malaria
MAKALAH MANAJEMEN PENYAKIT BERBASIS WILAYAH
PENGENDALIAN PENYAKIT MALARIA DI WILAYAH BANJARNEGARA
OLEH KELOMPOK 3 :
ELVI SAHARA LUBIS 1706093782
FATHIMI 1706093870
DEVI OKTAVIANI 1706004101
LAILATUL QOMARIYAH 1706094122
ULI ROHATI SIREGAR 1706004966
WIDYANA SIREGAR 1706005054
YENNI SRI HANDAYANI 1706094772
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2017
(2)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Tentang “ Penyakit Malaria di Wilayah Banjarnegara ” untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah tepat pada waktunya.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen yang telah memberikan bimbingan kepada kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan, ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada teman – teman yang selalu memberikan motivasi dan dorongan dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari, bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan pada makalah ini. Hal ini karena keterbatasan kemampuan dari penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan serta wawasan bagi para pembaca.
Depok, 23 September 2017
(3)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... 1
KATA PENGANTAR... 2
DAFTAR ISI... 3
DAFTAR GAMBAR... 4
BAB 1 PENDAHULUAN……… 5
1.1. Latar Belakang... 5
1.2. Rumusan Masalah... 5
1.3. Tujuan... 5
1.4. Manfaat…………... 6
BAB 2 PEMBAHASAN 7 2.1 Definisi Malaria... 7
2.2. Nyamuk Anopheles... 7
2.3. Keadaan Geografis... 13
2.4. Kondisi Fisik Wilayah... 13
2.5. Kondisi Klimatologi... 14
2.6. Kondisi Sosial Penduduk dan Kebiasaan... 15
2.7. Teori Simpul... 16
BAB 3 PENUTUP………. 19
3.1 Kesimpulan…... ... 3.2 Saran…... ... 19 19 DAFTAR PUSTAKA…... 20
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Simpul Model Penyakit Malaria di Banjarnegara... 16
(4)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Malaria merupakan penyakit infeksi parasit utama didunia yang mengenai hampir 170 juta orang tiap tahunnya. Penyakit ini juga berjangkit dihampir 103 negara,
(5)
terutama negara-negara di daerah tropik dan subtropik. Di Indonesia, malaria tergolong penyakit menular yang masih bermasalah. Penyakit ini berjangkit disemua pulau di Indonesia, mulai dari dataran tinggi sampai dataran rendah, baik kota maupun desa. Lebih dari 40 juta penduduk indonesia bermukim di daerah malaria, sekitar 11 juta diantaranya tinggal di Jawa dan Bali (Mursito, 2002).
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium,sp dengan perantara nyamuk Anopheles, sp. Perkembangannya sangat dipengaruhi kondisi lingkungan, seperti tempat perkembangbiakan nyamuk (breeding places) yang memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak, berpotensi menggigit manusia dan menyebar (Clive, 2002). Penyakit ini dapat menyebabkan kematian dan berdampak pada menurunnnya produktivitas kerja serta ekonomi dalam masyarakat (Sachs, 2002).
Saat ini penyakit malaria masih terdapat di 100 negara di dunia, setiap tahun malaria menyebabkan kematian antara 1,1 juta - 2,7 juta penduduk dunia. Malaria masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, termasuk di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Banjarnegara adalah daerah endemis tinggi malaria di Jawa Tengah. Angka Kesakitan Malaria di Jawa Tengah dan di Kabupaten Banjarnegara dalam tiga tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Malaria sulit diberantas karena pengaruh lingkungan sangat besar, bersifat lokal spesifik dan tidak mengenal batas wilayah administrasi.
Untuk mendukung strategi kontrol malaria, diperlukan pengetahuan mengenai risiko penyakit, oleh karenanya kontrol malaria harus dirancang dan diatur sedemikan rupa dengan menggunakan berbagai intervensi. Hal ini dilakukan mengingat luasnya cakupan geografis malaria dan tingkat penularan dapat berbeda-beda tergantung pada faktor lingkungan setempat, kedekatan antara lokasi perkembangbiakan nyamuk dengan manusia, dan jenis nyamuk di wilayah tersebut (Gilles dan Peter, 2002), dengan demikian tindakan terhadap kontrol malaria tetap menantang bagi para peneliti dan pembuat kebijakan.
Proses kejadian penyakit malaria sangat penting untuk diketahui guna menentukan pada titik mana kita dapat melakukan manajemen penyakit. Atas dasar tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui patogenesis penyakit serta
(6)
faktor-faktor risiko yang berperan dalam meningkatkan kejadian penyakit malaria dalam perspektif lingkungan di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, penulis ingin mengetahui parameter-parameter yang mempengaruhi penyebaran malaria. Sehingga rumusan masalah dalam makalah ini adalah membahas pemodelan parameter penting pada penyebaran malaria untuk kemudian diketahui cara pengendalian dan pencegahan malaria di Indonesia, khusunya di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.
1.3. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Mengetahui penyebab tingginya angka kejadian malaria dilihat berdasarkan teori simpul kejadian penyakit
2. Memberikan cara-cara pengendalian dan pencegahan tingginya kasus malaria yang akan dilakukan berdasarkan teori simpul kejadian penyakit
1.4. Manfaat
Manfaat penyusunan makalah ini adalah kita dapat mengetahui upaya pengendalian dan pencegahan penyakit malaria yang semakin meluas. Selain itu penulisan ini juga bermanfaat untuk memperbanyak literatur mengenai faktor penyebaran malaria.
(7)
BAB 2 PEMBAHASAN 2.1. Definisi Malaria
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat intra selular dari genus plasmodium. Malaria pada manusia dapat disebabkan P.malariae, P.vivax, P.falciparum dan P. Ovale. Penularan malaria dilakukan oleh nyamuk betina dari genus Anopheles sp. Sekitar 400 spesies nyamuk Anopheles telah ditemukan 67 spesies yang dapat menularkan malaria dan 30 diantaranya ditemukan di indonesia. Selain oleh gigitan nyamuk, malaria dapat ditularkan secara langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar darah serta ibu hamil kepada bayinya (Harijanto, 2000).
Jenis spesies nyamuk yang menyebarkan penyakit malaria di wilayah Banjarnegara yakni An. maculatus, An. aconitus, dan An. Balabacensis (Munawar, 2005).Malaria sendiri diambil dari Bahasa Italia yaitu mal (buruk) dan area (udara) atau udara buruk karena banyak terdapat di daerah rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk. Penyakit malaria juga memiliki istilah lain, seperti demam roma, demam rawa, demam tropik, demam pantai, demam charges, demam kura, dan aludisme (Prabowo, 2008).
2.2 Etiologi Penyakit Malaria
Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus plasmodium. Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Penularan pada manusia dilakukan oleh nyamuk betina Anopheles sp. ataupun ditularkan langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar serta dari ibu hamil kepada janinnya (Widoyono, 2011). Malaria vivax disebabkan oleh p. vivax yang disebut juga sebagai malaria tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria malariae atau malaria kuartana. p. ovale merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan p. falciparum menyebabkan malaria falsiparum atau malaria tropika. Spesies terakhir
(8)
ini paling berbahaya, karena malaria yang ditimbulkannya dapat menjadi berat sebab dalam waktu singkat dapat menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di dalam organ-organ tubuh (Widoyono, 2011).
2.2. Hubungan Host, Agent, dan Environment
Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi antara “agen” atau faktor penyebab penyakit, manusia sebagai “penjamu” atau host, dan faktor lingkungan yang mendukung. Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai trias penyebab penyakit. 2.2.1 Host
1. Manusia (Host Intermediate)
Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria, tetapi kekebalan yang ada pada manusia merupakan perlindungan terhadap infeksi Plasmodium malaria. Kekebalan adalah kemampuan tubuh manusia untuk menghancurkan Plasmodium yang masuk atau membatasi perkembangannya. Ada dua macam kekebalan, yaitu:
a) Kekebalan Alami (Natural Immunity)
Kekebalan yang timbul tanpa memerlukan infeksi terlebih dahulu. b) Kekebalan didapat (Acquired Immunity) yang terdiri dari:
Kekebalan aktif (Active Immunity), yaitu kekebalan akibat dari infeksi sebelumnya atau akibat dari vaksinasi.
Kekebalan Pasif (Passive Immunity), yaitu kekebalan yang didapat melalui pemindahan antibodi atau zat-zat yang berfungsi aktif dari ibu kepada janin atau melalui pemberian serum dari seorang yang kekal penyakit. Terbukti ada kekebalan bawaan pada bayi baru lahir dari seorang ibu yang kebal terhadap malaria di daerah yang tinggi endemisitasnya.
