Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang mudah dan sesuai dengan fitrah manusia. Islam adalah agama yang tidak sulit. Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan kepada mereka. Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat. Semua perintah dalam Islam mengandung banyak manfaat. Sebaliknya, semua larangan dalam Islam mengandung banyak kemudharatan di dalamnya. Maka, kewajiban atas kita untuk sungguh-sungguh memegang teguh syari’at Islam dan mengamalkannya. 1 Allah menjanjikan kemenangan kepada orang yang berpegang teguh kepada agama ini dengan baik, namun dengan syarat mereka harus mentauhidkan Allah, menjauhkan segala perbuatan syirik, menuntut ilmu syar’i dan mengamalkan amal yang shalih. 2 Bagi setiap pribadi muslim adalah wajib baginya melaksanakan kaidah- kaidah atau aturan-aturan yang ditunjuk dengan jelas dalam nash-nash shahih. Setiap perbuatan yang wajib bagi tiap-tiap pribadi muslim, hal itu menandakan bahwa 1 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, “Islam adalah Agama yang Mudah”, artikel diakses pada tanggal 29 Oktober 2008 dari : http:pustakaamanah.wordpress.com20080924islam-adalah-agama- yang-mudah . 2 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, “Agama Islam adalah Agama yang Haq Benar yang dibawa Oleh Nabi Muhammad”, artikel diakses pada tanggal 29 Oktober 2008 dari : http:www.almanhaj.or.idcontent1490slash0 perbuatan baik dan memberi manfaat bagi kehidupannya. Sedangkan segala kaidah atau aturan-aturan yang dilarang untuk dikerjakan maka seorang muslim dilarang untuk melakukan perbuatan tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa perbuatan buruk dan dapat merusak kehidupan dirinya sendiri ataupun orang lain. Syariat Islam telah menetapkan peraturan-peraturan yang harus dijalankan oleh umat Islam, seperti peraturan dalam kekayaan. Bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syariat yang telah ditentukan dalam nash-nash yang shahih, seperti halnya dalam soal kewarisan. Harta benda yang diberikan Allah kepada umat manusia, disamping berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya dalam upaya mengabdi kepada Yang Maha Pemberi, juga untuk perekat hubungan persaudaraan dan insaniyah. 3 Hukum Kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam KHI adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan tirkah pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hal tersebut adalah merupakan suatu keharusan, selama peraturan tersebut telah ditunjuk oleh dalil nash yang lain yang menunjukkan ketidakwajibannnya. Padahal tidak ada nash yang demikian itu. Bahkan di dalam surat an-Nisaa’ ayat 13 dan 14, Allah akan menempatkan surga selama-lamanya orang-orang yang tidak memindahkannya. Ultimatum tersebut berbunyi : 4 “Barang siapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam 3 Satria Effendi M Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah Jakarta: Prenada Media, 2004, h.232. 4 Fatchur Rahman, Ilmu Waris Bandung: AlMa’arif, 1975, h.34. surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, Allah akan memasukkannya ke dalam neraka ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan.” Tidak hanya di dalam al-Qur’an, di dalam riwayat Muslim dan Abu Dawud Rasulullah saw juga memerintahkan agar umat muslim membagi harta warisan menurut kitab al-Qur’an. yang artinya “Bagilah harta warisan antara ahli-ahli waris menurut kitabullah al-Qur’an. Walaupun Islam merinci dan menjelaskan melalui Al-Quran Al-Karim bagian tiap-tiap ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan didalam masyarakat. 5 Masih ada sebagian pendapat yang mengemukakan bahwa harta warisan boleh tidak dilaksanakan dengan ketentuan pembagian yang terdapat dalam al-Qur’an yang pembagiannya dapat dilakasankan dengan jalan musyawarah antara keluarga. Pendapat ini didasarkan dengan pemahaman bahwa hukum itu memiliki sifat-sifat, antara lain : 6 1. Hukum yang memaksa, yaitu apabila ketentuan hukum yang ada tidak dapat dikesampingkan, atau suatu perbuatan yang dilaksanakan dan apabila tidak 5 Muhammad Ali Ash-Shabuni, “ Pembagian Waris Menurut Islam” , artikel diakses pada tanggal 29 Oktober 2008 dari : http:media.isnet.orgislamWarisPengantar.html 6 Suhrawardi k. lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Jakarta : Sinar Grafika, 2004 Cet ke-4, h.4-5. dilaksanakan maka hal tersebut dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum; 2. Hukum yang mengatur, yaitu ketentuan hukum yang dapat dikesampingkan tidak dipedomani dan apabila tidak dilaksanakan ketentuan hukum tersebut maka tidak dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum, sebab sifatnya hanya mengatur. Jadi dapat disimpulkan bahwa mereka yang mengatakan bahwa pembagian harta warisan boleh menyimpang dari ketentuan al-Qur’an dan Hadits. Menurut mereka bahwa hukum itu bersifat sebagai hukum yang mengatur atau hukum yang dapat dikesampingkan tidak dipedomani. Namun demikian kita sebagai umat muslim sepatutnya harus kembali lagi kepada 2 dua sumber pokok dasar hukum Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Telah jelas firman Allah SWT. dalam surat an-Nisaa : 13 dan 14, seperti juga hadits Rasulullah saw. yang dikemukakan di atas. Hal ini juga didasari ketentuan yang ada di dalam surat an-Nisaa ayat 29 yang artinya :“ Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil. Inilah syariat Islam yang telah menetapkan dan mengatur pembagian waris dengan bentuk yang sistematis, teratur dan sangat adil. Di dalamnya telah ditetapkan hak kepemilikan harta bagi manusia, baik itu laki-laki atau perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan harta seseorang yang sudah meninggal duania warisan kepada para ahli warisnya. Al- Qur’an juga menjelaskan dan merinci hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Oleh karena itu, al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penetuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa al-Qur’an sangat sedikit merinci suatu hukum secara detail, kecuali hukum waris. Hal demikian disebabkan karena kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan Allah SWT. di samping itu harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat. 7 Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa al-Qur’an telah mengatur tentang pembagian waris dengan secara terperinci, mulai dari ahli waris siapa-siapa yang berhak mendapatkan waris, sebab-sebab seorang mendapatkan warisan dan bagian-bagian ahli waris. Akan tetapi, masih saja ada sebagian masyarakat yang melaksanakan pembagian waris tidak sesuai dengan sumber hukum Islam atau tidak memiliki sistem kewarisan yang jelas. Inilah yang terjadi pada masyarakat Betawi Jakarta Selatan Kelurahan Lebak Bulus Kecamatan Cilandak. Para orang tua dalam membagikan waris sesuai dengan hukum adat yang dianutnya yakni hukum adat Betawi. Hukum adat yang sesuai dengan para leluhur mereka atau hukum yang mereka percayai secara turun temurun. Misalnya : membagi waris berupa sebidang 7 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam Jakarta : Gema Insani Press, 1995h.32. tanah atau rumah tanpa menghitung perincian bagian ahli waris anak laki-laki mendapatkan 2 bagian dari anak perempuan . Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengambil masalah ini ke dalam penelitian yang berjudul PEMBAGIAN WARIS MASYARAKAT BETAWI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM Studi Pada Mayarakat Kelurahan Lebak Bulus Kecamatan Cilandak Jakarta Selatan.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah