Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA CLEANING SERVICE

DI KAMPUS UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2012

SKRIPSI

Disusun Oleh: Sofia Septiani 108101000055

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H.


(2)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA CLEANING SERVICE

DI KAMPUS UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun Oleh: Sofia Septiani 108101000055

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H.


(3)

(4)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Desember 2012

Sofia Septiani, NIM : 108101000055

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 xvi+121 halaman, 10 tabel, 2 gambar, 3 lampiran

Abstrak

Dermatitis kontak merupakan salah satu penyakit kulit akibat kerja. Penyakit tersebut timbul pada waktu tenaga kerja bekerja melakukan pekerjaan atau disebabkan oleh faktor-faktor yang berada pada lingkungan kerja. Dermatitis kontak merupakan inflamasi yang diakibatkan oleh kontak kulit dengan bahan eksternal baik alergen kimiawi atau iritan mekanis. Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada 10 orang pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta didapatkan 8 orang pekerja cleaning service yang mengalami dermatitis kontak.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-September 2012 pada pekerja cleaning service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sampel penelitian sebanyak 99 orang dengan menggunakan teknik total sampling. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012, antara lain lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, suhu, kelembaban, personal hygiene dan penggunaan alat pelindung diri. Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian berupa lembar pemeriksaan dokter, kuisioner, thermohygrometer dan lembar observasi. Data yang diperoleh kemudian dilakukan uji statistik dengan menggunakan rumus chi square dan mann whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami dermatitis kontak sebanyak 32 pekerja (32,3%). Berdasarkan hasil analisis uji statistik diketahui bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak adalah lama kontak (pvalue=0,001), frekuensi kontak (pvalue=0,003) dan riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue=0,021).

Untuk meminimalisir risiko terjadinya dermatitis kontak pada pekerja cleaning service disarankan agar mengganti alat-alat kebersihan yang manual dengan menggunakan mesin, perlu disusun standar operasional prosedur kerja yang aman dan pekerja sebaiknya diberikan penyuluhan mengenai proses kerja yang aman, pentingnya penggunaan APD dan perilaku hidup bersih dan sehat selama bekerja serta diharapkan pekerja menggunakan APD pada saat bekerja dan memperhatikan personal hygiene. Daftar Bacaan : 42 bacaan (1988 - 2012)


(5)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH

MAJOR OF SAFETY AND OCCUPATIONAL HEALTH Thesis, Desember 2012

Sofia Septiani, NIM: 108101000055

Factors Associated With Contact Dermatitis in Cleaning Service Workers at Campus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Year of 2012

xvi+121 pages, 10 tables, 2 images, 3 attachment Abstract

Contact dermatitis is one of occupational skin disease. The disease occurs when workers doing their job or caused by the factors in the environment at the workplace. Contact dermatitis is an inflammation caused by skin contact with an external substance either chemical allergens or mechanical irritants. Based on the results of preliminary studies on 10 workers cleaning service at campus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta obtained 8 people cleaning service workers experience contact dermatitis.

This research is quantitative, with cross sectional approach which is conducted in June-September 2012 on cleaning service workers in the state islamic university Syarif Hidayatullah Jakarta. Amount of the sample in this research 99 peoples with total sampling techniques. The purpose of this study was to determine the factors associated with the incidence of contact dermatitis in cleaning service workers on the state islamic university Syarif Hidayatullah Jakarta in 2012, such as prolonged contact, frequency of contact, age, working period, history of allergy, history of atopy, history of skin disease previously, temperature, humidity, personal hygiene and using personal protective equipment. The instruments to collect data are physician examination sheets, questionnaire, thermohygrometer and observation sheet. After the data obtained, the data analyzed by statistical tests using chi-square and mann whitney.

The results showed that total workers with contact dermatitis is 32 workers (32,3%). Based on the results of statistical analysis known that the variables associated with the incidence of contact dermatitis is prolonged contact (pvalue=0,001), frequency of contact (pvalue=0,003) and history of skin disease previously (pvalue=0,021).

To minimize the risk of contact dermatitis on cleaning service workers, replace the manual cleaning tools with machine, the standard operational procedure for safe work must be developed. The workers should be given an education about safe work process, the importance of using PPE, hygienic and healthy behavior during working and the workers are expected to using PPE and notice the personal hygiene.


(6)

(7)

(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Sofia Septiani

Tempat, tanggal Lahir : Jakarta, 12 September 1990 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Golongan Darah : B

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jl. Ciputat Molek II No. 24 RT.03 RW.07 Pisangan - Ciputat Timur, Tangerang Selatan 15419

Telp/Email : (0856) 864 2336/fairytopia_1213@yahoo.co.id

RIWAYAT PENDIDIKAN:

Tahun Riwayat Pendidikan

1995 - 1996 TK Ketilang 1996 - 2003

2003 - 2005 2005 - 2008 2008 - sekarang

SD Negeri Kampung Utan I MTs Negeri 3 Jakarta SMA Negeri 87 Jakarta

S1 – Kesehatan Masyarakat Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. PENGALAMAN MAGANG

Februari - Maret 2012 PT. Pertamina (Persero) Refinery Unit V Balikpapan - Occupational Health (HSE)


(9)

KATA PENGANTAR ميح رل ا نمحرل ا ه ا مسب هت اك رب و ه ا ةمحرو مكي ع اسل ا

Segala puji bagi Allah SWT yang maha segalanya, syukur penulis ucapkan padamu ya Rabb atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Dengan penuh kesadaran penulis yakin bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi tentang “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”

Penyelesaian pembuatan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, nasehat, motivasi, dan dukungan serta bantuan dari berbagai pihak. Sekiranya patutlah bagi penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Allah SWT, atas berkah dan rahmatNya sehingga penulis diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. My Beloved Parents, especially my Mom, yang senantiasa mendoakan, memberikan segala sesuatu yang terbaik untukku dan mendukung penulis dalam menyelesaikan program studi ini. I’ll always give the best for my lovely Mom and Dad too.

3. Dosen pembimbing skripsi Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK dan Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS yang selalu memberikan waktu, kesabaran, motivasi dan ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

4. Tim Penguji skripsi (Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, dan Ibu dr. Rachmania Diandini, MKK) yang telah menguji skripsi saya dengan penuh kebijaksanaan.

5. Seluruh dosen dan staff program studi kesehatan masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dan mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Tim peneliti dermatitis kontak yaitu Via, Riska, Niswah dan Astri yang telah berbagi


(10)

7. Kakakku dan teman-teman K3’08 yang telah membantu dan terus memberi semangat supaya penulis segera meraih gelar sarjana, semoga keberkahan selalu menyertai langkah kita.

8. Semua pihak terkait yang tidak tersebut yang telah membantu dan mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah diberikan. Akhir kata, Penulis berharap skripsi ini akan bermanfaat bagi semua pihak yang membaca, baik dari kalangan mahasiswa maupun umum dan dapat dijadikan langkah awal bagi pengembangan ilmu serta bermanfaat di waktu mendatang.

هت اك رب و ه ا ةمحرو مكي ع اسل ا و

Jakarta, Desember 2012 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTER BAGAN ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 7

1.4 Tujuan Penelitian ... 8

1.4.1 Tujuan Umum ... 8

1.4.2 Tujuan Khusus ... 8

1.5 Manfaat ... 8

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cleaning Service ... 11

2.1.1 Definisi ... 11

2.1.2 Kondisi Kerja ... 11

2.1.3 Potensi Bahaya Terkait Pekerjaan Cleaning Service ... 12

2.1.4 Rute Eksposur ... 16

2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja ... 17

2.3 Dermatosis Akibat Kerja ... 20

2.4 Dermatitis ... 23

2.4.1 Kulit Manusia... ... .23

2.4.1.1 Anatomi Kulit ... 23

2.4.1.2 Fungsi Kulit ... 24

2.4.2 Definisi Dermatitis ... 26

2.4.2.1 Dermatitis Kontak ... 26

2.4.2.1.1 Dermatitis Kontak Iritan ... 27

2.4.2.1.2 Dermatitis Kontak Alergi ... 29

2.4.2.2 Dermatitis Fotokontak ... 31

2.5 Diagnosa Dermatosis Akibat Kerja ... 32

2.6 Pencegahan dan Pengobatan ... 34


(12)

2.7.1 Lama Kontak ... 35

2.7.2 Frekuensi Kontak ... 36

2.7.3 Bahan Kimia... 36

2.7.4 Usia ... 38

2.7.5 Jenis Kelamin ... 40

2.7.6 Masa Kerja ... 40

2.7.7 Jenis Pekerjaan ... 42

2.7.8 Riwayat Alergi ... 42

2.7.9 Riwayat Atopi ... 43

2.7.10 Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya ... 45

2.7.11 Tipe Kulit ... 46

2.7.12 Musim ... 47

2.7.13 Pengeluaran Keringat ... 47

2.7.14 Ras ... 47

2.7.15 Suhu dan Kelembaban ... 48

2.7.16 Personal Hygiene ... 49

2.7.17 Alat Pelindung Diri ... 51

2.8 Kerangka Teori... 52

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERSIONAL 3.1 Kerangka Konsep. ... 54

3.2 Definisi Opersional ... 60

3.3 Hipotesis ... ...64

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian ... 65

4.2 Tempat dan Waktu ... 65

4.3 Populasi dan Sampel ... 65

4.4 Instrumen Penelitian... 70

4.5 Pengumpulan Data... ... 71

4.6 Pengolahan Data... 72

4.6.1 Data Coding ... 72

4.6.2 Data Editing ... 73

4.6.3 Data Entry ... 73

4.6.4 Data Cleaning... 73

4.7 Analisa Data ... 73

4.7.1 Univariat ... 73

4.7.2 Bivariat ... 74

BAB V HASIL 5.1 Gambaran Lokasi Penelitian ... 75

5.2 Analisis Univariat... 76

5.2.1 Gambaran Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 76


(13)

