mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Pengunduran diri ini disebabkan adanya kontroversi dengan Mentri Agama Alamsyah Ratu Prawira Negara tentang
menghadiri perayaan Natal bersama umat Islam. Saat itu Hamka dengan kapasitas sebagai Ketua MUI, memfatwakan haram hukumnya seorang muslim menghadiri
perayaan Natal. Agaknya keputusan pengunduran diri tesebut merupakan sinyal bagi
semua pihak untuk intropeksi diri, juga patanda bagi Hamka pamit untuk selama- lamanya dari dunia ini, karena dua bulan setelah itu Hamka berpulang ke
Rahmatullah meninggal dunia, yang bertepatan pada tanggal Juli
dalam usia
tahun.
59
Hamka menutup mata dalam satu penyelesaian tugas, dengan predikat sebagai seorang Ulama.
C. Karya-Karya Hamka
Hamka di masa hidupnya telah melahirkan banyak karya. Di bawah ini adalah hasil karya-karya yang ditorehkan lewat tangan Hamka.
60
A. Karya Hamka dalam bentuk roman dan fiksi agama.
. Di bawah Lindungan Ka’bah
. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk
. Merantau ke Deli
. Tuan Direktur
. Keadilan Illahi
59
Majalah Amanah, Seandainya Hamka masih ada, Jakarta: , h.
60
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h. -
. Angkatan Baru
. Terusir
. Di dalam Lembah Kehidupan
. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao
. Ayahku
. Filsafat Hidup
. Tasawwuf Moderen
. Lembagu Budi
B. Dalam bentuk Buku
. Islam dan Demokrasi
. Revolusi Pikiran
. Negara Islam
. Revolusi Agama
. Adat Minagkabau Menghadapi Revolusi
42
BAB IV
Analisis Homonimi Kata Nafs
ﺱ ﻔﻨ
dalam Al-Qur’an Terjemahan Hamka
Homonimi sebagai gejala semesta bahasa language universal, tentu saja dimiliki oleh bahasa Arab. Namun demikian, sampai saat ini belum ditemukan
konsep homonimi bahasa Arab yang sistematis dan teoritis, bahkan kamus-kamus Arab mencampur adukan, dalam satu entri atau lema, antara homonimi, sinonimi
maupun polisemi. Dan kebanyakan dari orang Indonesia pun hanya mengetahui bahwa kata nafs itu hanya dengan kata ‘diri’
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin memaparkan tentang kehonimian terhadap kata nafs dalam al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan teori Lyon,
yang memberikan klasifikasi homonimi atas homonimi mutlak dan homonimi sebagian. Adapun pembagian makna yang terkandung dalam kata nafs berdasarkan
teori Achmad Mubarok dengan metode temantiknya, menyebutkan 7 makna nafs dalam al-Quran, yaitu:
• Nafs, sebagai Diri atau seseorang.
• Nafs, sebagai diri tuhan. • Nafs, sebagai person sesuatu..
• Nafs, sebagai roh. • Nafs, sebagai jiwa.
• Nafs, sebagai totalitas manusia.
43
• Nafs sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku.
