INTEGRASI NILAI ISLAM DALAM PEMBELAJARAN SAINS (IPA) DI SEKOLAH DASAR (Studi Deskriptif-Kualitatif di SD al-Muttaqin Full Day School, Kota Tasikmalaya).

(1)

INTEGRASI NILAI ISLAM DALAM PEMBELAJARAN SAINS (IPA) DI SEKOLAH DASAR

(Studi Deskriptif-Kualitatif di SD al-Muttaqin Full Day School, Kota Tasikmalaya)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Umum

Oleh

SYARIP HIDAYAT NIM. 0707519

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN UMUM

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:

Pembimbing I,

Prof. Dr. H. Ahmad Tafsir, M.A.

Pembimbing II,


(3)

ABSTRAK

Penelitian tentang Integrasi nilai Islam dalam pembelajaran Sains (IPA) di SD ini sebagai upaya mengungkap permasalahan nyata di lapangan. Penelitian ini berusaha mengungkap upaya yang dilakukan SD al-Muttaqin Full Day School, Tasikmalaya dalam upaya mengintegrasikan nilai Islam dalam persekolahan khususnya untuk menelaah dan memotret upaya guru dalam mengintegrasikan nilai Islam dalam pembelajaran Sains di kelas. pokok bahasan tentang Bumi dan Alam semesta dipilih sebagai bahan ajar yang akan dikaji dalam konteks mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam pokok bahasan tersebut. Pokok bahasan ini diambil karena dimungkinkan munculnya nilai-nilai Islam yang dapat diintegrasikan kedalam konsep dan teori tentang bumi dan alam semesta ini. Data-data penelitian dikumpulkan melalui berbagai instrumen penelitian (wawancara, observasi dan dokumentasi), subjek-subjek yang berhubungan dengan fokus penelitian (Kepala Sekolah, Wakasek bidang Kurikulum dan Kesiswaan) merupakan subjek penelitian untuk mengungkap komitmen dan program sekolah dalam upaya mengintegrasikan nilai Islam di lingkungan sekolah. Adapun tentang penanaman nilai Islam dalam pembelajaran Sains (IPA) di SD, peneliti melakukan kolaborasi dengan guru sains kelas V SD untuk mengobservasi dan menganalisis bagaimana desain program pengajaran yang dilakukan guru dalam membuat perencanaan pembelajaran dan proses di kelas. Berdasarkan hasil penelitian ini, teridentifikasi permasalahan yang muncul dan dialami oleh guru upaya mengintegrasikan nilai Islam dalam pembelajaran sains (IPA). Ditemukan bahwa masih rendahnya kesadaran guru dalam mengintegrasikan nilai Islam ke dalam pembelajaran sains, baik secara eksplisit atau implisit. Hal ini disebabkan masih kuatnya paradigma sentralistik bahwa segala hal yang berhubungan dengan pembelajaran telah diatur dari pusat, sehingga daya kreasi dan inovasi guru menjadi terhambat. Selain itu, latar belakang guru sangat menentukan keberhasilan upaya integrasi ini. Guru dengan latar belakang dan wawasan keislaman yang baik akan secara mudah melakukan upaya integrasi ini. Tetapi yang lebih utama adalah perubahan paradigma dalam melihat konsep ilmu dalam Islam, juga perlunya motivasi, semangat yang tinggi dalam merumuskan penanaman nilai Islam baik dalam perencanaan maupun proses pembelajaran.


(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa karya tulis dengan judul “INTEGRASI NILAI ISLAM DALAM PEMBELAJARAN SAINS (IPA) SD” (Studi Deskriptif-Kualitatif di SD al-Muttaqin Full Day, School. Tasikmalaya) beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan.

Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi yang diajukan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran atas etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Juli 2009

SYARIP HIDAYAT NIM. 0707519


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis ini membahas “Integrasi Nilai Islam dalam Pembelajaran Sains (IPA) di SD; Studi Deskriptif Kualitatif di SD al-Muttaqin Full Day School, Tasikmalaya”.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dorongan berupa saran, pendapat, dan bimbingan dari pihak-pihak tertentu. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd. selaku Ketua Program Pendidikan Umum SPs UPI sekaligus sebagai Pembimbing II yang selalu memperhatikan dan mendorong penulis, agar dapat belajar dengan sungguh-sungguh dan dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

2. Prof. Dr. H. Ahmad Tafsir, MA. selaku pembimbing I, yang telah memberikan motivasi dan dukungan, serta arahan-arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

3. Seluruh dosen di Jurusan PU Universitas Pendidikan Indonesia, yang telah memperluas cakrawala berpikir penulis dalam berbagai bidang ilmu.

4. Bapak dan Ibu saya tercinta, KH. Johar Tauhid, dan Hj. Nani Munawaroh, yang telah memberikan dukungan doa dan moril sehingga selesainya tesis ini, kepada merekalah tesis ini dipersembahkan.

5. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuannya pada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis hanya berdoa dan berharap semoga Allah SWT memberikan rahmat dan membalas amal baik yang telah Bapak/Ibu/Saudara berikan. Amin

Bandung, Juli 2009


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

PERNYATAAN... ii

DAFTAR ISI ... iii

KATA PENGANTAR ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian ... 11

E. Definisi Operasional ... 13

F. Lokasi dan Sumber Data ……….. 14

BAB II INTEGRASI NILAI ISLAM DALAM PEMBELAJARAN SAINS DI SD A. Metode dan Strategi Pembelajaran ... 15

1. Perencanaaan Pengajaran …..………. 16 2. Tujuan Pengajaran ... 25 3. Bahan Pengajaran ... 31 4. Strategi Pengajaran ... 34 5. Evaluasi Pembelajaran ... 49 B. Konsep Nilai dan Ruang Lingkup Nilai-nilai Islam ... 56

C. Pembelajaran Sains (IPA) di Sekolah Dasar (SD) ... 80

D. Relevansi Pendidikan Umum/Nilai dengan Pembelajaran Sains di Sekolah………... 102

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 110

B. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 111

C. Teknik Pengumpulan Data ... 111

D. Tahapan Penelitian ... 112

E. Analisis Data ... 113

BAB IV DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Data Penelitian ... 115


(7)

B. Profil SD al-Muttaqin Full Day School, Tasikmalaya ... 116

1. Sejarah, Identitas, Visi dan Misi SD al-Muttaqin Full Day School … 116 2. Struktur Organisasi, dan Data Siswa ………... 118

C. Deskripsi Data dan Pembahasan Hasil Penelitian ……… 119

1. Gambaran Umum mengintegrasikan Nilai Islam di persekolahan ….. 119

2. Hasil Observasi Upaya Guru dalam mengintegrasikan Nilai Islam dalam Pembelajaran Sains (IPA) ... 139

D. Pembahasan Hasil Penelitian... 148

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 174

B. Rekomendasi ... 175

DAFTAR PUSTAKA ... 177

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 180 RIWAYAT HIDUP PENULIS


(8)

!" # $%"!

