Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 36 Tahun 2005 tentang Perkembangan Deregulasi Angkutan Udara di Indonesia

1 Jenis dan tipe serta jumlah pesawat udara yang akan di operasikan per tahun untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 5 tahun ke depan. 2 Jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan untuk angkutan udara niaga sekurang-kurangnya 2 pesawat udara registrasi Indonesia yang dapat mendukung dalam pengoperasiannya. 3 Sumber dan cara pengadaan pesawat udara serta tahapan pengadaannya untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 5 tahun ke depan. 4 Utilitas per hari masing-masing jenis dan tipe pesawat udara yang akan dioperasikan.

f. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 36 Tahun 2005 tentang

Tarif Referensi untuk Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjdwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Keputusan pemerintah dibuat sebagai alat bagi regulator untuk melakukan pengawasan langsung maupun rutin kepada perusahaan penerbangan yang diharapkan muncul persaingan sehat diantara maskapai penerbangan. Tarif referensi untuk menjamin agar mekanisme harga tiket di pasar tidak terdistorsi untuk rute terutama rute padat, seperti: Jakarta – Padang Rp. 360.000,00 Jakarta – Denpasar Rp. 380.000,00 Jakarta – Surabaya Rp. 303.000,00 Jakarta – Pontianak Rp. 306.000,00 Jakarta – Yogyakarta Rp. 233.000,00 Jakarta – Semarang Rp. 225.000,00 Jakarta – Medan Rp. 487.000,00 Jakarta – Batam Rp. 338.000,00 Jakarta – Jayapura Rp. 1.240.000,00 Perusahaan penerbangan dengan tarif referensi tersebut apabila menjual dibawah tarif referensi, pemerintah akan melakukan audit korektif terhadap aspek keuangan hingga teknis dan jika perusahaan penerbangan terbukti mengurangi biaya salah satu komponen operasi dasar, akan dicabut izin rutenya.