A. Homonimi Mutlak
1. Kelas Nomina al-ism.
Berikut ini merupakan leksem-leksem yang berkategori nomina al-ism. a
-
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
anfus
1
’ruh” -
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
anfus
2
‘diri’ -
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
anfus
3
‘diri’ person sesuatu Leksem
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
anfus
1
’ruh” secara relasional mengacu kepada medan makna sesuatu yang ghaib tak terlihat, sedangkan leksem
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
anfus
2
‘diri’ dan
َﺃ ﻔﻨ
ﺱ
anfus
3
‘diri’ person sesuatu secara relasional mengacu kepada medan makna sesuatu yang tampak oleh mata jasad. Dengan demikian relasi
komponen makna leksem
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
anfus
1
’ruh”,
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
anfus
2
‘diri’ dan
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
anfus
3
‘diri’ person sesuatu berhubungan dan secara gramatikal equivalen karena ketiganya berasal dari kategori yang sama yakni nomina al-ism, Sebagai
contoh dari kedua leksem tersebut yang diterjemahkan oleh Hamka: i surat al-An’am ayat 93:
ﻳﹶ
ﺃ ﻮﹸ ﻄ
ﺳﺎ ﺑ ﹸ
ﺔﹶ ﻜ
ﺋﺎﹶ ﻠ
ﻤﹾ ﻟﺍ
ﻭ
ﻢﹸ
ﻜ ﺴﹸ
ﻔ ﻧﹶ
ﺃ ﺍ ﻮ
ﺟﹺ ﺮ
ﺧﹶ ﺃ
ﻢﹺ ﻬﻳ
ﺪ
“sedangkan malaikat menurunkan tangan mereka. Keluarkanlah nyawa-nyawa kamu”
ii Surah al-Imran ayat 61
44
ﻢﹸ
ﻜ ﺴﹸ
ﻔ ﻧﹶ
ﺃ ﻭ ﺎ
ﻨ ﺴﹸ
ﻔ ﻧﹶ
ﺃ ﻭ
ﻢﹸ ﻛَ
ﺀﺎ ﺴﹺ
ﻧ ﻭ ﺎ
ﻧَ ﺀﺎ
ﺴﹺ ﻧ
ﻭ ﻢﹸ
ﻛَ ﺀﺎ
ﻨ ﺑﹶ
ﺃ ﻭ ﺎ
ﻧَ ﺀﺎ
ﻨ ﺑﹶ
ﺃ ﻉ
ﺪ ﻧ ﺍ
ﻮﹶ
ﻟﺎ ﻌ
ﺗ
“Marilah kemari Kita ajak anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, dan diri-diri kami dan diri-diri kamu”
iii Surah an-Nahl ayat 33
ﹶ ﻥﻮ
ﻤ ﻠﹾ
ﻈ ﻳ
ﻢ ﻬ
ﺴﹸ ﻔ
ﻧﹶ ﺃ ﺍ
ﻮ ﻧﺎﹶ
ﻛ ﻦ
ﻜﹶ ﻟ
ﻭ ﻪﱠ
ﻠﻟﺍ
ﻢ ﻬ
ﻤﹶ ﻠﹶ
ﻇ ﺎ ﻣ
ﻭ
“Dan Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”
Contoh i
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
bentuk jamak dari
ﺱ ﻔﻨ,
Hamka menerjemahkan menggunakan kata ”nyawa”, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
nyawa berdefinisi pemberi hidup kepada badan wadak organisme fisik yang menyebabkan hidup pada manusia, binatang, dan sebagainya. Namun dalam
penerjemahan ayat ayat ini, penulis menemukan keganjalan dalam penerjemahan Hamka. Kata
ﺔﻜﺌﻼﻤﻝﺍ
diterjemahkan dalam bentuk tunggal ‘malaikat’, sedangkan dalam teks aslinya kata
ﺔﻜﺌﻼﻤﻝﺍ
tergolong bentuk jamak yang berarti lebih dari satu. Dan juga pada kata setelahnya
َﺃ ﻡﻬﻴﺩﻴ
diterjemahkan ‘tangan mereka’, padahal pronomina
ﻡﻫ
di sini menyatakan kepada kata
ﺔﻜﺌﻼﻤﻝﺍ
, akan tetapi
ﻡﻫ
diartikan ‘mereka’ dan
ﺔﻜﺌﻼﻤﻝﺍ
diartikan ‘malaikat’ jadi tidak sepadan dalam perpaduan penerjemahannya, bentuk tunggal dipadukan dengan bentuk jamak. Sepatutnya
bentuk tunggal dipadukan dengan tunggal dan bentuk jamak dengan jamak pula. Penulis menyatakan, kata
ﺔﻜﺌﻼﻤﻝﺍ
lebih tepat diterjemahkan dengan kata ‘para malaikat’ sehingga dalam pemaknaanya pun lebih sepadan.