# &

' (

' ) # * +*

,-. ' / * #+ /

. ( 0* 1 2 +

$ 3!!4 5 6 7

( +

& ' $%%% 15

-& 7 $%%8 1

$%"8 9+ ((

+ + +

+ 7777 0000 Institusi Jabatan

$* 3!!: 7 57( / +

) 2 7

) 2) 2 77

) 2 7

'* '* '*

'* 7777

* 7 * 7 * 7

* 7 ;+;+;+;+

< < <


(9)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Saat ini pendidikan dihadapkan pada persoalan yang sangat kompleks dan luar biasa sulit, namun semua negara tanpa kecuali mengakui pendidikan adalah tugas negara yang paling penting. Menurut Capra paling tidak dua dasa warsa terakhir dari abad 20 dan awal abad 21 ini, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, menyentuh berbagai aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, ekologi, teknologi, peradaban dan juga agama. Selanjutnya Capra menegaskan bahwa krisis yang terjadi sekarang dalam berbagai dimensi baik krisis intelektual, moral dan spiritual adalah suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah manusia. (Tafsir, 2006:313).

Kenyataan di atas merupakan tantangan terbesar bagi dunia pendidikan saat ini. Proses pendidikan selalu didaulat sebagai sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Pendidikan yang konsisten dan berkesinambungan dalam konsep dan operasionalisasinya diyakini dapat menuntun suatu bangsa ke arah kemajuan. Krisis yang terjadi baik krisis dekadensi moral, kekerasan dan sebagainya dipahami banyak kalangan sebagai akibat kegagalan sistem pendidikan di Indonesia. Begitu juga merosotnya indeks pembangunan manusia (IPM) di Indonesia tahun 2003 dari posisi 110 menjadi 112 sebagai catatan belum berhasilnya sistem pendidikan di Indonesia.

Dalam konteks pendidikan nasional, rendahnya kualitas pendidikan nasional tersebut tidak hanya disebabkan oleh kelemahan pendidikan dalam membekali kemampuan akademis peserta didik. Lebih dari itu ada hal lain yang lebih penting, yaitu kurangnya penyadaran nilai secara bermakna. akibatnya, munculah berbagai anomali dari proses pendidikan, pendidikan yang pada mulanya didaulat untuk memperbaiki kualitas intelektual-moral peserta didik akhirnya mengalami ketimpangan, persoalan-persoalan penyimpangan moral datang dari institusi pendidikan itu sendiri, berbagai bentuk penyimpangan kerap


(10)

2

terjadi antara lain tawuran antar pelajar, perkelahian antar siswa sampai kepada penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Hal ini dapat menjadi gambaran begitu rapuhnya upaya penyisipan dan penyadaran nilai-nilai moral di kalangan peserta didik. (Tafsir, 2006:220).

Dalam lingkungan yang lebih luas, menurunnya moralitas peserta didik merupakan dampak langsung dari pergeseran nilai yang memudarkan budaya dan norma masyarakat. Gejala pergeseran keyakinan nilai-moral ini menurut Sauri (2007) merupakan efek dari benturan nilai-nilai kultural dengan nilai yang lebih global. Karena itu, pergeseran dan benturan nilai merupakan tantangan pendidikan nilai dalam konteks pendidikan nasional.

Krisis dan penyimpangan moral tersebut menurut Tafsir berakar pada menurunnya keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi sistem pendidikan (dalam hal ini kurikulum) belum juga mengantisipasi hal tersebut, menurutnya sudah seharusnya kurikulum menjadikan pendidikan keimanan sebagai inti (core) sistem pendidikan nasional sehingga permasalahan kemerosotan akhlak siswa bisa segera ditanggulangi. (Tafsir, 2006:198)

Hal senada diungkapkan Sauri (2006:4) dalam rangka membentuk manusia indonesia yang utuh dan berkualitas, maka yang paling diutamakan adalah kualitas iman dan takwanya, dalam arti pembinaan nilai-nilai spiritual mesti lebih diutamakan lalu disusul dengan aspek lainnya. Hal demikian perlu dilakukan secara integral dan simultan baik di lingkungan pendidikan keluarga, sekolah maupun masyarakat.

Salah satu ikhtiar yang perlu dilakukan, menuntut pakar pendidikan islam adalah perlunya upaya menata ulang suatu sistem pendidikan yang berkualitas, utuh dan dapat menyentuh seluruh aspek kompetensi siswa. Misalnya dalam konteks pendidikan di indonesia perlunya digagas upaya mengintegrasikan semua disiplin ilmu ke dalam kerangka nilai Islam. Upaya tersebut telah menjadi wacana yang terus bergulir baik di institusi pendidikan departemen Agama maupun di


(11)

3

departemen pendidikan nasional. Upaya demikian menurut Tafsir merupakan langkah maju dan inovatif untuk mendamaikan struktur keilmuan yang cenderung dikotomistik yang berbahaya bagi peradaban manusia. (Tafsir, 2004:228).

Secara historis-filosofis, Gejala ini lebih disebabkan adanya disharmoni keilmuan yang terpecah ke dalam ilmu umum dan ilmu agama sehingga berdampak terhadap kepincangan dalam mengatasi problema pendidikan dihadapi. Orang-orang Islam yang hanya mengandalkan ilmu agama Islam dalam memecahkan masalah kurang mampu menghadapi perubahan jaman dan kalah dalam persaingan global. Sebaliknya, ilmu pengetahuan umum yang tidak dilandasi oleh wahyu menyebabkan dehumanisasi serta krisis lingkungan. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengintegrasikan kedua bidang ilmu itu menjadi harmonis dan sinergis.

