Dermatitis Kontak Oleh Karena Rubber

(1)

DERMATITIS KONTAK OLEH KARENA RUBBER

Penyaji:

dr.Ramona Dumasari Lubis,SpKK

NIP.132 308 599

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PENDAHULUAN

Rubber adalah bahan organik yang diperoleh dari karet alami (natural rubber = NR) dan karet sintetis (synthetic rubber). NR berasal dari derivat

isoprene monomers yang dapat ditemukan pada tanaman berjumlah lebih dari 200 spesies. Sumber utama NR adalah lateks yang berasal dari Hevea brasiliensis (Euphorbiaceae family) dan Parthenium argentatum (guayule rubber) dan bersifat komersial. Pada saat ini, pohon Hevea lebih banyak digunakan sebagai persediaan NR dunia lebih dari 99%. 1 Lateks berupa cairan seperti susu berasal dari sel lactiferous pohon Hevea brasiliensis

(Euphorbiaceae family) dan komponen utamanya merupakan senyawa hidrokarbon dengan rantai cis-1,4 polyisoprene (35%), juga mengandung air (60%), protein (1%-2%), karbohidrat (1%-2%), lemak (1%-1,5%) dan bahan inorganik (0,4%-0,6%). 2,3,4

Pada saat ini, karet lateks alami (natural rubber-latex = NRL) banyak digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan produk peralatan medis atau produk rumah tangga yang digunakan konsumen. Hal ini disebabkan NRL merupakan bahan yang bersifat kuat, fleksibel, elastis dan dapat digunakan sebagai barier. 5

NRL sebagian besar dikoagulasi (88%) menggunakan asam dengan pH 4,5 dan dibuat menjadi lembaran-lembaran kering atau crumb rubber. Sebaliknya NRL yang tidak dikoagulasi (12%) hanya diberikan ammonia 0,7% (high-ammoniated NRL) atau kombinasi 0,2% ammonia dengan thiuram (low-ammoniated NRL) dan selanjutnya dengan metode dipping dibuat produk seperti sarung tangan karet, balon dan kondom. 3

Selama proses pengolahan dan pembuatan produk NRL ditambahkan beberapa bahan kimia. Bahan-bahan kimia yang sering menimbulkan alergi terhadap NRL yaitu akselerator dan antioksidan. 1 Bahan-bahan tambahan (additive) ini bersifat sebagai sensitizers. 2

Pada proses pembuatan sarung tangan karet ditambahkan powder yang berfungsi sebagai pelicin sehingga protein yang terdapat pada NRL


(3)

akan berikatan dengan powder. Powder tersebut bertindak sebagai protein carrier NRL dan merupakan suatu airbone allergens (Tarlo dkk, 1994). 6 Dengan demikian, proses sensitisasi terhadap lateks dapat terjadi melalui kontak dengan kulit atau mukosa, kontak peritoneal selama pembedahan dan inhalasi airbone allergens. 7

Insiden alergi terhadap NRL terus meningkat, dengan angka tertinggi dijumpai pada tenaga kesehatan. Hal ini terjadi sejak The Centre of Disease Controle (CDC) pada tahun 1987 merekomendasikan penggunaan sarung tangan karet untuk mencegah penularan HIV dan virus hepatitis (universal precautions). 7

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi sensitisasi terhadap NRL pada populasi umum diperkirakan kurang dari 1% (Liss dan Sussman, 1999 ; National Institute for Occupational Safety and Health, 1997). 6 Prevalensi kelompok resiko tinggi untuk tersensitisasi dan berkembangnya gejala klinis alergi terhadap NRL yaitu :

1. Pekerja yang sering terpapar dengan produk NRL

Terpapar dengan produk NRL sering dijumpai pada pekerja kesehatan sebanyak 6%-17% (Kibby dan Akl, 1997)dan pembersih kaca, penata rambut, paberik pembuat sarung tangan, petugas kebersihan sebanyak 5%-11%. 6,8

2. Anak-anak penderita spina bifida

Hal ini disebabkan seringnya terpapar dengan produk NRL melalui tindakan operasi, pemberian pengobatan maupun prosedur diagnostik dijumpai sebanyak 28%-67% (Slater,1992 ; Sussman dkk, 1991). 6

3. Atopi

Individu yang mempunyai riwayat atopi dilaporkan mengalami alergi

terhadap NRL sebanyak 77% (Taylor dan Praditsuwan, 1996). 9

Keadaan atopi berpengaruh terhadap fungsi barier kulit dan meningkatkan bioavailability antigen terhadap host. 4


(4)

4. Hand eczema

Pada pasien dewasa yang mengalami alergi terhadap NRL, dijumpai

prevalensi hand eczema yang tinggi sebanyak 82%. 8 Kondisi

eczematous dapat menyebabkan meningkatnya paparan terhadap protein NRL yang terdapat pada sarung tangan karet. 5

ALERGEN NATURAL RUBBER LATEX

1. Antigen kimia

Bahan-bahan kimia yang terutama (major sensitizer) ditambahkan dalam proses pembuatan rubber yaitu akselerator dan antioksidan yang mencapai lebih dari 90%. 1

Akselerator yang ditambahkan pada NRL terdiri dari Thiuram-mix,

Carba-mix dan Mercapto-mix. Akselerator merupakan bahan kimia yang digunakan untuk mempercepat proses vulkanisasi yang bekerja sebagai katalisator. 1,4

Thiuram-mix

Merupakan bahan kimia yang sangat alergenik (sensitizer yang paling kuat) dan paling banyak digunakan dalam industri rubber terutama dalam pembuatan sarung tangan NRL. Terdiri dari Tetramethylthiuram monosulfide