Keadaan manusia dapat menjadi pengandung gametosit yang dapat meneruskan daur hidup nyamuk. Manusia ada yang rentan yaitu yang dapat tertular malaria, tapi ada juga yang kebal dan tidak mudah tertular malaria. Faktor manusia yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit malaria yaitu:
(9)
a. Umur
Anak-anak lebih rentan terhadap penyakit malaria dibandingkan orang dewasa. Anak-anak usia kurang dari 5 tahun adalah kelompok terbanyak yang berisiko terhadap malaria. Pertahanan tubuh terhadap malaria yang diturunkan penting untuk melindungi anak kecil atau bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk dan berkembang biaknya parasit malaria.
b. Jenis Kelamin
Infeksi parasit plasmodium dapat menyerang semua masyarakat dari segala golongan termasuk golongan yang paling rentan seperti wanita hamil. Ibu hamil yang anemia kemungkinan 8,56 kali menderita malaria falsiparum dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak anemia.
c. Pekerjaan
Pekerjaan yang tidak menetap atau dengan mobilitas yang tinggi berisiko lebih besar terhadap penyakit malaria, seperti tugas-tugas dinas di daerah endemis untuk jangka waktu yang lama sampai bertahun-tahun misalnya petugas medis, petugas militer, misionaris, pekerja tambang, dan lain-lain. Pekerjaan sebagai buruh perkebunan yang datang dari daerah yang non endemis ke daerah yang endemis belum mempunyai kekebalan terhadap penyakit di daerah yang baru tersebut sehingga berisiko besar untuk menderita malaria. Begitu pula pekerja-pekerja yang didatangkan dari daerah lain akan berisiko menderita malaria.
Menurut penelitian Dasril (2005) orang yang bekerja di luar rumah pada malam hari beresiko terhadap kejadian malaria sebesar 4,0 kali dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja di luar rumah pada malam hari.
d. Ras
Berbagai bangsa atau ras mempunyai kerentanan yang berbeda-beda (faktor rasial) terhadap penyakit malaria. Individu yang tidak mempunyai determinan golongan darah Duffy (termasuk kebanyakan negro Afrika) mempunyai resistensi terhadap Plasmodium vivax.
(10)
e. Riwayat Malaria
Kekebalan residual adalah kekebalan terhadap reinfeksi yang timbul akibat infeksi terdahulu dengan strain homolog spesies parasit malaria. Kekebalan ini menetap hanya untuk beberapa waktu.
f. Cara Hidup
Cara hidup sangat berpengaruh terhadap penularan malaria, seperti tidur tidak memakai kelambu, tidak menggunakan repelen nyamuk pada saat melakukan aktivitas di luar rumah dan pada saat sore hari, dan penggunaan insektisida yang tidak teratur di dalam rumah.
Menurut penelitian Dasril (2005) menyatakan bahwa orang yang tidak menggunakan obat anti nyamuk oles beresiko terhadap kejadian malaria sebesar 3,2 kali dengan orang yang menggunakan obat anti nyamuk oles ketika ke luar rumah pada malam hari.
Penggunaan kelambu berinsektisida dalam program pengendalian malaria adalah dalam rangka melindungi pemakai kelambu dari gigitan dan membunuh nyamuk yang hinggap pada kelambu untuk mencegah terjadinya penularan malaria. Kebiasaan tidak memakai kelambu menunjukkan ada hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria dengan resiko 2,08 lebih besar dibandingkan dengan yang memakai kelambu (Fitrianti, 2006). Hasil penelitian Sulistyo (2001) menunjukkan bahwa responden yang selama tidur tidak menggunakan kelambu mempunyai resiko 2,91 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang selama tidur menggunakan kelambu.
Penggunaan obat nyamuk bakar, semprot, oles maupun secara elektrik dapat mengurangi resiko terkena malaria. Dari hasil penelitian Fitrianti (2006) menunjukkan bahwa ada hubungan antara penggunaan obat anti nyamuk dengan kejadian malaria, dimana responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk beresiko 4,6 kali lebih besar untuk terkena malaria dibandingkan dengan responden yang menggunakan obat anti nyamuk.
g. Imunitas
Masyarakat yang tinggal di daerah endemis malaria memiliki kekebalan alami terhadap penyakit malaria. Di daerah endemi dengan transmisi malaria yang tinggi
(11)
hampir sepanjang tahun, penduduknya sangat kebal dan sebagian besar dalam darahnya terdapat parasit malaria dalam jumlah kecil. Selain itu, di daerah endemis malaria terdapat kekebalan kongenital (atau neonatal) pada bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan kekebalan tinggi.
h. Status gizi
Seorang penderita malaria yang mengalami gizi buruk akan mempengaruhi kerja farmakokinetik obat anti malaria seperti diare dan muntah menurunkan absorpsi obat. Selain itu, disfungsi hati menyebabkan metabolism obat menurun. Anak yang bergizi baik dapat mengatasi malaria berat dengan lebih cepat dibandingkan anak bergizi buruk.
i. Sosial budaya
Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya lebih bersifat eksofilik dan eksofagik akan memperbesar jumlah gigitan nyamuk. Penggunaan kelambu, kawat kasa pada rumah dan pengguna zat penolak nyamuk yang intensitasnya berbeda sesuai dengan perbedaan status sosial masyarakat akan mempengaruhi angka kesakitan malaria.
2. Nyamuk Anopheles (Host Defenitive)
Nyamuk Anopheles sp. sebagai penular penyakit malaria yang menghisap darah hanya nyamuk betina yang diperlukan untuk pertumbuhan dan mematangkan telurnya. Menurut Najera dan Zaim (2003), ada lebih kurang 60 spesies vektor malaria, dan 30 diantaranya sangat penting dalam penularan malaria. Di Indonesia terdapat lebih dari 90 jenis Anopheles, namun hanya beberapa jenis yang memiliki potensi untuk menularkan malaria. Meskipun di dunia ditemukan 400 spesies Anopheles dan hanya 67 yang terbukti mengandung sporozoit (Gunawan, 2000). Sampai saat ini jenis yang diketahui merupakan vektor utama di Indonesia adalah: An. aconitus, An. punctulatus, An. farauti, An. balabacencis, An. barbirostris, An. sundaicus, An. maculatus dan An. nigerrimus (Susana, 2011)
Klasifikasi nyamuk Anopheles sp. adalah sebagai berikut (Borror, dkk., 1992) :
(12)
Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Diptera Famili : Culicidae Sub famili : Anophelini Genus : Anopheles Spesies : Anopheles sp.
Adapun jenis-jenis nyamuk anopheles yang sering menyebabkan penyakit malaria, adalah:
a. Anopheles aconitus
Anopheles aconitus merupakan vektor utama malaria di daerah persawahan berteras. Baroji dalam Susana (2010) melaporkan bahwa An. aconitus menggigit orang di dalam rumah yang ada ternaknya (kerbau/ sapi), lebih tinggi daripada rumah yang tidak ada ternaknya. Puncak kepadatan tertinggi menggigit orang terjadi sebelum tengah malam yaitu antara pukul 18.00-22.00. Aktifitas dan kebiasaan nyamuk An. Aconitus untuk istirahat yaitu 72% ditemukan hinggap <75 cm dari dasar lantai (Tri Boewono dalam Susana, 2010). Jarak terbang nyamuk ini dapat mencapai 1,5 km.
Penularan malaria oleh An. aconitus berlangsung baik di luar maupun di dalam rumah. Meskipun dari hasil penangkapan nyamuk menunjukkan bahwa An. aconitus dominan menggigit di luar rumah, akan tetapi apabila pada malam hari tidak ada orang di luar rumah maka nyamuk akan masuk ke dalam rumah untuk mencari darah. Pada umumnya An. aconitus betina lebih tertarik menghisap darah ternak daripada manusia. Di daerah yang kandang ternaknya satu atap atau jumlah ternaknya relatif sedikit, indeks darah hasil uji presipitin cukup tinggi.
Nyamuk An. aconitus memiliki tempat perindukan utama di sawah dan saluran irigasi. Selain di sawah nyamuk ini juga ditemukan di tepi sungai yang airnya mengalir perlahan serta kolam air tawar yang agak alkalis.
(13)
Larva ditemukan di kolam yang teduh terutama pada kubangan hewan dan tempat-tempat yang airnya tidak selalu ada (Susana, 2011). Terkadang jentik nyamuk An. balabacensis juga ditemukan dalam jumlah besar di genangan air terbuka, agak teduh atau banyak terkena sinar matahari seperti bekas tapak roda kendaraan, macam-macam kubangan yang mempunyai dasar endapan lumpur dengan air yang jernih serta pada parit yang alirannya terhenti (Yudhastuti, 2006).
Nyamuk An. balabacensis betina lebih tertarik menghisap darah orang daripada binatang, baik di dalam maupun di luar rumah (Susana, 2011). Aktifitas mencari darah umumnya setelah tengah malam hingga pukul 04.00 pagi. Dari pengamatan yang dilakukan selama 24 bulan di Kalimantan Timur, ternyata pada malam hari spesies tersebut banyak ditemukan istirahat di dinding rumah baik sebelum maupun sesudah menghisap darah.
c. Anopheles barbirostris
Anopheles barbirostris lebih senang menghisap darah manusia, aktif sepanjang malam pada pukul 23.00-05.00, siang hari dapat ditangkap di luar rumah. Nyamuk ini beristirahat di luar rumah, di pohon kopi, pohon nenas dan tanaman lainnya. Habitat jentik nyamuk ini di saluran irigasi, kolam dan rawa-rawa. Menurut Hook dkk dalam Susana (2011), habitat An. barbirostris terdapat pada air hujan, sawah/ ladang dimana air ditumbuhi vegetasi.
d. Anopheles kochi
Larva ditemukan pada lokasi yang bervariasi terutama di air yang berlumpur seperti bekas jejak kaki binatang dan pematang sawah sehabis panen. Nyamuk dewasa beristirahat terutama di luar diantara vegetasi dekat tanah namun sewaktu-waktu ditemukan di dalam ruangan.
e. Anopheles maculatus
Anopheles maculatus berkembang biak di daerah pegunungan. Tempat perindukannya adalah sungai kecil dengan air jernih, mata air yang mendapat sinar matahari langsung dan terdapat tanaman air. Di kolam dengan air jernih juga ditemukan jentik nyamuk ini meskipun densitasnya rendah. Kepadatan An. maculatus terjadi pada musim kemarau, karena pada musim penghujan tempat perindukan nyamuk larut tergenang dan jauh berkurang akibat banjir.
