Perangkat Pembelajaran Geometri SMA deng

PERANGKAT PEMBELAJARAN GEOMETRI SMA DENGAN MENGADAPTASI MODEL CORE

Untuk Meningkatkan Kemampuan Menyelesaikan Masalah, Efikasi Diri, dan Prestasi Belajar Siswa

Ditulis Oleh DANIS AGUNG NUGROHO

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2016 i

Perangkat Pembelajaran Geometri SMA dengan Mengadaptasi Model CORE

Untuk Meningkatkan Kemampuan Menyelesaikan Masalah, Efikasi Diri, dan Prestasi Belajar Siswa

Terbitan I

Penulis:

Danis Agung Nugroho Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta 2016

Penalaah:

Prof. Dr. Rusgianto H. S., M.Pd. Dr. Sugiman Dr. Ali Mahmudi Himmawati P. L., S.Si., M. Si.

© 2016, Danis Agung Nugroho Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak isi buku ini untuk kepentingan komersial tanpa izin tertulis dari Danis Agung Nugroho.

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas segala rahmat dan karunia yang dilimpahkan oleh Allah Swt. sehingga penulis dapat menyelesaikan produk penelitian pengembangan

yang berjudul “Perangkat Pembelajaran Geometri SMA dengan Mengadaptasi Model CORE untuk Meningkatkan Kemampuan Menyelesaikan Masalah, Efikasi Diri, dan Pretasi Belajar ” dengan baik. Produk ini digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya pada bidang matematika.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan berupa bimbingan, arahan, motivasi, dan doa sehingga produk ini dapat ditulis dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Rusgianto, H. S., M.Pd. selaku dosen yang telah membimbing penulis dalam menyusun produk penelitian pengembangan ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta beserta staf atas segala kebijaksanaan dan fasilitas yang telah disediakan sehingga tesis ini dapat terwujud;

2. Kaprodi, sekprodi, dan seluruh dosen Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta yang telah membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat;

3. Dr. Sugiman, Dr. Ali Mahmudi, dan Himmawati Puji Lestari, S.Si., M.Si. selaku penelaah produk; dan

4. Pihak-pihak lain yang telah membantu dalam penyusunan produk penelitian pengembangan ini dengan baik.

iii

Semoga Allah Swt. membalas segala kebaikan saudara. Penulis berharap bahwa segala upaya ataupun hasil yang telah diperoleh penulis juga dapat bermanfaat dalam meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, khususnya pada ruang lingkup geometri yang dibelajarkan pada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA).

Penulis menerima berbagai saran dari para pembaca yang bersifat membangun dan berguna untuk memperbaiki kekurangan atau kesalahan yang mungkin masih ditemukan pada produk ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 1 Agustus 2016

Danis Agung Nugroho

iv

BAB I DESKRIPSI TENTANG PRODUK

A. Latar Belakang Pengembangan Produk

Pembelajaran matematika memiliki peranan yang penting bagi siswa untuk meningkatkan kompetensi yang dimilikinya. Pembelajaran tersebut bahkan sudah dilaksanakan sejak siswa belajar pada jenjang Sekolah Dasar (SD). Sebagaimana dinyatakan dalam Permendikbud Nomor 59 Tahun 2014, pembelajaran matematika dilakukan untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, inovatif, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan siswa dalam memajukan kualitas diri untuk hidup lebih baik pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.

Pembelajaran matematika pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan lanjutan dari pembelajaran matematika pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada jenjang pendidikan sebelumnya, siswa belajar matematika dalam situasi pembelajaran yang dirancang oleh guru dengan menggunakan bantuan peraga sebagai wujud konkret dari objek- objek matematika. Setelah melalui proses itu, siswa mulai dibimbing oleh guru untuk berpikir secara formal dalam pembelajaran matematika pada jenjang SMA sebagaimana disebutkan dalam Lampiran Permendikbud Nomor 59 Tahun 2014. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap kemampuan berpikir siswa agar dapat memudahkan siswa dalam memahami makna dari objek-objek matematika yang sejatinya bersifat abstrak.

Berdasarkan Permendikbud Nomor 103 tahun 2014, proses pembelajaran dilakukan dengan dua modus, yaitu proses pembelajaran langsung dan proses pembelajaran tidak langsung. Proses pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir, dan keterampilan menggunakan pengetahuan siswa melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Di dalam proses tersebut, siswa melakukan kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba, menalar/mengasosiasi, dan mengomunikasi- kan. Proses tersebut menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung

(instructional effect). Sedangkan proses pembelajaran tidak langsung adalah pembelajaran yang terjadi selama proses pembelajaran langsung yang dikondisikan menghasilkan perubahan sikap yang berupa moral dan perilaku sebagai dampak pengiring (nurturant effect) dari pembelajaran langsung. Kedua proses pembelajaran tersebut dilaksanakan secara terintegrasi. Pembelajaran langsung bertujuan untuk mencapai Kompetensi Dasar (KD) pada pengembangan Kompetensi Inti (KI) ke-3 dan ke-4 yang dilaksanakan secara bersamaan dan menjadi wahana untuk mengembangkan KD pada KI-1 dan KI-2.

Proses pembelajaran langsung mengisyaratkan guru untuk menyusun rencana sebelum pembelajaran itu dilaksanakan di kelas. Perencanaan tersebut sangat penting agar pembelajaran dapat terlaksana secara optimal, di mana siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan oleh guru berdasarkan kurikulum yang berlaku. Di dalam hal ini, perencanaan pembelajaran tersebut perlu diwujudkan dalam bentuk perangkat pembelajaran, terutama RPP dan LKS. Pada Kurikulum 2013, guru tidak menyusun silabus melainkan menggunakannya sebagai acuan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran sebagaimana dinyatakan Pasal 9 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 Tahun 2014.

Idealnya, guru dapat mengembangkan perangkat pembelajaran secara mandiri. Akan tetapi, pengembangan perangkat pembelajaran berdasarkan Kurikulum 2013 dirasa sulit. Hal ini didasarkan pada hasil wawancara dengan guru SMA Negeri 1 Prambanan Sleman bahwa guru masih merasa sulit dalam menyusun perangkat pembelajaran, khususnya RPP dan LKS yang sesuai dengan ketentuan dalam Kurikulum 2013. Kesulitan guru terletak pada bagian penjabaran indikator ketercapaian Kompetensi Dasar (KD), penyusunan langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang memuat sintaks dari model pembelajaran yang digunakan dan pengaitannya dengan pendekatan Saintifik, dan penyusunan penilaian yang mencakup keempat aspek KI. Selain itu, guru juga mengalami kesulitan dalam mengembangkan LKS yang dapat memfasilitasi kegiatan belajar siswa sesuai dengan RPP yang telah dikembangkannya.