45 Pada masa awal turunnya al-Qur’an, kata nafs digunakan untuk
menyebut jiwa atau sisi dalam manusia, sementara ruh digunakan untuk menyebut malaikat Jibril atau anugerah ketuhanan yang istimewa. Baru pada
periode sesudah al-Qur’an secara keseluruhan masyarakat di dunia Islam, kata nafs
digunakan oleh literatur Arab untuk menyebut jiwa dan ruh secara silang, dan keduanya digunakan untuk menyebut rohani, malaikat dan jin. Namun kata
ruh dalam pengertian ini berbeda dengan kata
ﺡﻭﺭ
ruh. Para sufi mendefinisikan
ﺡﻭﺭ
ruh dalam al-Qur’an sebagai Malaikat Jibril atau malaikat lain, Rahmat Allah kepada kaum mukminin, dan Kitab suci al-Quran.
61
Ruh dari pengertian kata nafs disini didefinisikan sesuatu zat yang tuhan tiupkan kedalam
tubuh manusia, sehingga manusia mendapat kehidupan. Tentang bagaimana hubungan ruh itu sendiri dengan nafs, para ulama
berbeda pendapat mengenai hal itu. Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kata al-ruh juga digunakan untuk pengertian jiwa nafs. Tentang tempat ruh dan nafs di
dalam tubuh, Ibn Taimiyah menjelaskan: Tidak ada tempat khusus ruh di dalam jasad, tetapi ruh mengalir di dalam jasad sebagaimana kehidupan mengalir di
dalam seluruh jasad. Sebab, kehidupan membutuhkan adanya ruh. Jika ruh ada di dalam jasad, maka di dalamnya ada kehidupan nyawa; tetapi jika ruh berpisah
dengan jasad, maka ia berpisah dengan nyawa.
62
61
Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Quran Jakarta: Paramadina, 2000, h. 128
62
M. Amin Damej, Majmuah al-Rasail al-Muniriyah, juz 2, 1970, 39-41 dimuat dalam Dirasah...
,h. 47-48.
46 Dalam hal ini, Hamka menerangkan makna ruh itu sendiri sama halnya
dengan penjelasan di atas bahwa ruh adalah zat yang tuhan hembuskan ke dalam jasad manusia sehingga manusia tersebut mendapat kehidupan. Ruh salah satu
alat proses penciptaan manusia, awal mulanya diciptakan dari tanah dan setelah sempurna kejadiannya dihembuskanlah kepadanya ruh.
63
Contoh ii
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
bentuk jamak dari
ﺱ ﻔﻨ
Hamka menerjemahkan menggunakan kata ‘diri’. Penulis melihat Makna ‘diri’ di sini menyatakan kepada
orang atau manusia. Di dalam kamus al-Munawir, terjemahan kata
ﺱ ﻔﻨ
mempunyai banyak pengertian yang menyatakan diri, namun dua kata yang penulis lihat dari kamus tersebut yang menyangkut ke dalam pembahasan ini,
yakni al-syakhs orang dan al-syakhs bima’na al-insân diri orang. Pemaknaan
‘diri’ dalam ayat ini menyatakan sisi luar yang terdapat pada manusia. Contoh iii Hamka menerjemahkan
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
jamak
ﺱ ﻔﻨ
dari homonim yang bermakna person sesuatu dengan kata diri pula, namun sebagaimana penjelasan di
atas bahwa nafs di sini murni menyatakan kepada diri pribadi person sesuatu. Pemaknaan nafs di sini hampir sama dengan pemaknaan
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
anfus
2
‘diri’, namun
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
anfus
3
‘diri’ peson sesuatu lebih menyatakan mendalam kepada diri sendiri, dalam kamus al-Munawir pengertian yang menyatakan diri dalam
pembahasan ini, yakni al-dzat atau al’ain diri sendiri.
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
anfus
2
‘diri’ terlihat seperti kata ganti atau pengganti kata ganti dari sesuatu, sedangkan
َﺃ ﺱ ﻔﻨ
63
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 16, h.57
47 anfus
3
‘diri’ person sesuatu menyatakan murni kepada diri dan tidak adanya pengganti dari sesuatu yang dinyatakannya.
b - Dalam surah asy-syams ayat 7
ﻮ
ﺳ ﺎ ﻣ
ﻭ ﹴ ﺲ ﹾ
ﻔ ﻧ
ﻭ ﺎ
ﻫﺍ
“Dan jiwa serta penyempurnaanya ciptaannya” - Serta surah al-fajr ayat 27
ﹸ ﺔ
ﻨ ﺌ
ﻤﹾ ﻄ
ﻤﹾ ﻟﺍ
ﺲ ﹾ
ﻔ ﻨﻟﺍ
ﺎ ﻬ
ﺘ ﻳﹶ
ﺃﺎ ﻳ
“Hai jiwa yang tenang” Dari kedua ayat tersebut, Hamka nenerjemahkan
ﺱ ﻔﻨ
dengan kata ‘jiwa”. Penulis melihat tidak ada perbedaan kata dan makna dalam penejemahannya.