(14)
Biasanya tempat perindukan nyamuk An. maculatus tidak luas, berupa genangan air di pinggir sungai yang terdapat sinar matahari, rembesan sawah yang airnya mengalir lambat (WHO dalam Susana, 2010).
Nyamuk An. maculatus betina lebih tertarik menghisap darah binatang daripada manusia. Aktifitas mencari darah pada malam hari mulai pukul 21.00-03.00. pada pagi hari An. maculatus beristirahat di luar rumah dan hinggap pada pohon kopi dan tanaman yang hidup di tebing yang curam.
f. Anopheles subpictus
Anopheles subpictus lebih suka darah ternak daripada manusia, aktif sepanjang malam dan hinggap di dinding sebelum dan sesudah menggigit. Habitat larva hampir sama dengan An. Sundaicus. Larva ditemukan di dekat pantai, nyamuk dewasa ditemukan di kandang ternak dan di dalam rumah tetapi hanya sebagian kecil yang menyerang manusia.
g. Anopheles sundaicus
Anopheles sundaicus lebih senang menghisap darah manusia daripada ternak serta aktif sepanjang malam. Perilaku istirahatnya bervariasi tetapi umumnya di dalam rumah dan lebih banyak ditangkap pada pakaian yang bergantungan. Jarak terbang nyamuk ini mencapai 3 km, habitat jentik pada air payau dan jentik berkumpul di tempat tertutup oleh tanaman atau yang mendapat sinar matahari langsung serta terdapat juga di tambak ikan dan galian sepanjang pantai An. sundaicus ditemukan di ekosistem pantai, dalam tambakdan air payau. Larva ditemukan pada kolam beralga dan kadang pada air kotor, juga ditemukan pada kolam berair jernih (Susana, 2011). Populasinya bertambah secara fluktuatif bertambah merespon variasi hujan. Nyamuk dewasa istirahat sepanjang hari di dalam dan di luar ruangan. Penebangan hutan bakau untuk dijadikan lahan perikanan jika tidak dikelola dengan baik akan membuka peluang untuk perindukan An. sundaicus. Semakin luas tersedianya kolam atau tambak, semakin luas pula tempat perindukan vektor tersebut.
h. Anopheles nigerrimus
Anopheles nigerrimus merupakan vektor malaria dan filariasis yang tersebar di asia pasifik. Anopheles nigerrimus di Indonesia merupakan nyamuk khas
(15)
pedalaman (island areas). Berdasarkan hasil NLC menunjukkan perilaku An. nigerrimus mencari makan bersifat eksofagik. Bruce-Chwatt dalam (Sushanti, 1994) melaporkan bahwa perilaku istirahat nyamuk tersebut bersifat eksofilik.
Anopheles mengalami metamorfosis sempurna yaitu stadium telur, larva, kepompong, dan dewasa yang berlangsung selama 7-14 hari. Tahapan ini dibagi ke dalam 2 (dua) perbedaan habitatnya yaitu lingkungan air (aquatik) dan di daratan (terrestrial). Nyamuk dewasa muncul dari lingkungan aquatik ke lingkungan terresterial setelah menyelesaikan daur hidupnya. Oleh sebab itu, keberadaan air sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup nyamuk, terutama masa larva dan pupa. Nyamuk Anopheles betina dewasa meletakkan 50-200 telur satu persatu di dalam air atau bergerombol tetapi saling lepas. Telur Anopheles mempunyai alat pengapung dan untuk menjadi larva dibutuhkan waktu selama 2 sampai 3 hari, atau 2 sampai 3 minggu pada iklim-iklim lebih dingin. Pertumbuhan larva dipengaruhi faktor suhu, nutrien, ada tidaknya binatang predator yang berlangsung sekitar 7 sampai 20 hari bergantung pada suhu. Kepompong 9 (pupa) merupakan stadium terakhir di lingkungan aquatik dan tidak memerlukan makanan. Pada stadium ini terjadi proses pembentukan alat-alat tubuh nyamuk seperti alat kelamin, sayap dan kaki. Lama stadium pupa pada nyamuk jantan antara 1 sampai 2 jam lebih pendek dari pupa nyamuk betina, karenanya nyamuk jantan akan muncul kira-kira satu hari lebih awal daripada nyamuk betina yang berasal dari satu kelompok telur. Stadium pupa ini memakan waktu lebih kurang 2 sampai dengan 4 hari.
Perilaku Nyamuk Anopheles sp. Nyamuk betina merupakan nyamuk yang aktif menggigit karena memerlukan darah untuk perkembangan telurnya. Pada saat nyamuk aktif mencari darah maka nyamuk akan terbang berkeliling untuk mencari rangsangan dari hospes yang cocok. Beberapa faktor seperti keberadaan hospes, tempat menggigit, frekwensi menggigit dan waktu menggigit merupakan hal dasar yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengamatan perilaku nyamuk menghisap darah. Berdasarkan obyek yang digigit (hospes), nyamuk dibedakan menjadi:
(16)
1. Nyamuk antrofilik, yaitu nyamuk yang lebih suka menghisap darah manusia.
2. Nyamuk zoofilik, yaitu nyamuk lebih suka menghisap darah hewan.
3. Nyamuk indiscriminate biter,yaitu nyamuk yang menghisap darah tanpa kesukaan tertentu terhadap hospes.
Nyamuk akan menghisap darah dari hospes lain yang tersedia apabila darah hospes yang disukai tidak ada. Hal ini disebabkan adanya suhu dan kelembaban yang dapat menyebabkan nyamuk berorientasi terhadap hospes tertentu dengan jarak yang cukup jauh dan adanya bau spesifik dari hospes (Depkes RI, 2004).
Selain berdasarkan objek yang digigit, berdasarkan tempat menggigitnya nyamuk juga dapat dibedakan menjadi:
1. Nyamuk eksofagik, yaitu nyamuk yang lebih suka menggigit di luar rumah.
2. Nyamuk endofagik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit di dalam rumah. Berdasarkan waktu menggigit, secara umum nyamuk Anopheles aktif mencari darah pada waktu malam hari, mulai dari senja hingga tengah 11 malam tetapi ada pula yang mulai tengah malam hingga menjelang pagi (Depkes RI, 2004).
Tempat Perindukan larva vektor malaria habitat nyamuk diklasifikasikan menjadi dua, yaitu habitat air mengalir dan habitat air menggenang. Habitat air mengalir, dapat berupa saluran air (parit atau selokan) yang mengalir lambat, dan sungai yang alirannya deras maupun lambat. Pada saluran irigasi biasanya tumbuh tanaman menjalar yang dapat menahan arus air. Jenis Anopheles sp. yang hidup dalam habitat seperti ini antara lain: Anopheles palmatus, Anopheles barbumbrosus, Anopheles vagus, Anopheles hunteri, Anopheles barbirostris, Anopheles sinensis, Anopheles nigerrimus, Anopheles sundaicus, Anopheles subpictus, dan Anopheles maculates (Mattingly, 1969) . Sedangkan habitat air menggenang dibagi dalam tiga kategori, yaitu: habitat air tanah, air bawah permukaan tanah, dan kontainer.
2.2.2 Agent (Parasit)
(17)
ordo Coccidiidae. Jenis parasit (plasmodium) sampai saat ini dikenal empat macam (species) parasit malaria yaitu:
1. Plasmodium Vivax
Plasmodium vivax akan memberikan intensitas serangan dalam bentuk demam setiap 3 hari sekali sehingga sering dikenal dengan istilah malaria tertian (malaria benigna). Jenis malaria ini tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia dan pada umumnya di daerah endemis mempunyai frekuensi tertinggi diantara spesies yang lain.Eritrosit yang dihinggapi parasit P. vivax mengalami perubahan yaitu menjadi besar, berwarna pucat dan tampak titik- titik halus berwarna merah yang bentuk dan besarnya sama (titik Schuffner). Masa tunas intrinsik berlangsung 12-17 hari.
2. Plasmodium Malariae
Plasmodium malariae adalah penyebab malaria malariae atau malaria kuartana karena serangan demam berulang pada tiap hari keempat. Penyakit malaria kuartana meluas meliputi daerah tropik maupun daerah subtropik. Frekuensi penyakit ini di beberapa daerah cenderung menurun. Eritrosit yang dihinggapi Plasmodium malariae tidak membesar atau ukuran dan bentuk eritrosit normal. Masa tunas intrinsik berlangsung 18 hari dan kadang-kadang sampai 30-40 hari.
3. Plasmodium Ovale
Plasmodium ovale mempunyai waktu demam yang lebih pendek dan biasanya bisa sembuh spontan. Masa tunas intrinsik sama seperti Plasmodium vivax, yaitu 12-17 hari. Plasmodium ovale dapat ditemukan di daerah tropik Afrika bagian barat, di daerah Pasifik Barat dan beberapa lain di dunia. Di Indonesia parasit ini terdapat di Pulau Owi sebelah selatan Biak Irian Jaya dan di Pulau Timor. Perubahan eritrosit yang terjadi yaitu eritrosit tampak oval dengan tepi bergerigi. Titik Schuffner menjadi lebih banyak.