Upaya pemerintah dalam memberikan penyuluhan terhadap Implementasi Kurikulum 2013 ini pun belum sepenuhnya dapat menyelesaikan permasalahan Upaya pemerintah dalam memberikan penyuluhan terhadap Implementasi Kurikulum 2013 ini pun belum sepenuhnya dapat menyelesaikan permasalahan

Berdasarkan hasil observasi pada siswa SMA Negeri 1 Prambanan Sleman, disimpulkan bahwa materi geometri dianggap paling sulit dibandingkan dengan materi lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh hasil Ujian Nasional (UN) Matematika siswa SMA Negeri 1 Prambanan Sleman selama tiga tahun terakhir yang disajikan pada tabel berikut.

Tabel 1. Persentase Penguasaan Materi Soal Ujian Nasional Matematika Siswa SMA Negeri 1 Prambanan Sleman Tahun 2013 s.d. 2015 (Sumber: Puspendik Balitbang Kemdikbud RI)

1 Logika matematika 59,21 64,64 49,77

2 Statistika dan peluang 49,21 53,90

3 Eksponen, barisan, dan deret fungsi 68,86 55,28

4 Lingkaran, suku banyak, dan komposisi fungsi 65,13 40,85 60,37

5 Matriks, vektor, dan transformasi 63,95 48,78

6 Persamaan dan pertidaksamaan 64,48 60,57

Berdasarkan Tabel 1, penguasaan siswa SMA Negeri 1 Prambanan Sleman terhadap materi geometri masih rendah. Hal tersebut didasarkan pada dua indikator. Pertama, selama tiga tahun terakhir, penguasaan materi geometri kurang dari 50%. Kedua, apabila dibandingkan dengan materi lainnya, maka penguasaan siswa pada materi geometri tergolong yang terrendah. Berdasarkan hal tersebut, geometri dianggap sebagai materi yang tersulit bagi siswa SMA Negeri 1 Prambanan Sleman.

Di samping menemukan masalah rendahnya prestasi belajar siswa dalam materi geometri, peneliti juga melakukan kajian dan diskusi dengan praktisi pembelajaran tentang masalah dalam pembelajaran geometri di jenjang Sekolah

Menengah Atas (SMA). Beberapa masalah yang paling relevan adalah masalah kemampuan menyelesaikan masalah pada siswa dalam menyelesaikan soal-soal berbasis masalah. Selama ini, siswa terbiasa belajar matematika hanya dengan latihan mengerjakan soal-soal rutin (factory-style). Pembelajaran matematika yang dilakukan dengan cara itu mengakibatkan siswa hanya menguasai pengetahuan yang bersifat prosedural. Implikasinya, siswa lebih terfokus dalam berhitung dan menggunakan rumus daripada memahami dan menyelesaikan masalah dengan menggunakan cara-cara yang efektif.

Sementara itu, di dalam NCTM (2000: 353) dinyatakan bahwa menyelesaikan masalah memiliki peran penting pada kurikulum matematika SMA, yakni sebagai suatu strategi dan penggerak fundamental dalam belajar konten atau isi matematika dan sebagai tujuan belajar matematika. Sebagai suatu strategi, menyelesaikan masalah digunakan untuk melibatkan siswa dengan ide- ide matematika yang penting dan untuk mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap ide-ide tersebut. Sedangkan peranan menyelesaikan masalah sebagai tujuan belajar matematika berkaitan dengan suatu kemampuan yang harus dicapai atau dimiliki siswa dalam merumuskan dan menemukan solusi dari suatu masalah.

Kemampuan menyelesaikan masalah sangat penting untuk ditingkatkan mengingat semakin majunya peradaban yang diiringi dengan semakin kompleksnya masalah yang harus diselesaikan dengan cermat dan tepat. Idealnya, pembelajaran matematika dirancang untuk dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah. Akan tetapi, pada kenyataannya, kemampuan menyelesaikan masalah pada siswa, khususnya di SMA Negeri 1 Prambanan Sleman, belum mendapatkan perhatian dan penanganan khusus. Salah satu penyebabnya adalah kesulitan guru dalam mengembangkan soal-soal berbasis masalah, terutama pada materi geometri yang digunakan untuk melatih siswa meningkatkan kemampuan tersebut.

Berdasarkan hasil pretest kemampuan menyelesaikan masalah yang diujikan pada siswa kelas XI MIA 2 SMA Negeri 1 Prambanan Sleman ditunjukkan bahwa rata-rata skor kemampuan menyelesaikan masalah yang dicapai siswa hanya sebesar 26 dari interval skor 0 s.d. 100 dan tidak ada satu pun Berdasarkan hasil pretest kemampuan menyelesaikan masalah yang diujikan pada siswa kelas XI MIA 2 SMA Negeri 1 Prambanan Sleman ditunjukkan bahwa rata-rata skor kemampuan menyelesaikan masalah yang dicapai siswa hanya sebesar 26 dari interval skor 0 s.d. 100 dan tidak ada satu pun

Selain permasalahan tersebut, banyak siswa yang kurang yakin terhadap kemampuan mereka dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika, khususnya geometri. Permasalahan tersebut ditemukan oleh peneliti pada observasi prapenelitian yang dilakukan dengan wawancara pada beberapa siswa. Permasalahan tersebut berkaitan dengan efikasi diri, yakni keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan suatu tugas, menguasai situasi, mencapai suatu tujuan, dan menguasai suatu keterampilan. Pengertian tersebut disarikan dari beberapa pendapat ahli di antaranya Bandura (1995: 2), Schunk (1995: 112), Margolis & McCabe (2006: 219), Wade & Tavris (2007: 180), dan Santrock (2011b: 473).

Permasalahan tentang efikasi diri belum mendapat perhatian khusus dari pihak-pihak yang terkait langsung dalam pembelajaran, seperti guru dan siswa itu sendiri. Selama ini, guru dan siswa terfokus pada bagaimana mencapai prestasi belajar yang tinggi daripada memperhatikan aspek-aspek penting lainnya seperti efikasi diri yang dapat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar siswa.