(TMTM), Tetramethylthiuram disulfide (TMTD), Tetraethylthiuram disulfide

(TETD),Dipentamethylenethiuram disulfide (PTD). 1,4

Carba- mix

Merupakan sensitizer yang kuat dalam pembuatan sarung tangan NRL tetapi Carba-mix paling banyak digunakan pada pembuatan pestisida dan fungisida. Terdiri dari : Zinc diethyl dithiocarbamate (ZDEC), Zinc dimethyl

dibutyldithiocarbamate (ZDMC), Zinc dibuthyl dithiocarbamate (ZDBC). 1,4

Mercapto- mix

Merupakan sensitizer yang paling lemah dibandingkan Thiuram-mix

dan Carba-mix, merupakan akselerator pertama yang diperkenalkan dalam industri rubber. Terdiri dari : 2-Mercaptobenzothiazole (MBT),


(5)

Morpholinyl-mercaptobenzothiazole (MMBT), N-cyclohexyl-2-benzothiazyl sulfenamide

(CBS), Dibenzothiazyl disulfide (MBTS). 1,4

Penambahan antioksidan pada industri rubber berguna untuk menstabilkan polymer, mencegah rubber menjadi rapuh dan retak dengan cara menghambat proses oksidasi oksigen di atmosfir. Terdiri dari : N-isopropyl-n-phenyl-4-phenylenediamine (DBDNP), N-phenyl-n-cyclohexyl-p-phenylenediamine (CPPD), N-phenyl-n-isopropyl-p-phenylenediamine

(IPPD), N,N-diphenyl-4- phenylenediamine (DPPD). 1,4

2. Antigen protein

Untuk menganalisa alergen protein yang terdapat pada NRL menggunakan 2-D elektroforesis. Pada NRL ditemukan lebih dari 250 jenis protein / polipeptida dan hanya ± 30 jenis yang dapat berikatan dengan antibodi IgE serum penderita alergi NRL (Kurup dkk, 1994). 6

Allergenic Protein Of Natural Rubber Latex

Allergen Common name Molecular weight Hev b 1 Rubber elongation factor (REF) 14.6 , 58 Hev b 2 -1-3-Gluconase 34-36 Hev b 3 Prenyltransferase 24-27 Hev b 4 Microhalix 100,110,115 Hev b 5 Acidic protein 16-24 Hev b 6

6.01 Prohevein 20 6.02 Hevein 14 6.03 Pro-hevein C domain 5 Hev b 7 Patatin homolog 43-46 Hev b 8 Profilin 15-16 Hev b 9 Enolase 47,6 Hev b 10 Manganese superoxide dismutase 22,9 Hev b 11w Class 1 chitanase 30


(6)

Alergen protein NRL yang umumnya dijumpai pada pekerja kesehatan yaitu Hev b 5 : 62%, Hev b 6 : 65% dan Hev b 7 : 41% (Yip dkk, 2000) sedangkan pada anak-anak penderita spina bifida yaitu Hev b 1, Hev b 3. 6

PATOFISIOLOGI

Pemaparan terhadap lateks dapat menimbulkan 3 sindroma klinis yaitu :

1. Dermatitis kontak iritan

Kerusakan kulit terjadi akibat efek langsung dari bahan-bahan kimia yang terdapat pada lateks ataupun komponen lain pada sarung tangan dan tidak diperantarai oleh proses immunologi (immune system). 11

2. Dermatitis kontak alergik

Merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed-type

hypersensitivity) klasifikasi Gell dan Coombs melalui mekanisme T cell mediated. Terjadinya sensitisasi biasanya disebabkan alergen atau bahan-bahan kimia yang ditambahkan pada pembuatan produk NRL terutama akselerator (Thiuram mix, Carba mix, Mercapto mix) dan antioksidan. Sel Langerhans memproses antigen tersebut dan mempresentasikannya pada sel T. Pada orang yang telah tersensitisasi, apabila kulit atau membran mukosa terpapar dengan alergen yang sama, gejala klinis dapat timbul dalam waktu 48-72 jam. Reaksi hipersensitivitas tipe IV lebih sering dijumpai pada penderita atopi. 7,11

3. Reaksi hipersensitivitas tipe I

Merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (immediate-type

hypersensitivity) klasifikasi Gell dan Coombs. Reaksi ini diperantarai oleh antibodi IgE spesifik, merupakan reaksi terhadap protein NRL yang bersifat sangat alergenik. Apabila terjadi pemaparan ulang alergen, IgE akan berikatan dengan protein NRL dan menyebabkan terjadinya pelepasan histamin dan mediator-mediator lainnya. Reaksi hipersensitivitas tipe I dapat terjadi dalam waktu 1 jam setelah terpapar dengan protein NRL. 7,11


(7)

PATOGENESIS

Dermatitis kontak iritan

Terjadinya kerusakan kulit tanpa diawali sensitisasi, disebabkan penetrasi langsung bahan kimia yang bersifat iritan atau toksin ke dalam kulit yang menimbulkan kerusakan keratinosit dalam beberapa menit-jam. Kerusakan keratinosit akan menginduksi aktivasi phospholipase yang akan membebaskan arachidonic acid (AA), diacylglyceride (DAG), inositides (IP3),

platelet activating factor (PAF). AA akan berkonversi menjadi prostaglandin

(PGs) dan leukotrien (LTs). Hal ini menyebabkan aktivasi dari berbagai sistem second messenger untuk menstimulasi ekspresi gen, mensintesa berbagai molekul sel permukaan dan sitokin. Toksin yang berkontak dengan sel kulit dapat memicu sekresi interleukin-1 (IL-1) kemudian mengaktivasi sel T secara langsung dan tidak langsung untuk merangsang produksi

granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF).