4. Plasmodium Falciparum
Parasit ini ditemukan di daerah tropik terutama di Afrika dan Asia Tenggara sehingga disebut dengan penyebab malaria tropika (malaria maligna). Di Indonesia parasit ini tersebar di seluruh kepulauan. Spesies ini merupakan paling berbahaya karena penyakit yang ditimbulkannya dapat menjadi berat. Pada
(18)
malaria falciparum, eritrosit yang terinfeksi tidak membesar selama stadium perkembangan parasit. Namun, terjadi perubahan yang menyerupai bentuk pisang. 2.2.3 Environment (Lingkungan)
Lingkungan adalah segala sesuatu baik fisik, biologis maupun sosial yang berada di sekitar manusia yang bersifat tidak bernyawa misalnya air, tanah, kelembaban, udara, suhu, angin, rumah dan benda mati lainnya.
Lingkungan adalah lokasi dimana manusia dan nyamuk berada. Nyamuk berkembang biak dengan baik bila lingkungannya sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan. Faktor lingkungan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu lingkungan fisik, biologi dan sosial budaya (Depkes, 2003). Lingkungan adalah sebagai faktor ekstrinsik yang terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial yang dapat menyebabkan penyakit termasuk penyakit malaria (Mukono, 2009).
Nyamuk berkembang biak dengan baik apabila lingkungannya sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembang biak. Faktor lingkungan dapat dibagi empat kelompok, yaitu lingkungan fisik, kimiawi, biologi dan sosial budaya.
1. Faktor Fisik Lingkungan
a. Lingkungan fisik yang berhubungan dengan rumah tempat tinggal manusia Lingkungan fisik manusia yang erat hubungannya dengan status kesehatan adalah rumah sehat, yaitu memenuhi kebutuhan fisiologis, kebutuhan psikologis, memberi perlindungan dan pencegahan terhadap kecelakaan dalam rumah dan memberi pencegahan dan perlindungan terhadap penularan penyakit.
Menurut laporan WHO dalam Suwadera (2003) menyatakan bahwa lokasi tempat tinggal di sekitar tempat perkembangbiakan vektor serta desain dan konstruksi rumah dapat mengurangi kontak antara vektor dengan manusia sehingga memperkecil resiko yang ditularkan oleh vektor. Kualitas rumah tempat tinggal (desain dan bahan konstruksi) dan lokasi rumah berada pada daerah tempat perkembangbiakan nyamuk mempengaruhi masuknya nyamuk, tempat istirahat dan kontak vektor dengan manusia.
(19)
Kondisi fisik rumah sangat berkaitan dengan kejadian malaria, terutama yang berkaitan dengan jalur masuk dan keluar nyamuk terutama tidak terpasangnya kawat kasa pada ventilasi yang dapat mempermudah nyamuk masuk ke dalam rumah. Langit-langit atau pembatas ruangan dinding bagian atas dengan atap yang terbuat dari kayu, internit maupun anyaman bambu halus sebagai penghalang masuknya nyamuk ke dalam rumah dilihat dari ada tidaknya langit-langit pada semua atau sebagian ruangan rumah. Kualitas dinding yang tidak rapat jika dinding rumah terbuat dari anyaman bambu kasar ataupun kayu/papan yang terdapat lubang lebih dari 1,5 mm² akan mempermudah nyamuk masuk ke dalam rumah (Darmadi, 2002).
Dinding rumah sebaiknya tidak berlubang karena akan menjadi tempat keluar masuknya nyamuk dan hewan lainnya. Beberapa nyamuk lebih senang menggigit di dalam rumah dan ada yang suka menggigitdi luar rumah kemudian istirahat di dinding rumah atau tempat gelap. Dinding rumah yang terbuat dari kayu paling disenangi oleh nyamuk (Achmadi, 2008).
Sebagian besar kasus malaria terjadi berasal dari penderita yang dinding rumahnya tidak sempurna (terdapat lubang kecil), tidak mempunyai kamar tidur serta konstruksi rumah yang bermutu rendah. Konstruksi rumah terutama dinding sangat berkaitan dengan kegiatan penyemprotan. Hal ini penting diperhatikan mengingat insektisida yang disemprotkan ke dinding rumah akan menyerap ke dinding rumah sehingga pada waktu nyamuk hinggap di dinding tersebut akan mati akibat kontak dengan insektisida tersebut.
Lingkungan rumah yang sehat harus memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit, memiliki tanaman, memiliki jalan lingkungan dan jika ada jembatan harus diberi pagar. Rumah tinggal yang sehat harus memenuhi syarat bangunan yang terbuat dari bahan yang tidak melepas bahan-bahan yang membahayakan, tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tempat pertumbuhan mikroorganisme, lantai kedap air dan mudah dibersihkan, memiliki ventilasi minimal 10% dari luas bangunan, tidak ada tikus bersarang, tersedia sarana air bersih, limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari sumber air. Lingkungan rumah yang ideal bukanlah sekedar bangunan tempat
(20)
berlindung, sebuah rumah harusnya menjadi tempat yang bebas dari gangguan hama, polusi dan penyakit. Lingkungan tempat tinggal yang kumuh serta sanitasi buruk umumnya menjadi penyebab utama berjangkitnya penyakit malaria, karena parit-parit, persawahan, empang, genangan air merupakan tempat bersarangnya nyamuk Anopheles (Soemirat, 2002). Jarak rumah yang berdekatan (berjarak sekitar 2 km) dengan tempat perindukan nyamuk (sungai, lagun, rawa-rawa) dan tempat peristirahatan nyamuk (hutan, kandang hewan) beresiko terhadap kejadian malaria. Untuk menghindari gigitan nyamuk pada malam hari, maka rumah dengan ventilasi yang telah terpasang kawat kasa atau bahan penutup lainnya akan memberi perlindungan terhadap gigitan nyamuk.
b. Lingkungan fisik yang berhubungan dengan perkembangbiakan nyamuk Anopheles
Faktor lingkungan fisik yang berhubungan dengan perkembangbiakan nyamuk Anopheles sebagian besar berkaitan dengan aspek iklim.
1. Suhu
Secara umum, nyamuk Anopheles lebih menyukai temperatur yang tinggi jika dibandingkan dengan jenis Culicinae. Hal ini menyebabkan jenis Anopheles lebih sering dijumpai di daerah tropis. Suhu air sangat mempengaruhi perkembangbiakkan larva ditempat hidupnya (Takken, 2008).
Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah namun proses metabolismenya menurun bahkan terhenti bila suhu turun sampai suhu kritis dan pada suhu yang sangat tinggi akan mengalami perubahan proses fisiologisnya. Suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25o -27oC. Toleransi suhu
bergantung pada jenis nyamuknya, biasanya pada suhu 5o -6 oC spesies nyamuk
tidak dapat bertahan hidup. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang dari 15-10o C atau lebih dari 40o C.
Nyamuk termasuk hewan berdarah dingin sehingga siklus hidup dan proses metabolismenya tergantung pada suhu lingkungan. Pada tempat-tempat yang bersuhu lebih rendah dari 15o C hampir tidak mungkin terjadi penularan
malaria meskipun nyamuk yang biasa menjadi vektor terdapat dalam jumlah yang besar. Selain berpengaruh pada vektor, suhu udara juga mempengaruhi pertumbuhan parasit di dalam tubuh vektor.
(21)
2. Kedalaman Air
Larva Anopheles hanya mampu berenang ke bawah permukaan air paling dalam 1 meter dan tingkat volume air akan dipengaruhi curah hujan yang cukup tinggi yang akan memperbesar kesempatan nyamuk untuk berkembang biak secara optimal pada kedalaman kurang dari 3 meter (Depkes RI. 2001).
3. Curah Hujan
Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles. Hujan menyebabkan naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah tempat perkembangbiakan (breeding places) dan terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh bergantung pada jenis dan derasnya hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Curah hujan yang cukup tinggi dalam jangka waktu yang lama akan memperbesar kesempatan perkembangbiakkan nyamuk secara optimal (Depkes RI, 2001).
4. Kelembaban Nisbi Udara
Kelembaban nisbi udara merupakan banyaknya kandungan uap air dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban yang rendah tidak mempengaruhi parasit nyamuk namun dapat memperpendek umur nyamuk. Tingkat kelembaban paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk adalah 60 %. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk dapat menjadi lebih sering menggigit dan lebih aktif sehingga meningkatkan penularan malaria. Cara hidup nyamuk dipengaruhi kelembaban udara, dengan beradaptasi pada keadaan lembab yang tinggi dan pada suatu ekosistem kepulauan atau ekositem hutan.
5. Kecepatan Angin
Kecepatan angin 11-14 m/detik atau 25-31 mil/jam dapat menghambat penerbangan nyamuk. Angin berpengaruh pada penerbangan nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dengan manusia (Harijanto, 2000) dan juga mempengaruhi jarak terbang nyamuk. Jarak terbang nyamuk dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung dari arah angin. Angin yang kencang dapat membawa Anopheles terbang sejauh 30 km atau lebih.