5.2.2 Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2012 ... 76

5.2.2.1 Gambaran Lama Kontak ... 77

5.2.2.2 Gambaran Frekuensi Kontak ... 78

5.2.2.3 Gambaran Usia ... 78

5.2.2.4 Gambaran Masa Kerja ... 78

5.2.2.5 Gambaran Suhu ... 79

5.2.2.6 Gambaran Kelembaban ... 79

5.2.2.7 Gambaran Riwayat Alergi ... 79

5.2.2.8 Gambaran Riwayat Atopi ... 79

5.2.2.9 Gambaran Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya ... 80

5.2.2.10 Gambaran Personal Hygiene ... 80

5.2.2.11 Gambaran Alat Pelindung Diri (APD) ... 80

5.3 Analisis Bivariat ... 81

5.3.1 Hubungan antara Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 83

5.3.2 Hubungan antara Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 83

5.3.3 Hubungan antara Usia dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 83

5.3.4 Hubungan antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 84

5.3.5 Hubungan antara Suhu dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 84

5.3.6 Hubungan antara Kelembaban dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 84

5.3.7 Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 85

5.3.8 Hubungan antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 85

5.3.9 Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 86

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian ... 87

6.2 Kejadian Dermatitis Kontak ... 88


(14)

6.4 Gambaran Penggunaan APD Pada Pekerja Cleaning Service di UIN Jakarta ... 93

6.5 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 95

6.5.1 Hubungan antara Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak ... 95

6.5.2 Hubungan antara Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak... 98

6.5.3 Hubungan antara Usia dengan Dermatitis Kontak ... 100

6.5.4 Hubungan antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak... 103

6.5.5 Hubungan antara Suhu dengan Dermatitis Kontak ... 105

6.5.6 Hubungan antara Kelembaban dengan Dermatitis Kontak ... 108

6.5.7 Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak... 111

6.5.8 Hubungan antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak ... 114

6.5.9 Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis Kontak ... 116

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 119

7.2 Saran ... 120

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Bahan Kimia di Tempat Kerja Cleaning Service ... 12

Tabel 2.2 Iritan yang Sering Menimbulkan Dermatitis Kontak Iritan ... 29

Tabel 2.3 Alergen yang Sering Menimbulkan Dermatitis Kontak Alergi ... 30

Tabel 2.4 Bahan Kimia yang Menimbulkan Kelainan Kulit... 37

Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ... 68

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 76

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi (Lama Kontak, Frekuensi Kontak, Usia, Masa Kerja, Suhu dan Kelembaban) Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 77

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi (Riwayat Alergi, Riwayat Atopi, Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya, Personal Hygiene dan Alat Pelindung Diri) Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 77

Tabel 5.4 Analisis Hubungan antara (Lama Kontak, Frekuensi Kontak, Usia, Masa Kerja, Suhu dan Kelembaban) dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 82

Tabel 5.5 Distribusi Pekerja menurut (Riwayat Alergi, Riwayat Atopi dan Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya) Pada Pekerja Cleaning Service di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 ... 82


(16)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 53 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ... 59


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Kulit Manusia ... 23 Gambar 6.1 Dermatitis Kontak Pada Cleaning Service ... 89


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner

Lampiran 2 Foto Tangan Responden Lampiran 3 Output Analisis Uji Statistik


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Masalah keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu masalah dunia. Telah banyak diketahui bahwa bekerja di manapun selalu ada risiko terkena penyakit akibat kerja (Kurniawidjaja, 2010). Menurut laporan ILO tahun 2002, setiap tahun ditemukan 2 juta orang meninggal dan 160 juta kasus PAK (Depkes, 2008). Sedangkan laporan WHO tentang kesehatan dunia pada tahun 2002, menunjukkan 1,5% dari beban kesehatan dunia diakibatkan oleh risiko pekerjaan tertentu, hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa terdapat ratusan juta penduduk dunia bekerja dalam kondisi tidak sehat dan atau tidak selamat. Risiko kesehatan kerja ini diperkirakan 10-20 kali lebih tinggi di negara berkembang (Kurniawidjaja, 2010).

Berdasarkan penelitian WHO pada pekerja tentang Penyakit Akibat Kerja di 5 benua tahun 1999, memperlihatkan bahwa dermatosis akibat kerja terdapat sebanyak 10% (Depkes, 2008). Sedangkan menurut Biro Statistik Amerika Serikat (1988) menyatakan bahwa penyakit kulit menduduki sekitar 24% dari seluruh penyakit akibat kerja yang dilaporkan. The National Institute of Occupational Safety Health (NIOSH) dalam survei tahunan (1975) memperkirakan angka kejadian dermatitis akibat kerja yang sebenarnya adalah 20-50 kali lebih tinggi dari kasus yang dilaporkan (Lestari, 2007).


(20)

Menurut Diepgen et.al (1999) mengenai dermatitis kontak akibat kerja menduduki peringkat pertama dari semua penyakit akibat kerja di berbagai negara. Tingkat kejadian terdapat sekitar 0,5-1,9 kasus per 1000 pekerja penuh waktu per tahun. Sedangkan di Indonesia, menurut Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993, penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja, dari daftar penyakit berjumlah 31 penyakit dalam Keppres tersebut diketahui bahwa salah satu penyakit akibat kerja ialah penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh faktor fisik, kimiawi dan biologi.

Badan Pusat Statistik RI pada bulan Agustus 2009 mencatat bahwa sebanyak 104,87 juta jiwa (92,08%) penduduk Indonesia adalah bagian dari angkatan kerja, yang bekerja di sektor formal sebanyak 32,14 juta jiwa (30,6%) dan di sektor informal sebanyak 67,86 juta jiwa (69,3%), sedikitnya terdapat 720.457 kasus penyakit akibat kerja dalam tahun 2009 (Hudoyo, 2009). Penyakit kulit akibat kerja sebagai salah satu bentuk penyakit akibat kerja, merupakan jenis penyakit akibat kerja terbanyak kedua setelah penyakit muskuloskeletal, berjumlah sekitar 22% dari seluruh penyakit akibat kerja. Sebanyak 90% penyakit kulit akibat kerja berlokasi di tangan (Depkes, 2008).

Penyakit kulit akibat kerja dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain ialah faktor kimiawi (iritasi primer, alergen atau karsinogen), faktor mekanis (getaran, tekanan, trauma, panas, dingin, kelembaban udara), faktor biologis (jamur, parasit dan virus) dan faktor psikologis (Siregar, 1996). Dermatosis akibat kerja adalah kelainan kulit yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja. Penyakit tersebut timbul pada waktu tenaga kerja bekerja melakukan pekerjaan atau


(21)

disebabkan oleh faktor-faktor yang berada pada lingkungan kerja (Suma’mur, 2009).

Pada tahun 2009 perkembangan penyakit dermatosis semakin meningkat dengan persentase sebesar 50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja (Suma’mur, 2009). Situasi tersebut akhirnya menggiring status kesehatan pekerja sektor informal menjadi buruk. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Departemen Kesehatan pada 2004 di 8 provinsi pada pekerja sektor informal didapatkan 75,8% perajin batu bata mengalami gangguan otot rangka, 41% perajin kulit dan petani kelapa sawit mengalami gangguan mata, 23,2% perajin batu onix mengalami gangguan dermatitis kontak alergika (Kurniawidjaja, 2010).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Florence (2008) menunjukkan bahwa pekerja pencuci botol di PT. X Medan yang menderita dermatitis kontak sebesar 54%. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD dengan dermatitis kontak. Selain itu menurut penelitian lain yang dilakukan oleh Nuraga (2006) menunjukkan terdapat 74,07% (40 pekerja) dari 54 responden yang mengalami dermatitis kontak akibat kerja. Faktor yang sangat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak tersebut ialah lama kontak, frekuensi kontak dan alat pelindung diri.

Penyakit kulit akibat kerja merupakan salah satu penyakit akibat kerja yang paling umum. Dermatitis tangan terdapat sebanyak 75% dari berbagai penyakit kulit akibat kerja, sedangkan urtikaria, chloracne atau infeksi lainnya jarang diamati. Pekerjaan yang paling umum terlibat adalah tenaga kesehatan, juru masak dan penata rambut. Pekerjaan basah (sering kontak dengan air) dapat mengubah fungsi


(22)

sawar kulit, meningkatkan kemungkinan berkembangnya dermatitis kontak iritan dan sensitisasi terhadap suatu alergen, bahan kimia dan protein (Escala, 2010).

Cleaning service adalah salah satu jenis pekerjaan basah (sering kontak dengan air) yang membuat karakteristik cleaning service menjadi berpotensi terkena penyakit kulit akibat kerja, seperti dermatitis kontak akibat kerja. Aktivitas pembersihan biasanya berlangsung di rumah, kantor, sekolah atau pabrik. Pekerjaan cleaning service berpotensi mengakibatkan kerusakan fisik kulit karena kontak dengan sabun, detergen, beberapa makanan dan produk teknis lainnya. Pekerja pembersih rumah tangga dan industri lebih rentan untuk menderita dermatitis kontak iritan dan dermatitis tangan sebagai akibat dari paparan alergen (Escala, 2010).