Fenomena diatas, dalam konteks global memunculkan suatu gerakan intelektual yang disebut dengan Islamisasi ilmu, gejala tersebut setidaknya didorong oleh kenyataan bahwa: (1). Masyarakat muslim memerlukan paradigma sains yang dapat memenuhi kebutuhan baik material maupun spiritual; (2). Sains modern telah terbukti menimbulkan akibat sekuensial berupa kerusakan semesta dan dehumanisasi; (3). Masyarakat muslim pernah memiliki peradaban agung yang telah mengintegrasikan sains dengan ajaran Islam. (Gholsani, 1989).

Selanjutnya al-Attas (1978:40) mengungkapkan bahwa tantangan terbesar yang secara diam-diam dihadapi oleh umat Islam masa sekarang adalah tantangan ilmu pengetahuan, bukan dalam kebodohan, tetapi ilmu pengetahuan yang diadopsi dari peradaban barat. Ilmu pengetahuan ini telah kehilangan tujuannya karena merupakan produk dari kebingungan dan skeptisisme yang meletakan keraguan dan spekulasi sederajat dengan metodologi ilmiah untuk mencari sebuah kebenaran, al-Attas lebih lanjut berulang-ulang menyatakan bahwa sains yang berkembang di era modern ini secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual dan persepsi psikologis dari kebudayaan dan peradaban barat.


(12)

4

Lebih lanjut dikatakan, Bahwa gejala tersebut merupakan implikasi kuatnya paradigma dikotomis dalam memandang ilmu di berbagai institusi pendidikan, hal tersebut kemudian memunculkan ide tentang perlunya digagas integrasi keilmuan di segenap stake holder pendidikan. Mahmud Yunus (1960:273) mengatakan bahwa dikhotomi institusi pendidikan umum dan pendidikan agama ini telah berlangsung semenjak bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern. Dikotomi keilmuan Islam tersebut berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan di lingkungan umat Islam, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya.

Berkenaan dengan cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan adalah adanya image bahwa hanya ilmu-ilmu Islam yang pantas dan layak untuk dipelajari bagi anak-anaknya sedangkan ilmu-ilmu umum (sekuler) dipandang suatu bagian ilmu yang tidak perlu dipelajari. (Yunus, 1960:273).

Cara pandang dengan perspektif dikotomik terhadap ilmu tersebut berimplikasi munculnya cara pandang sebagian umat Islam terhadap pendidikan. Sebagian umat Islam memandang hanya lembaga-lembaga pendidikan yang berlabel Islam yang mampu menghantarkan anak-anaknya menjadi muslim sejati bahagia dunia-akhirat. sementara itu, lembaga-lembaga pendidikan “umum” dipandang sebagai lembaga sekuler yang tidak kondusif bagi pendidikan generasi penerusnya. Begitu juga disisi lain ada pandangan yang lebih mengutamakan memasukan anak-anaknya ke lembaga pendidikan umum dengan pertimbangan jaminan mutu dan prospek pekerjaan yang bakal diperolehnya daripada lembaga pendidikan agama yang cenderung tradisional, tidak ada jaminan kerja dan ketinggalan jaman (Sobary, 1998:30).

Keprihatinan semakin melebarnya dikotomi ilmu umum dan agama ini (ilmu yang bersumber dari kitab qauliyah dan kauniyah) memunculkan derap langkah kreasi dan inovasi sebagian elemen umat Islam dalam upaya mengintegrasikan kedua ilmu tersebut sehingga keduanya dapat berjalan secara


(13)

5

harmonis dan saling menguatkan, usaha integrasi nilai Islam dalam berbagai produk ilmu pengetahuan mulai dilakukan. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, upaya-upaya integrasi ilmu telah mulai dilakukan oleh berbagai institusi pendidikan di tanah air.

Dalam konteks integrasi keilmuan, setidaknya telah mulai di gagas adanya perumusan pembelajaran yang terintegrasi (integrated learning), misalnya di Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) telah digulirkan pembelajaran terintegrasi untuk program D2 PGSD, begitu pun di lingkungan Departemen Agama (DEPAG), pendidikan terintegrasi ini dilakukan dengan pola memadukan bidang studi agama (nilai agama) ke dalam bidang studi umum. Selain terjadi di kedua departemen tersebut, proses integrasi keilmuan ini berkembang juga di institusi pendidikan swasta (yang biasanya berbentuk yayasan dan sebagainya) sehingga dikenal adanya sebutan SD, SLTP, SMU Plus (terpadu) atau label-label tertentu yang mengisyaratkan sebuah pendidikan yang sarat dengan muatan keagamaan. Misalnya lembaga pendidikan al-Azhar (SD,SMP, SMA), SD-SMP Islam Darul Hikam, Bandung dan banyak lagi sekolah/madrasah yang belum disebutkan tapi memiliki fokus perhatian dan muatan yang relatif sama. Akhir kata, jalan menuju integrasi keilmuan telah dimulai di berbagai institus pendidikan di tanah air Indonesia.

Disisi lain, upaya integrasi ini pun telah menjadi perhatian para akademisi dalam upaya memasukan nilai Islam dalam berbgai kurikulum dan bidang studi keilmuan. Misalnya ada beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan mahasiswa pasca sarjana UPI berkenaan dengan masalah pengintegrasian Nilai-nilai agama yang dilakukan oleh Muhammad Romadlon, judul penelitiannya bertajuk Pembelajaran Kimia Sub Bahan Kajian Aditif Pada Makanan yang Terintegrasi Nilai-nilai Agama. Di kesimpulan akhir, dia mengungkapkan bahwa masih terdapatnya kendala dalam rangka merealisasikan hal tersebut diantaranya karena keterbatasan wawasan dan pengetahuan guru dalam upaya mengintegrasikan Nilai-nilai agama ke dalam mata pelajaran tersebut.


(14)

6

Penelitian lainnya dilakukan oleh Rinduansyah melalui penelitian tidakan kelas (PTK) yang berjudul Penerapan Model Pembelajaran Terpadu antara Biologi dan Imtaq untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa di Madrasah Aliyah. Dia memberikan kesimpulan akhir dari penelitiannya adalah meningkatnya motivasi dan hasil belajar siswa yang cukup signifikan ketika pembelajaran itu diintegrasikan dengan Nilai-nilai agama. Sementara penelitian lain dilakukan Kusnandi melalui judul penelitiannya Pengembangan Pembelajaran Integrasi Nilai-nilai Tauhid dalam Pembelajaran Geografi. Hasil penelitiannya terungkap motivasi dan hasil belajar siswa meningkat dan merekomendasikan agar upaya mulia ini dapat dikaji lebih mendalam lagi sehingga usaha integrasi ini betul-betul memiliki standardisasi ilmiah hasil kajian intensif bukan hanya sekadar persepsi dan inovasi dari guru-guru di sekolah.