6. Ketinggian
Secara umum, malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah pada ketinggian di atas 2000 m jarang ada transmisi malaria. Jika perbedaan tempat cukup tinggi, maka perbedaan suhu udara juga cukup banyak dan mempengaruhi
(22)
faktor-faktor yang lain, termasuk siklus pertumbuhan parasit di dalam nyamuk, penyebaran nyamuk, dan musim penularan.
7. Sinar Matahari
Pengaruh sinar matahari dapat berbeda-beda terhadap pertumbuhan larva nyamuk. Beberapa jenis Anopheles menyukai tempat yang terbuka dan tempat yang teduh. An. punctulatus dan An. hyrcanus lebih menyukai tempat yang terbuka sedangkan An. sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh, dan An. barbirostis dapat hidup baik ditempat yang terbuka maupun yang teduh (Harijanto, 2000).
2. Faktor Kimia Lingkungan
Lingkungan kimiawi adalah bagian dari lingkungan yang terdiri dari bahan kimia, mencakup seluruh gejala kimia yang terjadi di lingkungan, baik yang ditimbulkan oleh proses alamiah atau hasil aktivitas manusia yang berlebihan.
Lingkungan kimiawi (kadar garam dan pH air) di tempat perindukan berpengaruh terhadap nyamuk pra dewasa pada stadium akuatik. An.sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12-18% dan tidak berkembang pada kadar garam >40%. An.letifer dapat hidup di tempat dengan pH air yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Syarif (2003) menjelaskan bahwa larva Anopheles memiliki toleransi terhadap pH antara 7,91 sampai dengan 8,09, hal ini juga didukung oleh penelitian Raharjo dkk (2003) dimana pH tempat perindukan nyamuk Anopheles pada musim kemarau berkisar antara 6,8 – 8,6. Effendi (2003) juga menjelaskan bahwa sebagian besar biota akuatik menyukai pH antara 7- 8,5. Berdasarkan karakteristik lingkungan bahwa pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi jasad renik. Perairan asam kurang baik untuk perkembangbiakan bahkan cenderung mematikan organisme. Pada pH rendah (keasaman yang tinggi) kandungan oksigen terlarut akan berkurang sebagai akibat konsumsi oksigen menurun dan menjadi penyebab matinya organisme air.
(23)
Lingkungan biologi adalah segala sesuatu yang bersifat hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, termasuk mikroorganisme. Lingkungan biologi sebagai tempat perindukan vektor adalah lingkungan flora (tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan tumbuhan lainnya yang dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk lainnya, dan lingkungan fauna (ikan pemakan larva, ternak besar) berkaitan dengan jumlah gigitan nyamuk.
Tanaman air bukan saja menggambarkan sifat fisik, tetapi juga menggambarkan susunan kimia dan suhu air misalnya pada lagun banyak ditemui lumut perut ayam (Heteromorpha) dan lumut sutera (Enteromorpha) kemungkinan dilagun tersebut ada larva An. Sundaicus.
Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (Plocheilus panchax Panchax sp), Gambusi sp, Oreochromis niloticus (nila merah), Oreochromis mossambica (mujair), akan mempengaruhi populasi.
4. Lingkungan sosial ekonomi-budaya
Lingkungan sosial ekonomi-budaya merupakan salah satu faktor lingkungan yang besar pengaruhnya terhadap penularan penyakit malaria. Yang termasuk dalam lingkungan sosial ekonomi adalah status kepemilikan rumah, status pendidikan, penghasilan, gizi dan tempat perindukan buatan manusia (pembangunan bendungan, penambangan, pemukiman baru). Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor lingkungan sosial-budaya adalah yang berkaitan dengan perilaku atau gaya hidup yaitu kebiasaan berada di luarrumah pada malam hari, dimana vektornya lebih bersifat eksofili dan eksofagi, penggunaan kelambu dan pemasangan kawat kasa pada ventilasi, persepsi masyarakat serta penggunaan repellent. Pengaruh faktor ini seringkali lebih besar dibandingkan dengan faktor lainnya dalam penularan penyakit malaria.
Upaya pencegahan penyakit malaria salah satunya adalah melalui pendidikan kesehatan masyarakat, dan tujuan akhir dari pendidikan kesehatan masyarakat adalah perubahan perilaku yang belum sehat menjadi perilaku sehat, artinya perilaku yang mendasarkan pada prinsip-prinsip sehat atau kesehatan.
(24)
menggunakan strategi yang tepat disesuaikan dengan kelompok sasaran dan permasalahan kesehatan masyarakat yang ada. Strategi tersebut mencakup metode/cara, pendekatan dan tekhnik yang mungkin digunakan untuk mempengaruhi faktor predisposisi, pemungkin dan penguat yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi perilaku. Strategi yang tepat agar masyarakatmudah dan cepat menerima pesan diperlukan alat bantu yang disebut peraga. Semakin banyak indera yang digunakan untuk menerima pesan semakin banyak dan jelas pula pengetahuan yang diperoleh. Praktik atau perilaku keluarga terhadap upaya mengurangi gigitan nyamuk malaria adalah:
a. Kebiasaan menggunakan kelambu
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menggunakan kelambu secara teratur pada waktu malam hari dapat mengurangi kejadian malaria. Penduduk yang tidak menggunakan kelambu mempunyai resiko 6,44 kali terkena malaria.
b. Kebiasaan menghindari gigitan nyamuk
Untuk menghindarigigitan nyamuk digunakan obat semprot, obat poles atau obat nyamuk bakar sehingga memperkecil kontak dengan nyamuk.
c. Kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari
Nyamuk penular malaria mempunyai keaktifan menggigit pada malam hari. Menurut Lestari (2007) nyamuk Anopheles paling aktif mencari darah pukul 21.00-03.00.
2.3. Keadaan Geografi Kabupaten Banjarnegara
Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang letaknya berada pada jarak 120 Km ke arah Barat dari Ibu Kota propinsi. Secara Astronomi terletak diantara 70.12’–70.31’Lintang Selatan dan
1090.29’–1090.45’.50’’Bujur Timur. Dibatasi oleh 4 Kabupaten di sebelah Utara
Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang, Timur Kabupaten Wonosobo, Selatan Kabupaten Kebumen, dan Barat Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas.
Dengan luas wilayah kurang lebih 1,069.71 Km2 atau 106.970,997 Ha atau
(25)
Secara administratif Banjarnegara terbagi dalam 20 kecamatan, 266 desa, dan 12 kelurahan. Daerah yang terluas adalah Kecamatan Punggelan dengan luas 108,84 Km2 atau sekitar 10,1 % dari luas total Wilayah Kerja Banjarnegara.
Sedangkan Kecamatan Purworejo Klampok merupakan memiliki wilayah paling kecil yaitu hanya seluas 21.87 Km2 atau sekitar 1,6 %.
2.3.1 Kondisi Fisik Wilayah
Kondisi fisik wilayah Kabupaten Banjarnegara dapt diliat dari aspek bentukan alam dan topografi, kondisi geologi, kondisi hidrologi atau kondisi air tanah dan air permukaan serta kondisi klimatologi.
Bentukan Alam dan Topografi Bila ditinjau dari bentuk tata alam dan penyebaran geografis, maka Kabupaten Banjarnegara dapat digolongkan dalam tiga wilayah yaitu:
a. Bagian utara, terdiri dari daerah pegunungan Kendeng dengan relief bergelombang dan curam, bagian ini meliputi wilayah Kecamatan Kalibening, Karangkobar, Pagentan, Pejawaran, Batur, Madukara, Banjarmangu dan Punggelan;
b. Bagian tengah, terdiri wilayah dengan relief yang datar merupakan lembah sungai Serayu yang subur mencakup sebagian wilayah Kecamatan Banjarnegara, Madukara, Bawang, Purwonegoro, Mandiraja, Purworejo Klampok, Susukan, Rakit, Wanadadi dan Banjarmangu;
c. Bagian selatan, terdiri dari wilayah dengan relief yang curam merupakan bagian dari pegunungan Serayu meliputi Kecamatan Banjarnegara, Bawang, Purwonegoro, Mandiraja Purworejo Klampok dan Susukan. Kabupaten Banjarnegara mempunyai ketinggian yang bervariasi, meskipun kebanyakan berada pada ketinggian 100 m dpl karena letaknya yang berada pada jalur pegunungan; yang sebagian besar berada pada ketinggian 100– 500 mdpl (37,04%); 500–1.000 mdpl (28,74%); dan >1.000 mdpl (24,4%) sedangkan wilayah dengan ketinggian kurang dari 100 mdpl hanya seluas 9,82% saja.
(26)
2.3.2 Kondisi Klimatologi
Kondisi klimatologi Kabupaten Banjarnegara seperti halnya kebanyakan wilayah di Indonesia yang beriklim tropis, dengan bulan basah umumnya lebih banyak daripada bulan kering. Temperatur udara berkisar antara 20–26ºC, temperatur terdingin yaitu 3–18ºC dengan temperatur terdingin tercatat pada musim kemarau di Dataran Tinggi Dieng. Kelembaban udara berkisar antara 80%–85 % dengan curah hujan tertinggi rata-rata 3.000 mm/tahun. Semakin tinggi tempat itu dari permukaan air laut, maka curah hujan dan frekuwensi hujannya semakin tinggi. Pada umumnya bulan basah terjadi antara bulan September–Maret, sedangkan bulan kering berkisar antara April–Agustus. Puncak musim hujan berada pada bulan Desember–Januari. Kabupaten Banjarnegara bagian Utara merupakan wilayah yang memiliki curah hujan yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah tengah maupun selatan.