Keratinosit juga mempunyai molekul pada permukaannya yaitu human leukocyte antigenDR (HLA-DR) dan intracellular adhesion molecule 1 (ICAM-1). PGs dan LTs menginduksi dilatasi pembuluh darah dan transudasi dari faktor sirkulasi pada sistem komplemen dan kinin. PGs dan LTs juga bertindak sebagai kemoattraktan (menarik) netrofil dan limfosit dan mengaktifasi sel mast untuk membebaskan histamin dan LTs, PGs. PAF akan mengaktivasi platelet dan terjadi perubahan vaskuler. 12

Dermatitis kontak alergik (DKA)

Reaksi alergi terhadap bahan kontak terdiri dari dua fase yaitu :

1. Fase sensitisasi

Fase ini disebut fase induksi atau aferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka terhadap bahan atau alergen kontak (sensitizer). Hal ini terjadi jika hapten menempel pada kulit selama 18-24 jam. Hapten adalah bahan kimia yang bersifat sebagai alergen


(8)

dengan berat molekul kecil (BM < 500 Da), reaktif dan dapat larut dalam lemak.

Alergen atau hapten yang menempel pada kulit menembus stratum corneum kemudian hapten berikatan dengan protein carrier sehingga terbentuk kompleks hapten-protein dan ditangkap oleh sel Langerhans. Antigen akan hancur dan diproses, selanjutnya berikatan dengan human leukocyte antigen DR (HLA-DR) membentuk HLA-DR compleks dan diekspresikan ke permukaan sel Langerhans (sel Langerhans berfungsi sebagai antigen presenting cells = APC). Sel Langerhans meninggalkan epidermis menuju limfonodus regional melalui duktus limfatikus. Pada limfonodus regional, sel Langerhans menyajikan HLA-DR compleks kepada sel T spesifik yaitu sel T helper yang terdiri dari CD4+ (cluster of differentiation 4+), berfungsi mengenal HLA-DR compleks dan CD3+ berfungsi mengenal antigen yang lebih spesifik. Pada saat ini telah terjadi proses pengenalan antigen (antigen recognation). Sel Langerhans distimulasi untuk membebaskan interleukin-1 (IL-1). Interaksi antara antigen dengan IL-1 mengaktivasi sel T untuk membebaskan IL-2 dan menyajikan reseptor IL-2 pada permukaan sel T, selanjutnya IL-2 menstimulasi proliferasi sel T sehingga terbentuk primed memory T cell yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh dan ada yang kembali ke kulit.

Proses sensitisasi pada manusia berlangsung selama 5-21 hari dan belum dijumpainya ruam pada kulit tetapi individu tersebut telah tersensitisasi. 4,12

2. Fase elisitasi

Pada fase ke dua, terjadi reexposure dengan antigen yang sama. Sekali lagi hapten akan berdifusi ke dalam sel Langerhans kemudian ditangkap dan diproses, selanjutnya antigen akan diikat oleh HLA-DR dan

membentuk HLA-DR compleks dan diekspresikan pada permukaan sel


(9)

berada di kulit atau node (ke duanya). Hal ini menginduksi sel Langerhans mensekresiIL-1, IL-1 akan merangsang sel T untuk memproduksi IL-2. Hal ini menyebabkan sel T berproliferasi dan teraktifasi mengeluarkan IL-3, IL-4, INF-γ dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GMCSF). INF-γ yang dihasilkan oleh sel T akan mengaktifkan keratinosit untuk mengekspresikan intracellular adhesion molecule 1 (ICAM-1) dan human leukocyte antigen DR (HLA-DR). Dengan adanya molekul ICAM-1, memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi dengan sel T dan leukosit sedangkan adanya HLA-DR memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi langsung dengan sel T yaitu CD4+ dan sel T sitotoksik (CD8). Aktivasi keratinosit juga menyebabkan produksi sejumlah sitokin antara lain IL-1, IL-6 dan GMCSF. IL-1 dapat menstimulasi keratinosit untuk menghasilkan

eicosanoid. Begitu pula IL-1 akan mengaktifasi fosfolipase untuk melepaskan

arachidonic acid untuk menghasilkan prostaglandin dan leukotrien.

Kombinasi antara sitokin dan eucosanoid yang dibentuknya akan

menyebabkan aktivasi sel mast dan makrofag sehingga akan terbentuk histamin yang menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Dengan adanya tahapan-tahapan tersebut akhirnya timbul gejala klinis DKA yang merupakan respon terhadap inflamasi. Proses elisitasi terjadi dalam waktu 48-72 jam setelah pemaparan. 12

Reaksi hipersensitivitas tipe I (Immediate-type hypersensitivity)

Proses immunologi terdiri dari 2 fase yaitu :

Fase Afektor

Fase ini dimulai pada saat alergen berinteraksi dengan antigen presenting cell (APC) di kulit, kelenjar limfatik, lien maupun tymus. Sel B dan makrofag juga mempunyai kemampuan sebagai APC. Alergen tadi akan berikatan dengan APC melibatkan molekul major histocompability complex class II (MHC kelas II) yang dipresentasikan ke limfosit T CD4+ yang berada dibawah pengaruh IL-4. Pengaruh IL-4 menyebabkan terjadinya


(10)

perkembangan dan aktivasi sel CD4+ menjadi sel T helper 2 (sel Th-2). Sel Th-2 ini memproduksi sitokin-sitokin antara lain 4, 5, 6, 10 dan IL-13 dan interleukin inilah yang akan merangsang sel B untuk berubah menjadi sel plasma dan akan membentuk IgE spesifik. IgE spesifik ini akan berikatan pada permukaan sel mast dan sel basofil. Fase sensitisasi ini hanya terjadi di dalam tubuh dan tidak dapat kita lihat oleh karena kulit masih dalam keadaan normal. 4,13