Produk pembersih telah dikembangkan untuk menghilangkan debu, kotoran, melarutkan kotoran berminyak dan sebagai disinfektan. Namun produk ini mengandung berbagai jenis bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan (OSHA, 2008). Bahan iritan yang umum digunakan dalam produk pembersih yang dapat menyebabkan dermatitis ialah asam dan basa, detergen, surfaktan dan solvent. Bahan tambahan yang sering digunakan seperti pewangi, pewarna, dll merupakan zat sensitizer bagi kulit dan detergen keras biasanya mengandung senyawa ammonium surfaktan yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Produk pembersih yang mengandung zat berbahaya tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui kontak kulit. Jika paparan terlalu tinggi dan terlalu lama dapat menimbulkan risiko penyakit kulit. Oleh karena itu cleaning service merupakan salah satu pekerjaan yang berisiko tinggi terhadap kejadian dermatitis kontak (Frosch, 2011).


(23)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 19-20 Juni 2012 pada 10 orang pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta didapatkan 8 orang pekerja cleaning service yang mengalami dermatitis kontak dan 2 orang pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Gejala yang timbul pada pekerja antara lain ialah gatal-gatal sebanyak 70%, mengelupas sebanyak 20%, kemerahan sebanyak 40%, rasa perih sebanyak 30% dan lepuh kecil berisi cairan sebanyak 20%. Pekerja sebagian besar tidak menggunakan alat pelindung diri pada saat mereka bekerja. Hasil tersebut diperoleh berdasarkan observasi melalui kunjungan lapangan dan ditunjang dengan adanya pemeriksaan dokter. Pada saat bekerja di area kampus UIN Jakarta, para pekerja cleaning service sering kontak dengan air, sabun dan bahan kimia dari pembersih lantai maupun toilet yang mengandung zat iritan berupa detergen, solvent, surfaktan, asam dan basa, sehingga berpotensi menimbulkan penyakit dermatitis kontak akibat kerja.

Berdasarkan teori-teori dari para ahli yaitu Cohen (1999), Djuanda (2007), Hutomo (1999), Maibach (2006), Sassevile (2006), Sulaksmono (1994) dan beberapa penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak disebabkan oleh lama kontak, frekuensi kontak, bahan kimia, usia, jenis kelamin, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, tipe kulit, musim, pengeluaran keringat, jenis pekerjaan, suhu, kelembaban, personal hygiene, ras dan alat pelindung diri.

Dari hasil uraian penelitian di atas dapat diketahui bahwa dermatitis kontak akibat kerja merupakan salah satu penyakit kelainan kulit yang sering timbul pada pekerja yang kontak dengan bahan kimia. Dermatitis kontak akibat kerja dapat


(24)

mengakibatkan penurunan produktivitas kerja penderita sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan terhadap penyakit ini. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya diharapkan proses pencegahan dapat lebih mudah dilakukan. Selain itu cleaning service di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan pegawai kelas bawah yang kurang mendapatkan perlindungan mengenai kesehatan kerja mereka dan hasil penelitian ini nantinya akan digunakan sebagai data based pelaksanaan program intervensi kepada pekerja di internal UIN.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.2Rumusan Masalah

Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah kesehatan dan keselamatan kerja pekerja. Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan kebutuhan hidup vital yang perlu mendapatkan perhatian karena kesehatan dan keselamatan kerja dapat memberikan sumbangsi nyata dalam peningkatan daya saing dan produktivitas dalam bekerja. Penyakit kulit akibat kerja (occupational dermatoses) merupakan suatu peradangan kulit yang diakibatkan oleh suatu pekerjaan seseorang. Penyakit kulit seperti dermatitis kontak merupakan salah satu penyakit terkait kerja yang sering muncul pada pekerja cleaning service, misalnya karena paparan terhadap kulit yang disebabkan oleh bahan kimiawi, agen biologi, sering bekerja di tempat basah, dan luka pada kulit disebabkan oleh faktor mekanis karena pekerjaan.


(25)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 19-20 Juni 2012 pada 10 orang pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta didapatkan 8 orang pekerja cleaning service yang mengalami dermatitis kontak dan 2 orang pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Gejala yang timbul pada pekerja antara lain ialah gatal-gatal sebanyak 70%, mengelupas sebanyak 20%, kemerahan sebanyak 40%, rasa perih sebanyak 30% dan lepuh kecil berisi cairan sebanyak 20%. Pekerja sebagian besar tidak menggunakan alat pelindung diri pada saat mereka bekerja. Hasil tersebut diperoleh berdasarkan observasi melalui kunjungan lapangan dan ditunjang dengan adanya pemeriksaan dokter. Pada saat bekerja di area kampus UIN Jakarta, para pekerja cleaning service sering kontak dengan air, sabun dan bahan kimia dari pembersih lantai maupun toilet yang mengandung zat iritan berupa detergen, asam dan basa, solvent dan surfaktan sehingga berpotensi untuk terjadinya dermatitis kontak akibat kerja.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012 ?

2. Bagaimana gambaran (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, suhu, kelembaban, personal hygiene dan alat pelindung diri) pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012 ?

3. Apakah ada hubungan antara (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, suhu dan


(26)

kelembaban) dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012 ?

1.4Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

2. Diketahuinya gambaran (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, suhu, kelembaban, personal hygiene dan alat pelindung diri) pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

3. Diketahuinya hubungan antara (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, suhu dan kelembaban) dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

1.5 Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti

Dapat mengaplikasikan secara nyata dari teori-teori yang telah didapat semasa perkuliahan dan dapat mengembangkan kemampuan dalam bidang


(27)

penelitian dan penyusunan karya tulis serta penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai dermatitis akibat kerja. 2. Bagi Pekerja

Sebagai bahan informasi dan masukan untuk memperhatikan kesehatan kerja pekerja cleaning service dalam upaya pencegahan dermatitis yang merupakan penyakit kulit akibat kerja. Para pekerja cleaning service diharapkan dapat mengurangi kontak dengan bahan kimia berbahaya yang berada dalam produk pembersih.

3. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat

Sebagai informasi penelitian dan dokumentasi data penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh Mahasiswa peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni-September 2012. Populasi penelitian adalah pekerja cleaning service yang bekerja di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjumlah 99 orang. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional.


(28)

Penelitian ini dilakukan berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 orang pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, diketahui 8 pekerja mengalami dermatitis kontak. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik kelainan kulit pada pekerja yang dilakukan oleh dokter. Sedangkan data-data yang dikumpulkan dalam bentuk pertanyaan dianalisa untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak.


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cleaning Service (EU-OSHA, 2009) 2.1.1 Definisi

Cleaning service adalah pekerjaan umum yang dilakukan di semua sektor dan tempat kerja baik di luar ruangan dan dalam ruangan, baik di perusahaan swasta serta di tempat umum. Ini mencakup berbagai tugas. Sebagian besar pekerjaan cleaning service dilakukan secara kontrak dimana cleaning service dipekerjakan oleh sebuah perusahaan cleaning service tetapi bekerja dalam satu atau lebih lokasi. Sektor ini sebagian besar wiraswasta, yang dominan ditemukan pada cleaning service rumah tangga.

Pekerja cleaning service biasanya sering tidak diberikan pelatihan, peralatan dan informasi untuk melakukan pekerjaan mereka dengan cara yang terbaik, sehat dan aman.

2.1.2 Kondisi kerja

Cleaning service terdapat dalam berbagai kegiatan dan dilakukan dalam lingkungan kerja yang berbeda, seperti rumah, kantor, industri, sekolah, toko, bandara dan rumah sakit. Risiko dari seorang jasa kebersihan terpajan bahaya tergantung pada tugas yang mereka lakukan dan tempat bekerja mereka.


(30)

2.1.3 Potensi Bahaya Terkait Pekerjaan Cleaning Service a) Bahaya Kimia

Paparan bahan kimia pada seorang cleaning service tergantung pada jenis produk yang digunakan dan karakteristik lingkungan kerja di mana mereka bekerja dan kondisi penggunaan. Pekerja cleaning service mungkin dapat terpapar berbagai bahan kimia yang berbeda.

Oleh karena itu, ketika menilai risiko kimia yang mungkin terpajan pada pekerja cleaning service, zat kimia yang ada di kotoran, debu, partikel, dll yang sedang dibersihkan, serta karakteristik lingkungan dan proses kerja harus diperhitungkan selain komponen kimia dari produk pembersih yang digunakan. Tergantung pada zat kimia yang terlibat, berbagai jenis risiko kesehatan dapat menyebabkan seperti iritasi pada mata dan selaput lendir, dermatitis kulit, gangguan pernapasan, termasuk asma, dan kanker. Bahan kimia yang terkandung dalam beberapa bahan pembersih mungkin juga bersifat mudah terbakar atau mudah meledak.