2.3.3 Kondisi Sosial Penduduk dan Kebiasaan
Kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan berpengaruh pada budaya. Salah satunya adalah kebiasaan memelihara ternak di sekitar rumah. Kondisi ini berpengaruh terhadap populasi nyamuk vektor malaria. Keberadaan ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia apabila kandang hewan tersebut tidak menyatu dengan rumah tempat tinggal (Harijanto, 2000).
Perilaku masyarakat Banjarnegara yang sering keluar pada malam hari ke rumah tetangga maupun hanya duduk di depan rumah dengan pakaian tidak tertutup dapat memperbesar peluang kontak dengan nyamuk. Masyarakat desa endemis di Kabupaten Banjarnegara mempunyai kebiasaan berkumpul di warung atau di rumah tetangga pada malam hari hanya sekedar untuk berkumpul di teras rumah. Pada daerah endemis kebiasaan masyarakat berkumpul dengan tetangga atau kerabat di teras rumah atau warung pada malam hari, lebih berisiko terinfeksi malaria dari pada yang tidak mempunyai kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari.
(27)
Gambar 1. Simpul Model Penyakit Malaria di Banjarnegara
Simpul 1 : Sumber Penyakit
Agent penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui kontak secara langsung atau melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan).
Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hanya disebarkan oleh nyamuk Anopheles betina. Ada banyak sekali jenis parasit Plasmodium, tapi hanya lima jenis yang menyebabkan malaria pada manusia. Parasit masuk ke dalam aliran darah manusia melalui gigitan nyamuk. Gigitan ini lebih sering terjadi pada malam hari. Setelah terjadi gigitan nyamuk, parasit akan masuk ke aliran darah dan bergerak ke organ hati. Infeksi akan terjadi dan berkembang di organ hati. Dari situ, parasit akan masuk kembali ke aliran darah dan menyerang sel darah merah. Parasit akan memanfaatkan sel darah merah sebagai tempat berkembang biak. Jika sel darah merah sudah penuh terisi dengan parasit malaria, sel tersebut akan meletus sehingga lebih banyak lagi parasit yang tersebar di dalam aliran darah. Sel darah merah yang terinfeksi meletus tiap dua hingga tiga
(28)
hari. Ketika ini terjadi, penderita akan mengalami gejala seperti demam, menggigil, dan berkeringat.
Simpul 2 : Media transmisi penyakit
Komponen lingkungan berperan dalam patogenesis penyakit, karena dapat memindahkan agent penyakit. Komponen lingkungan yang lazim dikenal sebagai media transmisi adalah: udara, air, makanan, binatang, dan manusia / secara langsung.
Penyebaran penyakit malaria melalui nyamuk Anopheles sp yang menggigit penderita malaria, kemudian nyamuk tersebut memindahkan plasmodium ke orang sehat melalui gigitan nyamuk Anopheles tersebut. Penyebaran malaria tidak akan terjadi bila tidak ada penderita malaria, karena meskipun nyamuk menggigit puluhan orang tetapi jika nyamuk tersebut tidak mengandung plasmodium yang menyebakan malaria, tidak akan timbul penyakit malaria. Demikian pula bila banyak penderita malaria tetapi tidak ada nyamuk Anopheles sebagai media transmisi plasmodiumnya tidak ada, tidak akan terjadi penyakit malaria.
Simpul 3 : Komunitas (perilaku, umur, gender )
Agent penyakit dapat masuk ke dalam tubuh manusia karena adanya kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung bahaya penyakit (agen penyakit) atau disebut dengan perilaku pemajanan. Jumlah kontak pada setiap orang berbeda satu sama lain karena ditentukan oleh perilakunya. Perilaku orang akan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, dan lain sebagainya. Namun, apabila kesulitan mengukur besarnya agen penyakit yang kontak maka dapat dikur dengan cara tidak langsung yang disebut sebagai biomarker atau tanda biologi.
Pada simpul 3 diamati masyarakat dengan berbagai karakteristiknya, termasuk biomarker yang menunjukkan adanya kontak serta berbagai variabel lain yang menunjukkan pola kebiasaan, perilaku dan dinamika transmisi atau penularan (Achmadi, 2008).
Adapun perilaku masyarakat yang mempengaruhi kejadian malaria, adalah:
(29)
a. Kebiasaan berada di luar rumah sampai larut malam, pada waktu itu musim kemarau sehingga kebiasaan warga untuk mencari air dan mengantri sampai malam hari di dimana nyamuk Anopheles sp bersifat eksofilik dan eksofagik. b. Selain itu kebiasaan berada di luar rumah sampai larut malam, terutama kaum laki-laki dewasa dengan tidak memakai baju atau bertelanjang dada dan tidak menggunakan lotion anti gigitan nyamuk dimana nyamuk Anopheles sp bersifat eksofilik dan eksofagik.
c. Pemakaian kelambu dan atau lotion anti nyamuk pada waktu tidur malam hari terutama di daerah endemis malaria
Simpul 4 : Dampak kesehatan (Sehat / sakit)
Kejadian penyakit adalah outcome dari adanya hubungan antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Seseorang dikatakan sakit apabila salah satu maupun bersama mengalami kelainan dibandingkan dengan rata-rata masyarakat lainnya.
Simpul 4 pada dasarnya merupakan pengukuran kasus malaria yang terjadi. Ukuran, teknik dan metode yang digunakan untuk mengukur simpul 4 sama dengan yang digunakan untuk mengukur simpul 1 (Achmadi, 2008).
Adapun gejala penyakit malaria yang mungkin terjadi apabila seseorang positif terkena malaria, adalah: demam tinggi, sakit kepala, keringat dingin, mual dan muntah-muntah, nyeri otot, diare, anemia, dan kejang.
Simpul 5. Variabel Suprasistem
Kejadian penyakit masih dipengaruhi oleh kelompok variabel simpul 5 yakni variabel iklim, cuaca, topografi dan lainnya. Variabel ini harus diperhitungkan dalam upaya manajemen penyakit.
Dalam proses patogenesis penyakit malaria, terdapat variabel yang memiliki peran besar baik terhadap vektor atau variabel kependudukan. Berbagai faktor tersebut termasuk dalam simpul 5 yakni variabel yang berperan mempengaruhi simpul 1, simpul 2 dan simpul 3. Variabel-variabel tersebut adalah suhu lingkungan, kelembapan, curah hujan, topografi peruntukan lahan yaitu ekosistem alami dan ekosistem buatan (Achmadi, 2008).
(30)
Teori simpul (Achmadi, 2008) mengindikasikan bahwa Manajemen penyakit menular secara paripurna, harus memperhatikan sumber penularan (simpul 1), penyehatan lingkungan, yakni media transmisi atau media penularan (simpul 2), pencegahan individu, seperti imunisasi, penggunaan masker dll (simpul 3) dan deteksi kasus serta pengobatan (simpul 3 dan 4). Dalam hal penyakit menular simpul 1 adalah sumber penularan, sekaligus juga penderita (simpul 1 sekaligus bermakna simpul 4). Menghilangkan sumber atau deteksi kasus secara tepat, dan pengobatan secara baik dapat dianggap sebagai upaya pencegahan yang efektif. 2.5 Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Malaria
2.5.1 Pengendalian Malaria
Penanggulangan malaria seharusnya ditujukan untuk memutuskan rantai penularan antara host, agent dan environment. Pemutusan rantai penularan ini harus ditujukan kepada sasaran yang tepat, yaitu:
1. Pemberantasan Vektor
Penanggulangan vektor dilakukan dengan cara membunuh nyamuk dewasa (penyemprotan rumah dengan Insektisida). Dengan di bunuhnya nyamuk maka parasit yang ada dalam tubuh, pertumbuhannya di dalam tubuh tidak selesai, sehingga penyebaran/transmisi penyakit dapat terputus (Depkes RI, 2003). Demikian juga kegiatan anti jentik dan mengurangi atau menghilangkan tempat perindukan, sehingga perkembangan jumlah (Density) nyamuk dapat dikurangi dan akan berpengaruh terhadap terjadinya transmisi penyakit malaria (Depkes RI, 2003).
2. Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor malaria dilaksanakan berdasarkan pertimbangan, Rational, Effective, Efficient, Sustainable, dan Acceptable yang sering disingkat RESA yaitu:
A. Rational
Lokasi kegiatan pengendalian vektor yang diusulkan memang terjadi penularan (ada vektor) dan tingkat penularannya memenuhi kriteria yang
(31)
ditetapkan, antara lain wilayah pembebasan desa dan ditemukan penderita indegenius dan wilayah pemberantasan PR > 3%
B. Effective
Dipilih salah satu metode / jenis kegiatan pengendalian vektor atau kombinasi dua metode yang saling menunjang dan metode tersebut dianggap paling berhasil mencegah atau menurunkan penularan, hal ini perlu didukung oleh data epidemiologi dan laporan masyarakat.
C. Sustainable
Kegiatan pengendalian vektor yang di pilih harus dilaksanakan secara berkesinambungan sampai mencapai tingkat penularan tertentu dan hasil yang sudah di capai harus dapat dipertahankan dengan kegiatan lain yang biayanya lebih murah, antara lain dengan penemuan dan pengobatan penderita.