Berdasarkan data hasil pengisian angket efikasi diri siswa dalam belajar geometri pada siswa kelas XI MIA 2, ditunjukkan bahwa rata-rata skor efikasi diri siswa tergolong “sedang”, di mana 13% siswa memiliki efikasi diri yang “rendah”, 55% siswa memiliki efikasi diri yang “sedang”, dan hanya 31% siswa yang memiliki efikasi diri yang “tinggi”. Berdasarkan kondisi tersebut, guru perlu membantu siswa dalam meningkatkan efikasi diri siswa agar memberikan pengaruh yang positif pada perkembangan sikap dan kognitif siswa tersebut.

Berdasarkan uraian tentang permasalahan tersebut, guru membutuhkan referensi yang memadai untuk mengembangkan perangkat pembelajaran yang berkualitas baik dan sesuai dengan kurikulum yang berlaku saat ini, yaitu Kurikulum 2013. Di samping itu, referensi tersebut juga harus dapat memfasilitasi guru dalam menyelesaikan permasalahan terkait kemampuan menyelesaikan masalah, efikasi diri, dan prestasi belajar geometri siswa SMA.

Pemilihan model pembelajaran menjadi salah satu hal penting yang perlu diperhatikan oleh guru dalam mengembangkan perangkat pembelajaran. Di dalam hal ini, model pembelajaran yang dipilih harus relevan dengan konsep pembelajaran berdasarkan Kurikulum 2013 dan kebutuhan belajar siswa. Model pembelajaran yang dipilih harus dapat memfasilitasi siswa dalam mengonstruksi pengetahuan. Hal ini didasarkan pada Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa siswa adalah subjek yang memiliki kemampuan untuk secara aktif mencari, mengolah, mengonstruksi, dan menggunakan pengetahuan sehingga pembelajaran harus memberikan kesempatan pada siswa untuk mengonstruksi pengetahuan agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan.

Berdasarkan hasil studi pustaka, model pembelajaran CORE yang dikembangkan oleh Miller & Calfee (2004) memiliki beberapa ciri-ciri atau keunggulan yang dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya. Model tersebut terdiri dari empat tahapan pembelajaran, yaitu tahap Koneksi (Connecting), tahap Organisasi (Organizing), tahap Refleksi (Reflecting), dan tahap Ekstensi (Extending). Di dalam model ini, siswa diperlakukan sebagai sebagai subjek yang memiliki kemampuan untuk secara aktif mencari, mengolah, mengonstruksi, dan menggunakan pengetahuan. Hal tersebut sesuai dengan Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 yang menjelaskan tentang peran siswa di dalam pembelajaran.

Sebagaimana dinyatakan oleh Miller & Calfee (2004: 21), model pembelajaran CORE dapat diterapkan dalam pembelajaran yang berbasis pengalaman. Model pembelajaran CORE memberikan kesempatan bagi siswa untuk memaknai, menguatkan, dan memperluas pengalaman belajarnya sebagai cara untuk mengonstruksi pengetahuan. Kegiatan dalam memaknai pengalaman belajar siswa difasilitasi pada tahap Koneksi. Kegiatan dalam menguatkan pengalaman belajar siswa difasilitasi pada tahap Organisasi dan Refleksi. Sedangkan kegiatan dalam memperluas pengalaman belajar siswa difasilitasi pada tahap Ekstensi. Di samping itu, model pembelajaran tersebut juga dapat diterapkan pada semua mata pelajaran sebagaimana dinyatakan oleh Curwen, Miller, White-Smith, & Calfee (2010: 133).

Hasil wawancara dengan guru matematika SMA Negeri 1 Prambanan Sleman menunjukkan bahwa kegiatan memaknai, menguatkan, dan memperluas pengalaman belajar siswa sebagaimana termuat dalam model pembelajaran CORE belum diterapkan pada pembelajaran matematika di sekolah tersebut. Sebagai akibat yang dapat diamati oleh guru adalah pasifnya siswa pada saat melaksanakan kegiatan refleksi di dalam pembelajaran matematika. Hampir tidak ada siswa yang dapat memberikan simpulan atau jawaban yang benar ketika diminta untuk menyimpulkan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat reflektif. Hal ini mengindikasikan bahwa proses mengonstruksi pengetahuan belum dapat terlaksana secara optimal.

Berdasarkan uraian tersebut, penerapan model CORE dalam pembelajaran dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengonstruksi pengetahuan dan meningkatkan beberapa kompetensi, di antaranya kemampuan menyelesaikan masalah, efikasi diri, dan prestasi belajar siswa. Oleh karena itu, penting dilakukan pengembangan perangkat pembelajaran dengan mengadaptasi model CORE untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, efikasi diri, dan prestasi belajar geometri siswa SMA.

B. Kajian Pustaka tentang Produk

1. Model Pembelajaran CORE

Model pembelajaran yang dikembangkan dalam produk ini diadaptasi dari model CORE yang diterapkan oleh Miller dan Calfee (2004). Model tersebut terdiri dari 4 tahapan, yaitu connecting, organizing, reflecting, dan extending. Tahapan dalam model pembelajaran CORE tersebut bersifat siklis sebagaimana diilustrasikan pada gambar berikut ini.

Gambar 1. Tahapan dalam Model Pembelajaran CORE yang

Diterapkan oleh Miller dan Calfee (2004: 10)

Gambar tersebut merupakan ilustrasi tahapan model CORE yang diterapkan oleh Miller dan Calfee (2004) dalam pembelajaran Sains yang dikombinasikan dengan metode membaca dan menulis. Miller & Calfee (2004:

21) menyatakan bahwa model pembelajaran CORE dapat diterapkan dalam pembelajaran yang berbasis pengalaman, misalnya pembelajaran dengan pendekatan inkuiri. Curwen, Miller, White-Smith, & Calfee (2010: 133) menambahkan bahwa model pembelajaran tersebut dapat diterapkan pada semua mata pelajaran. Ciri khas model pembelajaran CORE terdapat pada tahapan/sintak pembelajaran dan metode yang digunakan.

