MM. dan Hj. Nuriaty Damanik, SH. dalam menarik perhatian dan memperoleh dukungan dari
masyarakat. Adapun judul dari penelitian ini adalah “Kampanye dan Perilaku Pemilih Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Simalungun Tahun 2010 Studi
Efektifitas Kampanye Dr. J.R. Saragih, SH, MM. – Hj. Nuriaty Damanik, SH. di Kelurahan Pematang Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun.”
I.2. PERUMUSAN MASALAH
Berangkat dari latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan kampanye kandidat calon bupati dan calon wakil bupati DR. J.R. Saragih, SH, MM. – Hj. Nuriaty Damanik, SH.
terhadap perilaku pemilih di Kelurahan Nagori Pematang Raya pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Simalungun 2010?”
I.3. PEMBATASAN MASALAH
Agar data yang akan dianalisis dalam penelitian ini sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini terdapat pembatasan masalah yang ditujukan
untuk membatasi ruang lingkup penelitian dan akurasi data dari hasil penelitian. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah: Hubungan Kampanye DR. J.R. Saragih, SH,
MM. – Hj. Nuriaty Damanik, SH. dengan Perilaku Pemilih di Kelurahan Nagori Pematang Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun.
Universitas Sumatera Utara
I.4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN I.4.1. TUJUAN PENELITIAN
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui sikap dan perilaku pemilih terhadap kampanye DR. J.R. Saragih, SH, MM. dan Hj. Nuriaty Damanik, SH. dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
Kabupaten Simalungun Tahun 2010 khususnya masyarakat Kelurahan Nagori Pematang Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun.
2. Untuk mengetahui faktor apakah yang paling dominan dalam membentuk sikap dan
perilaku pemilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Simalungun Tahun 2010.
I.4.2. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan yang bermanfaat kepada semua pihak yang secara umum dapat bermanfaat bagi:
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran terhadap
Ilmu Politik, yaitu dalam hal keterkaitan kampanye dengan perilaku pemilih pada pemilihan kepala daerah.
2. Menambah rujukan bagi Mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP-USU mengenai
penelitian studi kampanye dan perilaku pemilih. 3.
Secara akademis penelitian ini bermanfaat bagi penulis, yaitu untuk mengasah kemampuan dan melatih penulis dalam hal membuat dan membaca karya ilmiah.
Penelitian ini juga dapat menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang diteliti.
Universitas Sumatera Utara
I.5. KERANGKA TEORI I.5.1. PARTISIPASI POLITIK
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pemimpin negara dan, secara
langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah public policy. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat
umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan contacting dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan
sebagainya.
10
Partisipasi politik merupakan cerminan dari sikap politik political behavior warga negara yang berwujud dalam perilaku baik secara psikis maupun secara fisik. Partisipasi yang
berlangsung bersifat legal dan berada dalam ikatan normatif. Partisipasi politik yang dikehendaki adalah partisipasi yang tumbuh atas kesadaran sebagai partisipasi murni pure
participation tanpa adanya paksaan. Menurut Closky 1982 bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela
voluntary dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung direct atau tidak langsung indirect dalam proses
pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan partisipasi politik pada intinya tertuju kepada dua subjek, yaitu: 1
pemilihan penguasa, dan 2 melaksanakan segala kebijaksanaan penguasa pemerintah.
11
10
Miriam Budiardjo, Loc. Cit., hlm. 184.
11
Rochajat Harun Sumarno, Komunikasi Politik Sebagai Suatu Penghantar, Bandung: Mandar Maju, 2006, hlm 131.
Universitas Sumatera Utara
Perilaku politik dan perilaku memilih adalah paket dalam diskusi pemilu. Partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam memengaruhi proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan politik. Partisipasi politik menyoalkan hubungan antara kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintahan.