D. Acceptable
Kegiatan yang dilaksanakan dapat diterima dan didukung oleh masyarakat setempat (Depkes RI, 2005). Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian vektor adalah sebagai berikut (Anies, 2006):
a. Penyemprotan rumah, penyemprotan dilakukan pada semua bangunan yang ada, pada malam hari digunakan sebagai tempat menginap atau kegiatan lain, masjid, gardu ronda, dan lain-lain.
b. Larva Ciding adalah kegiatan anti larva yang dilakukan dengan cara kimiawi, kegiatan ini di lakukan di lingkungan yang memiliki banyak tempat perindukan yang potensial (Breeding Places). Yang dimaksud dengan tempat perindukan adalah genangan air di sekitar pantai yang permanen, genangan air di muara sungai yang tertutup pasir dan saluran dengan aliran air yang lambat.
c. Biological control adalah kegiatan anti larva dengan cara hayati (pengendalian dengan ikan pemakan jentik), dilakukan pada desa-desa di mana terdapat banyak tempat perindukan vektor potensial dengan ketersediaan air sepanjang tahun, seperti mata air, anak sungai, saluran air persawahan, rawa-rawa daerah pantai dan air payau, dll.
(32)
d. Pengolahan lingkungan adalah kegiatan-kegiatan yang mencakup perencanaan, pelaksanaan dan pengamatan kegiatan modifikasi dan manipulasi faktor lingkungan dan interaksinya dengan manusia untuk mencegah dan membatasi perkembangan vector dan mengurangi kontak antara manusia dan vektor (Depkes RI, 2005).
e. Kelambunisasi adalah pengendalian nyamuk Anopheles sp. secara kimiawi yang digunakan di Indonesia. Kelambunisasi adalah penggunaan kelambu yang terlebih dahulu dicelup dengan insektisida permanent 100EC yang berisi bahan aktif permethrin.
f. Irigasi berkala adalah cara pemberian air irigasi ke lahan sawah tidak secara terus menerus melainkan berselang seling. Irigasi Berkala dapat diterapkan di daerah persawahan dengan melihat umur tanaman padi yang memiliki potensi yang cukup tinggi sebagai tempat berkembangbiaknya larva nyamuk Anopheles spp. Sistem bercocok tanam padi yang berbeda-beda akan mempengaruhi perkembangbiakan larva nyamuk tersebut (Marsaulina, 2002). g. Penemuan dan Pengobatan Penderita Malaria
1) Mencari Penderita Malaria
Salah satu cara memutuskan penyebaran penyakit malaria adalah dengan menemukan penderita sedini mungkin baik dilakukan secara aktif oleh petugas yang mengunjungi rumah secara teratur (Active Case detection) maupun dilakukan secara pasif (Passive Case Detection), yaitu memeriksa semua pasien yang berkunjung ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), yaitu Polindes, Pustu, Puskesmas dan Rumah Sakit baik swasta maupun pemerintah yang menunjukkan gejala malaria dan dilakukan pengambilan darah untuk diperiksa di laboratorium.
2) Pengobatan Penderita Malaria
Beberapa cara dan jenis pengobatan terhadap penderita yaitu: b. Pengobatan Malaria Klinis
(33)
Pengobatan diberikan berdasarkan gejala klinis dan bertujuan untuk menekan gejala klinis dan membunuh gamet untuk mencegah terjadinya penularan.
c. Pengobatan Radikal
Pengobatan diberikan dengan pemeriksaan laboratorium positif malaria d. Pengobatan Massal (Mass Drug Administration= MDA)
Pemberian pengobatan malaria klinis kepada semua penduduk (>80%) di daerah KLB sebagai bagian dari upaya penanggulangan KLB malaria. e. Pengobatan kepada Penderita Demam (Mass Fever Treatment= MFT)
Dilakukan untuk mencegah KLB dan penanggulangan KLB, yaitu diulang setiap 2 minggu setelah pengobatan MBA sampai penyemprotan selesai.
2.5.2 Pencegahan Malaria
Pencegahan sederhana dapat dilakukan oleh masyarakat, antara lain: 1. Menghindari atau mengurangi gigitan nyamuk malaria, dengan cara tidur
memakai kelambu, tidak berada di luar rumah pada malam hari, mengolesi badan dengan lotion anti nyamuk, memasang kawat kasa pada jendela. 2. Membersihkan tempat sarang nyamuk, dengan cara membersihkan
semak-semak di sekitar rumah dan melipat kain-kain yang bergantungan, mengusahakan di dalam rumah tidak gelap, mengalirkan genangan air serta menimbun nya.
3. Membunuh nyamuk dewasa (penyemprotan dengan insektisida) Membunuh larva dengan menebarkan ikan pemakan larva
4. Membunuh larva dengan menyemprot larvasida
BAB III PENUTUP
(34)
Berdasarkan teori simpul ini kita bias meengambil kesimpulan bahwa penyakit malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium yang disebarkan oleh nyamuk Anopheles betina. Dalam pathogenesis penyakit malaria, komponen lingkungan yang berperan sebagai media transmisi meliputi udara, air, makanan, binatang dan manusia. Selain itu perilaku masyarakat yang sering keluar pada malam hari ke rumah tetangga maupun hanya duduk di depan rumah dengan pakaian tidak tertutup dapat memperbesar peluang kontak dengan nyamuk. 3.2 Saran
Masyarakat lebih waspada terhadap upaya penularan malaria dengan meningkatkan upaya pengendalian terhadap penularan malaria.
DAFTAR PUSTAKA
Anies. 2006. Manajemen Berbasis Wilayah (Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular). PT. Elex Media Komputindo. Jakarta Borror, D., J. Triplehorn, dan N.F, Johnson. 1992. Pengenelan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. Alih bahasa S.Partosoedjono, Penyunting M.D.Brotowidjoyo. Gadjah Mada University. Yogyakarta
Darmadi. 2002. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Lingkungan Sekitar Rumah serta Praktik Pencegahan dengan Kejadian Malaria di Desa Buaran Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara. FKM UNDIP. Semarang
(35)
Dasril. 2005. Model Pengendalian Penyakit Malaria Melalui Pendekatan Epidemiologi di Kecamatan Sei Kepayang Kabupaten Asahan. Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Medan
Depkes RI. 2001. Modul 4 Pemberantasan Vektor. Ditjen PPM dan PLP. Jakarta ________ . 2003. Program Penanggulangan Malaria. Jakarta
_________. 2004, Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat, Ditjen PPM dan PPL, Jakarta.
Fitriani, Sinta. 2011. Promosi Kesehatan. Graha Ilmu. Yogyakarta
Harijanto, P. N. 2000. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan Malaria. EGC. Jakarta.
Mantili. Lela. 2014. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dan Lingkungan Sekitar Rumah Dengan Kejadian Malaria Di Desa Tanjung Satai Kecamatan Pulau Maya Karimata Kabupaten Kayong Utara Tahun 2010. Naskah Publikasi. Fakultas Kedokteran Universitas Tanjung Pura. Pontianak. Marsaulina. I, 2002. Potensi Persawahan Sebagai Habitat LarvaNyamuk Vektor
Malaria (Anopheles spp.) Serta Kemungkinan Pengendaliannya Melalui Pola Irigasi Berkala (Suatu Eksperimen di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara). Disertasi. Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta
Mattingly, P.F. 1969. The Biology of Mosquito-Borne Disease. George Allen and Unwin LTD. London.
Maulana, T., 2004. Beberapa Aspek Lingkungan Yang Berhubungan Dengan Angka Kejadian Malaria Di Desa Suka Jaya, Suka Karya, Suka Makmur Dan Air Dingin Kecamatan Simelue Timur, Kabupaten Simelue, Provinsi Nangroe Aceh Darusalam Tahun 2003. Tesis Mahasiswa FKM USU. Medan
Munawar, Akhsin. 2005. Faktor-faktor Risiko Kejadian Malaria di Desa Sigeblog Kecamatan Banjarmangu Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Thesis. Universitas Diponegoro.
Prabowo. A. 2004. Hubungan Pekerja yang Menginap di Hutan dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Cempaga, Kabupaten Kota Waringin Timur,
(36)
Kalimantan Tengah. Tesis. Pascasarjana IKM Universitas Indonesia. Jakarta
Prabowo, A. 2008. Malaria Mencegah dan Mengatasinya. Jakarta: Puspa Swara. Rumbiak, H. 2006. Situasi Penyakit Parasitik pada Manusia di Propinsi
Lampung. Makalah Seminar Pengendalian Penyakit Parasitik Manusia dan Hewan pada Era Desentralisasi. Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasitik Indonesia Cabang Bandar Lampung.
Safitri. 2009. Habitat Perkembangbiakan Dan Beberapa Aspek Perilaku Anopheles sundaicus Di Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Susana. Dewi. 2010. Dinamika Penularan Malaria. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta
Takken, W dan B.G.J. Knols. 2008. Malaria Vector Control: Current and Future Strategiess. Laboratory of Entomology, Wegeningen University and Research Centre. Netherland
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya Edisi 2. Erlangga. Jakarta
(1)
ditetapkan, antara lain wilayah pembebasan desa dan ditemukan penderita indegenius dan wilayah pemberantasan PR > 3%
B. Effective
Dipilih salah satu metode / jenis kegiatan pengendalian vektor atau kombinasi dua metode yang saling menunjang dan metode tersebut dianggap paling berhasil mencegah atau menurunkan penularan, hal ini perlu didukung oleh data epidemiologi dan laporan masyarakat.
