BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Millineum Development Goals MDGs adalah delapan tujuan yang
disepakati oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB termasuk Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi KTT pada bulan September tahun 2000.
Seperti yang dicanangkan dalam MDGs nomor empat dan nomor lima diharapkan setiap negara anggota mampu menurunkan angka kematian ibu dan balitanya
Manuaba, 2013. Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia SDKI tahun 2012
menunjukkan Angka Kematian Ibu AKI semakin meningkat yaitu 359 per 100 ribu kelahiran hidup JPNN, 2013. Hal ini sangat jauh dari gagasan MDGs yang
diharapkan setiap negara dapat menurunkan AKI hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990-2015 yaitu mencapai sekitar 102 per 100 ribu kelahiran hidup pada
tahun 2015 Bappenas, 2010. Sesuai dengan pernyataan Dirjen Bina Gizi dan KIA Kemenkes RI dalam
acara Launching Program Expanding Maternal and Newborn Survival EMAS kerja sama antara USAID United States Agency for International Development dan
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Indonesia di Jakarta pada tanggal 26 Januari 2012, menyatakan bahwa Sumatera Utara adalah provinsi yang menyumbang 25 kematian ibu.
Dari data distribusi frekuensi penyebab kematian ibu melahirkan oleh Survei Demografi Kesehatan Indonesia SDKI tahun 2007, terdapat tiga faktor penyebab
utama kematian ibu diantaranya adalah perdarahan 28, eklampsia 24 dan disusul infeksi 11.
Salah satu penyebab perdarahan postpartum adalah gangguan kontraksi uterus yang dapat diakibatkan oleh adanya retensi urin. Retensi urin menyebabkan
distensi kandung kemih yang akhirnya dapat mengganggu kontraksi rahim sehingga dapat menyebabkan perdarahan dan dapat komplikasi infeksi pada masa nifas
Pribakti, 2003. Retensi urin post partum adalah diaphoresis yang terjadi dalam 12-24 jam
post partum. Retensi urin adalah ketidak mampuan seseorang untuk mengeluarkan urin yang terkumpul di dalam kandung kemih hingga kapasitas maksimal kandung
kemih terlampaui. Adanya penyumbatan pada uretra, kontraksi kandung kemih yang tidak adekuat, atau tidak adanya koordinasi antara kandung kemih dan uretra dapat
menimbulkan terjadinya retensi urin Purnomo, 2011. Dalam Maya 2010, insiden terjadinya retensi urin pada periode post partum.
Menurut hasil penelitian Saultz, et al berkisar 1,7 sampai 17,9. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Yip, et al menemukan insidensi retensi urin post
partum sebesar 4,9 dengan volume retensi urin 150 cc sebagai volume normal pasca berkemih spontan. Penelitian lain oleh Andolf, et al menunjukkan insiden
retensi urin post partum sebanyak 1,5 dan hasil penelitian dari Kavin G, et al sebesar 0,7.
Universitas Sumatera Utara
Menurut penelitian Ermiati, dkk 2008, kejadian retensi urin postpartum tercatat antara 1,7-17,9. Sementara itu hasil penelitian RSCM Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo diperoleh kejadian retensi urin pada ibu postpartum berjumlah 14,8 dan meningkat mencapai 38 pada postpartum dengan ekstraksi forcep.
Universitas Sumatera Utara
Retensi urin postpartum dapat menimbulkan komplikasi pada masa nifas. Beberapa komplikasi akibat retensi urin postpartum adalah terjadinya uremia,
infeksi, sepsis, bahkan terjadinya merupakan ruptur spontan vesika urinaria Andi, 2007.