12
Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya
kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili
oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik. Di samping itu, pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak
menjadi konstituen partai politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok. Terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisan, di mana ideologi dan tujuan
politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai politik tertentu. Mereka ‘menunggu’ sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan program politik yang bisa menawarkan
program kerja yang terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.
I.5.2. PERILAKU PEMILIH
13
12
Joko J. Prihatmiko, Loc, Cit., hlm. 46.
13
Firmanzah, Marketing Politik, Antara Pemahaman dan Realitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 102.
Perilaku memilih adalah keikutsertaan warga dalam pemilu sebagai rangkaian pembuatan keputusan. Perilaku memilih menjawab pertanyaan apakah warga masyarakat
menggunakan hak pilih atau tidak? Apakah memilih partai X atau Y? mengapa memilih partai X atau Y?
Universitas Sumatera Utara
Untuk memahami kecenderungan perilaku memilih mayoritas masyarakat secara akurat dapat dikombinasikan dalam beberapa pendekatan yang relevan, yaitu:
14
1. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam
menentukan perilaku pemilih. Pendekatan sosiologis dilandasi oleh pemikiran bahwa determinan pemilih dalam respon politiknya adalah status sosio ekonomi, afiliasi religius.
Dengan kata lain, pendekatan ini didasarkan pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga, dan pertemanan yang dialami oleh agen pemilih secara historis.
2. Pendekatan Psikologis
Pendekatan ini pada dasarnya melihat sosialisasi sebagai determinasi dalam menentukan perilaku politik pemilih, bukan karakter sosiologis. Pendekatan ini menjelaskan
bahwa sikap seseorang yang menjadi variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang, karena itu pendekatan ini menekankan pada tiga aspek psikologis
sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, isu-isu, dan kandidat- kandidat.
3. Pendekatan Rasional
Pendekatan ini menempatkan pemilih pada suatu keadaan yang bebas, di mana pemilih melaksanakan perilaku politik dengan pikiran rasionalnya dalam menilai calon
kandidiat yang terbaik menurut rasionalitas yang dimilikinya. Model ini ingin melihat pemilih sebagai produk kalkulasi untung rugi.
14
Adna Nursal, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 54.
Universitas Sumatera Utara
Mayoritas pemilih biasanya selalu mempertimbangkan faktor untung rugi dalam menentukan pilihannya terhadap calon yang dipilih. Seorang pemilih rasional adalah pemilih
yang menghitung untung rugi tindakannya dalam memilih calon. Pada pendekatan rasional, perilaku politik dapat terjadi kapan saja, dan dapat berubah
sesuai dengan rasionalitasnya, bahkan keputusan dalam menentukan pilihan dapat berubah di balik bilik suara.
4. Pendekatan Domain Kognitif
Menurut model ini, perilaku pemilih ditentukan oleh tujuh domain kognitif yang berbeda, yaitu:
Isu dan Kebijakan Politik
Komponen ini mempresentasikan kebijakan atau program yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat politik jika kelak menang pemilu.
Citra Sosial
Komponen ini adalah citra kandidat dalam pikiran pemilih mengenai “berada” di dalam kelompok sosial mana atau tergolong sebagai apa sebuah partai atau kandidat politik.
Citra sosial dapat terjadi oleh banyak faktor diantaranya, demografi meliputi usia, gender, dan agama. Sosio ekonomi meliputi pekerjaan dan pendapatan, kultural dan etnik, dan
politis-ideologi.
Perasaaan Emosional Perasaan emosial yaitu emosional yang terpancar dari sebuah kontestan atau kontestan
yang ditujukan oleh kebijakan politik yang ditawarkan.
Universitas Sumatera Utara
Citra Kandidat
Citra kandidat yaitu mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting dan dianggap sebagai karakter seorang kandidat.
Peristiwa Mutahir
Ini mengacu pada himbauan peristiwa, isu, dan kebijakan yang berkembang menjelang dan selama kampanye.