Dari banyaknya animo kaum akademis dalam upaya integrasi yang dikemukakan di atas tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan tentang upaya integrasi nilai Islam dalam pembelajaran di sekolah dasar (SD). Peneliti dalam penelitian ini memfokuskan untuk meneliti, mengungkap potret bagaimana mengintegrasikan nilai Islam dalam pembelajaran sains (IPA) di sekolah dasar (SD). Hal ini penting dilakukan, karena secara esensial setiap proses pembelajaran harus menyertakan asupan nilai sebagai bagian integral dari proses pendidikan.

Mulyana (2004:179) menegaskan bahwa integrasi nilai perlu dilakukan kepada semua mata pelajaran, termasuk untuk mata pelajaran sains dan matematika. Selama ini, kenyataan di dunia barat yang masih memandang bahwa sains diajarkan hanya sebatas ilmu dan untuk ilmu tidak dapat diterima begitu saja. dalam konteks pendidikan di Indonesia, integrasi nilai dalam proses pendidikan dapat ditafsirkan sebagai amanat UU Sisdiknas no. 20/2003 tentang tujuan pendidikan nasional:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi


(15)

7

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab

Oleh karena itu, pembelajaran sains (IPA) dan matematika semestinya mengembangkan seluruh kompetensi siswa (kognisi, afeksi dan psikomotor) sebagai komponen esensial proses dan akhir pembelajaran. Dalam pemahaman ini, maka pengembangan nilai dan etika harus secara eksplisit diajabarkan dan diperkaya dalam setiap topik pembelajaran. melalui pengajaran seperti itu keseimbangan antara pemerolehan pengetahuan, kompetensi teknologi, moral individu dan apresiasi terhadap nilai-nilai budaya dapat ditingkatkan.

Wacana integrasi nilai dalam pembelajaran begitu mengemuka, berbagai metode dan pendekatan dapat dilakukan untuk melakukan hal tersebut, misalnya pembelajaran terintegrasi dapat memadukan kemampuan kognitif dan afektif siswa sekaligus karena di dalamnya dikembangkan sebuah pendekatan bagaimana mengembangkan domain kognitif-afektif siswa agar mampu bertindak dengan benar dan tepat atas dasar pertimbangan intelektual-emosional yang mereka lakukan. Strategi mengajar nilai dalam pendektan integral ini meliputi strategi klarifikasi nilai, pengembangan moral, analisis nilai dan integrasi nilai.

Hubungannya dengan pendidikan umum, menurut Hinduan (2003:15-16) pendidikan umum mencakup juga pendidikan sains di dalamnya, hal ini karena dalam ilmu sains (IPA) pada hakikatnya memiliki tujuan untuk mengembangkan manusia seutuhnya dan itu adalah core dari pendidikan umum. Sebagai mata pelajaran, IPA memiliki potensi yang besar sebagai wahana pendidikan umum guna mengembangkan berbagai kemampuan dan sikap seperti kemampuan berfikir tingkat tinggi, kemampuan bekerja keras, mengasah keterampilan dasar, sikap jujur dan berdisiplin.

Belajar sains adalah juga belajar untuk memahami hakekat kehidupan manusia, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Dengan belajar sains, kita belajar untuk rendah hati. Oleh karena itu, pembelajaran sains seyogyanya ditujukan untuk peningkatan harkat kehidupan manusia sebagai penghuni alam


(16)

8

semesta ini. Pembelajaran sains berbasis nilai Islam menurut penulis merupakan suatu langkah yang muia karena dapat mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu: memahamkan anak tentang konsep-konsep sains dan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Permasalahannya adalah bagaimana implementasi pembelajaran sains berbasis nilai Islam ini dapat diterapkan di sekolah agar dua tujuan utama di atas dapat tercapai secara bersama-sama.

Dengan demikian, upaya integrasi nilai dalam mata pelajaran sains (IPA) perlu segera dilakukan walaupun potret di lapangan, guru seringkali mendapatkan hambatan untuk melakukan inovasi tersebut dengan berbagai jenis hambatan yang beragam. Misal salah satunya perlu ada upaya merubah paradigma guru dalam memandang ilmu sains. Mereka seringkali memandang pembelajaran sains hanya ditujukan untuk penguasaan konsep belaka sehingga aspek nilai seringkali tidak menjadi perhatian utama untuk dirumuskan secara baik sebagai bagian dari tujuan pembelajaran.

Dari berbagai permasalahan diatas, peneliti mencoba melakukan survei pendahuluan di SD al-Muttaqin Full Day School, Tasikmalaya. Sekolah ini menjadi target penelitian karena terungkap sebuah informasi bahwa SD al-Muttaqin merupakan salah satu SD favorit atau unggulan di kota Tasikmalaya, dikatakan unggulan karena SD ini seringkali mendapatkan prestasi yang baik di dalam berbagai even kejuaraan dan perlombaan antar sekolah baik dari bidang akademis ataupun yang lainnya. Dan yang lebih penting lagi, sekolah ini memiliki visi, misi serta komitmen menjadi institusi pendidikan yang berikhtiar untuk mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dalam seluruh aspek kehidupan siswa di lingkungan sekolah baik yang bersifat intrakurikuler maupun ekstra kurikuler.

Memperhatikan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam upaya menggali informasi yang lebih mendalam dan komprehensif dari lapangan yang bersipat empiris seputar proses dan aktifitas pembelajaran di SD al-Muttaqin Full Day School, Tasikmalaya. Semua proses penelitian tersebut difokuskan kepada seputar kebijakan akademik dalam upaya


(17)

9

mengintegrasikan nilai Islam dalam aktivitas pendidikan baik yang bersifat intrakurikuler maupun ekstrakurikuler khususnya integrasi nilai Islam dalam pembelajaran sains (IPA) di SD.

B. RUMUSAN MASALAH

Kalau dikaji lebih cermat, integrasi nilai Islam dalam pembelajaran ini memiliki banyak ragamnya dan kadang berbeda antar institusi pendidikan yang satu dengan lainnya. Tetapi pada prinsipnya yang diujicobakan di berbagai lembaga keagamaan dan pendidikan saat ini meliputi:

a. Memadukan pembelajaran umum dengan mata pelajaran agama melalui pemetaan (klasifikasi) ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits berupa kurikulum,

b. Menghubungkan setiap bahasan pelajaran dengan memasukan nilai-nilai Islam dalam materi tersebut,

c. Dalam mata pelajaran Agama, materi yang disampaikan didukung dengan ditunjukkan bukti-bukti ilmiah untuk lebih mempertegas tentang kebenaran agama yang siswa anut.