Tahapan atau sintak model pembelajaran CORE tersebut dijelaskan sebagai berikut ini.

a. Tahap Menghubungkan Pengetahuan (Connecting Knowledge)

Dymock (2005: 178) menyatakan bahwa suatu pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dapat menghubungkan siswa dengan topik pembelajarannya. Hubungan yang dimaksud berupa hubungan antara apa yang diketahui siswa dan apa yang sedang dipelajarinya. Di dalam proses ini, peran guru adalah menjadi fasilitator bagi para siswanya. Guru dapat mengingatkan siswanya tentang konsep yang telah dipelajari siswa atau memberi kesempatan pada siswa untuk membaca berbagai referensi yang relevan.

Pada tahap ini, setidaknya ada dua hal penting yang harus dilakukan siswa. Pertama, siswa mengingat kembali pengetahuan yang telah dimilikinya. Kedua, siswa menemukan informasi-informasi baru yang akan dipelajarinya. Untuk dapat mengingat kembali pengetahuan yang telah dimilikinya, siswa dapat menggunakan ingatan berupa kata-kata (word memory ). Cara tersebut dapat dilakukan dengan mengingat kembali (recall) dan mencari hubungan antara tanggal atau fakta atau daftar informasi tertentu dengan sekumpulan instruksi sebagaimana dikemukakan oleh Caine dan Caine (1997: 41) bahwa “Many of us associate the word memory with the recall of specific dates or facts or lists of information and sets of instructions, requiring memorization and effort ”.

Pentingnya siswa mengingat kembali informasi atau pengetahuan yang telah dipelajarinya didasarkan pada pendapat Bruning, Schraw, & Norby (2011: 205) bahwa “... students must recall information and use their metacognitive knowledge to link and sequence their ideas ”. Artinya, siswa harus mengingat kembali informasi dan menggunakan pengetahuan metakognitif mereka untuk menghubungkan dan merangkai ide-ide mereka.

Sementara itu, untuk dapat menemukan informasi-informasi baru yang akan dipelajarinya, siswa dapat menggunakan inderanya secara aktif. Henson dan Eller (1999: 249) menyatakan bahwa penggunaan indera dalam kegiatan belajar dapat tercermin pada aktivitas seperti siswa mendengarkan perkataan guru mereka (penggunaan indera pendengaran), membaca teks (penggunaan indera penglihatan), mencium aroma makanan di kafetaria sekolah (penggunaan indera penciuman), merasakan makanan (penggunaan indera perasa), dan menulis (penggunaan indera kinestetik).

Bruning, Schraw, & Norby (2011: 205) juga mengungkapkan bahwa siswa seharusnya tetap fokus pada topik dan membangun ide-ide yang diperolehnya dari teman-teman lainnya dalam kelompoknya. Mereka diharapkan dapat saling membantu mengkonstruk suatu pengetahuan yang baru. Hal yang dilakukan oleh guru untuk menunjang kegiatan tersebut adalah dengan mengidentifikasi apa yang siswa ketahui tentang materi pembelajaran sebelumnya yang berkaitan dengan materi prasyarat. Guru dapat mengajukan Bruning, Schraw, & Norby (2011: 205) juga mengungkapkan bahwa siswa seharusnya tetap fokus pada topik dan membangun ide-ide yang diperolehnya dari teman-teman lainnya dalam kelompoknya. Mereka diharapkan dapat saling membantu mengkonstruk suatu pengetahuan yang baru. Hal yang dilakukan oleh guru untuk menunjang kegiatan tersebut adalah dengan mengidentifikasi apa yang siswa ketahui tentang materi pembelajaran sebelumnya yang berkaitan dengan materi prasyarat. Guru dapat mengajukan

Di dalam pembelajaran matematika, tahap koneksi merupakan tahap yang sangat penting untuk meningkatkan kekuatan matematis siswa. Hal tersebut didasarkan pada pernyataan dalam NCTM (2000: 354) bahwa

As they build on their previous mathematical understandings while learning new concepts, students become increasingly aware of the connections among various mathematical topics. As students’ knowledge of mathematics, their ability to use a wide range of mathematical representations, and their access to sophisticated technology and software increase, the connections they make with other academic disciplines, especially the sciences and social sciences, give them greater mathematical power.

Pada tahap koneksi, guru dapat memberikan topik yang relevan dengan materi yang akan dipelajari siswa. Sebagai contohnya dalam pembelajaran geometri, guru dapat menyajikan suatu peta untuk mengenalkan konsep jarak pada siswa.

Gambar 2. Peta Kawasan Simpang Lima (Sumber: http://1.bp.blogspot.com/ )

Kegiatan yang dapat dilakukan oleh guru pada tahap ini, misalnya meminta siswa untuk mengamati peta tersebut lalu memberikan petunjuk dan pertanyaan yang bertujuan untuk mengarahkan pikiran siswa tentang jarak antara dua titik. Contoh petunjuk yang dapat diberikan guru pada siswa, “Cermatilah peta berikut ini. Peta tersebut menggambarkan lokasi suatu gedung pertemuan dan tiga lokasi wisata yang terkenal di Semarang, yaitu

Simpang Lima, Pasar Minggu, dan Kebun Bindatang.”. Selanjutnya, guru dapat mengajukan pertanyaan sebagai berikut, “Di antara tiga lokasi wisata

tersebut, lokasi manakah yang paling dekat dengan gedung pertemuan?”.

Pada awalnya, guru mengenalkan istilah posisi, kedudukan, jauh, dan dekat untuk mengenalkan konsep jarak. Selanjutnya, guru dapat membantu siswa untuk mengingat kembali dalil Pythagoras dan kedudukan titik pada bidang Cartesius. Bila perlu, guru menyediakan kertas berpetak untuk memudahkan siswa dalam menentukan jarak antartitik.

b. Tahap Mengorganisasikan Informasi (Organizing Information)

Tahap ini merupakan tahap di mana siswa mengorganisasikan informasi- informasi yang relevan dengan materi yang dipelajari dan diperoleh dari berbagai referensi. Bruning, Schraw, & Norby (2011: 205) menyatakan bahwa “Knowledge construction is not simply a matter of accumulating particular facts or even of creating new units of information. It also involves organizing old information into new forms”. Berdasarkan pendapat tersebut,

konstruksi pengetahuan tidak sekedar dilakukan dengan mengumpulkan fakta atau kejadian tertentu, melainkan melibatkan pengorganisasian informasi- informasi lama ke dalam bentuk yang baru. Bentuk tersebut tidak lain berupa konstruksi pengetahuan yang lebih lengkap dari sebelumnya. Secara konkret, tahapan ini menghasilkan suatu skema pengetahuan yang dapat diilustrasikan dalam bagan, tabel, atau peta konsep.