Peristiwa Personal
Ini mengacu pada kehidupan pribadi dan peristiwa yang dialami secara pribadi oleh seorang kandidat, misalnya skandal seksual, bisnis, dll.
Faktor-Faktor Epistemis
Faktor-faktor epistemis yaitu isu-isu pemilihan yang spesifik yang dapat memicu keingintahuan para pemilih mengenai hal-hal baru.
I.5.2.1. Orientasi Pemilih
Dalam diri masing-masing pemilih terdapat dua orientasi sekaligus yaitu:
15
1 Orientasi ‘policy-problem-solving.’
Ketika pemilih menilai partai politik atau seorang kontestan dari kacamata ‘policy- problem-solving,’ yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana para kontestan mampu
menawarkan program kerja atas solusi bagi suatu permasalahan yang ada. Pemilih akan cenderung secara memilih partai politik atau kontestan yang memiliki kepekaan terhadap
15
Firmanzah, Op. Cit., hlm 128.
Universitas Sumatera Utara
masalah nasional dan kejelasan program kerja. Partai politik atau kontestan yang arah kebijakannya tidak jelas akan cenderung tidak dipilih.
2 Orientasi ‘ideology.’
Suatu partai atau seorang kontestan, akan lebih menekankan aspek-aspek subjektivitas seperti kedekatan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi dan psikografis. Semakin
dekat kesamaan partai politik atau calon kontestan, pemilih jelas ini akan cenderung memberikan suaranya ke partai dan kontestan tersebut.
I.5.2.2. Konfigurasi Pemilih
16
1 Pemilih Rasional
Konfigurasi pemilih terdiri dari 4 empat jenis pemilih, yaitu:
Dalam konfigurasi pertama ini terdapat pemilih rasional rational voter, di mana pemilih memiliki orientasi tinggi pada ‘policy-problem-solving’ dan berorientasi rendah
untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau ‘platform’ partai bisa
dianalisis dalam dua hal: 1 kinerja partai di masa lampau back ward looking, dan 2 tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada forward-looking.
Pemilih tidak hanya melihat program kerja atau ‘platform’ partai yang berorientasi ke masa depan, tetapi juga menganalisis apa saja yang telah dilakukan oleh partai tersebut di masa
lampau. Kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanivestasikan pada reputasi dan ‘citra’ image yang berkembang di masyarakat. Dalam konteks ini yang lebih utama bagi
partai politik dan kontestan adalah mencari cara agar mereka bisa membangun reputasi di depan publik dengan mengedepankan kebijakan untuk mengatasi permasalahan nasional.
16
Ibid., hlm 134-138.
Universitas Sumatera Utara
Ciri khas pemilih jenis ini adalah tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Faktor seperti faham, asal-usul, nilai tradisional,
budaya, agama, dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan. Hal yang terpenting bagi jenis pemilih adalah apa yang bisa dan yang telah
dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, daripada faham dan nilai partai dan kontestan. Oleh karena itu, ketika sebuah partai politik atau calon kontestan ingin menarik
perhatian pemilih dalam matriks ini, mereka harus mengedepankan solusi logis akan permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, sosial-budaya, hubungan luar negeri,
pemerataan pendapatan, disintegrasi nasional, dan lain-lain. Pemilih tipe ini tidak akan segan- segan beralih dari sebuah partai atau seorang kontestan ke partai politik atau kontestan lain
ketika mereka dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan nasional.
2 Pemilih Kritis
Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun
tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan
tidak semudah ‘rational vote’ untuk berpaling ke partai lain. Proses untuk menjadi pemilih jenis ini bisa terjadi melalui dua mekanisme. Pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai
ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah
dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partaikontestan baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan
faham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan.
Universitas Sumatera Utara
Pemilih jenis ini akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai ideologi dengan kebijakan yang dibuat. Tiga kemungkinan akan muncul ketika terdapat perbedaan
antara nilai ideologi dengan ‘platform’ partai: 1 memberikan kritik internal, 2 frustasi, dan 3 membuat partai baru yang memiliki kemiripan karakteristik ideologi dengan partai lama.
Kritik internal merupakan manifestasi ketidaksetujuan akan sebuah kebijakan partai politik atau seorang kontestan. Ketika pemilih merasa kritikannya tidak difasilitasi oleh mekanisme
internal partai politik, mereka cenderung menyuarakannya melalui mekanisme eksternal partai, umpamanya melalui media massa seperti televisi, radio, dan sebagainya. Frustasi
merupakan posisi yang sulit bagi pemilih jenis ini. Di satu sisi, mereka merasa bahwa ideologi suatu partai atau seorang kontestan adalah yang paling sesuai dengan karakter
mereka, tapi di sisi lain mereka merasakan adanya ketidaksesuaian dengan kebijakan yang akan dilakukan partai. Biasanya pemilih ini akan melihat-lihat dahulu wait and see sebelum
munculnya ide kemungkinan yang ketiga, yaitu membentuk partai baru. Pembuatan parta biasanya harus dipelopori oleh tokoh-tokoh yang tidak puas atas kebijakan suatu partai.
Mereka memiliki kemampuan untuk menggalang massa, ide, konsep, dan reputasi untuk membuat partai tandingan dengan nilai ideologi yang biasanya tidak berbeda jauh dengan
partai sebelumnya.
3 Pemilih Tradisional
Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam
pengambulan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial- budayanya, nilai, asal-usul, faham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih suatu partai
politik. Kebijakan semisal ekonomi, kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan pendidikan, dan pengurangan angka inflasi dianggap sebagai parameter kedua. Biasanya pemilih jenis ini
lebih mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai
Universitas Sumatera Utara
politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang nilai serta faham
yang dianut. Pemilh tradisional adalah jenis pemilih yang bisa dimobilisasi selama periode
kampanye. Loyalitas tinggi merupakan salah satu ciri khas yang paling kelihatan bagi pemilih jenis ini. Ideologi dianggap sebagai satu landasan dalam membuat suatu keputusan serta
bertindak, dan kadang kebenarannya tidak bisa diganggu-gugat.
4 Pemilih Skeptis
Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang
penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang
memedulikan ‘platform’ dan kebijakan sebuah partai politik. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan suara, biasanya mereka melakukannya secara acak atau random. Mereka
berkeyakinan bahwa siapapun dan partai apapun yang memenangkan pemilu tidak akan bisa membawa bangsa ke arah perbaikan yang mereka harapkan. Selain itu, mereka tidak
memiliki ikatan emosional dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan.
Universitas Sumatera Utara
I.5.3. KAMPANYE
Menurut Kotler dan Roberto 1989, kampanye adalah sebuah upaya yang dikelola oleh satu kelompok agen perubahan yang ditunjuk untuk memersuasi target sasaran agar
bisa menerima, memodifikasi atau membuang ide, sikap dan perilaku tertentu. Dalam studi perencanaan komunikasi dikenal beberapa langkah yang harus ditempuh dalam pelaksanaan
kampanye. Assifi dan French 1982 menyusun delapan langkah yang dapat dilakukan dalam perencanaan komunikasi untuk kampanye, yakni: 1 menganalisis masalah; 2 menganalisis
khalayak; 3 merumuskan tujuan; 4 memilih media; 5 mengembangkan pesan; 6 merencanakan produksi media; 7 merencanakan manajemen program; 8 monitoring dan
evaluasi.
17
Dalam konteks antarpartai ada tiga tujuan kampanye. Pertama, ada upaya untuk membangkitkan kesetiaan alami para pengikut suatu partai dan agar mereka memilih sesuai
dengan kesetiaan itu; kedua, ada kegiatan untuk menjajaki warga negara yang terikat pada partai dan, menurut istilah Kenneth Burke untuk menciptakan pengidentifikasi di antara
golongan independen; ketiga, ada kampanye yang ditujukan pada oposisi, bukan dirancang untuk mengalihkan kepercayaan dan nilai anggota partai, melainkan untuk meyakinkan
rakyat bahwa keadaan akan lebih baik jika dalam kampanye ini mereka memilih dari partai lain.
18
17
Hafied Cangara, Op. Cit., hlm. 284, 287.
18
Dan Nimmo, Komunikasi Politik, Bandung: Remadja Karya, 1989, hlm 219.
Universitas Sumatera Utara
I.5.3.1. Jenis-Jenis Kampanye
Menurut Charles U. Larson, kampanye dibagi dalam 3 tiga kategori yakni:
19
1 Product-oriented campaigns commercial campaigns atau corporate campaign atau
kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi di lingkungan bisnis. Motivasi yang mendasarinya adalah memperoleh keuntungan finansial. Cara yang
ditempuh adalah dengan memperkenalkan produk dan melipatgandakan penjualan sehingga diperoleh keuntungan yang diharapkan.
2 Candidate-oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada kandidat
umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik. Karena itu jenis kampanye ini dapat pula disebut sebagai political campaigns kampanye politik.
Tujuannya antara lain adalah untuk memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat yang diajukan partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik
yang diperebutkan lewat proses pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. 3
Ideologically or cause oriented campaigns adalah jenis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi perubahan sosial.
I.5.3.2. Media Kampanye
Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah telah ditetapkan bahwa kampanye calon
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan selama 14 empat belas hari dan berakhir 3 tiga hari sebelum hari pemungutan suara. Jadwal kampanye ditetapkan oleh
KPUD dengan memperhatikan usul dari pasangan calon.
19
Antar Venus, Manajemen Kampanye, Bandung: Simbiosa Rakatama Media, 2004, hlm 11.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kampanye, pasangan calon wajib menyampaikan visi, misi, dan program secara lisan maupun tertulis. Rakyat mempunyai kebebasan untuk menghadiri atau tidak
menghadiri kampanye. Menurut Pasal 56 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, kampanye dapat dilaksanakan melalui:
20
a. Pertemuan terbatas;
b. Tatap muka dan dialog;
c. Penyebaran melalui media cetak dan media elektronik;
d. Penyiaran melalui radio danatau televisi;
e. Penyebaran bahan kampanye kepada umum;
f. Pemasangan alat peraga di tempat umum;
g. Rapat umum;
h. Debat publikdebat terbuka antarcalon; danatau
i. Kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
I.5.4. PARTAI POLITIK
Bagi suatu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi maupun yang sedang membangun proses demokratisasi, partai politik menjadi sarana demokrasi yang bisa
berperan sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintahan. Pembentukan partai politik berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh
mayoritas melalui pemilihan umum. Untuk menciptakan pemerintahan yang mayoritas, diperlukan partai-partai yang dapat digunakan sebagai kendaraan politik untuk ikut dalam
pemilihan umum. Melalui partai politik rakyat berhak menentukan; siapa yang akan menjadi
20
Daniel S. Salossa, Mekanisme, Persyaratan, dan Tata Cara Pilkada Langsung menurut Undang-Undang No. 322004 tentang Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: Media Pressindo, 2005, hlm 55.
Universitas Sumatera Utara
wakil mereka serta siapa akan menjadi pemimpin yang menentukan kebijakan umum public policy.
21
Ada beberapa fungsi partai politik yang terdapat di negara demokrasi, yaitu:
I.5.4.1. Fungsi Partai Politik
22
1 Sebagai Sarana Komunikasi Politik
Dalam menjalankan fungsi ini partai politik sering disebut sebagai perantara broker dalam suatu bursa ide-ide clearing house of ideas. Kadang-kadang juga dikatakan bahwa
partai politik bagi pemerintahan bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai “pengeras suara.”
Menurut Sigmund Neumann dalam hubungannya dengan komunikasi politik, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan
ideologi sosial dengan lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas.
Di masyarakat yag luas dan kompleks, banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang apabila tidak
ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan interest aggregation. Sesudah digabungkan,
pendapat dan aspirasi tadi diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur atau dinamakan perumusan kepentingan interest articulation.
Partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana- rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintahan. Dengan demikian terjadi arus informasi dan
21
Hafied Cangara, Op. Cit., hlm.207.
22
Mirriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 405-409.
Universitas Sumatera Utara
dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dalam pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah. Peran
partai sebagai jembatan sangat penting, karena di satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan di lain pihak pemerintah harus tanggap
terhadap tuntutan masyarakat.
2 Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya
berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Ia adalah bagian dari proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideologi,
hak dan kewajiban. Sebagai sarana sosialisasi politik, partai politik melaksanakan fungsinya melalui
berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus kader, penataran, dan sebagainya.
Sisi lain dari fungsi sosialisasi politik partai adalah upaya menciptakan citra image bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum, ini penting jika dikaitkan dengan tujuan
partai untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum. Karena itu partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin, dan partai berkepentingan agar para
pendukungnya mempunyai solidaritas yang kuat dengan partainya.
Universitas Sumatera Utara
3 Sebagai Sarana Rekrutmen Politik
Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan
internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk
mengembangkan diri. Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk
masuk ke bursa kepemimpinan nasional. Selain itu tingkatan seperti itu partai politik juga berkepentingan memperluas atau
memperbanyak keanggotaan. Maka ia pun berusaha menarik sebanyak-banyaknya orang untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya organisasi-organisasi massa sebagai
onderbouw yang melibatkan golongan-golongan buruh, petani, mahasiswa, wanita, dan sebagainya, kesempatan untuk berpartisipasi diperluas. Rekrutmen politik menjamin
kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin. Ada beberapa cara untuk melakukan rekrutmen politik, yaitu
melalui kontak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara lain.
4 Sebagai Sarana Pengatur Konflik
Menurut Arend Liphart 1968 perbedaan-perbedaan atau perpecahan di tingkat massa bawah dapat diatasi oleh kerja sama di antara elite-elite politik.
Pada masyarakat yang bersifat heterogen, apakah dari segi etnis suku bangsa, sosial- ekonomi, maupun agama. Setiap perbedaan tersebut menyimpan potensi konflik. Apabila
keanekaragaman itu terjadi di negara yang menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dianggap hal yang wajar dan mendapat tempat. Akan tetapi di dalam
Universitas Sumatera Utara
negara yang heterogen sifatnya, potensi pertentangan lebih besar dan dengan mudah mengundang konflik.
Di sini peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau sekurang- kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal
mungkin, elite partai dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungya.
I.5.5. PEMILIHAN UMUM
Pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial perjanjian masyarakat antara peserta pemilihan umum partai
politik dengan pemilih rakyat yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi kampanye, propoganda, iklan politik melalui
media massa cetak, audio radio maupun audio visual televisi serta media lainnya seperti, spanduk, pamflet, selebaran bahkan komunikasi antara pribadi yang berbentuk face to face
tatap muka atau lobby yang berisi penyampaian pesan mengenai program, platform, asas, ideologi serta janji-janji politik lainnya guna meyakinkan pemilih sehingga pada waktu
dilaksanakannya pemilihan umum dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum untuk mewakilinya dalam badan legislatif
maupun eksekutif.