Fase Efektor

Fase ini terjadi bila ada kontak ulang antara alergen dengan IgE spesifik yang berada pada permukaan sel mast dan sel basofil. Hal ini akan mengakibatkan ikatan silang antara antigen paparan ulang dengan molekul IgE yang ada pada permukaan sel mast atau basofil, dan terjadi aktivasi sel bersangkutan sehingga terjadi degradasi atau pelepasan berbagai mediator yang tersimpan di dalam sitoplasma sel tersebut seperti histamin, serotonin dan bradikinin. Keadaan ini semua dapat menimbulkan reaksi alergi akut. Tetapi reaksi tipe I dapat juga terjadi dalam fase lambat yang muncul dalam waktu 6-8 jam kemudian, apabila sel mast dan basofil mengeluarkan mediator lain yang dihasilkan dari metabolisme arachidonic acid (prostaglandin, leukotrien) dan sekresi eosinofil chemotactic factor of anaphylaxis (ECFA) yang berfungsi menarik sel radang akut seperti eosinofil yang akan berkumpul di daerah paparan antigen. Pelepasan mediator-mediator menyebabkan respon vaskuler berupa vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi penimbunan cairan atau edema pada dermis. 4,13

GAMBARAN KLINIS

Dermatitis kontak iritan

Gambaran dermatitis akut, pada tempat terpapar akan dijumpai eritema, edema, vesikel atau bula (keduanya) dan basah akan tetapi pada


(11)

dermatitis kronis gambarannya berupa likenifikasi, kulit kering, skuama, fisura dan hiperpigmentasi. 11,14

Dermatitis kontak alergik

Gambaran dermatitis akut ditandai adanya lesi eritema, papul-papul, vesikel dan atau bula. Sedangkan pada dermatitis subakut sampai kronis gambarannya berupa skuama (hiperkeratosis), likenifikasi dan kadang-kadang disertai fisura. 7,11,14

Typical distribution of rubber dermatitis

* Dikutip dari kepustakaan 15

Reaksi hipersensitivitas tipe I (Immediate-type hypersensitivity)

Reaksi tipe I biasanya disebabkan kontak langsung dengan produk NRL dan inhalasi partikel powder sarung tangan karet. Powder tersebut mampu mengikat protein NRL dan berperan sebagai protein carrier NRL di udara (airborne). Ikatan antara protein NRL dengan IgE menyebabkan pelepasan histamin dan mediator-mediator lainnya. Berdasarkan rute paparan maka gejala klinis yang dapat timbul yaitu : 5,16


(12)

X Kulit : urtikaria kontak alergi, pruritus X Udara : rhinitis, conjungtivitis, ashma

X Mukosa : anafilaksis, takhikardi, angioedema, hipotensi, mual, muntah, kram pada perut

Urtikaria kontak alergi

Urtikaria kontak alergi (tipe imunologik) merupakan manifestasi klinis yang tersering dijumpai pada IgE-mediated NRL allergy. Reaksi alergi terhadap NRL sering melibatkan kulit, bergantung pada frekuensi dan lamanya kulit terpapar dengan alergen NRL. Manifestasi klinis diawali gatal, sedikit eritema, rasa terbakar dan selanjutnya timbul edema dan urtikaria. Biasanya timbul 15 menit setelah terpapar dan menghilang dalam waktu 1-2 jam tanpa mendapat pengobatan. Pada pekerja kesehatan yang sensitif, gejala tersebut dapat timbul lebih cepat apabila tangan atau sarung tangan yang digunakan dalam keadaan basah. 5 Sindroma urtikaria kontak alergi mempunyai beberapa tingkatan yaitu : 4

1. Tingkat 1 : Localized urticaria pada tempat kontak 2. Tingkat 2 : Generalized urticaria disertai edema 3. Tingkat 3 : Urtikaria yang melibatkan sistemik 4. Tingkat 4 : Urtikaria dengan reaksi anafilaksis

Reaksi pada pernafasan

Alergen NRL menjadi lebih mudah terbang (airbone allergen) dengan adanya powder pada sarung tangan karet selanjutnya terinhalasi yang menimbulkan rhinoconjungtivitis dan ashma. 5

Anafilaksis

Timbulnya reaksi anafilaksis diawali kontaknya produk NRL dengan mukosa. Dilaporkan produk NRL (peralatan medis) dapat menimbulkan reaksi anafilaksis intraoperative ± 10% berupa foley kateter, lateks balon pada


(13)

kateter ataupun tube endotrachial ketika dilakukan prosedur pembedahan, obstetri / ginekologi, urologi maupun rectal manometry. 5,16

HISTOPATOLOGIS

Dermatitis kontak iritan Perubahan pada epidermis

Dijumpai spongiosis disertai exocytosis limfosit ke dalam epidermis. Keratinosit pada epidermis mengalami nekrosis dan dijumpai penumpukan neutrofil di epidermis atau dijumpai vesikel intraepidermal yang dapat berubah menjadi pustul. Pada fase kronik spongiosis berkurang dan epidermis mengalami akantosis disertai hiperkeratosis dan parakeratosis. 17

Perubahan pada dermis

Papilari dermis mengalami edema dan disertai penyerapan infiltrat limfo-histiositik disekitar pembuluh darah superfisial. Pada reaksi yang berat, keratinosit mengalami nekrosis dan dijumpai infiltrat neutrofil. Infiltrat tersebut biasanya tidak mengandung eosinofil. 17

Dermatitis kontak alergik Perubahan pada epidermis

Pada fase akut dijumpai adanya spongiosis di epidermis (edema intracellular) akibat penumpukan cairan disekitar keratinosit sehingga terjadi pemanjangan intercellular bridges. Sel inflamasi mengalami exocytosis ke dalam epidermis terutama limfosit, dapat juga neutrofil dan eosinofil. Kronisitas DKA ditandai adanya penebalan epidermis sehingga banyak dijumpai akantosis dan sedikit spongiosis. Perkembangan yang lambat dari DKA menyebabkan epidermis menjadi hiperplastik. Terjadinya hiperkeratosis dan parakeratosis akibat gosokan dan garukan. Pada lesi DKA yang lanjut dijumpai adanya bula yang pecah, terbentuk krusta yang terdiri dari plasma dan sedikit sel inflamasi serta epidermis mengalami spongiosis. 17