Peta konsep itu sendiri dapat diartikan sebagai perangkat grafis yang digunakan untuk mengorganisasi dan menyajikan pengetahuan. Hal ini didasarkan pada pernyataan Novak dan Canas (2008: 1) bahwa peta konsep memuat konsep-konsep yang disajikan dalam berbagai jenis lingkaran atau kotak, dan dihubungkan dengan garis-garis. Kata-kata pada garis merujuk pada kata atau frasa penghubung yang secara khusus menghubungkan dua konsep. Di dalam konteks ini, ahli tersebut mendefinisikan konsep sebagai rekaman atau persepsi umum dalam kejadian-kejadian atau objek-objek yang dirancang dengan suatu label. Label tersebut dapat berupa sebuah atau beberapa kata atau dapat pula berupa simbol-simbol seperti + atau %.

Novak dan Canas (2008: 3) menyatakan bahwa pembuatan peta konsep merupakan salah satu cara yang berguna untuk mengetahui pemahaman konseptual dan ide-ide siswa yang sedang dipikirkannya. Peta konsep yang dibuat oleh siswa dapat dijadikan sebagai gambaran bagi guru mengenai struktur kognitif siswa pada saat itu. Pada tahap ini guru dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pemahaman konsep pada siswa.

Berdasarkan pendapat Miller & Calfee (2004: 23), tahap mengorganisasi informasi tidak hanya bertujuan agar siswa dapat mengorganisasi konsep- konsep sebelum dan selama proses pengumpulan informasi itu terjadi tetapi juga bertujuan agar siswa dapat menggunakannya kembali pada tahap selanjutnya. Bruning, Schraw, & Norby (2011: 205) menyatakan bahwa penggunaan metode diskusi dapat membantu siswa untuk melakukan pengumpulan dan pengorganisasian informasi-informasi yang diperolehnya dari hasil berinteraksi bersama guru dan/atau siswa-siswa lainnya.

Kegiatan mengorganisasikan informasi di dalam pembelajaran geometri pada siswa SMA diawali dengan menemukan deskripsi-deskripsi tentang karakter dari objek yang dipelajari. Hal tersebut dirujuk dari pernyataan dalam NCTM (2000: 31) bahwa “High school students should begin to organize their knowledge about classes of objects more formally. Finding precise descriptions of conditions that characterize a class of objects is an important first step. ”

Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh guru untuk mempermudah siswa dalam mengorganisasi informasi adalah menyediakan tabel dan petunjuk pengisian tabel tersebut. Tabel tersebut digunakan untuk menghimpun informasi-informasi penting yang diperlukan siswa untuk membangun pemahaman tentang suatu konsep. Ketersediaan tabel juga dapat membuat siswa lebih cepat dan terarah dalam menghimpun informasi dari berbagai sumber.

Selanjutnya, guru dapat menggunakan peraga atau gambar kubus untuk membantu siswa dalam mengorganisasikan informasi tentang contoh jarak dan ukuran panjangnya. Gambar kubus ABCD.EFGH berikut ini dapat dijadikan sebagai objek pengamatan siswa.

Gambar 3. Kubus ABCD.EFGH

Guru meminta siswa mengamati gambar tersebut. Guru memisalkan panjang rusuk kubus tersebut dengan suatu bilangan beserta satuannya, misalnya 4 cm. Siswa diminta menuliskan contoh-contoh jarak dan ukuran panjangnya pada tabel yang telah disediakan oleh guru. Berikut ini contoh tabel hasil pengamatan yang dapat diisi siswa.

Tabel 2. Contoh Jarak pada Kubus ABCD.EFGH No.

Jarak

Contoh Jarak

Panjang

1. Jarak antara dua titik

4 cm

d (A, C), d(B, D), dan d(E, G)

4 √3 cm

2. Jarak antara suatu

4 cm titik dan suatu garis

d (A, CE), d(E, AG), dan d(H, DF)

Siswa diminta mengisi baris yang masih kosong pada kolom “contoh jarak” dan “panjang” berdasarkan hasil pengamatan pada gambar 3. Penulisan

jawaban pada kolom “contoh jarak” disepakati menggunakan notasi seperti yang dicontohkan, misalnya d(A, C), d(B, D), dan d(E, G). Di dalam hal ini, guru memberikan penjelasan tentang notasi penulisan jarak apabila siswa belum memahami materi tersebut.

Di dalam melaksanakan tahapan ini, guru memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan batasan isi atau informasi yang diorganisasikan oleh siswa dengan mempertimbangkan usia dan kemampuan siswa sebagaimana dinyatakan oleh Gunter, Estes, & Schwab (1990: 76).

Di samping itu, guru juga perlu membimbing siswa dalam mengorganisasikan suatu konten atau isi sedemikian sehingga informasi yang paling umum disajikan terlebih dahulu kemudian disertai dengan data yang lebih detail. Guru juga perlu memastikan bahwa materi baru yang sedang dibelajarkan pada siswa memiliki hubungan dengan materi yang telah dipelajari siswa pada pembelajaran sebelumnya.

c. Refleksi dalam Kegiatan Belajar (Reflecting on Learning)

Refleksi berasal dari kata reflek yang menurut Rodgers (2002: 843) berarti menjadi mampu berpikir untuk belajar. Dymock (2005: 2) menyatakan bahwa refleksi di dalam pembelajaran dengan model CORE adalah tahap di mana siswa menjelaskan atau mengkritik isi, struktur, dan strategi-strategi. Siswa akan mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Siswa menyimpulkan dengan bahasa sendiri tentang apa yang mereka peroleh dari pembelajaran ini. Miller & Calfee (2004: 23) menyatakan bahwa pada tahap refleksi ini, siswa diberi kesempatan oleh guru untuk memikirkan apa yang telah dipelajari dalam kelompok kecil maupun besar dengan cara mengoreksi dan memadatkan isi pengetahuan.

Refleksi menurut Rodgers (2002: 851) merupakan suatu proses yang di dalamnya memuat tahap-tahap yang mencerminkan metode ilmiah. Tahapan di dalam refleksi tersebut di antarannya: a) mengalami; b) menerjemahkan pengalaman secara spontan; c) menamai masalah atau pertanyaan yang didasarkan pada pengalaman; d) menghasilkan penjelasan yang mungkin untuk masalah atau pertanyaan yang diajukan; e) merumuskan hipotesis; dan

f) melakukan eksperimen atau menguji hipotesis yang dipilih. Berdasarkan uraian tersebut, kegiatan refleksi yang dapat dilakukan siswa pada pembelajaran geometri, misalnya mengoreksi kembali hasil pekerjaan siswa dan mengkonfirmasikannya dengan guru mereka. Sebagai contoh yang lebih spesifik, di dalam pembelajaran geometri tentang jarak, siswa dapat menjawab atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat memperkuat pemahaman siswa tentang pengertian atau cara menentukan jarak, misalnya jarak antardua titik pada kubus ABCD.EFGH dengan panjang f) melakukan eksperimen atau menguji hipotesis yang dipilih. Berdasarkan uraian tersebut, kegiatan refleksi yang dapat dilakukan siswa pada pembelajaran geometri, misalnya mengoreksi kembali hasil pekerjaan siswa dan mengkonfirmasikannya dengan guru mereka. Sebagai contoh yang lebih spesifik, di dalam pembelajaran geometri tentang jarak, siswa dapat menjawab atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat memperkuat pemahaman siswa tentang pengertian atau cara menentukan jarak, misalnya jarak antardua titik pada kubus ABCD.EFGH dengan panjang

d. Memperluas Pengalaman (Extending the Experience)

Tahap memperluas pengalaman merupakan tahap di mana siswa menggeneralisasikan pengetahuan yang mereka peroleh selama proses belajar berlangsung. Suyatno (2009: 67) menyatakan bahwa perluasan/ekstensi merupakan tahap yang mana siswa dapat memperluas wawasan atau pengetahuan yang telah diperoleh selama proses pembelajaran. Dymock (2005: 2) menyatakan bahwa pada tahap ekstensi ini guru dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk memperluas pengetahuan siswa dengan cara memberikan topik-topik baru lainnya yang relevan. Bruning, Schraw, & Norby (2011: 205) menyatakan bahwa pengetahuan prosedural dan deklaratif dapat diperluas dengan cepat ketika siswa mencari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan yang mereka ajukan sendiri.

Kegiatan pada tahap ekstensi dalam pembelajaran geometri yang diorientasikan untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dapat dilakukan dengan mengaplikasikan soal-soal berbasis masalah. Hal ini didasarkan pada pernyataan dalam NCTM (2000: 313) bahwa “Applied problems can furnish both rich contexts for using geometric ideas and practice in modeling and problem solving”. Berdasarkan pernyataan tersebut, mengaplikasikan masalah dapat melengkapi pengayaan konteks untuk menggunakan ide-ide geometris dan praktik dalam memodelkan dan menyelesaikan masalah.

Berikut ini contoh soal berbasis masalah yang dapat diajukan kepada siswa pada tahap ekstensi dalam pembelajaran geometri tentang jarak.

Perhatikan gambar kubus ABCD.EFGH berikut ini.

Panjang rusuk kubus tersebut adalah 8 dm. Tentukan jarak antara titik F dan bidang BDQ.

Selain itu, model pembelajaran CORE memiliki ciri khas pada metode pembelajaran yang digunakan yakni diskusi sebagaimana disebutkan oleh Bruning, Schraw, dan Norby (2011: 204-205). Metode tersebut digunakan di dalam model pembelajaran CORE karena dapat menyediakan koneksi dalam belajar, membantu mengorganisasikan pengetahuan, membantu perkembangan berpikir reflektif, dan membantu memperluas pengetahuan di antara siswa dan guru.

Berdasarkan uraian mengenai model pembelajaran CORE, dapat disimpulkan bahwa model tersebut memberikan kesempatan pada siswa untuk mengonstruksi pengetahuannya sendiri dengan cara menghubungkan dan mengorganisasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya kemudian merefleksikan proses belajar yang telah dialaminya serta memperluas pengalaman belajar siswa.

Di samping itu, model pembelajaran CORE memiliki ciri-ciri unggulan yang berhubungan dengan peningkatan kemampuan menyelesaikan masalah dan efikasi diri berdasarkan pendapat para ahli dan hasil penelitian berikut ini. Sebagaimana dinyatakan oleh Adams & Hamm (2013: 58), Mahalingam, Schaefer, & Morlino (2008: 1580), dan Gillies (2007: 5), pembelajaran yang menguatkan interaksi antarsiswa dan interaksi siswa dengan guru dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah. Ciri-ciri ini Di samping itu, model pembelajaran CORE memiliki ciri-ciri unggulan yang berhubungan dengan peningkatan kemampuan menyelesaikan masalah dan efikasi diri berdasarkan pendapat para ahli dan hasil penelitian berikut ini. Sebagaimana dinyatakan oleh Adams & Hamm (2013: 58), Mahalingam, Schaefer, & Morlino (2008: 1580), dan Gillies (2007: 5), pembelajaran yang menguatkan interaksi antarsiswa dan interaksi siswa dengan guru dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah. Ciri-ciri ini

Sementara itu, Margolis & McCabe (2006: 220-225) menyebutkan beberapa ciri dalam pembelajaran yang dapat meningkatkan efikasi diri siswa, di antaranya: 1) guru merencanakan tugas-tugas tantangan secara secara cukup, 2) guru menggu-nakan model-model tutor sebaya, 3) guru bersama dengan siswa menguatkan usaha dan mengoreksi strategi yang digunakan siswa, dan 4) guru bersama dengan siswa memberikan timbal balik yang sering, terfokus, dan spesifik. Dari pendapat tersebut, ciri pertama dapat ditemukan pada tahap Ekstensi, ciri kedua dapat ditemukan pada tahap Organisasi, dan ciri ketiga serta ciri keempat dapat ditemu-kan pada tahap Refleksi dalam model pembelajaran CORE. Selain itu, hasil penelitian Ria Deswita (2015), Puji Nurfayziah (2012), Ellisia Kumalasari (2011), dan Grifin, Louise, & Sonya (2013) juga dapat dijadikan sebagai rujukan yang menunjukkan bahwa model pembelajaran CORE dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dan/atau efikasi diri siswa.