Tabel 2.1 Bahaya Kimia di Tempat Kerja Cleaning Service Kandungan Bahan

Kimia Pada Produk Pembersih Produk yang Mengandung Bahan Kimia Kemungkinan Pengaruh Terhadap Kesehatan Manusia

Asam ( sulfur, asam asetat, asam sitrat,

hydrochloric)

Produk pembersih kimia, terutama produk pembersih

toilet

Bersifat korosif ;

Kulit terbakar-dermatitis; jika kontak dengan mata dapat mengurangi penglihatan atau kebutaan misalnya karena asam hydrochloric

Iritasi kulit, mata dan selaput lendir, masalah pernafasan, adanya kemungkinan asma Alkali (amonium Produk pembersih Iritasi kulit, mata dan selaput


(31)

Sumber: Emmanuelle Brun. 2009. The Occupational Safety and Health of Cleaning Workers (EU-OSHA)

b) Bahaya Biologi

Pekerja cleaning service dapat juga terpajan berbagai jenis agen biologi seperti mikroorganisme (bakteri, virus dan jamur) yang terdapat dalam debu dan dalam aerosol yang terjadi selama proses pembersihan. Rute eksposur utama adalah

hidroksida, sodium hidroksida, silika, karbon)

lemak lendir; keracunan

Hipoklorit, aldehid, senyawa amonium

Disinfektan Sensitisasi, iritasi selaput lendir

Solvent (toluene, alkohol, glikol eter seperti 2-butoxyethanol)

Produk pembersih lantai, produk pembersih lemak, disinfektan, deterjen, wax

Iritasi kulit, sistem pernafasan; racun bagi saraf atau reproduksi

Fatty acid salts, organic sulphonates

Deterjen, sabun Iritasi kulit, mata dan selaput lendir

Formaldehid

Bahan pengawet atau disinfekan pada pembersih lantai, wax, deterjen, dll

Terutama menyebabkan alergi dan sensitisasi

Bahan pencampur (EDTA, Nitrilotriacetc acid (NTA))

Pelarut pembersih Iritasi kulit, mata dan selaput lendir

Film formers, semir (wax, acryl polymers, polyethylene)

Produk perawatan permukaan

Sensitisasi

Ethanolamine

Anti korosif: surfaktan biasa digunakan pada produk perawatan lantai, pemakaian umum, kaca dan pembersih kamar mandi

Sensitisasi kulit; iritasi jalur pernafasan dan paru-paru; berhubungan dengan asma akibat kerja


(32)

sama seperti pada bahaya kimia, yang berarti terutama melalui inhalasi, kulit dan pencernaan.

c) Bahaya Fisik

Bahaya fisik yang dihadapi pekerja cleaning service mencakup antara lain jatuh dari tangga, permukaan yang tinggi dan lantai yang basah atau licin serta kejatuhan benda yang tidak hanya dari peralatan kerja yang digunakan tetapi juga dari lingkungan dimana pekerjaan pembersihan dilakukan.

Beberapa studi penelitian pada pekerjaan yang berhubungan dengan penyakit pada pekerja cleaning service ditemukan di Belgia, Denmark, Finlandia, Jerman, Norwegia, Portugal, Spanyol, Swedia, dan Inggris menunjukkan bahwa MSDS, penyakit pernapasan dan penyakit kulit merupakan masalah kesehatan yang paling umum yang ditemukan pada pekerja cleaning service. Penyakit kulit seperti dermatitis kontak dan eczema merupakan salah satu penyakit terkait kerja yang sering muncul pada petugas kebersihan, misalnya karena paparan terhadap kulit yang disebabkan oleh bahan kimiawi dan agen biologi, sering bekerja di tempat basah, dan luka pada kulit disebabkan oleh faktor mekanis karena pekerjaan.

Selain memiliki manfaat dari aspek higienis dan estetika, dengan menggunakan bahan pembersih juga dapat menimbulkan risiko seperti risiko menghirup zat berbahaya yang terkandung dalam deterjen. Produk pembersih yang digunakan petugas pembersihan umum biasanya terdiri dari campuran bahan kimia yang berbeda, yang termasuk dapat menimbulkan iritasi kulit, pernapasan dan sensitizer. Bahan pembersih biasanya terdiri dari satu atau beberapa komponen aktif, tergantung pada fungsi teknis dari bahan pembersih, serta biasanya ada bahan tambahan dan air.


(33)

Surfactant dianggap sebagai komponen aktif yang paling utama pada bahan pembersih dan juga sebagai penyebab berbagai masalah kulit yang dilaporkan oleh pekerja cleaning service dan dikaitkan dengan pekerjaan cleaning service. Zat aktif lain mungkin juga asam atau basa, desinfektan, pelarut atau zat pencampur. Produk dengan zat asam seperti asam klorida termasuk misalnya dalam produk pembersih dapat menimbulkan risiko tinggi dan bersifat korosif pada mata dan kulit.

Bahan pencampur (zat yang mampu membentuk senyawa kompleks dengan bahan lain dalam larutan) seperti EDTA (Ethylene Diamin Tetra Acetic Acid) dapat menyebabkan iritasi mata atau iritasi kulit. Beberapa bahan kimia dapat menimbulkan iritasi pada konsentrasi rendah dan bersifat korosif pada konsentrasi tinggi, misalnya asam atau basa. Salah satu penyakit kulit seperti dermatitis pada tangan yang dapat disebabkan oleh kontak kulit dengan deterjen - serta kontak yang lama dan berulang dengan air, bekerja di tempat basah atau bekerja sambil mengenakan sarung tangan.

Mengingat peningkatan jumlah penyakit kulit akibat kerja dalam profesi cleaning service, dan juga pada profesi lain seperti petugas kesehatan dan pekerja di dapur, langkah-langkah pencegahan dan perlindungan kulit sangat dibutuhkan. Selain itu menurut EU-OSHA (2009) ada kebutuhan yang tinggi untuk mempromosikan budaya perawatan kulit yang lebih baik melalui langkah-langkah peningkatan kesadaran dan program pendidikan, layanan konsultasi, diagnostik dan terapi tambahan dalam dermatologi terkait kerja.


(34)

2.1.4 Rute Eksposur

Zat kimia dapat memasuki tubuh manusia dengan cara yang berbeda, tergantung pada sifat mereka (misalnya cairan, gas, dll) dan jalan yang mereka digunakan. Zat kimia dapat menembus ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan bila terhirup, kontak langsung dengan mata atau kulit, atau tertelan dan masuk ke dalam pencernaan. Rute pajanan melalui kulit dijelaskan sebagai berikut :

Tangan adalah bagian tubuh yang utama di mana dapat terjadi kulit kontak dengan bahan pembersih. Selain mungkin bersifat iritan atau beracun, bahan pembersih juga mengandung zat yang dapat menurunkan dan menghancurkan penghalang alami bagi kulit. Sering terpapar air (pekerjaan basah) juga dapat mengubah mekanisme pertahanan penghalang kulit dengan konsekuensi bahwa kulit menjadi lebih "permeable" dan lebih sensitif terhadap zat kimia lainnya. Sebuah pertahanan alami kulit yang rusak dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan. Asupan zat sistemik juga dapat meningkatkan kerusakan kulit.

Meskipun sarung tangan dapat melindungi kulit dari pekerjaan basah dan kontak dengan bahan kimia, sarung tangan anehnya dapat menyebabkan masalah kulit jika selama pemakaian sarung tangan tidak memungkinkan kulit untuk bernafas. Penggunaan sarung tangan lateks sekali pakai dapat menjadi faktor risiko alergi lateks pada kulit. Selain itu, dalam praktek, sarung tangan kadang-kadang tidak tepat digunakan, atau sarung tangan yang benar digunakan tapi seiring terlalu lama jangka waktu tanpa memperhitungkan berapa lama sarung tangan sebenarnya mampu menyediakan perlindungan. Adanya pengobatan yang tepat, bersama dengan pelatihan dan peningkatan kesadaran pekerja akan resiko merupakan suatu perlindungan terhadap


(35)

risiko pada kulit. Program perawatan kulit yang tepat, mencakup perlindungan kulit, membersihkan kulit dan perawatan kulit juga penting.

Menurut sebuah penelitian Jungbauer, et al (2004) mengenai pekerjaan basah (cleaning service) di industri, pekerja yang membersihkan kantor diklasifikasikan sebagai pekerjaan basah. Kegiatan pembersihan utama dilakukan di gedung kantor untuk membersihkan lantai, toilet, perabot dan tempat sampah dan lebih dari 50% proses pembersihan dari seluruh pekerjaan dilakukan dalam kondisi tangan basah karena kontak dengan air dan menyebabkan iritasi kulit (misalnya karena kontak dengan asam, basa, maupun pelarut) untuk sebagian dari waktu pembersihan. Produk yang mengandung zat iritan atau alergi digunakan setiap hari dan sering terjadi kontak dengan kulit.

2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja

Pada prinsipnya penyebab terjadinya penyakit kulit akibat kerja sama dengan penyakit lainnya yaitu tidak adanya keseimbangan antara host (manusia), agent (penyebab) dengan environment (lingkungan) (Erliana, 2008). Menurut WHO (1995), penyakit kulit akibat kerja adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyakit kulit ini meliputi penyakit kulit (baru) yang timbul karena pekerjaan atau lingkungan kerja dan penyakit kulit (lama) yang kambuh karena pekerjaan atau lingkungan kerja.

Penyakit kulit akibat kerja atau yang dikenal dengan Occupational Dermatosis adalah segala kelainan pada kulit yang diakibatkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Adapun beberapa penyebab penyakit kulit akibat kerja dapat dikategorikan sebagai berikut (Florence, 2008) :


(36)

a) Faktor Mekanik

Gesekan, tekanan trauma, menyebabkan hilangnya barrier (penghalang) sehingga memudahkan terjadinya infeksi sekunder. Penekanan kronis menimbulkan penebalan kulit seperti kuli-kuli bangunan.

b) Faktor Fisik

1. Suhu tinggi di tempat kerja dapat menyebabkan miliara, combustion 2. Suhu rendah menyebabkan chilblans, trench foot, frosbite

3. Kelembaban terlalu rendah menyebabkan kulit dan selaput lendir saluran pernafasan menjadi kering dan pecah-pecah sehingga dapat terjadi perdarahan pada kulit dan selaput lendir

4. Radiasi elektromagnetik non ionisasi seperti ultraviolet dan infra merah

5. Kelembaban yang menyebabkan kulit menjadi basah, hal ini dapat menyebabkan malerasi, paronychia dan penyakit jamur

6. Penerangan yang kurang baik dapat menyebabkan terganggunya indra penglihatan sehingga cenderung terjadi kecelakaan kerja

7. Kecepatan aliran udara yang lambat menyebabkan kemungkinan kontak dengan bahan kimia dalam bentuk uap, gas, asap, kabut menjadi lebih besar

c) Faktor Biologi

Bakteri, virus, jamur, serangga, kutu, cacing menyebabkan penyakit pada karyawan perkebunan, rumah potong, pertambangan, peternakan, tukang cuci dan lain-lain.