(14)

Perubahan pada dermis

Dijumpai adanya dilatasi pembuluh darah superfisial, edema dan infiltrat perivaskular limfo-histiositik yang superfisial. Pada DKA yang akut dijumpai infiltrat yang padat dimana eosinofil lebih menonjol. Pada DKA yang kronik, papilari dermis mengalami fibrotik dengan susunan collagen bundles

yang vertikal dan terjadi penyerapan infiltrat inflamasi. 17

CROSS SENSITIZATION

Cross sensitization adalah suatu alergi kontak, dimana penderita yang awalnya tersensitisasi dengan suatu bahan A (alergen primer) akan memberikan reaksi test yang positif terhadap bahan B (alergen sekunder) akibat adanya struktur kimia yang erat atau homolog, walaupun sebelumnya penderita belum pernah berkontak. 18

Individu yang alergi terhadap protein NRL, dapat juga mengalami alergi terhadap bahan makanan atau buah-buahan yang mempunyai struktur protein yang hampir sama disebut latex fruit syndrome (Brehler dkk, 1997). 6 Manifestasi klinis yang dtimbulkan juga akan sama apabila individu tersebut terpapar dengan NRL. Manifestasi klinis berupa shock anafilaksis ; gatal pada tenggorokan, mata atau telinga ; ashma dan dermatitis akan bertambah berat ; adanya gangguan gastrointestinal dan pembengkakan pada mulut atau wajah. 18,19,20 Dilaporkan bahwa makanan atau buah-buahan yang paling sering berhubungan dengan alergi terhadap protein NRL yaitu pisang, alpukat, chestnut, kiwi dan tomat (Beezhold dkk, 1996). 6 Sedangkan buah-buahan lain yang juga berhubungan dengan alergi terhadap protein NRL adalah apel, apricot, anggur, melon, cherry, papaya, pear, peach, passion fruit, kentang. 18,19,20 Pada rubber dan plastik dijumpai beberapa bahan kimia (sesitizer) yang sama-sama digunakan yaitu : naphthylamine, paraphenylenediamine, mercaptobenzothiazole, phenol dan epoxy resin hardener. 1


(15)

DIAGNOSIS

Diagnosis dermatitis kontak terhadap NRL ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis

Apabila seseorang dicurigai alergi terhadap NRL perlu ditanyakan apakah ada gejala eritema, pruritus, urtikaria, angioedema setelah kontak dengan produk NRL. Dan juga ditanyakan adanya riwayat atopik dan reaksi alergi terhadap beberapa jenis makanan atau buah (alpukat, kiwi, pisang, chesnut dan sebagainya). 16

2. Uji kulit

Reaksi hipersensitivitas tipe I a. Skin-prick test (SPT) / Uji tusuk

Merupakan tes in vivo dan sering digunakan untuk mendiagnosis reaksi hipersensitivitas tipe I yang bertujuan mendeteksi antibodi IgE spesifik terhadap alergen (protein NRL), ditandai dengan terbentuknya edema yang cepat dan eritema. Prosedurnya mudah dilaksanakan, sensitivitasnya tinggi dan hasilnya cepat. Bahan-bahan berupa alergen NRL yang diencerkan menggunakan normal saline (Nacl 0,9%) dengan perbandingan 1:10 hingga 1:1.000.000. Setelah ditusuk dengan jarum disposable dengan sudut 450 pada volar lengan bawah kemudian setelah 15 menit diukur diameter urtikaria yang timbul kemudian dibandingkan dengan larutan histamin 0,1%. Uji tusuk dapat menimbulkan reaksi anafilaksis.4,16

b. Use test

Bertujuan untuk mengetahui sensitivitas terhadap NRL dan prosedurnya mudah dilaksanakan, tidak mahal dan sensitivitasnya tinggi.Tes dilakukan dengan memakai alergen sarung tangan tersangka hanya pada 1 jari selama 15 menit. Jika tidak ada respon, sarung tangan dipakai pada seluruh jari dan tangan dalam keadaan basah sedangkan tangan yang lain sebagai kontrol menggunakan sarung tangan vinyl (sintetis rubber) selama 15 menit. Apabila tidak juga dijumpai ruam urtikaria maka penggunaannya


(16)

dapat diperpanjang hingga beberapa hari. Use test dapat menimbulkan reaksi anafilaksis. 4,16

c. Radioallergosorbent test (RAST)

Bertujuan untuk menemukan antibodi IgE spesifik dan merupakan tes in vitro menggunakan konjugat anti-IgE yang bertanda radioaktif. Radioallergosorbent test tidak menimbulkan reaksi anafilaksis namun sensitivitasnya rendah (40%-70%). 4,16

Reaksi hipersensitivitas tipe IV Patch Test (Uji Tempel)

Bertujuan untuk mendeteksi bahan-bahan yang berkontak dengan kulit dan dicurigai dapat menyebabkan DKA, dilakukan dengan menempel bahan yang dicurigai dengan konsentrasi yang telah ditentukan pada kulit normal (biasanya punggung). Uji tempel dilaksanakan dengan menggunakan Finn Chambers (wadah alumunium ditempel pada Scanpore tape) dan Thin Layer Rapid Use Epicutaneous Test (T.R.U.E Test system). 21,22

Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum dilakukan uji tempel yaitu uji tempel tidak dilakukan dalam keadaan dermatitis akut dan / atau berat ; pasien sedang mendapat pengobatan steroid sistemik atau kortikosteroid topikal pada tempat yang akan dilakukan tes yang dapat menimbulkan reaksi false-negatif ; harus dilepas dan dibaca pada hari ke 2 (48 jam) dan pembacaan ke dua ditunda hingga hari ke 3-7 dan punggung harus tetap dalam keadaan kering hingga pembacaan akhir telah selesai. 21

Setelah 48 jam uji tempel dapat dilepas dan pada tempat penempelan timbul eritema akibat penekanan plester selama 2 hari, oleh karena itu pembacaan hasil yang pertama harus ditunda selama 15-30 menit sehingga reaksi yang timbul akan lebih jelas terlihat. Penilaian hasil uji tempel menggunakan sistim skor. 21,22


(17)

North American Contact Dermatitis Group - : Negatif atau tidak ada reaksi

+/- : Reaksi meragukan (hanya eritema)

+ : Reaksi positif lemah (tidak dijumpai vesikel) : eritema, infiltrasi, papul ++ : Reaksi positif kuat (edematosa atau vesikel)

+++ : Reaksi positif sangat kuat (bula atau ulserasi) IRR : Reaksi iritan

NT :Tidak dilakukan tes

Komplikasi uji tempel dapat dijumpai walaupun jarang yaitu : 21,22 1. Tersensitisasi oleh uji tempel

2. Reaksi iritan

3. Kambuhnya dermatitis yang sudah ada sebelumnya 4. Depigmentation

5. Hiperpigmentasi kadang-kadang timbul setelah terpapar sinar matahari pada tempat dilakukan test ; perubahan pigmen postinflamasi terutama pada pasien yang berkulit gelap

6. Parut, keloid

7. Reaksi anafilaksis atau shock 8. Infeksi

Bahan alergen yang dapat digunakan dalam melakukan uji tempel adalah The European Standart Patch-Test Series dan The American Standart Patch-Test Series. Apabila pada pemeriksaan sediaan standar diatas dijumpai reaksi alergi positif terhadap bahan-bahan alergen rubber satu atau lebih, maka akan dilanjutkan dengan uji tempel menggunakan alergen rubber. 22


(18)

PENATALAKSANAAN

a. Nonmedikamentosa

Pengobatan yang sebaiknya dilakukan adalah menghindari penyebab yang dicurigai dan dilakukan identifikasi agen penyebab dengan melakukan uji. Pasien sebaiknya menghindari beberapa buah-buahan seperti pisang, kenari, alpukat dan kiwi yang dapat menimbulkan latex fruit syndrome. 16

b. Medikamentosa

Penggunaan kortikosteroid topikal merupakan pilihan pengobatan dan potensi steroid disesuaikan dengan keadaan lesi. Jika disertai infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik oral maupun topikal. Untuk mengatasi inflamasi dapat diberikan terapi simtomatik disertai pemberian kortikosteroid topikal untuk lesi yang terbatas dan lakukan kompres untuk lesi yang basah. Pada lesi akut dan luas dapat diberikan kortikosteroid sistemik dengan dosis 40-60 mg/hari atau prednisolon 1 mg/kg BB selama 2 minggu tanpa tapering. Untuk mengatasi pruritus dan urtikaria dapat diberikan antihistamin H1 (AH1)

yang bekerja sebagai inhibitor kompetitf histamin. 14, 23

PROGNOSIS

Dermatitis kontak oleh karena rubber mempunyai prognosis yang baik setelah dilakukan identifikasi penyebab dan menghindari kontak dengan bahan-bahan yang bersifat sensitizer. 7

KESIMPULAN

Alergi terhadap produk NRL dapat menimbulkan berbagai manifestasi klinis dan insidennya cenderung meningkat terutama pada individu yang mempunyai faktor resiko. Diperlukan anamnesis yang teliti dan melakukan uji kulit untuk menegakkan diagnosis. Untuk menghindari berkontak dengan produk NRL tampaknya sulit untuk dilaksanakan, hal ini disebabkan produk NRL banyak digunakan konsumen dalam kehidupan sehari-hari.


(19)

DAFTAR PUSTAKA

1. Rietschel RL, Fowler JF. Allergy to Rubber. In : Fisher’s Contact Dermatitis. 15 thed, Lippincot Williams & Wilkins, 2001 : 533-57.

2. Wilkinson SM, Burd R. Latex : A cause of allergic contact eczema in users of natural rubber gloves. J Am Acad Dermatology, Inc, 1998 : 36-42.

3. Kelly KJ, Banerjee B. Natural Rubber Latex Allergy. In : Grammar LC, Greenberger Pa, eds. Patterson’s Allergic Disease, 6 th ed, Lippincot Williams & Wilkins, 2002 : 653-67.

4. Hamann CP, Sullivan KM. Natural Rubber Latex Hypersensitivities. In: Worth C, eds. Cutaneous Allergy, Black Well Science, 1996 : 155-99. 5. Taylor JS, Wattanakrai P, Charous BL, Ownby D. Latex Allergy. In:

Leung DYM, Greaves MW, eds. Allergic Skin Disease A Multidisciplinary Approach, New York: Marcel Dekker, Inc, 2000 : 237-58.

6. Toraason M, Sussaman G, Biagini R. Latex Allergy in the Workplace. Toxicological Sciences 2000; 58 : 5-14.

7. Behrman AJ. Latex Allergy. eMedicine J 2001, July 13;2(7) : available from : http://www.emedicine.com/derm/topic814.htm//.

8. Alenius H, Turjanmaa K, Palosuo T. Natural Rubber Latex Allergy. Occup Environ Med 2002; 59 : 419-24.

9. Trudgen KLF. Latex Allergy Implication for Health Care Workers and Health Care Consumers. Canberra Area Medical Unit, 2000.

