Wisata Budaya LATAR BELAKANG

Dalam melestarikan ini perlu dilakukan kerjasama dengan berbagai pihak pemangku kepentingan, yaitu yang berkaitan dengan budaya itu sendiri. Misalnya dengan instansi terkait, akademisi, peneliti, dunia usaha, organisasi sosial kemasyarakatan LSM dan sebagainya. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengembangkan sistem komunikasi yang sinergis antar instansi, akademisi, koordinasi, dan sinkronisasi, mengembangkan berbagai pola pengumpulan data inventarisasi, kajian, fasilitasi, gelar budaya, pertunjukan kesenian, pembinaan, advokasi, pemberdayaan, revitalisasi dan memperluas jaringan komunikasi dan informasi dan lain-lain. Ini semua menunjukkan kehati-hatian dalam mengelola warisan budaya, apalagi dikaitkan dengan dunia kepariwisataan. Dengan berdayanya berbagai budaya yang kita miliki, maka pemanfaatannya akan dapat dilakukan, bahkan tanpa peran pemerintah sendiripun budaya itu akan hidup dan dapat memberikan sumbangsih bagi sektor ekonomi masyarakat. Ini merupakan salah satu alternatif ekonomi di Karo apabila suatu ketika sektor pertanian kurang menguntungkan. Dan itu belum terlambat apabila untuk dimulai dan dibenahi dari sekarang. Artinya kita juga sudah berpikir menjual jasa, yaitu salah satu sektor yang akan dikembangkan dalam fase ekonomi gelombang keempat, ekonomi kreatif.

1.1.3 Wisata Budaya

Istilah kepariwisataan di Indonesia sebenarnya baru dimulai pada tahun 1960-an untuk mengganti istilah tourism atau travel yang konotasinya biasa terkait dengan selera rasa pleasure, entertainment, adventure dan sejenisnya. Pariwisata diartikan sebagai ‘mereka yang meninggalkan rumah untuk mengadakan perjalanan tanpa mencari nafkah ditempat-tempat yang dikunjungi sambil menikmati kunjungan mereka’. Dalam perkembangan dunia kepariwisataan, budaya merupakan salah satu hal yang menjadi daya tarik orang melakukan kegiatan wisata, disamping daya tarik yang lain seperti alam, bahkan wisata belanja dan kuliner makanan. Pengembangan dunia kepariwisataan terkait dengan wisata budaya tidak semata-mata bertujuan untuk penerimaan devisa dan memperluas lapangan kerja. Tetapi pengembangan kepariwisataan dan warisan budaya itu juga terkait dengan upaya memperkenalkan kekayaan kebudayaan dan jati diri orang Karo. Artinya unsur perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan sebagai dasar pengertian pelestarian budaya saling kait mengait. Dengan melestarikan kekayaan warisan budaya, kita dapat memanfaatkannya untuk menunjang dunia kepariwisataan. Jika dilihat dari aspek seni dan budaya, maka peran seni dan budaya tersebut juga sangat penting artinya bagi kepariwisataan. Dengan adanya dunia kepariwisataan, upaya-upaya pengembangan kebudayaan pun akan terjadi. Hal ini disebabkan karena memang upaya-upaya pengembangan satu kebudayaan ada yang terkait langsung dengan aspek ekonomi. Oleh sebab itu upaya pelestarian kebudayaan dan kepariwisataan juga dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun pada kenyataannya berbicara tentang pelestarian budaya tradisional dikaitkan dengan kepariwisataan, sering sekali muncul ambiguitas antara melestarikan dan kemungkinan ‘perusakan’ budaya itu sendiri. Hal ini disadari Karena dua atau tiga konsep berjalan secara bersamaan, yaitu melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kebudayaan. Disatu sisi ada anggapan bahwa pariwisata itu cenderung merusak warisan budaya lokal yang dikunjunginya, namun disatu sisi ada juga yang berargumen sebaliknya, yaitu pariwisata dapat membantu kelangsungan hidup suatu warisan budaya. Dalam hal ini memang dibutuhkan upaya konstruksi dan rekonstruksi warisan budaya itu secara tepat dalam rangka pengembangan kepariwisataan untuk peningkatan ekonomi rakyat. Dalam upaya mengkonstruksi warisan budaya untuk kepentingan kepariwisataan, dapat dilakukan lewat pengemasan kebudayaan, komodifikasi kebudayaan, objektifitas kebudayaan, konservasi budaya, ataupun revitalisasi budaya untuk public audience. Dalam hal inilah dibutuhkan pemahaman mendalam dan kebijaksanaan dalam melakukannya. Jika ini dilakukan dengan cermat dan penuh kehati-hatian, maka kerusakan suatu budaya akibat pariwisata tidak akan terjadi. Dalam hal ini tentunya membutuhkan kompetensi sumber daya manusia untuk mengelola persoalan-persoalan terkait dengan pelestarian kebudayaan dan pemanfaatan kebudayaan tersebut untuk kegiatan kepariwisataan. Adapun beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi kasus ini, antara lain: 1. Sesuai dengan program pengembangan pariwisata Berastagi fisik dan non-fisik pada masa yang akan datang. 2. Melestarikan kebudayaan Karo 3. Mewadahi serta memfasilitasi kawasan wisata seni dan budaya di Berastagi.. 4. Sebagai pusat informasi wisata di Berastagi.

1.2 PERUMUSAN MASALAH