Terjemahan ini bermakna “sisi manusia”. Secara gramatikal kedua kata tersebut berasal dari kategori yang sama yakni kategori nomina ism.
Dalam hal ini, Filusuf Belanda Dr. C.A. van Puersen dalam bukunya Tubuh, Jiwa, Roh 1981 menyatakan bahwa pada umumnya orang dulu
menyangka bahwa jiwa ini adalah sejenis daya yang bertempat di dalam tubuh, misalnya dalam darah atau semacam darah itu sendiri, sehingga bagi Bani Israil,
sebagaimana terdapat juga dalam ajaran islam, darah itu haram untuk diminum atau dimakan. Padahal sebenarnya pengertian jiwa ini jauh melebihi daya
kehidupan organisme seperti energi, karena jiwa adalah tempat tinggal bagi perasaan-perasaan, seperti: benci, gembira, rindu, cinta, dan bisa merasakan
kekosongan.
48 Sering terjadi perdebatan antara jiwa dan ruh. Pertanyan yang timbul
adalah apakah ruh itulah yang disebut jiwa dan sebaliknya? Agaknya, ruh memang sama dengan jiwa. Bedanya, jiwa adalah ruh yang telah mempribadi,
setelah masuk ke dalam tubuh yang akan menjadi manusia. Karena ruh dan jiwa itulah yang menjadikan segumpal daging itu menjadi manusia, maka timbul
pengertian: tidak ada ruh, tidak ada manusia. Itulah sebabnya, maka dalam al- Qur’an manusia yang seluruhnya itu disebut juga sebagai jiwa.
Hamka memandang bahwa memang ruh yang berperan penting dalam kehidupan manusia, seperti pengertian: tidak ada ruh, tidak ada manusia. Namun
disisi lain, Hamka menyatakan untuk dihidupkan ruh itu harus memiliki wadah ‘organisme fisik’ dalam konteks manusia sehingga manusia tersebut dapat
melihat, mendengar, berbicara, dll. Dengan melihat penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Hamka menyebut manusia keseluruhannya juga sebagai
jiwa.
64
c Surah al-An’am ayat 12
ﹶ ﺔ
ﻤ ﺣ
ﺮﻟﺍ
ﻪِ ﺴﹾ
ﻔ ﻧ ﻰﹶ
ﻠ ﻋ
ﺐ ﺘﹶ
ﻛ
“Dia telah mewajibkan atas diri-Nya akan memberi rahmat” Leksem
ﺱ ﻔﻨ
mengacu kepada medan makna tuhan, karena terdapat huruf
ﻩ
pronomina persona dibelakangnya, yang menyatakan bahwa leksem
ﺱ ﻔﻨ
64
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 16, h.59
49 menyebutkan diri tuhan. Leksem
ﻪﺴﻔﻨ
‘diriNya’ tergolong homonimi mutlak, dan keduanya dari kelas nomina.
Dalam ayat di atas kata
ﺱ ﻔﻨ
yang menyatakan tuhan, Hamka menerjemahkannya dengan kata ‘diri’. Tetapi bukan berarti ‘diri’ yang dimaksud
sama dengan diri yang terdapat pada manusia. Dalam tasawuf, nafs di sini disebut nafs ilahiyyah
, yaitu jiwa ilahi: diarahkan bahwa Allah bersama dengan segenap sifatNya, yakni maha hidup, maha pemberi, dan sebagainya.