10. Allergy to rubber accelerators. Available from :

http://www.dermnetnz.org/index.html.

11. Cohen DE. American Academy of Dermatology’s position paper on latex allergy. J Am Acad Dermatology 1998 July ; 39(1).

12. Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Allergic and Irritant Contact Dermatitis. In : Contact & Occupational Dermatology, 3 th ed, Mosby, Inc, 2002 : 3-15.


(20)

13. Bratawidjaja KG. Imunologi dasar, edisi ke 6, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004 : 174-78.

14. Cruz PD. Basic Mechanisms Underlaying Contact Allergy. In : Guin JD, eds. Practical Contact Dermatitis, Mc-Graw-Hill, Inc, 1995 : 3-29.

15. Rietschel RL, Salazar LC, Goossens A, Vein NK. Rubber. In : Atlas of Contact Dermatitis, Martin Dunitz Ltd, 1999 : 252-61.

16. Warshaw EM. Continuing Medical Education Latex allergy. J Am Acad Dermatology 1998 July; 39(1) : 1-24.

17. Hoon TS. The Histology of Contact Dermatitis. In : Ket NS, Leok GC, eds. The Principles and Practice of Contact and Occupational Dermatology in the Asia-Pacific Region, World Scientific Publishing Co. Pte.Ltd, 2001 : 17-21.

18. Benezra C. Cross sensitization, tolerance and desensitization. In : Adams RM, eds. Occupational Skin Disease, 2 nd ed, W.B. Saunders Company, 1990 : 35-8.

19. Perales AD, Collada C, Blanco C. Cross-reaction in the latex-fruit syndrome : A relevant role of chitanases but not of complex asparagines-linked glycans. J Allergy Clin Immunol, 1999 September; 104 (3) : 681-87.

20. Condemi JJ. Allergic reaction to natural rubber latex at home, to rubber products, and to cross-reacting foods. J Allergy Clin Immunol, 2002, August ; 110 (2) : S107-S110.

21. Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Patch Testing. In : Contact & Occupational Dermatology, 3 th ed, Mosby, Inc, 2002 : 34-58.

22. McFadden J. Immunology of Allergic Contact Dermatitis. In : Leung DYM, Greaves MW, eds. Allergic Skin Disease A Multidisciplinary Approach, New York: Marcel Dekker, Inc, 2000 : 213-21.


(21)

(1)

dapat diperpanjang hingga beberapa hari. Use test dapat menimbulkan reaksi anafilaksis. 4,16

c. Radioallergosorbent test (RAST)

Bertujuan untuk menemukan antibodi IgE spesifik dan merupakan tes in vitro menggunakan konjugat anti-IgE yang bertanda radioaktif. Radioallergosorbent test tidak menimbulkan reaksi anafilaksis namun sensitivitasnya rendah (40%-70%). 4,16

Reaksi hipersensitivitas tipe IV Patch Test (Uji Tempel)

Bertujuan untuk mendeteksi bahan-bahan yang berkontak dengan kulit dan dicurigai dapat menyebabkan DKA, dilakukan dengan menempel bahan yang dicurigai dengan konsentrasi yang telah ditentukan pada kulit normal (biasanya punggung). Uji tempel dilaksanakan dengan menggunakan Finn Chambers (wadah alumunium ditempel pada Scanpore tape) dan Thin Layer Rapid Use Epicutaneous Test (T.R.U.E Test system). 21,22

Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum dilakukan uji tempel yaitu uji tempel tidak dilakukan dalam keadaan dermatitis akut dan / atau berat ; pasien sedang mendapat pengobatan steroid sistemik atau kortikosteroid topikal pada tempat yang akan dilakukan tes yang dapat menimbulkan reaksi false-negatif ; harus dilepas dan dibaca pada hari ke 2 (48 jam) dan pembacaan ke dua ditunda hingga hari ke 3-7 dan punggung harus tetap dalam keadaan kering hingga pembacaan akhir telah selesai. 21

Setelah 48 jam uji tempel dapat dilepas dan pada tempat penempelan timbul eritema akibat penekanan plester selama 2 hari, oleh karena itu pembacaan hasil yang pertama harus ditunda selama 15-30 menit sehingga reaksi yang timbul akan lebih jelas terlihat. Penilaian hasil uji tempel menggunakan sistim skor. 21,22


(2)

North American Contact Dermatitis Group - : Negatif atau tidak ada reaksi

+/- : Reaksi meragukan (hanya eritema)

+ : Reaksi positif lemah (tidak dijumpai vesikel) : eritema, infiltrasi, papul ++ : Reaksi positif kuat (edematosa atau vesikel)

+++ : Reaksi positif sangat kuat (bula atau ulserasi) IRR : Reaksi iritan

NT :Tidak dilakukan tes

Komplikasi uji tempel dapat dijumpai walaupun jarang yaitu : 21,22 1. Tersensitisasi oleh uji tempel

2. Reaksi iritan

3. Kambuhnya dermatitis yang sudah ada sebelumnya 4. Depigmentation

5. Hiperpigmentasi kadang-kadang timbul setelah terpapar sinar matahari pada tempat dilakukan test ; perubahan pigmen postinflamasi terutama pada pasien yang berkulit gelap

6. Parut, keloid

7. Reaksi anafilaksis atau shock 8. Infeksi

Bahan alergen yang dapat digunakan dalam melakukan uji tempel adalah The European Standart Patch-Test Series dan The American Standart Patch-Test Series. Apabila pada pemeriksaan sediaan standar diatas dijumpai reaksi alergi positif terhadap bahan-bahan alergen rubber satu atau lebih, maka akan dilanjutkan dengan uji tempel menggunakan alergen rubber. 22


(3)