(37)

d) Tanaman dan Bahan-bahan yang berasal dari padanya

Dijumpai pada pekerja-pekerja pengolahan karet, damar dan tembakau, pekerja perkayuan dan perusahaan meubel.

e) Mental Psikologis

Seperti hubungan kerja yang kurang baik, pekerjaan-pekerjaan yang monoton dan faktor-faktor psikis lainnya.

f) Faktor Kimia

Apabila kulit terpapar dengan bahan kimia dapat terjadi kelainan kulit berupa dermatitis kontak iritasi atau dermatitis kontak alergi. Faktor penyebab terbanyak adalah agen kimia yang terdiri dari 4 kategori :

1. Iritan primer berupa asam, basa, pelarut lemak, deterjen, garam-garam logam (arsen, air raksa dan lain-lain)

2. Sensitizer, logam dan garam-garamnya (kromium, nikel, kobal, dll), bahan-bahan kimia karet, obat-obatan dan antibiotik, kosmetik dan lain-lain

3. Agen-agen aknegik, naftalen dan bifenil klor, minyak mineral dan lain-lain

4. Photosensitizer-antrasen, pitch, derivate asam benzoate, hidrokarbon aromatik, pewarna akridin dan lain-lain

Sedangkan menurut Fregert (1988), zat-zat kimia yang dapat menyebabkan penyakit kulit antara lain adalah kromium, nikel, cobalt dan mercuri.

a. Kromium, adalah suatu logam putih keras dengan titik lebur 1.890ºC. Senyawa-senyawa kromium relatif tidak stabil dan mudah teroksidasi menjadi kromium stabil. b. Nikel, logam nikel bersifat alergen karena larut pada permukaan kulit. Dalam


(38)

nikel umumnya ditemukan akibat penyepuhan dengan nikel, yaitu penyepuhan nikel pada permukaan logam lain. Dermatitis nikel mempunyai kecenderungan tertentu untuk menyebar ke seluruh lengan dan bagian tubuh yang lain.

c. Cobalt, bersifat alergenik seperti nikel, dimana kedua logam tersebut mempunyai hubungan erat. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat cobalt sebagai kotoran pada logam nikel. Oksida cobalt yang bersifat alergenik terdapat dalam pigmen yang digunakan untuk pengecatan gambar serta keramik dan dalam pembuatan email. Cobalt juga digunakan dalam acrylic yang terolah dingin (cold cured acrylic) dan plastik polyster tak jenuh tetapi jarang menimbulkan sensitisasi.

d. Mercuri, logam mercuri seperti logam nikel dan cobalt, bersifat alergenik. Mercuri bisa menimbulkan dermatitis alergika pada industri peralatan atau pembuatan amalgam untuk bahan penambal gigi (amalgam yang sudah mengeras di dalam mulut tidak menimbulkan sensitisasi). Logam mercuri juga ditemukan dalam krim anti jerawat. Logam mercuri organik kadang menimbulkan sensitisasi kalau digunakan sebagai pembetsa dari penyamak atau sebagai pengawet dalam obat-obatan.

2.3 Dermatosis Akibat Kerja

Dermatosis akibat kerja adalah kelainan kulit yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja. Penyakit tersebut timbul pada waktu tenaga kerja bekerja melakukan pekerjaan atau disebabkan oleh faktor-faktor yang berada pada lingkungan kerja. Istilah dermatosis lebih tepat dari pada penggunaan kata dermatitis, sebab kelainan kulit akibat kerja tidak selalu berupa suatu peradangan (infeksi), melainkan juga tumor atau alergi atau rangsangan fisik dan lainnya dapat menjadi penyebab penyakit tersebut.


(39)

Persentasi dermatosis akibat kerja dari seluruh penyakit akibat kerja menduduki porsi tertinggi sekitar 50-60%, maka dari itu penyakit ini pada tempatnya mendapat perhatian yang proporsional. Selain prevalensi yang tinggi, dermatosis akibat kerja yang kelainannya biasanya terdapat pada lengan, tangan dan jari sangat mengganggu penderita melakukan pekerjaan sehingga sangat berpengaruh negatif terhadap produktivitas kerja (Suma’mur, 2009).

Penyebab dermatosis akibat kerja dapat digolongkan sebagai berikut (Suma’mur, 2009) :

a. Faktor fisik, yaitu tekanan, tegangan, gesekan, kelembaban, panas, suhu dingin, sinar matahari, sinar X dan sinar elektromagnetis lainnya;

b. Bahan yang berasal dari tanaman, yaitu daun, ranting, getah, akar, umbi, bunga, debu, kayu dan lainnya;

c. Mahluk hidup, yaitu bakteri, virus, jamur, cacing, serangga dan kutu;

d. Bahan kimia, yaitu asam dan garam zat kimia anorganik, persenyawaan kimia organis hidrokarbon, oli, ter, zat pewarna dan lainnya.

Dari semua penyebab itu faktor kimiawi adalah yang terpenting, oleh karena zat dan bahan kimia banyak digunakan pada proses produksi dalam berbagai industri. Ada dua mekanisme zat atau bahan kimia menimbulkan dermatosis, yaitu, pertama, dengan jalan perangsangan primer dan penyebabnya disebut iritan primer dan kedua, melalui sensitisasi dan penyebabnya disebut pemeka (sensitizer) (Suma’mur, 2009).

Iritan primer mengadakan rangsangan kepada kulit, dengan jalan melarutkan lemak kulit, mengambil air dari lapisan kulit, mengoksidasi dan atau mereduksi susunan kimia kulit, sehingga keseimbangan kulit terganggu dan akibatnya timbul dermatosis.


(40)

Sensitisasi oleh zat kimia pemeka biasanya disebabkan oleh zat kimia organis dengan struktur molekul lebih sedemikian rupa sehingga dapat bergabung dengan zat putih telur tubuh membentuk antigen (Suma’mur, 2009).

Perangsang primer adalah zat atau bahan kimia yang menimbulkan dermatosis oleh efeknya yang langsung kepada kulit normal di tempat terjadinya kontak zat atau bahan tersebut dengan kulit untuk kuantitas dan kadar zat atau bahan dimaksud yang cukup serta untuk waktu yang cukup lama pula. Pemeka kulit adalah zat atau bahan kimia yang tidak usah menimbulkan perubahan pada kulit ketika berlangsungnya kontak pertama dengan kulit tetapi menyebabkan efek khas di kulit tempat terjadinya kontak maupun pada tempat lain setelah selang waktu 5 atau 7 hari sejak kontak yang pertama (Suma’mur, 2009).

Faktor penyebab fisik-mekanis tekanan, tegangan atau gesekan menimbulkan dermatosis akibat kerja dengan terjadinya kerusakan langsung pada kulit. Bakteri, virus, jamur dan lain-lain menyebabkan dermatosis akibat kerja melalui mekanisme peradangan (infeksi) yang tanda-tandanya meliputi warna merah di kulit (rubor), panas (color), sakit (dolor), dan kelainan fungsi (functio laesa). Infestasi parasit adalah hidup atau menembusnya parasit di kulit yang menyebabkan iritasi dan kerusakan kulit (Suma’mur, 2009).


(41)

2.4 Dermatitis 2.4.1 Kulit Manusia

2.4.1.1 Anatomi Kulit

Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m² dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital, serta merupakan cerminan kesehatan dan kehidupan. Kulit tersusun atas tiga lapisan utama yaitu : epidermis, dermis atau korium dan jaringan subkutis (Wasitaatmadja, 2007).

Gambar 2.1 Anatomi Kulit Manusia


(42)

Kulit terbagi atas 3 (tiga) lapisan utama yaitu (Wasitaatmadja, 2007) :

a. Epidermis, terbagi atas empat lapisan yaitu : lapisan tanduk atau stratum korneum, stratum lusidum, lapisan granular atau stratum granulosum, lapisan lapisan malpighi atau stratum spinosum dan basal atau stratum germinativum. b. Dermis atau korium merupakan lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal

daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut.

c. Subkutis (hipodermis) adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan getah bening.

2.4.1.2 Fungsi Kulit

Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan tubuh dengan lingkungan. Fungsi kulit adalah sebagai berikut (Wasitaatmadja, 2007) : a) Fungsi Proteksi

Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau mekanis, misalnya tekanan dan gesekan; gangguan kimiawi, misalnya zat-zat kimia terutama yang bersifat iritan, contohnya lisol, karbol, asam dan alkali kuat lainnya; gangguan yang bersifat panas dan gangguan infeksi dari luar.

Hal tersebut dimungkinkan karena adanya bantalan lemak dan tebalnya lapisan kulit. Melanosit berperan dalam melindungi kulit dari terhadap pajanan sinar matahari.


(43)

b) Fungsi Pengatur Suhu

Kulit melakukan pengaturan suhu dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan pembuluh darah kulit. Kulit kaya akan pembuluh darah sehingga memungkinkan kulit mendapat nutrisi yang cukup baik.

c) Fungsi Penyerapan

Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak. Kemampuan penyerapan kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban dan metabolisme.

d) Fungsi Persepsi

Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan Ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan Krause yang terletak di dermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di epidermis.

e) Fungsi Ekskresi

Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh. Produk kelenjar lemak dan keringat di kulit menyebabkan keasaman kulit pada pH 5-6,5.

f) Fungsi Pembentukan Pigmentasi

Sel pembentuk pigmen terletak di lapisan basal. Warna kulit tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pigmen kulit, melainkan juga oleh tebal tipisnya kulit dan karoten.