Mengapa Hamka menerjemahkan
ﺱ ﻔﻨ
menggunakan kata ‘diri’ bukan dengan kata ‘jiwa’? Penulis melihat bahwa ayat ini diawali dengan
ﻠﻋ ﺏ ﺘﻜ ﻰ
,
secara gramatikal tergolong verba perfektif fi’il mâdi, sehingga bermakna diri tuhan terlihat seperti bekerja. Oleh karena itu, kata diri lebih tepat digunakan
daripada kata jiwa, dikarenakan kata diri menegaskan dari sisi luar sedangkan jiwa
lebih condong menyatakan sisi dalamnya. Misal, makna jiwa itu menyangkut sifat-sifat tuhan sebagaimana yang disebut asmaul husna, dan makna diri di sini
menyatakan tuhan itu juga melakukan suatu hal. Jadi, penggunaan kata diri lebih tepat.
2. Kelas Partikel al-huruf
Berikut ini merupakan leksem homonimis yang kehomonimiannya sangat dipengaruhi oleh partikel al-huruf, sehingga pemaknaan yang terkandung
dalam leksem adalah Sisi Dalam Manusia yang Melahirkan Sesuatu. Surah Al-rad ayat 11
50
ﻢﹺ
ﻬِ ﺴﹸ
ﻔ ﻧﹶ
ﺄﹺ ﺑ ﺎ
ﻣ ﺍﻭ ﺮ
ﻴ ﻐ
ﻳ ﻰ ﺘ
ﺣ ﹴ ﻡ
ﻮﹶ ﻘﹺ
ﺑ ﺎ ﻣ
ﺮ ﻴ
ﻐ ﻳ ﺎﹶ
ﻟ ﻪﱠ
ﻠﻟﺍ ﱠ
ﻥﹺ ﺇ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada nafs mereka sendiri.”
Dalam ayat diatas,
ﺃ ﻡﻬﺴﻔﻨ
diterjemahkan Hamka dengan ‘nafs mereka sendiri’, memang agak terlihat rancu dari penerjemahan Hamka tersebut, leksem
ﺱ ﻔﻨ
diterjemahkan dengan nafs, seakan Hamka hanya menyerap kata
ﺱ ﻔﻨ
dari Bsu ke Bsa. Tidak adanya penggunaan kata lain dalam menerjemahkan kata
tersebut. Penulis melihat dalam ayat ini, kata
ﺱ ﻔﻨ
lebih tepat diterjemahkan dengan kata ‘diri’ dikarenakan dalam pemaknaan kata
ﺱ ﻔﻨ
di sini sebagai sesuatu yang dapat melahirkan sesuatu. Oleh sebab itu, kata ‘diri’ lebih tepat digunakan
karena pemaknaan
kata diri
itu merupakan
wadah yang
dapat melakukanmelahirkan sesuatu.
Kalimat
ﺎﻤ ﻡﻬﺴﻔﻨﺄﺒ
secara gramatikal tergolong dalam partikel al-harf dan secara relasional mengacu pada medan makna pronomina relatif karena
terdapat leksem
ﺎﻤ
yang menunjukan ‘sesuatu’ atau ‘apa’ dan leksem
ﺏ
masuk dalam golongan partikel preposisi harf jarr, yang berfungsi sebagai penegas
dari leksem
ﺱ ﻔﻨ
sehingga leksem
ﺱ ﻔﻨ
berperan penting dalam kalimat ini, yang menyatakan
ﺱ ﻔﻨ
itu sebagai pelaku utama dalam melahirkan atau menghasilkan sesuatu.
Jamridafrizal menegaskan bahwa dalam ayat ini terdapat dua kalimat yang menunjukan sesuatu pada kaum, yaitu kalimat
ﺎﻤ ﻡﻭﻘﺒ
dan
ﺎﻤ ﺒ
ﺄ ﻡﻬﺴﻔﻨ
dalam
51 kaidah bahasa Arab, huruf pada kalimat
ﺎﻤ ﻡﻭﻘﺒ
dan
ﺎﻤ ﺒ
ﺄ ﻡﻬﺴﻔﻨ
mengandung arti berita
ﺎﻤ ﺔﻴﺭﺒﺨ
. Jadi,
ﺎﻤ ﺒ
ﺄ ﻡﻬﺴﻔﻨ
artinya apa yang ada pada nafs atau sisi dalam mereka. Kandungan huruf dilihat pada konteks ayat tersebut berhubungan dari
ayat sebelum dan sesudahnya.