PENATALAKSANAAN

a. Nonmedikamentosa

Pengobatan yang sebaiknya dilakukan adalah menghindari penyebab yang dicurigai dan dilakukan identifikasi agen penyebab dengan melakukan uji. Pasien sebaiknya menghindari beberapa buah-buahan seperti pisang, kenari, alpukat dan kiwi yang dapat menimbulkan latex fruit syndrome. 16 b. Medikamentosa

Penggunaan kortikosteroid topikal merupakan pilihan pengobatan dan potensi steroid disesuaikan dengan keadaan lesi. Jika disertai infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik oral maupun topikal. Untuk mengatasi inflamasi dapat diberikan terapi simtomatik disertai pemberian kortikosteroid topikal untuk lesi yang terbatas dan lakukan kompres untuk lesi yang basah. Pada lesi akut dan luas dapat diberikan kortikosteroid sistemik dengan dosis 40-60 mg/hari atau prednisolon 1 mg/kg BB selama 2 minggu tanpa tapering. Untuk mengatasi pruritus dan urtikaria dapat diberikan antihistamin H1 (AH1)

yang bekerja sebagai inhibitor kompetitf histamin. 14, 23

PROGNOSIS

Dermatitis kontak oleh karena rubber mempunyai prognosis yang baik setelah dilakukan identifikasi penyebab dan menghindari kontak dengan bahan-bahan yang bersifat sensitizer. 7

KESIMPULAN

Alergi terhadap produk NRL dapat menimbulkan berbagai manifestasi klinis dan insidennya cenderung meningkat terutama pada individu yang mempunyai faktor resiko. Diperlukan anamnesis yang teliti dan melakukan uji kulit untuk menegakkan diagnosis. Untuk menghindari berkontak dengan produk NRL tampaknya sulit untuk dilaksanakan, hal ini disebabkan produk NRL banyak digunakan konsumen dalam kehidupan sehari-hari.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Rietschel RL, Fowler JF. Allergy to Rubber. In : Fisher’s Contact Dermatitis. 15 thed, Lippincot Williams & Wilkins, 2001 : 533-57.

2. Wilkinson SM, Burd R. Latex : A cause of allergic contact eczema in users of natural rubber gloves. J Am Acad Dermatology, Inc, 1998 : 36-42.

3. Kelly KJ, Banerjee B. Natural Rubber Latex Allergy. In : Grammar LC, Greenberger Pa, eds. Patterson’s Allergic Disease, 6 th ed, Lippincot Williams & Wilkins, 2002 : 653-67.

4. Hamann CP, Sullivan KM. Natural Rubber Latex Hypersensitivities. In: Worth C, eds. Cutaneous Allergy, Black Well Science, 1996 : 155-99. 5. Taylor JS, Wattanakrai P, Charous BL, Ownby D. Latex Allergy. In:

Leung DYM, Greaves MW, eds. Allergic Skin Disease A Multidisciplinary Approach, New York: Marcel Dekker, Inc, 2000 : 237-58.

6. Toraason M, Sussaman G, Biagini R. Latex Allergy in the Workplace. Toxicological Sciences 2000; 58 : 5-14.

7. Behrman AJ. Latex Allergy. eMedicine J 2001, July 13;2(7) : available from : http://www.emedicine.com/derm/topic814.htm//.

8. Alenius H, Turjanmaa K, Palosuo T. Natural Rubber Latex Allergy. Occup Environ Med 2002; 59 : 419-24.

9. Trudgen KLF. Latex Allergy Implication for Health Care Workers and Health Care Consumers. Canberra Area Medical Unit, 2000.

10. Allergy to rubber accelerators. Available from : http://www.dermnetnz.org/index.html.

11. Cohen DE. American Academy of Dermatology’s position paper on latex allergy. J Am Acad Dermatology 1998 July ; 39(1).

12. Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Allergic and Irritant Contact Dermatitis. In : Contact & Occupational Dermatology, 3 th ed, Mosby, Inc, 2002 : 3-15.


(5)

13. Bratawidjaja KG. Imunologi dasar, edisi ke 6, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004 : 174-78.

14. Cruz PD. Basic Mechanisms Underlaying Contact Allergy. In : Guin JD, eds. Practical Contact Dermatitis, Mc-Graw-Hill, Inc, 1995 : 3-29.

15. Rietschel RL, Salazar LC, Goossens A, Vein NK. Rubber. In : Atlas of Contact Dermatitis, Martin Dunitz Ltd, 1999 : 252-61.

16. Warshaw EM. Continuing Medical Education Latex allergy. J Am Acad Dermatology 1998 July; 39(1) : 1-24.

17. Hoon TS. The Histology of Contact Dermatitis. In : Ket NS, Leok GC, eds. The Principles and Practice of Contact and Occupational Dermatology in the Asia-Pacific Region, World Scientific Publishing Co. Pte.Ltd, 2001 : 17-21.

18. Benezra C. Cross sensitization, tolerance and desensitization. In : Adams RM, eds. Occupational Skin Disease, 2 nd ed, W.B. Saunders Company, 1990 : 35-8.

19. Perales AD, Collada C, Blanco C. Cross-reaction in the latex-fruit syndrome : A relevant role of chitanases but not of complex asparagines-linked glycans. J Allergy Clin Immunol, 1999 September; 104 (3) : 681-87.

20. Condemi JJ. Allergic reaction to natural rubber latex at home, to rubber products, and to cross-reacting foods. J Allergy Clin Immunol, 2002, August ; 110 (2) : S107-S110.

21. Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Patch Testing. In : Contact & Occupational Dermatology, 3 th ed, Mosby, Inc, 2002 : 34-58.

22. McFadden J. Immunology of Allergic Contact Dermatitis. In : Leung DYM, Greaves MW, eds. Allergic Skin Disease A Multidisciplinary Approach, New York: Marcel Dekker, Inc, 2000 : 213-21.


(6)