(44)

g) Fungsi Pembentukan Vitamin D

Pembentukan vit. D dimungkinkan dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan bantuan sinar matahari.

2.4.2 Definisi Dermatitis

Dermatitis merupakan penyakit inflamasi superfisial kulit baik karena faktor endogen maupun eksogen. Secara morfologis, perubahan dermatitis akut atau kronik adalah spesifik dan dapat dikenali (Harnowo, 2001).

Jenis dermatitis berdasarkan penyebab, antara lain (Harnowo, 2001) : A. Faktor Eksogen

1) Dermatitis kontak 2) Dermatitis fotokontak B. Faktor Endogen

1) Dermatitis atopik 2) Dermatitis numuler 3) Dermatitis seborea 4) Dermatitis stasis

2.4.2.1 Dermatitis Kontak Dermatitis kontak merupakan inflamasi yang diakibatkan oleh kontak kulit dengan

bahan eksternal baik alergen kimiawi atau iritan mekanis (Harnowo, 2001). Menurut Djuanda (2007) terdapat dua macam dermatitis kontak, yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik, keduanya dapat bersifat akut maupun kronis.


(45)

Menetapkan penyebab dermatitis kontak tidak selalu mudah dikarenakan banyak sekali kemungkinan yang ada. Selain itu banyak yang tidak tahu atau menyadari seluruh zat-zat kimia yang bersentuhan dengan kulit mereka. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi (Djuanda, 2007).

2.4.2.1.1 Dermatitis Kontak Iritan

Dermatitis kontak iritan adalah peradangan pada kulit karena berkontak dengan bahan iritan dalam waktu dan konsentrasi cukup. Sedang iritan adalah substansi yang pada kebanyakan orang dapat mengakibatkan kerusakan sel bila dioleskan untuk waktu tertentu dengan konsentrasi tertentu (Harnowo, 2001). Menurut Djuanda (2007) dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan usia, ras dan jenis kelamin. Kelainan kulit yang terjadi ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, lama kontak, kekerapan (terus menerus atau berselang), gesekan, trauma fisis, suhu dan kelembaban lingkungan kerja serta adanya faktor individu berupa ketebalan kulit, usia, ras dan jenis kelamin.

Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit. Gejala klinis pada kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat iritan. Iritan kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis. Berdasarkan penyebab dan pengaruhnya dermatitis kontak iritan dapat dibagi menjadi 3 macam, antara lain (Djuanda, 2007) :


(46)

a. Dermatitis Akut

Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dermatitis kontak iritan akut. Penyebab dermatitis iritan akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam kuat dan basa kuat. Biasanya reaksi kelainan terjadi langsung setelah kontak. Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan lama kontak dengan iritan, terbatas pada tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris.

b. Dermatitis Akut Lambat

Gambaran klinis dan gejala sama dengan dermatitis kontak iritan akut tetapi baru muncul 8-24 jam atau lebih setelah kontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan akut lambat, misalnya podofilin, antralin, etilen oksida, dan asam hidrofluorat.

c. Dermatitis Kontak Iritan Kumulatif

Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi, disebut juga dermatitis iritan kronis. Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor fisis maupun bahan kimia, misalnya deterjen, sabun dan pelarut). Dermatitis kontak iritan kumulatif mungkin terjadi karena kerjasama berbagai faktor. Kelainan baru nyata setelah kontak berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun.

Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan likenifikasi. Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit dapat retak. Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian. Dermatitis kontak iritan kumulatif


(47)

sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak ditemukan di tangan dibandingkan dengan di bagian lain tubuh.

Tabel 2.2

Iritan yang Sering Menimbulkan Dermatitis Kontak Iritan

No. Bahan Iritan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Asam kuat (hidroklorida, hidroflorida, asam nitrat, asam sulfat)

Basa kuat (kalsium hidroksida, natrium hidroksida, kalium hidroksida) Detergen Resin epoksi Etilen oksida Fiberglass Minyak (lubrikan) Pelarut-pelarut organik Agen oksidator Serpihan kayu

Sumber : Keefner, K.P. 2004 dalam Agung S 2008. Dermatitis Kontak Swamedikasi

2.4.2.1.2 Dermatitis Kontak Alergi

Terjadi pada orang-orang yang telah mengalami sensitisasi dengan bahan-bahan alergen atau suatu peradangan kulit yang terjadi karena proses imunologik yaitu hipersensitivitas tipe lambat (Djuanda, 2007). Syarat-syarat dari alergen pada dermatitis kontak :

1. Asing bagi tubuh

2. Harus dapat berdifusi melalui kulit (epidermis).

3. Harus dapat mengikat diri dengan protein/asam-sama amino kuat sehingga membentuk kompleks antigen.

Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis kontak alergi lebih sedikit karena hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif). Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung


(48)

pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema dan papulovesikel. Sedangkan dermatitis kontak alergi kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan batasnya tidak jelas karena dapat meluas ke tempat lain (Djuanda, 2007).

Tabel 2.3

Alergen yang Sering Menimbulkan Dermatitis Kontak Alergi Alergen Uji Patch Positif Sumber Antigen Benzokain Garam kromium Lanolin Latex Bacitracin Kobal klorida Formaldehid Tiomersal Pewangi Balsam peru Neomisin sulfat Nikel sulfat Tanaman 2 2,8 3,3 7,3 8,7 9 9,3 10,9 11,7 11,9 13,1 14,2 Tidak ditentukan

Penggunaan anastetik tipe-kain, baik pada penggunaan topikal maupun oral

Plat elektronik kalium dikromat, semen, detergen, pewarna

Lotion, pelembab, kosmetik, sabun Sarung tangan karet, vial, syringes Pengobatan topikal maupun injeksi Semen, plat logam, pewarna cat Germisida, plastik, pakaian, perekat Pengawet dalam sediaan obat, kosmetik Produk rumah tangga, kosmetik, asam sinamat, geraniol

Sirup untuk obat batuk, penyedap

Pengobatan, salep antibiotik, aminoglikosida

Aksesoris pada celana jeans, pewarna, perabot rumah tangga, koin

Spesies toxicodendron (racun ivy, oak, sumac), primrose, tulip

Sumber : Keefner, K.P 2004 dalam Agung S 2008. Dermatitis Kontak Swamedikasi

Secara umum, tingkat keparahan dermatitis kontak alergi dapat dibagi menjadi tiga (Agung S, 2008) :

a) Dermatitis ringan

Dermatitis ringan secara karakteristik ditandai oleh adanya daerah gatal dan eritema yang terlokalisasi, kemudian diikuti terbentuknya vesikel dan bulla yang biasanya letaknya membentuk pola linier. Bengkak pada kelopak mata juga sering


(49)

terjadi, namun tidak berhubungan dengan bengkak di daerah terpapar, melainkan akibat terkena tangan yang terkontaminasi urosiol. Secara klinis, pasien mengalami reaksi di daerah bawah tubuh dan lengan yang kurang terlindungi.

b) Dermatitis sedang

Selain rasa gatal, eritema, papul dan vesikel pada dermatitis ringan, gejala dan tanda dermatitis sedang juga meliputi bulla dan bengkak eritematous dari bagian tubuh.

c) Dermatitis berat

Dermatitis berat ditandai dengan adanya respon yang meluas ke daerah tubuh dan edema pada ekstremitas dan wajah. Rasa gatal dan iritasi yang berlebihan, pembentukan vesikel, blister dan bulla juga dapat terjadi. Selain itu, aktivitas harian pasien dapat terganggu, sehingga kadangkala membutuhkan terapi yang segera, khususnya dermatitis yang telah mempengaruhi sebagian besar wajah, mata ataupun genital. Komplikasi dengan penyakit lain yang dapat terjadi ialah eosinofilia, serima multiform, sindrom pernafasan akut, gangguan ginjal, dishidrosis dan uretritis. 2.4.2.2 Dermatitis Fotokontak

Dermatitis ini merupakan reaksi iritasi/alergi yang terjadi pada daerah yang terpajan sinar matahari. Gejala yang mungkin dialami ialah rasa gatal dan perih (Harnowo, 2001).


(50)

2.5 Diagnosa Dermatosis Akibat Kerja

Diagnosa dermatosis prosedurnya hampir sama dengan dermatitis harus diikuti dengan cara diagnosa penyakit-penyakit pada umumnya. Dalam hal ini sangat penting untuk memperoleh kejelasan kapan tepatnya dermatosis itu mulai timbul. Agar dapat mengetahui dengan pasti mulai timbulnya dermatosis akibat kerja, sangat membantu ada dan terdokumentasinya temuan hasil pemeriksaan kesehatan sebelum kerja dan pemeriksaan kesehatan berkala. Demikian pula perlu informasi yang lengkap tentang pekerjaan dan lingkungan kerja penderita, yang dengannya dapat dinilai apakah benar penyebab penyakit itu berada dalam pekerjaan atau lingkungan kerja tenaga kerja yang bersangkutan. Bila ada, dilakukan identifikasi bagaimana cara penyebab itu menyebabkan terjadinya dermatosis akibat kerja, apakah dengan cara infeksi, perangsangan primer, pemekaan atau lainnya. Dalam hal ini dapat dijawab dengan menganalisis data tentang faktor penyebab yang terdapat dalam pekerjaan atau lingkungan kerja, dengan melakukan pemeriksaan klinis lebih lanjut dan juga pengujian laboratoris (Suma’mur, 2009).

