PERMUKIMAN, SARANA PRASARANA
10 = SUB BAGIAN SUMBER DAYA AIR, KEBERSIHAN LINGKUNGAN HIDUP
11 = SUB BAGIAN TRANSPORTASI PERHUBUNGAN
12 = SUB BAGIAN AGRIBISNIS, KOPERASI USAHA KECIL MENENGAH
13 = SUB BAGIAN INDUSTRI, PERDAGANGAN, PERTAMBANGAN INVESTASI
14 = SUB BAGIAN KEPENDUDUKAN, KETENTRAMAN KETERTIBAN
15 = SUB BAGIAN KESEHATAN PENDIDIKAN
16 = SUB BAGIAN SOSIAL TENAGA KERJA
17 = SUB BAGIAN
18 = PROGRAM DAN KEUANGAN
19 = SUB BAGIAN RUMAH TANGGA PERLENGKAPAN
20 = SUB BAGIAN TATA USAHA KEPEGAWAIAN
Gambar 5.12 Diagram hierarki pengelolaan kawasan Dadap-Kamal Muara.
Gambar 5.12 menunjukkan suatu skenario perlu dibentuknya lembaga pengelola PPITPI Dadap-PPITPI Kamal Muara, khususnya pada masa proses
pemindahan kapal dan pembangunan fasilitas di kedua PPITPI tersebut.
KANTOR BERSAMA
LIPIBPPT
PENGELOLA PPITPI DADAP
PENGELOLA PPITPI KAMAL MUARA
239
Lembaga khusus ini disebut Kantor Bersama berfungsi untuk mengakomodasikan dan mengkoordinasikan semua kepentingan dari setiap
institusi yang berkaitan dengan kedua PPITPI tersebut. Keberadaan BKSP Jabodetabekjur dapat lebih mempercepat terlaksananya pengelolaan wilayah
Dadap-Kamal Muara secara terpadu, mengingat sudah lengkapnya bagian-bagian dalam BKSP yang dapat mengakomodasi setiap kegiatan yang akan direncanakan
dan yang sudah dilakukan di kawasan tersebut. Tugas Kantor bersama ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1 Menterjemahkan semua kebijakan yang ditetapkan oleh Pemda Kabupaten
Tangerang dan Pemkot Jakarta Utara melalui dinas-dinas teknis terkait; 2
Menjalankan program kerja di kedua PPITPI tersebut; 3
Melaporkan semua perkembangan yang terjadi selama tahun anggaran yang sudah lewat kepada atasan-atasannya, dengan tembusan kepada
Bupati Tangeran dan Walikota Jakarta Utara; 4
Ikut secara aktif dalam diskusi pleno yang diselenggarakan oleh semua instansi terkait dari kedua pemerintah daerah tersebut, untuk
mengklarifikasikan semua perencanaan dan pelaksanaan program yang sudah berjalan serta untuk penyusunan dan perbaikan program selanjutnya;
Dalam Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF
sudah dinyatakan bahwa diperlukan
sebuah kerangka legislatif yang mengesahkan lembaga pengelolaan pesisir serta kegiatan yang dilakukannya. Sifat yang tepat dari peraturan dan perundangan di
setiap negara tergantung pada ruang lingkup dan kesenjangan dalam peraturan dan perundangan yang ada. Tambahan pula, pengalaman suatu negara tidak mesti
secara langsung bisa dipindahkan ke lain negara, sekalipun negara itu memiliki kesamaan latar belakang sosial, politik, ekonomi dan budaya FAO 1996.
Dalam pengelolaan kawasan pesisir, salah satu dari fungsi kelembagaan dan hukum yang paling penting adalah memastikan adanya suatu mekanisme untuk
penyelesaian sengketa. Berhubung sumber daya pesisir semakin langka. Perlu di pertimbangkan bagaimana menyelesaikan tuntutan yang bersaing diantara sektor-
sektor, baik yang ada di masa kini maupun masa depan FAO 1996.
240
5.5 Analisis Opini Masyarakat tentang Kondisi Perikanan di Kawasan