2. Implementasi CORE dalam Pembelajaran Berbasis Kurikulum 2013

Di dalam menerapkan suatu model pembelajaran, hendaknya guru mempertimbangkan kesesuaian antara model tersebut dengan ciri-ciri dan pendekatan pembelajaran berdasarkan kurikulum yang berlaku. Model pembelajaran CORE yang diadaptasi dalam pengembangan perangkat pembelajaran ini sesuai dengan ciri-ciri pembelajaran berbasis Kurikulum 2013 dan pendekatan Saintifik.

Di dalam Salinan Lampiran Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 halaman 3 dinyatakan bahwa siswa adalah subjek yang memiliki kemampuan untuk secara aktif mencari, mengolah, mengonstruksi, dan menggunakan pengetahuan sehingga pembelajaran harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengonstruksi pengetahuan dalam proses kognitifnya. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dilihat adanya keterkaitan antara model pembelajaran CORE dan ciri-ciri pembelajaran berbasis Kurikulum 2013 yang terletak pada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan mengonstruksi pengetahuan.

Aktivitas “mencari” dalam pembelajaran berbasis Kurikulum 2013 terkait dengan aktivitas siswa pada tahap Connecting dalam model pembelajaran CORE. Pada

tahap tersebut, siswa menghubungkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan informasi baru yang sedang dipelajarinya. Untuk dapat memiliki informasi baru, siswa harus mencari informasi-informasi tersebut.

Sementara itu, aktivitas “mengolah” dalam pembelajaran berbasis Kurikulum 2013 ini dapat dikaitkan dengan aktivitas siswa pada tahap Organizing dalam model pembelajaran CORE karena pada tahap tersebut siswa mengolah informasi-informasi yang telah diperolehnya pada suatu tabel, bagan, daftar, dan

sebagainya. Sedangkan aktivitas “mengonstruksi” dalam pembelajaran berbasis Kurikulum 2013 ini tercermin dalam seluruh tahap belajar berdasarkan model pembelajaran CORE.

Hubungan antara model pembelajaran CORE dan pendekatan Saintifik dapat dirujuk dari tabel-tabel dan pembahasan berikut ini.

Tabel 3. Kegiatan Belajar Siswa dengan Pendekatan Saintifik (Sumber: Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014)

Langkah Kegiatan Belajar Siswa Pembelajaran

Mengamati Membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat)

Menanya Mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik)

Mengumpulkan

- melakukan eksperimen

informasi/ - membaca sumber lain selain buku teks eksperimen

- mengamati objek/kejadian/aktivitas - wawancara dengan nara sumber

Mengasosiasikan/ - mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik mengolah informasi

terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperi men maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi.

- mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda maupun yang bertentangan.

Mengomunikasikan Menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya

Berdasarkan tabel 3 tersebut, proses pembelajaran yang harus dilakukan siswa dengan pendekatan Saintifik, yaitu: 1) mengamati (observing), 2) menanya (questioning), 3) mengasosiasikan informasi/eksperimen (experimenting), 4) mengasosiasi (associating), dan 5) mengomunikasikan (communicating). Pada tabel tersebut disebutkan kata-kata operasional yang dapat dijadikan sebagai indikator kegiatan belajar siswa pada setiap langkah dalam pendekatan Saintifik.

Sementara itu, kegiatan belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran CORE yang disarikan dari beberapa pendapat para ahli diuraikan pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Kegiatan Belajar Siswa dengan Model Pembelajaran CORE

Tahapan Kegiatan Belajar Siswa Pembelajaran

Menghubungkan - mengingat kembali (recall), membuat mata rantai (link) Pengetahuan

dan merangkai ide-ide. (Bruning, Schraw, dan Norby, (Connecting

Knowledge ) - mengingat kembali tanggal atau fakta atau daftar informasi tertentu dan sekumpulan instruksi (Caine dan Caine, 1997: 41)

- mendengarkan, membaca, mencium, merasakan, dan menulis (Henson dan Eller, 1999: 249) Mengorganisasikan - mengumpulkan fakta-fakta dan mengorganisasikan Informasi

informasi-informasi baru (Bruning, Schraw, dan Norby, (Organizing

Information ) - membuat peta konsep (Novak dan Canas, 2008: 1) Refleksi dalam

menjelaskan, dan Kegiatan Belajar

- menyajikan,

mengatur,

mempertahankan ide (Bruning, Schraw, dan Norby, (Reflecting on

Learning ) - mengalami, menginterpretasikan pengalaman secara spontan, mengidentifikasi masalah atau pertanyaan yang didasarkan pada pengalaman, menghasilkan penjelasan yang mungkin untuk masalah atau pertanyaan yang diajukan, merumuskan hipotesis, dan bereksperimen atau menguji hipotesis yang dipilih. (Rodgers, 2002: 851).

Memperluas - membahas topik-topik baru lainnya yang relevan Pengalaman

(Dymock, 2005: 2)

(Extending the - mencari jawaban dari pertanyaan yang mereka ajukan Experience )

sendiri (Bruning, Schraw, dan Norby, 2011: 205)

Tabel 4 tersebut menyajikan tahapan pembelajaran dan kegiatan belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran CORE yang disarikan dari kajian pustaka tentang tahapan atau sintak model pembelajaran CORE.

Berdasarkan uraian pada tabel 3 dan 4 tersebut, dirumuskan hubungan sintak model pembelajaran CORE dan pendekatan Saintifik yang disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 5. Hubungan Sintak Model Pembelajaran CORE dan Pendekatan Saintifik Ditinjau dari Kegiatan Belajar Siswa

Reflecting Extending Observing

- mendengar, menyimak, melihat, dan menulis.

Questioning

- pertanyaan untuk mengumpul kan informasi secara faktual

mengidentifikasi masalah atau pertanyaan yang didasarkan pada pengalaman, menghasilkan penjelasan yang mungkin untuk masalah atau pertanyaan yang diajukan, merumuskan hipotesis, dan bereksperimen atau menguji hipotesis yang dipilih.

Associating

mengolah/meng - organisasikan informasi

Communicating

menginterpretasi - kan pengalaman

Tabel 5 tersebut menyajikan kegiatan atau aktivitas yang dilakukan siswa pada tiap tahap pembelajaran yang disintesiskan dari beberapa sumber, di Tabel 5 tersebut menyajikan kegiatan atau aktivitas yang dilakukan siswa pada tiap tahap pembelajaran yang disintesiskan dari beberapa sumber, di

Mengamati merupakan tahap awal dalam sintaks pendekatan Saintifik yang di dalamnya memuat kegiatan belajar seperti membaca, mendengar, menyimak, dan melihat (tanpa atau dengan alat). Mengamati juga dapat dipandang sebagai suatu metode. Hal ini didasarkan pada pernyataan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2014: 36) bahwa mengamati merupakan metode yang mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning).