“Patch test” adalah cara uji klinis untuk menentukan, apakah suatu bahan kimia bersifat sensitizer atau tidak. Terdapat banyak cara untuk melakukan “patch test”. Patch test dapat digunakan sebagai alat diagnostik ataupun preventif. Sebagai alat diagnostik, bahan dalam konsentrasi sangat rendah dibiarkan kontak dengan kulit dan ditutup dengan plester. Bila penderita peka, timbullah tanda kelainan di kulit.

Sebagai alat preventif dimaksudkan untuk menguji suatu bahan yang akan diproduksi oleh suatu industri, apakah bahan itu bersifat sensitizer atau tidak. Untuk maksud tersebut bahan dalam kadar rendah dibiarkan kontak dengan kulit dan ditutup


(51)

dengan plester untuk kira-kira 5 hari. Lalu plesternya dibuka dan bahannya dibersihkan sekali. Biarkan dahulu untuk waktu 10 hari. Kemudian bahan yang sama dikontakkan pula di kulit. Bila reaksi timbul, berarti bahan itu sensitizer.

Demikian pula faktor psikis tidak jarang menimbulkan kesulitan dalam menegakkan diagnosis dermatosis akibat kerja ataukah suatu kelainan yang latar belakangnya penyakit psikosomatis. Untuk mengatasi hal demikian kadang-kadang diperlukan konsultasi kepada psikiater (Suma’mur, 2009). Menurut Depkes (2008) langkah-langkah diagnosa dermatitis akibat kerja, yaitu :

1. Anamnesis

Pertanyaan tersebut memuat riwayat perjalanan penyakit, antara lain : a) Waktu kejadian

b) Lokasi kelainan c) Adanya rasa gatal d) Perbaikan selama cuti

e) Pengobatan yang telah didapat f) Riwayat pekerjaan terdahulu g) Hobi atau pekerjaan sambilan

h) Riwayat penyakit terdahulu atau riwayat penyakit keluarga 2. Pemeriksaan fisik

Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan tubuh secara menyeluruh. Tanda dan karakteristik untuk penyakit dapat terlewatkan tanpa pemeriksaan seluruh bagian tubuh secara teliti.


(52)

3. Pemeriksaan penunjang

Berbagai macam pemeriksaan penunjang diagnosis diperlukan sesuai dengan jenis penyakit kulit yang diderita. Misalnya uji tempel (patch test) untuk dermatitis kontak di tangan sebagai akibat reaksi tipe cepat, pemeriksaan kerokan kulit tangan dengan KOH 20% dan kultur pada agar Sabouraud untuk jamur kulit, dan biopsi yang digunakan terutama untuk menyingkirkan diagnosis lain, misalnya psoriasis.

4. Kunjungan tempat kerja (plant visit) Diperlukan untuk menunjang diagnosis. 2.6 Pencegahan dan Pengobatan

Pencegahan terhadap kejadian dermatitis merupakan upaya yang paling penting dan jauh lebih berarti dari pada pengobatan. Satu-satunya upaya yang akan berhasil adalah meniadakan faktor penyebab dermatitis dari pekerjaan dan lingkungan kerja dan menghilangkan seluruh resiko tenaga kerja kontak kulit dengan faktor penyebab yang bersangkutan. Penggunaan pakaian kerja dan alat pelindung diri adalah salah satu bentuk upaya preventif. Memindahkan penderita dari pekerjaan dan lingkungan yang mengandung faktor penyebab penyakit ke pekerjaan dan lingkungan kerja lain yang tidak berbahaya bagi kulit yang bersangkutan merupakan upaya terakhir dan hal itu biasanya tidak mudah dilaksanakan (Suma’mur, 2009).

Yang perlu diperhatikan untuk pencegahan dermatitis yaitu masalah kebersihan perseorangan (higiene pribadi) dan sanitasi lingkungan kerja serta pemeliharaan ketatarumahtanggan perusahaan yang baik. Kebersihan perseorangan misalnya cuci tangan, mandi sebelum pulang kerja, pakaian bersih dan berganti pakaian tiap hari, alat


(53)

pelindung diri yang bersih dan lain-lain. Kebersihan lingkungan dan pemeliharaan ketatarumahtanggaan meliputi pembuangan air bekas dan sampah industri, pembersihan debu, penerapan proses produksi yang tidak menimbulkan pencemaran udara dan juga permukaan, cara sehat dan selamat penimbunan dan penyimpanan barang dan lainnya (Suma’mur, 2009).

2.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak 2.7.1 Lama Kontak

Lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja (Djuanda, 2007). Lama kontak dengan bahan kimia yang terjadi akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Semakin lama kulit kontak dengan bahan kimia maka dapat menyebabkan rusaknya sel kulit lapisan luar, semakin sering berkontak maka semakin rusaknya sel kulit lapisan yang lebih dalam sehingga kejadian dermatitis kontak semakin berisiko tinggi (Cohen, 1999). Semakin lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit. Pengendalian risiko, yaitu dengan cara membatasi jumlah dan lama kontak yang terjadi perlu dilakukan (Nuraga, dkk, 2008).

Hasil penelitian Nuraga, dkk (2008) menunjukkan bahwa lama kontak dengan bahan kimia mempunyai hubungan dengan terjadinya dermatitis kontak (p=0,003 dan r=0,296). Kejadian dermatitis kontak akut, subakut, maupun kronis paling sering terjadi pada responden dengan lama kontak 8 jam/hari dengan 13 responden


(54)

(92,8%) untuk dermatitis kontak akut, 20 responden (95,2%) sub akut, dan 5 responden (100%) kronis.

2.7.2 Frekuensi Kontak

Frekuensi kontak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak (Djuanda, 2007). Frekuensi kontak yang berulang untuk bahan yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak jenis alergi, yang mana bahan kimia dengan jumlah sedikit akan menyebabkan dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak proporsional. Oleh karena itu upaya menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja adalah dengan menurunkan frekuensi kontak dengan bahan kimia (Cohen, 1999).

Menurut hasil penelitian Nuraga, dkk (2008) menunjukkan bahwa ada hubungan antara frekuensi kontak bahan kimia dengan kejadian dermatitis kontak (p=0,000, r=0,606). Kejadian dermatitis kontak dengan frekuensi kontak 15 kali per hari terjadi pada dermatitis kontak akut sebanyak 14 responden (100%), sub akut 17 responden (81%) dan kronis 4 responden (80%).

2.7.3 Bahan Kimia

Paparan bahan kimia ditentukan oleh banyak faktor termasuk lama kontak (durasi), frekuensi kontak, konsentrasi bahan dan lain-lain (Agius R, 2006). Sehingga terjadinya resiko kontak bahan kimia perlu dikendalikan dan dikontrol seperti membatasi jumlah kontak yang terjadi. Oleh karena itu bahan kimia merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya dermatitis kontak (Djuanda, 2007).


(55)

Bahan kimia cair asam berbeda cara kerjanya dengan basa. Asam menimbulkan luka bakar luas dengan efek panas dengan proses perusakan jaringan lunak. Cairan korosif memerlukan pH yang rendah atau sangat tinggi untuk menyebabkan korosi, namun pada paparan awal tidak timbul rasa sakit (Linins I, 2006).

Beberapa bahan kimia yang memiliki potensi iritasi dan sensitisasi pada kulit menurut National Safety Council Itasca, Illnois dalam buletin SHARP tahun 2001 dalam Nuraga (2006) sebagai berikut :

No. Bahan Kimia Iritan Primer Sensitizers Bentuk Kelainan Kulit 1. Asam :

Asetat x Dermatitis, ulserasi

Karbolat x Korosif, rasa kebal

Kromat x Ulkus

Format x Iritasi berat

Hidrokolat x Iritasi dan ulserasi

Hidro-lourat x Luka bakar

Laktat x Ulserasi

Nitrat x Luka bakar, ulkus

Oksalat x Korosif berat

Pikrat x Kemerahan, dermatitis

Sulfurat x Korosif

2. Basa :

Amonia x Iritasi

Kalsium sianida x Iritasi

Kalsium oksida x Dermatitis

Natrium hidrolida x Korosif berat

Natrium hidroksida x Korosif berat

Trisadium fosfat x Ulserasi

3. Pelarut :

Aseton x Iritasi

Benzen x Iritasi

Karbon disulfida x Iritasi

Terpentin x Dermatitis

Alkohol x Dermatitis


(56)

2.7.4 Usia

Menurut Cohen (1999) kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi lebih mudah terkena dermatitis. Pada anak usia dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi bahan iritan (Djuanda, 2007).

Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Sasseville (2006) menyatakan bahwa pekerja muda lebih mungkin terkena dermatitis akibat kerja. Hal tersebut dikarenakan mereka kurang berpengalaman dibandingkan rekan mereka yang lebih tua, atau mungkin pekerja muda memiliki sikap yang lebih ceroboh mengenai langkah-langkah keselamatan dan kemungkinan pekerja usia tua telah belajar bagaimana cara menghindari kontak dengan bahan berbahaya.

Menurut hasil penelitian (Nuraga, 2006) menunjukkan bahwa responden yang berusia diatas 30 tahun ada kecenderungan negatif mengalami kasus dermatitis kontak (p=0,01), artinya semakin muda umur seseorang semakin menurun persentase terjadinya dermatitis kontak. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Diepgen, et al (2003) dalam Erliana (2008) menunjukkan bahwa pada pekerja konstruksi, penyakit dermatitis kontak 47% terjadi pada usia muda (18-39 tahun).

Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Lestari (2007) menunjukkan bahwa hubungan antara usia pekerja dengan kejadian dermatitis kontak diperoleh bahwa sebanyak 26 (60,5%) dari 43 pekerja yang berusia ≤30 tahun terkena dermatitis


(57)

kontak, sedangkan diantara pekerja yang berusia >30 tahun hanya sekitar 13 orang (35,1%) yang terkena dermatitis kontak. Hal ini dapat menyimpulkan bahwa pekerja muda lebih mudah terkena dermatitis kontak. Hasil uji statistik menunjukan nilai p value sebesar 0,042 hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan proporsi penyakit dermatitis yang bermakna antara pekerja muda (≤30 tahun) dengan pekerja tua (>30 tahun).

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuraga, dkk (2008), variabel umur pekerja pada penelitian ini mempunyai distribusi paling banyak < 30 tahun sebanyak 49 orang responden (91%) dibanding usia ≥ 30 tahun hanya 5 orang responden (9%). Berdasarkan hasil analisis ternyata faktor umur tidak mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap terjadinya dermatitis kontak akibat kerja.

Selain itu menurut hasil penelitian Erliana (2008) menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak 50% terjadi pada kelompok umur 30-35 tahun dibandingkan dengan umur 36-40 tahun (33,3%), dan umur 24-29 tahun (16,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel umur tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak (p=0,350). Dalam konteks determinan kejadian dermatitis kontak berdasarkan usia, dermatitis dapat menyerang semua kelompok usia, artinya usia bukan merupakan faktor risiko utama terhadap paparan bahan-bahan penyebab dermatitis kontak, sedangkan dari perbandingan penelitian cenderung didominasi oleh usia pekerja dalam suatu perusahaan bukan dari aspek makin lama usia hidupnya menyebabkan risiko terhadap terjadinya dermatitis kontak.


(58)

2.7.5 Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis akibat kerja dan perempuan lebih sering menderita dermatitis daripada laki-laki (Hutomo, 1999). Jenis kelamin perempuan lebih rentan terhadap penyakit kulit daripada laki-laki, selain itu permukaan kulit perempuan lebih sensitif terhadap bahan-bahan iritan. Terdapat perbedaan antara kulit wanita dan laki-laki misalnya, folikel rambut pada laki-laki lebih kasar, rambut yang tumbuh lebih panjang dan laki-laki lebih cepat berkeringat sedangkan untuk wanita folikel rambut lebih lembut, rambut yang tumbuh lebih pendek dan wanita agak sukar berkeringat (Sulaksmono, 1994).

Perempuan ternyata lebih berisiko mendapat penyakit kulit akibat kerja dibandingkan dengan laki-laki. Insiden pada perempuan lebih tinggi pada usia muda. Sedangkan pada laki-laki kejadian meningkat sesuai usia (Nuraga, 2006).

Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan oleh Trihapsoro (2003) mengenai dermatitis kontak pada pasien rawat jalan di RSUP Medan menunjukkan dari 40 pasien yang diuji tempel ternyata bahwa jenis kelamin yang terbanyak mengalami dermatitis kontak adalah perempuan yaitu 29 pasien (72,5%) dibandingkan dengan laki-laki yaitu hanya 11 pasien (27,5%).

2.7.6 Masa Kerja

Masa kerja penting diketahui untuk melihat lamanya seseorang telah terpajan dengan bahan kimia (Erliana, 2008). Dengan perbedaan masa kerja akan


(1)

4.

Hubungan antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

masa kerja 99 7.85 5.819 1 27

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

masa kerja

N 99

Normal Parametersa Mean 7.85

Std. Deviation 5.819

Most Extreme Differences Absolute .139

Positive .139

Negative -.120

Kolmogorov-Smirnov Z 1.380

Asymp. Sig. (2-tailed) .044

Test distribution is Normal.

Ranks

dermatitis kontak N Mean Rank Sum of Ranks

masa kerja dermatitis kontak 32 46.64 1492.50

tidak dermatitis kontak 67 51.60 3457.50

Total 99

Test Statisticsa

masa kerja

Mann-Whitney U 964.500

Wilcoxon W 1492.500

Z -.807

Asymp. Sig. (2-tailed) .419


(2)

5.

Hubungan antara Suhu dengan Dermatitis Kontak

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Suhu 99 30.43 1.071 27 33

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

suhu

N 99

Normal Parametersa Mean 30.43

Std. Deviation 1.071

Most Extreme Differences Absolute .241

Positive .183

Negative -.241

Kolmogorov-Smirnov Z 2.403

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

a. Test distribution is Normal.

Ranks

dermatitis kontak N Mean Rank Sum of Ranks

Suhu dermatitis kontak 32 43.61 1395.50

tidak dermatitis kontak 67 53.05 3554.50

Total 99

Test Statisticsa

suhu

Mann-Whitney U 867.500

Wilcoxon W 1.396E3

Z -1.630

Asymp. Sig. (2-tailed) .103

a. Grouping Variable: dermatitis kontak


(3)

6.

Hubungan antara Kelembaban dengan Dermatitis Kontak

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Kelembaban 99 58.40 3.577 43 68

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

kelembaban

N 99

Normal Parametersa Mean 58.40

Std. Deviation 3.577

Most Extreme Differences Absolute .233

Positive .196

Negative -.233

Kolmogorov-Smirnov Z 2.317

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

a. Test distribution is Normal.

Ranks

dermatitis kontak N Mean Rank Sum of Ranks

Kelembaban dermatitis kontak 32 56.42 1805.50

tidak dermatitis kontak 67 46.93 3144.50

Total 99

Test Statisticsa

Kelembaban

Mann-Whitney U 866.500

Wilcoxon W 3144.500

Z -1.569

Asymp. Sig. (2-tailed) .117


(4)

7.

Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak

riwayat alergi * dermatitis kontak Crosstabulation

dermatitis kontak

Total dermatitis

kontak

tidak dermatitis

kontak

riwayat alergi memiliki riwayat alergi Count 20 28 48

% within riwayat alergi 41.7% 58.3% 100.0%

tidak memiliki riwayat alergi Count 12 39 51

% within riwayat alergi 23.5% 76.5% 100.0%

Total Count 32 67 99

% within riwayat alergi 32.3% 67.7% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 3.718a 1 .054

Continuity Correctionb 2.936 1 .087

Likelihood Ratio 3.745 1 .053

Fisher's Exact Test .085 .043

Linear-by-Linear Association 3.681 1 .055

N of Valid Casesb 99

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.52. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for riwayat alergi (memiliki riwayat alergi / tidak memiliki riwayat alergi)

2.321 .978 5.512

For cohort dermatitis kontak

= dermatitis kontak 1.771 .974 3.218

For cohort dermatitis kontak

= tidak dermatitis kontak .763 .575 1.013


(5)

8.

Hubungan antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak

riwayat atopi * dermatitis kontak Crosstabulation

dermatitis kontak

Total dermatitis

kontak

tidak dermatitis kontak

riwayat atopi memiliki riwayat atopi Count 14 24 38

% within riwayat atopi 36.8% 63.2% 100.0%

tidak memiliki riwayat atopi Count 18 43 61

% within riwayat atopi 29.5% 70.5% 100.0%

Total Count 32 67 99

% within riwayat atopi 32.3% 67.7% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .576a

1 .448

Continuity Correctionb .289 1 .591

Likelihood Ratio .571 1 .450

Fisher's Exact Test .510 .294

Linear-by-Linear Association .570 1 .450

N of Valid Casesb 99

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.28. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for riwayat atopi (memiliki riwayat atopi / tidak memiliki riwayat atopi)

1.394 .591 3.289

For cohort dermatitis kontak

= dermatitis kontak 1.249 .707 2.205

For cohort dermatitis kontak

= tidak dermatitis kontak .896 .669 1.200


(6)

9.

Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis

Kontak

riwayat penyakit kulit sebelumnya * dermatitis kontak Crosstabulation

dermatitis kontak Total dermatitis kontak tidak dermatitis kontak riwayat penyakit kulit sebelumnya

memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya

Count 28 42 70

% within riwayat penyakit kulit

sebelumnya 40.0% 60.0% 100.0%

tidak memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya

Count 4 25 29

% within riwayat penyakit kulit

sebelumnya 13.8% 86.2% 100.0%

Total Count 32 67 99

% within riwayat penyakit kulit

sebelumnya 32.3% 67.7% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 6.438a 1 .011

Continuity Correctionb 5.296 1 .021

Likelihood Ratio 7.107 1 .008

Fisher's Exact Test .017 .009

Linear-by-Linear

Association 6.373 1 .012

N of Valid Casesb 99

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.37. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for riwayat penyakit kulit sebelumnya (memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya / tidak memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya)

4.167 1.308 13.275

For cohort dermatitis kontak =

dermatitis kontak 2.900 1.117 7.529

For cohort dermatitis kontak =

tidak dermatitis kontak .696 .547 .885


Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gejala Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Di Kelurahan Merdeka Kota Medan Tahun 2015

6 71 101

Pengaruh intervensi penyuluhan menggunakan media leaflet terhadap perubahan pengetahuan mengenai potensi bahaya dermatitis kontak dan pencegahannya pada pekerja Cleaning Service UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013

5 28 155

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemilihan Makanan Cepat Saji Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012

9 149 181

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Pembuat Tahu Di Wilayah Kecamatan Ciputat Dan Ciputat Timur Tahun 2012

0 45 183

Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Obesitas Sentral pada Mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2012-2014

7 35 188

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak kosmetik pada penari studio Fantasi di Dunia Fantasi Ancol, Jakarta-Utara tahun 2013

1 49 177

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012

1 22 165

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012

5 44 160

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kebugaran pada Mahasiswa Program StudiKesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015

1 11 185

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA BENGKEL MOTOR DI WILAYAH KOTA KENDARI TAHUN 2016

0 0 8