Dari ketiga model pembelajaran tersebut, SD al-Muttaqin Full Day School, Tasikmalaya cenderung lebih memilih model pembelajaran dengan memasukan nilai-nilai Islam pada setiap materi yang disampaikan. Walaupun demikian untuk menghasilkan output pendidikan yang bermutu, cerdas dan berakhlaqul karimah, pihak lembaga memiliki kegiatan-kegiatan penunjang dan pendukung terhadap terealisasinya suasana akademik yang religius dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang dapat memberikan bekal yang cukup dalam upaya pemenuhan intelektual (kognisi), emosional (afeksi), dan psikomotorik yang seimbang.

Rumusan masalah pada penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut: “Bagaimana upaya integrasi nilai Islam dalam pembelajaran Sains (IPA) di SD al-Muttaqin Full Day School, Tasikmalaya?”


(18)

10

Untuk memberikan arah penelitian yang jelas, selanjutnya penelitian ini dirincikan lagi dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah profil SD al-Muttaqin Full Day School, Tasikmalaya? 2. Bagaimana upaya guru dalam merumuskan tujuan dan materi

pembelajaran Sains yang berbasis nilai Islam di SD al-Muttaqin Full Day School, Tasikmalaya?

3. Bagaimana proses pelaksanaan pembelajaran Sains yang berbasis nilai Islam di SD al-Muttaqin Full Day School, Tasikmalaya?

4. Apa hambatan dan kendala yang dihadapi guru dalam mengintegrasikan nilai Islam pada pembelajaran Sains di SD al-Muttaqin Full Day School, Tasikmalaya?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Secara teoretis penelitian ini bertujuan untuk mengungkap permasalahan di lapangan dalam mengintegrasikan nilai Islam pada pembelajaran sains (IPA) di SD, seluruh proses pembelajaran dalam bidang studi diharapkan sarat dengan makna dan nilai Islam. Maka dalam hal ini wawasan yang luas serta kemampuan guru dalam menterjemahkan proses pembelajaran terintegrasi ini sangat diutamakan.

Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi dan deksripsi yang jelas dalam hal:

a. Mengungkap informasi aktual mengenai visi dan misi pendidikan dan pembelajaran di SD al-Muttaqin Full Day School, Tasikmalaya dalam mengintegrasikan nilai Islam di sekolah.

b. Mengetahui persiapan dan perencanaan guru dalam membuat program pengajaran sains yang berbasis nilai Islam di SD.

c. Mengetahui proses dan aktivitas pelaksanaan integrasi nilai Islam dalam pembelajaran sains (IPA) di SD.


(19)

11

d. Mengetahui hambatan dan kendala yang dialami guru dalam upaya mengintegrasikan nilai Islam dalam pembelajaran sains di SD.

D. METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penggunaan pendekatan ini disesuaikan dengan tujuan pokok penelitian, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis mengenai integrasi nilai Islam dalam pembelajaran sains (IPA) di SD al-Muttaqin Full Day School, Tasikmalaya.

Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi.

1. Observasi (Pengamatan)

Observasi diperlukan untuk mendapatkan data berupa dokumen, baik mengenai perilaku personal, maupun profil sekolah. Dalam setiap observasi, peneliti harus mengkaitkannya dengan dua hal yang penting, yakni informasi (misalnya apa yang terjadi) dan konteks (hal-hal yang berkaitan di sekitarnya). Oleh karena itu, segala sesuatu yang terjadi pada observasi dalam dimensi waktu dan tempat tertentu, apabila informasi lepas dari konteksnya makna informasi tersebut akan kehilangan maknanya.

Nasution (2001:106), menyatakan bahwa partisipan pengamat dalam melakukan observasi berbagai tingkat, yaitu partisipasi nihil, sedang, aktif dan penuh. Dalam penelitian ini posisi peneliti berada pada partisipasi aktif dan penuh. Hal ini dimungkinkan mengingat tempat penelitian adalah tempat kerja peneliti. Pengamatan dengan partisipasi penuh mempunyai keuntungan yaitu peranannya sebagai peneliti, sehingga data informasinya bisa lebih akurat.


(20)

12

2. Wawancara

Pendapat Nasution (2001:113), mengemukakan bahwa wawancara dalam penelitian kualitatif adalah wawancara yang dilakukan sering bersifat terbuka dan tak berstuktur. Peneliti tidak menggunakan test standar atau instrumen lain yang telah di uji validitasnya. Peneliti mengobservasi apa adanya dalam kenyataan. Peneliti mengajukan pertanyaan dalam wawancara menurut perkembangan wawancara itu, secara wajar berdasarkan ucapan dan buah pikiran yang dicetuskan orang yang diwawancarai itu. Oleh karena itu, dalam melaksanakan penelitian kualitatif, wawancara yang digunakan tidak berstruktur dan lebih bersifat informal. Pertanyaan-pertanyaan tentang pandangan, sikap dan keyakinan objek atau subjek serta tentang keterangan lainnya dapat diajukan secara bebas kepada subjek.

3. Studi Dokumentasi

Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang berarti barang-barang tertulis. Metode dokumentasi berarti cara mengumpulkan data dengan mencatat data yang sudah ada berupa data jumlah guru, kurikulum, satuan pelajarannya, rencana pelajarannya, buku pribadi siswa, biodata siswa. Dengan studi dokumentasi ini, diharapkan aspek-aspek yang menjadi penekanan dalam upaya integrasi nilai moral siswa dapat diketahui.

Dokumentasi photo dapat menerangkan proses suatu kegiatan situasi pada saat memberikan bahan deskriptif yang sedang berlangsung pada waktu penelitian. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini, peneliti mengacu kepada ketentuan yang dikemukakan oleh Nasution (1988:33) yaitu terdiri dari: (1) Tahap orientasi; (2) Tahap eksplorasi; (3) Tahap member check.