65
B. Homonimi Sebagian.
1. Berdasarkan perbedaan derivasi.
Pada proses ini, derivasi nomina menghasilkan leksem-leksem baru yang secara historis tidak diramalkan atau berbeda secara semantis. Seperti pada contoh
berikut ini:
a Surah al-Maidah ayat 32
ﹺ ﺽ
ﺭﹶ ﺄﹾ
ﻟﺍ ﻲ
ﻓ ﺩﺎ
ﺴﹶ ﻓ
ﻭﹶ ﺃ ﹴ
ﺲ ﹾ ﻔ
ﻧ ﹺ ﺮ
ﻴ ﻐﹺ
ﺑ ﺎ ﺴﹾ
ﻔ ﻧ ﹶ
ﻞ ﺘﹶ
ﻗ ﻦ
ﻣ
“bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena membunuh orang lain, atau berbuat kerusakan di bumi”
-
ﺱ ﻔﻨ
i
ﺎﺴﻔﻨ
‘seseorang’
-
ﺱ ﻔﻨ
ii ‘orang lain’
65
Jamridafrizal, tesis Nafs jiwa menurut konsep al-Qur’an, h. 9
52 Leksem
ﺱ ﻔﻨ
i
secara derivatif menghasilkan leksem infinitif
ﺎﺴﻔﻨ
‘seseorang’ merupakan homonimi sebagian berdasarkan derivasi. Sedangkan leksem
ﺱ ﻔﻨ
ii ‘orang lain’ bukan tergolong homonimi sebagian karena tidak mengalami derivasi.
Kata
ﺎﺴﻔﻨ
i diterjemahkan ‘seseorang’, dan kata
ﺱ ﻔﻨ
ii diterjemahkan ‘orang lain’, terlihat dalam tulisan seperti dua kata yang memiliki makna yang
berbeda, namun secara relasional keduanya mengacu kepada komponen makna objek tunggal yaitu satu orang, dan keduanya menyatakan orang lain bukan diri
sendiri. Pemaknaan totalitas manusia dalam ayat ini didasari pada kata
لﺘﻗ
membunuh, karena “membunuh” sesuatu yang dapat dilakukan manusia. Secara gramatikal kata
لﺘﻗ
tergolong dalam verba perfektif fi’il mâdi, sedangkan
ﺱ ﻔﻨ
di sini tergolong dalam partisip pasif objek.
Hamka berpendapat, kata nafs digunakan al-Qur’an untuk menyebut manusia sebagai totalitas, baik manusia sebagai makhluk yang hidup di dunia
maupun manusia yang hidup di alam akhirat. Misalnya menggunakan nafs untuk menyebut totalitas manusia di dunia, yakni manusia hidup yang bisa membunuh,
dibunuh, merusak, dan lain-lainnya. Hal inilah yang dimaksud dengan totalitas manusia.
66
66
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 14, h.105
53 Manusia bukan boneka yang digerakkan dari luar dirinya, tetapi di
dalam dirinya ada kekuatan yang menggerakkan sehingga seseorang mengerjakan suatu perbuatan tertentu. Faktor-faktor yang menggerakkan tingkah laku manusia
itulah yang dalam ilmu jiwa psikologi disebut sebagai motif. Menurut istilah psikologi mengandung pengertian penyebab yang diduga untuk suatu tindakan;
suatu aktivitas yang sedang berkembang, dan suatu kebutuhan. Dalam bahasa Arab, faktor-faktor penggerak tingkah laku itu disebut
ﺔﻴﺴﻔﻨﻝﺍ ﻊﻓﺍﻭﺩﻝﺍ
yang artinya dorongan-dorongan yang bersifat psikologis.
b Surah Yusuf ayat 53
ﻲّ ﹺ
ﺑ ﺭ
ﻢ ﺣ
ﺭ ﺎ ﻣ ﻻﹺ
ﺇ ِ ﺀﻮّ
ﺴﻟﺎﹺ
ﺑ ﹲ ﺓ
ﺭﺎّ
ﻣﻷ ﺲ ﹾ
ﻔّ
ﻨﻟﺍ ّ
ﹶ ﻥﹺ
ﺇ ﻲِ ﺴﹾ
ﻔ ﻧ
ﺉ ّ ﹺ
ﺮ ﺑﹸ
ﺃ ﺎ ﻣ
ﻭ
”dan tidaklah hendak aku membersihkan diriku, karena sesungguhnya nafsu itu membawa kepada kejahatan, kecuali orang-orang yang dikasihi tuhanku.”