C. Sustainable
Kegiatan pengendalian vektor yang di pilih harus dilaksanakan secara berkesinambungan sampai mencapai tingkat penularan tertentu dan hasil yang sudah di capai harus dapat dipertahankan dengan kegiatan lain yang biayanya lebih murah, antara lain dengan penemuan dan pengobatan penderita.
D. Acceptable
Kegiatan yang dilaksanakan dapat diterima dan didukung oleh masyarakat setempat (Depkes RI, 2005). Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian vektor adalah sebagai berikut (Anies, 2006):
a. Penyemprotan rumah, penyemprotan dilakukan pada semua bangunan yang ada, pada malam hari digunakan sebagai tempat menginap atau kegiatan lain, masjid, gardu ronda, dan lain-lain.
b. Larva Ciding adalah kegiatan anti larva yang dilakukan dengan cara kimiawi, kegiatan ini di lakukan di lingkungan yang memiliki banyak tempat perindukan yang potensial (Breeding Places). Yang dimaksud dengan tempat perindukan adalah genangan air di sekitar pantai yang permanen, genangan air di muara sungai yang tertutup pasir dan saluran dengan aliran air yang lambat.
c. Biological control adalah kegiatan anti larva dengan cara hayati (pengendalian dengan ikan pemakan jentik), dilakukan pada desa-desa di mana terdapat banyak tempat perindukan vektor potensial dengan ketersediaan air sepanjang tahun, seperti mata air, anak sungai, saluran air persawahan, rawa-rawa daerah pantai dan air payau, dll.
(2)
d. Pengolahan lingkungan adalah kegiatan-kegiatan yang mencakup perencanaan, pelaksanaan dan pengamatan kegiatan modifikasi dan manipulasi faktor lingkungan dan interaksinya dengan manusia untuk mencegah dan membatasi perkembangan vector dan mengurangi kontak antara manusia dan vektor (Depkes RI, 2005).
e. Kelambunisasi adalah pengendalian nyamuk Anopheles sp. secara kimiawi yang digunakan di Indonesia. Kelambunisasi adalah penggunaan kelambu yang terlebih dahulu dicelup dengan insektisida permanent 100EC yang berisi bahan aktif permethrin.
f. Irigasi berkala adalah cara pemberian air irigasi ke lahan sawah tidak secara terus menerus melainkan berselang seling. Irigasi Berkala dapat diterapkan di daerah persawahan dengan melihat umur tanaman padi yang memiliki potensi yang cukup tinggi sebagai tempat berkembangbiaknya larva nyamuk Anopheles spp. Sistem bercocok tanam padi yang berbeda-beda akan mempengaruhi perkembangbiakan larva nyamuk tersebut (Marsaulina, 2002). g. Penemuan dan Pengobatan Penderita Malaria
1) Mencari Penderita Malaria
Salah satu cara memutuskan penyebaran penyakit malaria adalah dengan menemukan penderita sedini mungkin baik dilakukan secara aktif oleh petugas yang mengunjungi rumah secara teratur (Active Case detection) maupun dilakukan secara pasif (Passive Case Detection), yaitu memeriksa semua pasien yang berkunjung ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), yaitu Polindes, Pustu, Puskesmas dan Rumah Sakit baik swasta maupun pemerintah yang menunjukkan gejala malaria dan dilakukan pengambilan darah untuk diperiksa di laboratorium.
2) Pengobatan Penderita Malaria
Beberapa cara dan jenis pengobatan terhadap penderita yaitu: b. Pengobatan Malaria Klinis
(3)
Pengobatan diberikan berdasarkan gejala klinis dan bertujuan untuk menekan gejala klinis dan membunuh gamet untuk mencegah terjadinya penularan.
c. Pengobatan Radikal
Pengobatan diberikan dengan pemeriksaan laboratorium positif malaria d. Pengobatan Massal (Mass Drug Administration= MDA)
Pemberian pengobatan malaria klinis kepada semua penduduk (>80%) di daerah KLB sebagai bagian dari upaya penanggulangan KLB malaria. e. Pengobatan kepada Penderita Demam (Mass Fever Treatment= MFT)
Dilakukan untuk mencegah KLB dan penanggulangan KLB, yaitu diulang setiap 2 minggu setelah pengobatan MBA sampai penyemprotan selesai.
2.5.2 Pencegahan Malaria
Pencegahan sederhana dapat dilakukan oleh masyarakat, antara lain: 1. Menghindari atau mengurangi gigitan nyamuk malaria, dengan cara tidur
memakai kelambu, tidak berada di luar rumah pada malam hari, mengolesi badan dengan lotion anti nyamuk, memasang kawat kasa pada jendela. 2. Membersihkan tempat sarang nyamuk, dengan cara membersihkan
semak-semak di sekitar rumah dan melipat kain-kain yang bergantungan, mengusahakan di dalam rumah tidak gelap, mengalirkan genangan air serta menimbun nya.
3. Membunuh nyamuk dewasa (penyemprotan dengan insektisida) Membunuh larva dengan menebarkan ikan pemakan larva
4. Membunuh larva dengan menyemprot larvasida
BAB III PENUTUP
(4)
Berdasarkan teori simpul ini kita bias meengambil kesimpulan bahwa penyakit malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium yang disebarkan oleh nyamuk Anopheles betina. Dalam pathogenesis penyakit malaria, komponen lingkungan yang berperan sebagai media transmisi meliputi udara, air, makanan, binatang dan manusia. Selain itu perilaku masyarakat yang sering keluar pada malam hari ke rumah tetangga maupun hanya duduk di depan rumah dengan pakaian tidak tertutup dapat memperbesar peluang kontak dengan nyamuk. 3.2 Saran
Masyarakat lebih waspada terhadap upaya penularan malaria dengan meningkatkan upaya pengendalian terhadap penularan malaria.
DAFTAR PUSTAKA
Anies. 2006. Manajemen Berbasis Wilayah (Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular). PT. Elex Media Komputindo. Jakarta Borror, D., J. Triplehorn, dan N.F, Johnson. 1992. Pengenelan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. Alih bahasa S.Partosoedjono, Penyunting M.D.Brotowidjoyo. Gadjah Mada University. Yogyakarta
Darmadi. 2002. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Lingkungan Sekitar Rumah serta Praktik Pencegahan dengan Kejadian Malaria di Desa Buaran Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara. FKM UNDIP. Semarang
(5)
Dasril. 2005. Model Pengendalian Penyakit Malaria Melalui Pendekatan Epidemiologi di Kecamatan Sei Kepayang Kabupaten Asahan. Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Medan
Depkes RI. 2001. Modul 4 Pemberantasan Vektor. Ditjen PPM dan PLP. Jakarta ________ . 2003. Program Penanggulangan Malaria. Jakarta
_________. 2004, Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat, Ditjen PPM dan PPL, Jakarta.
Fitriani, Sinta. 2011. Promosi Kesehatan. Graha Ilmu. Yogyakarta
Harijanto, P. N. 2000. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan Malaria. EGC. Jakarta.
Mantili. Lela. 2014. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dan Lingkungan Sekitar Rumah Dengan Kejadian Malaria Di Desa Tanjung Satai Kecamatan Pulau Maya Karimata Kabupaten Kayong Utara Tahun 2010. Naskah Publikasi. Fakultas Kedokteran Universitas Tanjung Pura. Pontianak. Marsaulina. I, 2002. Potensi Persawahan Sebagai Habitat LarvaNyamuk Vektor
Malaria (Anopheles spp.) Serta Kemungkinan Pengendaliannya Melalui Pola Irigasi Berkala (Suatu Eksperimen di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara). Disertasi. Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta
Mattingly, P.F. 1969. The Biology of Mosquito-Borne Disease. George Allen and Unwin LTD. London.
Maulana, T., 2004. Beberapa Aspek Lingkungan Yang Berhubungan Dengan Angka Kejadian Malaria Di Desa Suka Jaya, Suka Karya, Suka Makmur Dan Air Dingin Kecamatan Simelue Timur, Kabupaten Simelue, Provinsi Nangroe Aceh Darusalam Tahun 2003. Tesis Mahasiswa FKM USU. Medan
Munawar, Akhsin. 2005. Faktor-faktor Risiko Kejadian Malaria di Desa Sigeblog Kecamatan Banjarmangu Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Thesis. Universitas Diponegoro.
(6)
Kalimantan Tengah. Tesis. Pascasarjana IKM Universitas Indonesia. Jakarta
Prabowo, A. 2008. Malaria Mencegah dan Mengatasinya. Jakarta: Puspa Swara. Rumbiak, H. 2006. Situasi Penyakit Parasitik pada Manusia di Propinsi
Lampung. Makalah Seminar Pengendalian Penyakit Parasitik Manusia dan Hewan pada Era Desentralisasi. Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasitik Indonesia Cabang Bandar Lampung.
Safitri. 2009. Habitat Perkembangbiakan Dan Beberapa Aspek Perilaku Anopheles sundaicus Di Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Susana. Dewi. 2010. Dinamika Penularan Malaria. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta
Takken, W dan B.G.J. Knols. 2008. Malaria Vector Control: Current and Future Strategiess. Laboratory of Entomology, Wegeningen University and Research Centre. Netherland
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya Edisi 2. Erlangga. Jakarta