Metode mengamati memiliki keunggulan tertentu seperti menyajikan media objek secara nyata sehingga dapat membuat siswa senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Kebermanaan pembelajaran merupakan kata kunci dalam tahap mengamati yang erat kaitannya dengan prinsip pembelajaran dengan model CORE. Kegiatan belajar dalam tahap mengamati ini merupakan bagian dari tahap koneksi dalam pembelajaran dengan model CORE yang mana pada tahap koneksi tersebut diperlukan aktivitas seperti membaca, mendengar, menyimak, dan melihat suatu objek sebagai sumber informasi yang akan dihubungkan dengan pengetahuan awal siswa. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2014: 37) juga menyatakan bahwa metode mengamati dapat membuat siswa menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang akan digunakan oleh guru.

Selanjutnya, kegiatan mengajukan pertanyaan yang dilakukan oleh siswa merupakan kegiatan belajar yang termuat pada tahap questioning dalam pendekatan Saintifik. Kegiatan tersebut juga dapat dilakukan siswa dalam pembelajaran CORE pada tahap connecting. Kegiatan mengajukan pertanyaan menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2014: 38) berfungsi untuk menstrukturkan tugas-tugas. Artinya, pada tahap tersebut terjadi aktivitas yang mana siswa berusaha mengatur atau mengorganisasikan pertanyaan apa saja yang diperlukan untuk memperoleh informasi yang dimaksud. Di sinilah awal tahap organisasi itu terjadi.

Setelah mencari informasi dengan cara menanya, siswa dibimbing untuk mengumpulkan informasi tersebut dengan berbagai cara. Kementrian Pendidikan Setelah mencari informasi dengan cara menanya, siswa dibimbing untuk mengumpulkan informasi tersebut dengan berbagai cara. Kementrian Pendidikan

Berdasarkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2014: 42), meskipun menalar merupakan terjemahan dari reasoning, istilah menalar dalam Kurikulum 2013 dipadankan dengan associating karena konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan Saintifik banyak merujuk pada teori belajar asosiasi. Istilah asosiasi ini ditandai dengan kegiatan mengelompokkan beragam ide/informasi dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk dibangun menjadi suatu pengetahuan yang baru. Di dalam model pembelajaran CORE, aktivitas menalar termasuk pada tahap reflecting.

Tahap terakhir dalam pembelajaran dengan pendekatan Saintifik adalah mengomunikasikan hasil belajar (communicating). Kegiatan belajar yang dilakukan pada tahap ini adalah menyampaikan hasil pengamatan dan kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan dan tertulis. Di dalam model pembelajaran CORE, tahap ini berhubungan dengan tahap refleksi yang serupa dengan aktivitas menginterpretasikan pengalaman sebagaimana didasarkan pada pendapat Rodgers (2002: 851). Refleksi terjadi manakala siswa mengomunikasikan apa yang telah dipelajari dan guru membimbing siswa untuk memikirkan kembali kesimpulan yang telah dibuat oleh siswa, kemudian keduanya mengomunikasikan hasil pemikiran tersebut. Tahap mengomunikasikan ini tidak semata-mata dilakukan oleh siswa. Klarifikasi yang diberikan guru kepada siswanya merupakan bentuk refleksi yang dikomunikasikan secara lisan atau tertulis.

3. Kemampuan Menyelesaikan Masalah

Pengertian masalah didasarkan atas pendapat-pendapat para ahli sebagai berikut ini. Krulik dan Rudnick (1987: 4) berpendapat bahwa “a problem is a Pengertian masalah didasarkan atas pendapat-pendapat para ahli sebagai berikut ini. Krulik dan Rudnick (1987: 4) berpendapat bahwa “a problem is a

Sementara itu, Van Gundy (2005: 21) menyatakan bahwa masalah adalah beberapa hambatan atau tujuan yang sulit dicapai. Sedangkan Byrnes (2008: 79) menyatakan bahwa masalah adalah situasi ketika seseorang memiliki tujuan yang akan dicapai dan harus memutuskan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Demikian halnya, Bruning, Schraw, & Norby, (2011: 160) menyatakan bahwa masalah adalah situasi ketika keadaan yang sedang berlangsung tidak sesuai dengan keadaan yang diharapkan.

Berdasarkan uraian tersebut, masalah dapat diartikan sebagai suatu situasi atau tantangan dalam mencapai suatu tujuan yang belum diketahui strategi penyelesaiannya dan tidak dapat dapat diselesaikan dengan prosedur rutin (routine procedure ) yang sudah diketahui oleh orang yang ingin menyelesaikan tantangan tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut, setiap situasi yang dipandang sebagai masalah pastilah memerlukan usaha dari kita untuk menyelesaikannya. Usaha yang digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut merupakan bagian dari proses menyelesaikan masalah. Sedangkan hasil penyelesaian masalahnya disebut solusi.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

Pengaruh mutu mengajar guru terhadap prestasi belajar siswa bidang ekonomi di SMA Negeri 14 Tangerang

15 165 84

Hubungan kecerdasan emosional dengan hasil belajar pada mata pelajaran ekonomi di kelas X SMA Darussalam Ciputat Tangerang Selatan

16 134 101

Analisis Orientasi Pembelajaran Dan Orientasi Pasar Terhadap Keunggulan Bersaing Pada IKM Sepatu Di Cibaduyut Kecamatan Bojongloa Kidul Bandung

9 87 167

Pembangunan aplikasi e-learning sebagai sarana penunjang proses belajar mengajar di SMA Negeri 3 Karawang

8 89 291

Aplikasi Objek Wisata Di Kota Bandung Pada Perangkat Mobile Berbasis Android

32 124 111

HUBUNGAN ANTARA KELENTUKAN DAN KESEIMBANGAN DENGAN KEMAMPUAN BACK OVER DALAM SENAM PADA SISWA SMA NEGERI 05 BANDAR LAMPUNG

0 42 1

EFEKTIVITAS MEDIA PENYAMPAIAN PESAN PADA KEGIATAN LITERASI MEDIA (Studi pada SMA Negeri 2 Bandar Lampung)

15 96 159

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82