-
ﻲﺴﻔﻨ
i
’diriku’ -
ﻝﺍ ﻨ
ﺱ ﻔ
ii
’nafsu’
ﻲﺴﻔﻨ
dan
ﻝﺍ ﻨ
ﺱ ﻔ
merupakan satu leksem yang berasal dari leksem
ﺱ ﻔﻨ
, namun dari kedua leksem tersebut berbeda maknanya, dikarenakan leksem
tersebut telah mengalami proses derivasi. Leksem
ﻲﺴﻔﻨ
i ’diriku’ partisif pasif dan secara derivatif berubah menjadi leksem partisif aktif, yakni
ﻝﺍ ﻨ
ﺱ ﻔ
ii ’nafsu’ sehingga kedua leksem tersebut mengalami perbedaan makna. Leksem
ﺱ ﻔﻨ
54 berupa
ﻲﺴﻔﻨ
i ’diriku’ dan
ﻝﺍ ﻨ
ﺱ ﻔ
ii ’nafsu’ merupakan homonimi sebagian karena proses derivasi.
Dari kata nafs dalam al-Qur’an, timbul kata nafsu yang dalam kata bahasa Indonesia telah berubah sama sekali artinya yang artinya syahwat, bersifat
pejoratif, berkonotasi seksual. Pada hal kata nafs yang bermakna nafsu sendiri itu sendiri bersifat netral, bisa baik dan buruk. Dalam kehidupan sehari-hari kita
mengenal kata nafsu yang dipahami sebagai daya yang terdapat dalam diri setiap manusia. Nafsu ini walaupun tidak tampak dirasakan kehadirannya ketika
seseorang terdorong dengan dukungan emosi atau perasaan yang kental, untuk bertindak dan memuaskan batinnya.
Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa nafs atau nafsu, emosi, memiliki kecenderungan terhadap kejelekan. Namun demikian emosi yang ada pada
manusia ibarat pisau bermata dua, emosi dapat membawa bencana, tetapi juga mendorong manusia mencapai puncak keilmuan yang sangat tinggi.
Walaupun al-Qur’an menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun Hamka mengisyaratkan bahwa pada hakikatnya potensi positif
manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara
kesucian nafs, dan tidak mengotorinya. Sebenarnya dalam al-Qur’an terdapat dua kata yang sama-sama
diartikan nafsu yaitu kata nafs itu sendiri dan hawa dan ahwa berarti hasrat desire, hawa nafsu lust. Dari sudut leksiologis kata tersebut bermakna
55 kecenderungan atau kecintaan kepada yang jelek, kecenderungan hati kepada
kejelekan. Al-Raghib menambahkan bahwa kecenderungan jiwa pada syahwat disebut al-hawa, karena ia menjatuhkan seseorang akan kehidupan dunia ini ke
dalam kecelakaan dan dalam kehidupan akhirat ke dalam neraka. Penulis melihat dari ayat di atas, Hamka menerjemahkan
ﺱ ﻔﻨ
hanya dengan kata nafsu, tidak ada tambahan kata lain sepert hawa atau syahwat
contoh: hawa nafsu, nafsu syahwat. Dikarenakan Hamka membedakan kata nafs yang berarti nafsu dengan kata hawa atau ahwa yang juga berarti nafsu. Nafs
nafsu bersifat netral, bisa baik atau buruk, sedangkan kata al-Hawa nafsu itu selalu bermakna menyimpang dari kebenaran. Biasanya kata al-Hawa dalam al-
Qur’an, penerjemah-penerjemah al-Qur’an menggunakan kata “hawa nafsu”. Jadi, terjemahan kata
ﺱ ﻔﻨ
oleh Hamka sudah tepat.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan