Landasan Teori Wayang Potehi Tiongkok Di Kota Tebing Tinggi Sumatera Utara: Analisis Pertunjukan Dan Teks

14

2.1.6 Teks dan Konteks

Teks adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari seorang pengarang; kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau ulasan; bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, pidato, dan sebagainya. Menurut Luxemburg, et.al. 1992:86, dalam jurnal mendefinisikan teks sebagai ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, pragmatik merupakan suatu kesatuan. Teks yang baik harus mengungkapkan gagasan-gagasan atau gambaran-gambaran yang ada dalam kehidupan. Gagasan-gasasan atau gambaran-gambaran tersebut dituangkan dalam bentuk bahasa yang berupa penceritaan, lazimnya dalam bentuk drama dan prosa maupun untaian kata-kata, lazimnya dalam bentuk puisi. Konteks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat kejelasan makana; situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Konteks bias juga diartikan kondisi dimana suatu keadaan terjadi. Ada beberapa jenis konteks. Konteks fisik meliputi ruangan, obyek nyata, pemandangan, dan lain sebagainya. Konteks menurut factor sosio-psikologis menyangkut faktor-faktor seperti status orang-oraang yang terlibat dalam hubungan komunikasi, peran mereka, dan tingkat kesungguhannya. Dimensi pemilihan waktu atau tempo suatu konteks meliputi hari dan rentetan peristiwa yang dirasakan terjadi sebelum peristia komunikasi http:id.m.wikipedia.orgwikikonteks.

2.2 Landasan Teori

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Menurut Koenjaraningrat dalam jurnal, 2008 bahwa tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. Sebagai Universitas Sumatera Utara 15 pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan teori Edy Sedyawati 1981:48-66 yang mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau didukung masyarakatnya. Bagi Umar Kayam 2000:21 mengajukan sebuah teori bahwa seni pertunjukkan Indonesia memiliki ciri yang istimewa. Ia adalah sosok seni pertunjukkan yang sangat lentur dan “cair” sifatnya. Ia memiliki sifat yang demikian karena lingkungan masyarakatnya selalu barada dalam kondisi yang terus berubah-ubah. Kondisi tersebut berada, pada suatu kurun waktu tertentu, mapan dan mengembangkan suatu sosok yang tumbuh sebagai suatu “tradisi.” Untuk melihat apa-apa saja komponen dalam sebuah pertunjukan, penulis memakai teori Milton Singer dalam jurnal, 1996: 164-165 yang mengungkapkan bahwa pertunjukan selalu memiliki, waktu pertunjukan yang terbatas, awal dan akhir, acara kegiatan yang terorganisir, sekelompok pemain, sekelompok penonton, tempat pertujukan dan kesempatan untuk mempertunjukannya.

2.2.1 Teori Semiotik Pertunjukan

Untuk mengkaji pertunjukan wayang potehi di Kota Tebing Tinggi Sumatera Utara ini, penulis menggunakan teori semiotik pertunjukan yang ditawarkan oleh dua pakar seni pertunjukan yaitu Pavis dan Kowzan. Keduanya mendasarkan analisis semiotik yang bersumber dari Saussure dan Peirce, namun Universitas Sumatera Utara 16 diterapkan pada seni pertunjukan, bukan bahasa seperti yang diurai oleh saussure dan Peirce. Pendekatan untuk mengkaji seni, salah satunya mengambil teori semiotik dalam rangka usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi sound image atau signifier yang berhubungan dengan konsep signified. Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri. Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: 1 representatum, 2 pengamat interpretant, dan 3 objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika larnbang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol. Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dalam Turner, 1983 dari Perancis, mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan dan Pavis menawarkan 13 sistem Universitas Sumatera Utara 17 lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mirnik, gestur, gerak, make-up, gaya rarnbut, kosturn, properti, setting, lighting, musik, dan efek suara. Kowzan dan Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lugas dan detil untuk mengkaji sebuah pertunjukan. Pertanyaan-pertanyaannya menekankan perlunya dijelaskan bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian. Pertanyaan ini menekankan pentingnya sebuah proses pertunjukan. Adapun pertanyaan-pertanyaan itu adalah yang mencakup: 1 diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi: a unsur-unsur apa yang mendukung pertunjukan, b hubungan antara sistem-sistem pertunjukan, c koherensi dan inkoherensi, d prinsip-prinsip estetis produksi, e kendala-kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah momennya kuat, lemah, atau membosankan. 2 skenografi, yang meliputi: a bentuk ruang pertunjukan--mencakup: arsitektur, gestural, keindahan, imitasi tata ruang, b hubungan. antara tempat penonton dengan panggung pertunjukan, c sistem pewarnaan dan konotasinya, d prinsip-prinsip organisasi ruang yang meliputi hubungan antara on-stage dan off-stage dan keterkaitan antara ruang yang diperlukan dengan gambaran panggung pada teks drama. Universitas Sumatera Utara 18 3 sistem tata cahaya 4 properti panggung: tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain 5 kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana hubungan kostum antar pemain 6 pertunjukan: a gaya, individu atau konvensional, b hubungan antara pemain dan kelompok, c hubungan antara. teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pemain dan peran, d kualitas gestur dan mimik, e bagaimana dialog dikembangkan. 7 fungsi musik dan efek suara 8 tahapan pertunjukan: a tahap keseluruhan, b tahap-tahap tertentu sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum, gestur, dan lain-lain, tahap pertunjukan yang tetap atau berubah tiba-tiba. 9 interpretasi cerita dalam pertunjukan: a cerita apa yang akan dipentaskan, b jenis dramaturgi apa yang dipilih, c apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa yang dijelaskan, d bagaimana struktur plot, e bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana pementasannya, Universitas Sumatera Utara 19 f termasuk genre apakah teks dramanya. 10 teks dalam pertunjukan: a terjemahan skenario, b peran yang diberikan, teks drama dalam produksi c hubungan antara teks dan imaji 11 penonton: a di mana pertunjukan dilaksanakan, b prakiraan penonton tentang apa yang akan terjadi dalam pertunjukan, c bagaimana reaksi penonton, dan d peran penonton dalam konteks menginterpretasikan makna-makna. 12 bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara teknis: a imaji apa yang menjadi fokus. 13 apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda pertunjukan: a apa yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan, b apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan dan mengapa. 14 apakah ada masalah-masalah khusus yang perlu dijelaskan, serta berbagai komentar dan saran lebih lanjut untuk melengkapi sejumlah pertanyaan dan memperbaiki produksi pertunjukan.