Perubahan signifikan struktur dan fungsi saluran kemih yang terjadi selama kehamilan dan masa nifas berkonsekuensi meningkatkan resiko infeksi saluran
kemih Cunningham, et al, 2012. Sekitar 8,3 juta alasan kunjungan ke pelayanan kesehatan adalah karena infeksi saluran kemih ISK setiap tahunnya. Dimana wanita
lebih rentan terkena ISK karena uretra yang lebih pendek dan kedekatan anus dengan meatus uretra. Urin yang tertinggal di kandung kemih menjadi lebih basa dan mudah
menjadi tempat pertumbuhan mikroorganisme Potter Perry, 2007. Kebanyakan infeksi saluran kemih postpartum disebabkan oleh
mikroorganisme gram positif seperti Escherichia coli Ladewig, et al, 2006. Menurut Menhert-Kay mikroorganisme jenis ini merupakan patogen penyebab ISK
utama yaitu 75-95. Lewis dkk, 2007 Bakteriuria bakteri di dalam urin dari kandung kemih mungkin naik ke ginjal karena aliran aliran urin balik vesikouretral
sewaktu berkemih, sehingga menyebabkan pielonefritis setelah beberapa hari. Ibu postpartum beresiko tinggi mengalami hal ini, karena sensitivitas kandung kemih
akibat peregangan, trauma, dan retensi dari urin residu; bakteri yang masuk mellaui jalur pemasangan kateter, dan trauma kandung kemih selama kelahiran bayi
Ladewig, et al, 2006. Eliminasi urin merupakan kebutuhan dasar dari setiap manusia sebagai proses
pembuangan sisa metabolisme tubuh yang tidak diperlukan lagi. Jika terjadi gagal fungsi eliminasi, semua organ akan berpengaruh. Pasien klien juga merasakan
penderitaan emosional akibat perubahan citra tubuh. Namun, eliminasi urin
Universitas Sumatera Utara
merupakan hal yang sering terlupakan. Padahal banyak pasien terutama ibu post partum membutuhkan bantuan fisiologis dan psikologis dari tenaga kesehatan
terutama bidan dalam penanganan berkemih miksi Jonshon Taylor, 2004. Intervensi tenaga kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode
yang difokuskan untuk membantu ibu mengosongkan kandung kemih secara spontan sesegera mungkin. Prioritas utama ialah membantu ibu ke kamar kecil atau miksi di
bedpan jika tidak mampu berjalan Novak Broom, 1995. Namun demikian
kenyataannya yang terjadi dilapangan berbeda dengan yang diharapkan, tenaga kesehatan baik perawat atau bidan lebih memilih melakukan katerisasi tidak menetap
dalam mengatasi masalah perkemihan pasca melahirkan. Padahal menurut Yip, et al. 2002 menyatakan katerisasi untuk mengurangi retensi sering menyebabkan infeksi
saluran kemih walaupun dampaknya tidak berpengaruh jangka panjang Cuningham, et al, 2012. Dan masuknya kateter melalui uretra akan menjadi jalur langsung
masuknya mikroorganisme. Mengatasi masalah perkemihan salah satunya dapat dilakukan dengan
bladder training . Bladder training merupakan penatalaksanaan melatih kandung
kemih yang bertujuan untuk mengembangkan tonus otot dan spingter kandung kemih agar berfungsi optimal. Pada perawatan maternitas, bladder training dilakukan pada
ibu yang telah mengalami gangguan berkemih seperti inkontinensia urin atau retensio urin Ermiati, dkk. Padahal sesungguhnya bladder training dapat mulai
dilakukan sebelum masalah berkemih terjadi pada ibu postpartum, sehingga dapat mencegah intervensi invasif seperti pemasangan kateter yang justru akan
meningkatkan kejadian infeksi kandung kemih. Sehingga dengan bladder training diharapkan ibu postpartum dapat buang air kecil secara spontan dalam enam jam post
partum Suharyanto Madjid, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang “Pengaruh Bladder Training terhadap Fungsi Eliminasi Buang Air Kecil
BAK Pada Ibu Post Partum Spontan di Klinik Nursyawaliah dan Klinik Sulastri Tahun 2014”.
B. RUMUSAN MASALAH