Tahap orientasi merupakan kegiatan memasuki lapangan yang masih dalam bentuk penjajagan. Tahap eksplorasi, ialah mengumpulkan


(21)

13

data yang lebih terarah dan lebih spesifik. Tahap member check, yaitu hasil pengamatan dan wawancara yang terkumpul dianalisis, dituangkan dalam bentuk laporan, diperbanyak, dibagikan pada responden yang bersangkutan untuk dibaca dan dinilai kesesuaiannya dengan informasi yang diberikan.

E. DEFINISI OPERASIONAL

Untuk menghindari kesalahan persepsi terhadap judul penelitian ini, yaitu: “Integrasi nilai Islam dalam pembelajaran sains (IPA) di SD”, maka peneliti perlu menjelaskan secara singkat beberapa istilah yang menjadi kajian utama dalam ruang lingkup permasalahan yang diteliti, yaitu:

1. Integrasi

Dalam kamus Webster Dictionary, Integrasi berasal dari kata “integrer” yang diterjemahkan sebagai unit. Dengan demikian integrasi yang dimaksud adalah suatu gabungan, perpaduan, koordinasi, harmoni, kebulatan atau keseluruhan. Terintegrasi dalam penelitian ini dimaksudkan bukan hanya terintegrasi yang sifatnya fisik atau sarananya saja, misalnya terintegrasinya sekolah dengan fasilitas keagamaan (mesjid, asrama dsb), bukan pula hanya terpadu dalam pengertian penggabungan konseptual antara mata pelajaran tertentu dengan mata pelajaran agama yang dilakukan guru di kelas. Namun keterpaduan disini dimaksudkan mencakup unsur tujuan dan hakikat pembelajaran dengan menanamkan nilai Islam pada seluruh komponen proses pembelajaran itu berlangsung sehingga akan muncul konsep diri dan aktualisasi dari nilai Islam sebagai hasil dari proses pembelajaran.

2. Nilai Islam

Pengertian nilai menurut Milton Rokeach dan James Bank yang dikutip oleh H. Una mengartikan Nilai sebagai berikut:


(22)

14

suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan.

Sedangkan pengertian Nilai yang lebih luas dan sebagai rangkuman besar dari ragamnya pengertian Nilai ini, diungkapkan oleh A. Kosasih Djahiri, yakni:

Nilai merupakan ide atau konsep mengenai apa yang penting dan bertautan dengan etika dan estetika. Nilai adalah tuntutan mengenai apa yang baik dan benar, adil dan indah. Nilai merupakan standar untuk mempertimbangkan dan memilih perilaku apa yang pantas dan tidak pantas atau tidak baik dilakukan. Sebagai standar, Nilai membantu sesorang menentukan apakah ia suka terhadap sesuatu atau tidak. Dalam konteks yang lebih kompleks, Nilai membantu orang menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk tentang objek, orang, ide, gaya prilaku dan yang lainnya.(Djahiri, 1985:4)

Nilai Islam berbeda dengan pendidikan agama Islam, nilai Islam berfokus kepada pembinaan nilai (Values Education) yang bertujuan sebagai usaha pendidik dalam membantu siswa mengalami, menghayati, merefleksi, memilih dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga terintegrasi dalam pribadi dan perilakunya. (Sauri, 2006:45)

Dari sejumlah pengertian di atas hubungan tentang nilai dan islami, dapat dibuat satu pengertian tentang nilai Islam, yaitu sesuatu yang berharga, berguna, indah, baik, benar, abstrak dan ideal menurut acuan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.

F. LOKASI DAN SUMBER DATA

Penelitian ini dipusatkan di SD al-Muttaqin Full Day School, Tasikmalaya, karena sekolah ini memiliki komitmen menjadi sekolah yang berupaya mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam seluruh proses pendidikan baik yang bersifat intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Oleh karena itu peneliti menganggap melakukan penelitian di sekolah ini relevan dengan fokus penelitian yang akan dilaksanakan.


(23)

15 BAB II

INTEGRASI NILAI ISLAM DALAM PEMBELAJARAN SAINS DI SEKOLAH DASAR

A. Metode dan Strategi Pembelajaran

Metodologi penyampaian materi adalah ilmu yang mempelajari cara-cara utnuk melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pemberi pesan dan penerima pesan untuk berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan pemebalajar untuk mencapai tujuan. Dalam institusi pendidikan, guru merupakan aktor utama terhadap berhasilnya sebuah proses pendidikan. Kemampuan membuat desain instruksional/pengajaran yang baik mutlak dimiliki oleh seorang guru profesional, hal ini disebabkan yang dihadapi oleh guru bukanlah benda mati, ia berhadapan dengan anak manusia yang sedang tumbuh dan berkembang, memiliki entering behaviour yang masing-masing berbeda secara individual. (Hamalik, 1990:v)

Di pihak lain, guru berkewajiban moral membina, mengarahkan anak didik dan membawanya ke arah cita-cita dari tujuan pendidikan nasional. Tujuang yang begitu mulia sekaligus menggambarkan sebagai sebuah misi usaha yang sangat rumit dan jangka panjang. Jika guru salah melakukan tugas dan peranan sekarang ini, maka kemungkinan besar generasi masa yang akan datang tidak akan terjelma sebagaimana yang kita harapkan dewasa ini. Salah satu pekerjaan yang cukup rumit itu adalah masalah penyusunan/pengelolaan sistem instruksional. Sistem intruksional harus didesain begitu rupa menurut prosedur tertentu untuk mencapai tujuan tertentu, oleh karena itu sejak awal guru harus belajar secara aktif dan inovatif bagaimana cara menyusun, mengembangkan dan melaksanakan sistem instruksional/pengajaran.

Dalam kerangka itu pula, maka studi tentang desain intruksional dan strategi dalam pembelajaran, sewajarnya mendapat perhatian sepenuhnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mencoba mengembangkan teori dan konsep-konsep baru tentang desain intruksional. Masalah desain pembelajaran pada hakikatnya


(24)

16

usaha perancangan instruksional yang selanjutnya akan diterapkan dalam kondisi aktual yakni dalam situasi belajar-mengajar dalam kelas. Dalam kondisi ini faktor guru memegang titik sentral terhadap sukses tidaknya sebuah proses pembelajaran, maka untuk menghasilkan sebuah proses pembelajaran yang bermutu dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, guru perlu memahami dan menguasai berbagai perangkat dan komponen-komponen pendidikan dari mulai perencanaan, tujuan dan proses, bahan atau materi yang akan diajarkan juga evaluasi hasil pembelajaran.