2.2.2 Teori Linguistik Sistemik Fungsional

Penelitian ini mengunakan pendekatan Linguistik Systemic Functional LSF. Dalam pendekatan ini Halliday 1994, mengatakan bahwa bahasa adalah Universitas Sumatera Utara 20 sistem arti dan sistem. Konsep sistem dan arti yang digagas Halliday dirangkum dalam linguistik. Dalam penelitian konsep yang mendasari yaitu: a Bahasa adalah suatu sistem semiotik, b Bahasa merupakan teks berkonstrual saling menentukan dan merujuk dengan konteks sosial, c penggunaan bahasa adalah fungsional, d Fungsi bahasa membuat makna, e bahasa adalah sistem, f hubungan bahasa dan teks direalisasikan melalui konteks sosial. Bahasa lisan dan tulisan adalah bahasa yang difungsikan sesuai dengan fungsi – fungsi bahasa yang disebut metafungsi yang memiliki sistem – sistem yaitu sistem ideasional. interpesona dan tekstual. Tiga sistem di atas dikenal dengan tiga konsep fungsional yaitu konsep pertama bahwa bahasa teruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Ketiga fungsi bahasa dalam kehidupan manusia terdiri atas tiga hal yaitu 1 fungsi memaparkam atau menggambarkan, 2 mempertukarkan, dan 3 merangkaikan pengalaman manusia. Kedua konsep bahwa setiap unit bahasa adalah fungsional berlaku terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan pengertian seperti ini grup nomina, verba, preposisi klausa sisipan, atau unit lain berfungsi dalam tugas masing masing untuk membangun klausa. Konsep keempat menetapkan teks atau wacana dalam kontek sosial. Teks sebagai unit bahasa yang fungsional dalam kontek sosial adalah unit bahasa yang fungsional memberi arti atau unit semantik bukan unit tata bahasa grammatical unit. Universitas Sumatera Utara 21 Selanjutnya untuk menganalisis teks berupa prolog, dialog, dan epilog yang diucapkan atau dituturkan oleh dalang, maka penulis juga menggunakan teori Linguistik Systemic Functional LSF dari Martin. Menurutnya, secara global dan umum, bahwa bahasa merupakan bahagian dari kebudayaan. Menurut Martin peranan bahasa dalam konteks sosial adalah: 1 bahasa tidak hidup dan berkembang secara sendirian, bahasa merupakan bahagian dari lingkungan atau konteks sosial, 2 untuk mengetahui bahasa tersebut, maka para pengkaji bahasa mestilah melihat kenapa dan mengapa bahasa tersebut mencerminkan makna-makana dalam konteks sosial, 3 untuk mengetahui bahasa dan hubungannya dengan konteks sosial di mana hasa itu hidup, 4 untuk mengetahui para penutur bahasa tersebut menggunakan bahasa untuk berbicara sesama mereka; 5 hubungan antara bahasa dan konteks sosial adalah terekspresi dari konstruksi keduanya; 6 hubungan itu adalah: bahasa sebagai sistem semiotik mengekspresikan konteks sosial sebagai sistem. Hubungan bahasa dengan konteks sosial tersebut dapat dilihat dalam bagan berikut ini. Universitas Sumatera Utara 22 Bagan Hubungan antara Bahasa dan Konteks Sosial Martin, 1993:142 Dalam konteks penelitian ini, bahasa yang dituturkan oleh dalang wayang potehi, yang penulis sebut sebagai teks pertunjukan, akan dianalisis berdasarkan konteks sosialnya. Teks itu sendiri sebagai bahasa memiliki struktur internalnya seperti diksi, susunan atau sintaksis, serta lebih jauh makna-makna semantiknya. Untuk itu, penulis nantinya di dalam skripsi sarjana ini akan mengkaji teks pertunjukan wayang potehi berdasarkan konteks sosialnya, yaitu dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Tebing Tinggi yang heterogen secara budaya. Universitas Sumatera Utara 23

2.3 Tinjauan Pustaka