4.3 Perkembangan Deregulasi Angkutan Udara di Indonesia

Pada awal kepemimpinan Presiden Soeharto, sistem ekonomi Indonesia termasuk didalamnya sistem ekonomi angkutan udara adalah sistem ekonomi tertutup dan memberikan peluang yang terbatas terhadap para pengusaha. Kondisi ini dikarenakan pemerintah menerapkan dalam pemberian izin penerbangan untuk angkutan udara niaga selama kurun waktu 5 tahun. Sedangkan untuk melayani penerbangan domestik dan internasional diperlukan waktu 16 tahun bagi perusahaan angkutan udara untuk dapat beroperasi. Perusahaan penerbangan yang berperan sangat dominan adalah Garuda dan Merpati, kedua-duanya adalah BUMN. Berdasarkan surat Keputusan Presiden Nomor 67 tahun 1968, Garuda Indonesia ditugaskan untuk meningkatkan penerbangan domestik. Selanjutnya deregulasi juga berlaku bagi Merpati untuk penerbangan domestik dan perintis, serta perusahaan penerbangan swasta untuk rute domestik tertentu sebagai pelengkap dan penunjang. Disamping rute, pemerintah juga mengatur jenis pesawat, pertarifan serta frekuensi penerbangan. Kebijakan pertarifan yang ditetapkan adalah tarif tunggal yang memberikan kelonggaran terhadap perusahaan angkutan udara untuk menetapkan tarif lebih rendah 15 sampai dengan 20, kecuali PT. Garuda Indonesia. Regulasi pemerintah mulai longgar pada dekade tahun 1990 sampai dengan tahun 1999 dengan dibolehkannya Sempati Air menggunakan pesawat jet serta membagi rute yang lebih banyak yang kemudian diikuti oleh perusahaan penerbangan lainnya. Penggunaan pesawat jet oleh perusahaan penerbangan swasta berarti mempersempit perbedaan produk jasa yang diberikan oleh perusahaan penerbangan kepada penumpang, yaitu kecepatan dan kenyamanan. Selanjutnya dengan pemberian izin terbang bagi perusahaan penerbangan swasta pada rute-rute yang semula monopoli Garuda menimbulkan terjadinya persaingan yang ketat, dengan segala macam strategi dan kreativitas terus dilakukan oleh setiap perusahaan penerbangan. Perkembangan angkutan udara dalam negeri sangat terpuruk pada periode ini, dimana pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi. Permintaan angkutan udara sangat menurun drastis. Pemerintah berupaya merangsang usaha angkutan udara dan memacu pertumbuhan penumpang. Diantaranya dengan menerbitkan Keputusan Menteri Perhubungan No.127 Tahun 1990. Selanjutnya pada tahun 2001, Menteri Perhubungan menerbitkan Keputusan Menteri No. 11 Tahun 2001 dan tahun 2005 diganti dengan Keputusan Menteri Perhubungan No.81 Tahun 2005 yang merubah secara signifikan kebijakan nasional tentang industri angkutan udara. Dengan keputusan tersebut pemerintah merubah jenjang tahapan pemberian izin yang diterbitkan untuk kegiatan angkutan udara niaga, yang meliputi daerah operasi, rute dan pengaturan kapasitas yang semakin terbuka. Namun demikian, kebijakan tarif tunggal tetap berlaku dengan mekanisme yang baru dimana mekanisme tersebut terbagi ke dalam dua kategori yaitu pesawat jenis jet dan non jet dimana Pemerintah menetapkan tarif dasar dan International Air Carrier Association INACA menetapkan tarif jarak. Efek selanjutnya adalah terjadinya perang tarif yang permanen. Walaupun secara resmi beberapa kali perusahaan penerbangan mengajukan kenaikan tarif dan pemerintah menyetujui, namun yang terjadi adalah pemberian diskon tarif yang terus-menerus. Perusahaan penerbangan swasta di Indonesia dari dahulu selalu menawarkan tarif lebih murah dibandingkan perusahaan BUMN Garuda dan Merpati. Beberapa kali tarif angkutan udara dinaikkan, namun persaingan dengan perang tarif yang lebih murah tetap saja terjadi. Perkembangan persaingan tarif terus berlangsung sampai saat ini. Perkembangan perubahan pengaturan perusahaan angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia tahun 1999 sampai sekarang kearah sistem ekonomi pasar, namun masih tetap ada pengaturan pemerintah. Mulai tahun 1999 ini, pemerintah menetapkan kebijakan dasar biaya tarif dasar untuk penerbangan berjadwal, sedangkan INACA sebagai wakil dari perusahaan angkutan udara menetapkan tarif jarak. Sedangkan pada tahun 2001, tragedi peristiwa pemboman WTC yang terjadi pada tanggal 9 Nopember 2001 cukup mempengaruhi perkembangan dunia penerbangan serta kondisi di Indonesia. Peristiwa tersebut secara tidak langsung menjadi titik balik perkembangan industri angkutan udara nasional. Pada saat itu banyak pesawat udara yang tidak dioperasikan oleh perusahaan Amerika dan Eropa karena kondisi yang sulit. Melihat kondisi yang ada, pemerintah mulai merelaksasi kebijakan dalam proses pengadaan import armada yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan nasional Tabel 3 Pengaturan Perusahaan Angkutan Udara Niaga Berjadwal 1928-1990 1990-1999 1999- sekarang Izin Usaha Tertutup Berjenjang Terbuka Daerah Operasi Diatur ketat Mulai dibuka Relatif dibuka atau bebas Rute dan Kapasitas Diatur ketat Mulai dibuka Relatif terbuka Tarif Domestik Single tariff selain GA lebih rendah 15-20 Single tariff selain GA lebih rendah 15-20 Single Tarif Jet dan Non Jet Tahun 1997: Pemerintah : Tarif Dasar INACA : Tarif Jarak Tahun 1999: Pemerintah : Tarif Dasar INACA : Tarif Koridor Tahun 2002 : Pemerintah : Tarif dasar dan Tarif jarak INACA : Wewenang dicabut Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan RI, Desember 2004 Dari tabel tersebut terlihat terjadinya perubahan pengaturan perusahaan angkutan udara niaga berjadwal dari sistem ekonomi tertutup menuju ekonomi pasar. Yang mencakup izin usaha, rute, kapasitas dan pertarifan.

4.4 Perkembangan Tarif Penumpang Angkutan Udara Indonesia