Sebagai agen penting dalam proses persekolahan, guru memiliki peranan yang cukup besar. Peranan guru tersebut dapat diartikan dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, guru mengemban peranan sebagai ukuran kognitif, sebagai agen moral, sebagai inovator dan kooperatif (W. Taylor dalam Hamalik; 1990:53).

Pada dasarnya, teori tentang desain pembelajaran ini dapat berlaku umum untuk setiap situasi pembelajaran, artinya tujuan atau target yang diharapkan adalah isi atau substansi dari pembelajaran itu sendiri. Teori ini dapat membantu dan menghantarkan guru untuk mencapai sebuah proses pembelajaran yang efektif, berkualitas dan bermakna.

1. Perencanaan Pengajaran

Ada tiga komponen penting ketika guru akan melaksanakan aktivitas pembelajaran, yaitu : penyusunan suatu desain pembelajaran, struktur program pembelajaran dan juga pola mengajar seperti apa yang akan diterapkan dalam proses pembelajaran.

Program pengajaran atau pembelajaran merupakan salah satu sub sistem pendidikan persekolahan. Suatu bentuk perencanaan pengajaran akan sangat membantu guru dalam mengarahkan dan mengoptimalkan kegiatan belajar anak sehingga memperoleh hasil belajar yang maksimal pula. Dengan adanya perencanaan pengajaran, guru dapat menyusun dan mengatur serta memperkirakan kemampuan dasar (tujuan) yang akan dicapai, bentuk dan langkah kegiatan belajar mengajar (termasuk di dalamnya pemilihan dan penggunaan


(25)

17

bahan, metode, dan media yang sesuai) serta bentuk dan kegiatan penilaian yang akan dilakukan baik terhadap proses belajar mengajar maupun terhadap perkembangan anak.

Mengingat penting dan sangat bermanfaatnya perencanaan pegajaran maka guru harus mengenal, mempelajari serta menggunakan pola perencanaan pengajaran sebelum melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Sebagai suatu system, program pengajaran harus dilakukan secara teratur dan sistematis. Oleh karena itu sebelum suatu program pengajaran dilaksanakan maka harus disusun dan dirancang suatu bentuk perencanaan pengajaran.

Menurut Kamus The Liang Gie, perencanaan diartikan sebagai suatu aktivitas yang menggambarkan di muka hal-hal yang harus dikerjakan dan cara mengerjakannya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Aktivitas yang dimaksud dalam pengertian tersebut bisa berwujud memikirkan, memperkirakan dan menyusun suatu rancangan kegiatan.

Murdick dan Ross menekankan kegiatan perencanaan pada kegiatan pemikiran untuk merancang alternative-alternatif tindakan yang diperlukan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Ely yang membatasi pengertian perencanaan sebagai suatu proses dan cara berfikir yang dapat membantu menciptakan hasil yang diharapkan.

Adapun tujuan penyusunan perencanaan pengajaran diantaranya adalah : 1. Guru dapat melakukan kegiatan pengajaran dengan mneggunakan

pendekatan sisitem. Guru akan melaksanakan kegiatan pengajaran dengan mempertimbangkan berbagai unsur atau komponen yang seharusnya ada dalam suatu kegiatan pengajaran yang utuh (totalitas). 2. Guru dapat menjajaki dan mengontrol seluruh proses belajar mengajar

yang akan berlangsung. Guru akan menyusun langkah-langkah kegaiatan belajar mengajar yang akan dilakukan. Berdasarkan susunan langkah ini, guru dapat mengontrol setiap langkah atau prses belajar mengajar yang menyimpang atau tidak sesuai dalam pencapaian target kemampuan (tujuan) yang dicapai.


(26)

18

3. Guru dapat meningkatkan kadar keaktifan siswa. Melalui pembuatan perencanaan pengajaran, guru dapat mengatur dan meningkatkan kadar keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar akan lebih mudah secara konsepsional diarahkan pada keaktifan anak didik sesuai dengan makna pengajaran yang lebih luas.

4. Guru dapat memperagakan media secara integral (terpadu). Penyampaian bahan atau materi pada anak akan lenih konkret dan bermakna jika guru menggunakan media yang menarik. Dengan menggunakan media yang menarik den sesuai, anak akan memperoleh pemahaman yang terpadu dari keseluruhan materi yang diperolehnya.

5. Guru dapat menghindarkan diri dari kelupaan dan kebimbnagan selama proses belajar mengajar berlangsung. Langkah-langkah kegiatan belajar mengajar yang dibuat dalam perencanaan pengajaran akan menuntun guru melaksanakan setiap langkah atau proses belajar mengajar setahap demi setahap.

6. Anak didik dapat dipersiapkan terlebih dahulu untuk menerima dan mengkaji suatu bahan/materi pengajaran. Karena dalam perencanaan pengajaran guru telah mempertimbangkan berbagai segi, khususnya langkah kegiatan belajar mengajar dimana di dalamnya terdapat materi, metode, dan media maka guru dapat mempersiapkan siswa untuk memperoleh kemampuan baru yang akan dikuasainya.

7. Guru dapat meningkatkan hasil belajar secra efektif dan efesien. Guru dapat mendekatkan antar proses yang akan dilakukan dengan target kemampuan (tujuan) yang akan dicapai. Kegiatan belajar mengajar yang kondusif memberikan kemungkinan bagi siswa untuk memperoleh hasil belajar secara optimal.

8. Proses kegiatan belajar mengajar akan l;ebih lancar. Hal ini akan tercapai karena seluruh tatanan proses belajar mengajar yang akan dilakukan sudah dirancang dan dipertimbangkan dengan unsur materi, metode dan media pengajaran yang akan digunakan.


(27)

19

Dengan menyusun perencanaan sebelum guru mengajar dapat diambil beberapa manfaat, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Memberikan suatu alat untuk menganalisis, mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang akan muncul. Seorang guru dapat menganalisis dan menemukan berbagai permasalahan yang mungkin muncul, baik ketika maupun setelah proses belajar mengajar berlangsung.

2. Guru dapat memamfaatkan berbagai sumber belajar dan media pengajaran secara efektif (tepat guna). Guru dapat mempertimbangkan, memilih serta menentukkan sumber belajar dan media yang akan digunakan selama proses belajar mengajar.

3. Untuk mengganti keberhasilan pengajaran yang diperoleh secara untung-untungan. Tanpa membuat perencanaan pengajaran, keberhasilan belajar anak dapat diperoleh juga tetapi secara untung-untungan. Kegiatan seperti ini tidak sesuai dengan kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh guru yang professional.