23
23
A. Rahman H. I, Sistem Politik Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, hlm 147.
Universitas Sumatera Utara
I.5.5.1. Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Pemilihan kepala daerah langsung pilkada langsung juga merupakan jalan keluar terbaik untuk mencairkan kebekuan demokrasi. Kekuatan pilkada langsung terletak pada
pembentukan dan implikasi legistimasi tersendiri sehingga harus dipilih sendiri oleh rakyat. Mereka juga wajib bertanggung jawab kepada rakyat. Dengan pemilihan terpisah dari DPRD,
kepala daerah memiliki kekuatan yang seimbang dengan DPRD sehingga mekanisme check and balances niscaya akan bekerja. Kepala daerah dituntut mengoptimalkan fungsi
pemerintahan daerah protective, public service, development. Pilkada langsung tidak dengan sendirinya menjamin taken for granted peningkatan
kualitas demokrasi itu sendiri tetapi jelas membuka akses terhadap peningkatan kualitas demokrasi tersebut. Akses itu berarti berfungsinya mekanisme check and balances. Dimensi
check and balances meliputi hubungan kepala daerah dengan rakyat; DPRD dengan rakyat; kepala daerah dengan DPRD; DPRD dengan kepala daerah tetapi juga kepala daerah dan
DPRD dengan lembaga yudikatif dan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat.
24
Pemilihan kepala daerah langsung merupakan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh masyarakat yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil melalui pemungutan suara. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka
pengembangan kehidupan demokratis, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur dan Wakil Gubernur untuk
Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk Kabupaten, serta Walikota dan Wakil Walikota untuk Kota.
24
Joko J. Prihatmoko, Loc. Cit., hlm. 164-165.
Universitas Sumatera Utara
memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
25
David Easton menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat itu adalah 1 terdiri dari banyak bagian-bagian; 2 bagian-bagian itu saling
berinteraksi dan saling tergantung; dan 3 mampunyai perbatasan boundaries yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain.
I.5.5.2. Sistem Dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung
26
Sistem pemilihan adalah suatu mekanisme atau tata cara untuk menentukan pasangan calon yang berhak menduduki jabatan kepala daerahwakil kepala daerah. Kualitas kompetisi
Sebagai suatu sistem, sistem pilkada langsung mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder secondary system atau sub-sub sistem subsystems. Bagian-
bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforcement. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pilkada langsung yang
berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process dimaksudkan seluruh
kegiatan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement
yaitu penegakan hukum terhadap aturan-aturan pilkada baik politis, administratif atau pidana. Ketiga bagian pilkada langsung tersebut sangat menentukan sejauh mana kapasitas sistem
dapat menjembatani pencapaian tujuan dari proses awalnya. Masing-masing bagian tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh yang komplementer.
25
Dikutip dari Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
26
Mohtar Mas’oed Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008, hlm. xiii.
Universitas Sumatera Utara
dalam pilkada langsung dapat dilihat dari sistem pemilihan yang digunakan. Ada 5 lima sistem dalam pemilihan kepala daerah langsung, yaitu:
27
a. First Past The Post System
Sistem first past the post ini dikenal sebagai sistem yang sederhana dan efisien. Calon Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis memenangkan pilkada dan
menduduki kursi Kepala Daerah. Karenanya sistem ini dikenal juga dengan sistem mayoritas sederhana simple majority. Konsekuensinya, calon Kepala Daerah dapat memenangkan
pilkada walaupun hanya meraih kurang dari separoh suara jumlah pemilih sehingga legitimasinya sering dipersoalkan.
b. Preferantial Voting System atau Aprroval Voting System
Cara kerja sistem preferential voting atau aprroval voting adalah pemilih memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya terhadap calon-calon Kepala Daerah yang
ada pada saat pemilihan. Seorang calon akan otomatis memenangkan pilkada langsung dan terpilih menjadi Kepala Daerah jika perolehan suaranya mencapai peringkat pertama terbesar.
Sistem ini dikenal sebagai mengakomodasi sistem mayoritas sederhana simple majority namun dapat membingungkan proses penghitungan suara di setiap tempat pemungutan suara
TPS sehingga perhitungan suara di tempat pemungutan suara mungkin harus dilakukan secara terpusat.
27
Joko J. Prihatmoko, Op. Cit., hlm 284, 115-120.
Universitas Sumatera Utara
c. Two Round System atau Run-off System