4. Mempunyai daya ramal dan daya kontrol yang baik. Kemampuan ini dapat diperoleh karena:

a. Dirumusksn dan disusunnya secara spesifik kebutuhan siswa

b. Menggunakan logika dan proses bertahap untuk mencapai tujuan yang akan dicapai.

c. Memperhatikan macam-macam pendekatan belajar mengajar serta memilih dengan situasi dan kondisi yang paling sesuai.

d. Menetapkan mekanisme feed back (umpan balik) yang dapat memberikan informasi tentang kemajuan serta hambatan yang dihadapi.

e. Menggunakan istilah dan langkah kegiatan belajar mengajar yang jelas sehingga mudah dikomunikasikan dan dipahami oleh orang lain.

Guru mempunyai acuan atau batasan membuat perencanaan pengajaraan yang disusun sebaik mungkin. Pengenalan dan pemahaman kriteria perencanaan


(28)

20

pengajaran yang baik akan berguna bagi penyusunan alternatif kegiatan yang lain yang akan dilaksanakan. Perencanaan yang baik secara umum mempunyai batasan atau tolok ukur sebagai berikut:

1. Pemilihan sarana dan prasarana dil;akukan secara seimbang dan sesuai dengan situasi dan kondisi yang akan dihadapi.

2. Strategi dipilih dan ditentukan sesuai dengan ketentuan dan keadaan dalam situasi tertentu.

3. Perencanaan hendaknya mempunyai “a sense of strategy” yaitu suatu kemampuan (kepekaan) dalam menyusun dan mengumpulkan kekuatan yang ada untuk memilih kedudukan yang menguntungkan dalam mengahadapi dan memecahkan masalah yang dihadapi.

4. Memperthitungkan segi-segi yang nampak akan mempengaruhi ketercapaian tujuan yang akan diharapkan.

Adapun kriteria perencanaan pengajaran secara khusus akan mencakup: 1. Tujuan dan sumber harus jelas sebelum perencanaan disusun dan

dirumuskan.

2. Adanya keterkaitan antara komponen yang terdapat dalam system pengajaran dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

3. Adanya koreksi terhadap setiap kemajuan yang telah dicapai. 4. Perencanaan pengajaran harus relevan debgan kegiatan lainya.

5. Adanya koordinasi dalam hal tenaga, biaya, fasiltas, peralatan dan waktu. 6. Adanya evaluasi secara bertahap terhadap kemajuan yang telah diperoleh

sebagai umpan balik perbaikan atau pengembangan lebih lanjut.

Ada beberapa model perencanaan pengajaran, misalnya model pengembangan instruksional Briggs, Banathy, PPSI (Prosedur Pengembangan Sisstem Instruksional), Kemp, Gerlach dan Ely, IDI (Instrucsional Development Institute), dan lain-lain.

Model-model tersebut diatas mempunyai banyak perbedaan dan persamaan. Perbedaan model-model tersebut terletak pada istilah yang dipakai,


(29)

21

urutan, dan kelengkapan langkahnya. Persamaannya ialah bahwa setiap model mengandung kegiatan yang dapat digolongkan, ke dalam tiga kategori kegiatan pokok, yaitu:

a. Kegiatan yang membantu menentukan masalah pendidikan dan mengorganisasi alat untuk memecahkan masalah tersebut;

b. Kegiatan yang membantu menganalisis dan mengambangkan pemecahan masalah; dan

c. Kegiatan yang melayani keperluan evaluasi pemecahan masalah tersebut.

Model Kemp

Model pengembangan instruksional menurut Kemp (1977), atau yang disebut disain instruksional, terdiri dari delapan langkah, yaitu:

1) Menentukan tujuan istruksional umum (TIU), yaitu tujuan yang ingin dicapai dalam mengajarkan masing-masing pokok bahasan;

2) Membuat analisis tentang karakteristik siswa. Analisis ini diperlukan antaral lain untuk mengetahui, apakah latar belakang pendidikan, dan sosial budaya siswa memungkinkan untuk mengikuti program, dan langkah-langkah apa yang perlu diambil;

3) Menentukan tujuan instruksional secara spesifik, operasional, dan terukur. Dengan demikian siswa akan tahu apa yang harus dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, dan apa ukurannya bahwa dia telah berhasil. Dari segi pengajar rumusan itu akan berguna dalam menyusun tes kemampuan/keberhasilan dan pemilihan materi yang sesuai;

4) Menetukan materi/bahan pelajaran yang sesuai dengan TIK;

5) Menetapkan penjajagan awal (pre-assessment). Ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah memenuhi prasyarat belajar yang dituntut untuk mengikuti program yang bersangkutan. Dengan demikian pengajar dapat memilih materi yang diperlukan tanpa harus menyajikan yang tidak perlu, dan siswa tidak menjadi bosan;

6) Menentukan strategi belajar-mengajar yang sesuai. Criteria umum untuk pemilihan strategi belajar-mengajar yagn sesuai dengan tujuan instruksional


(30)

22

khusus tersebut adalah: (a) efisiensi, (b) keefektifan, (c) ekonomis, dan (d) kepraktisan, melalu suatu analisis alternatif;

7) Mengkoordinasikan saranan penunjang yang diperlukan yang diperlukan meliputi biaya, fasilitas, peralatan, waktu, dan tenaga, dan

8) Mengadakan evaluasi. Evaluasi ini sangat perlu untuk mengontrol dan mengaji keberhasilan program secara keseluruhan, yaitu (a) siswa, (b) program instruksional, (c) instrumen evaluasi/tes, maupun (d) metode.

Dalam diagram, bentuk model desain instruksional Kemp tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Model Pengembangan Gerlach dan Ely

Model yang dikembangkan oleh Gerlach dan Ely (1971) dimaksudkan sebagai pedoman perencanaan mengajar. Pengembangan sistem instruksional menurut model ini melibatkan sepuluh unsur seperti terlihat dalam flow chart di halaman berikut.

!" #

$

%

& '(


(31)

23 1) Merumuskan tujuan.

Tujuan instruksional harus dirumuskan dalam kemampuan apa yang harus dimiliki pada tingkat jenjang belajar tertentu.

2) Menentukan isi materi.

Isi materi berbeda-beda menurut bidang studi, sekolah, tingkatan dan kelasnya, namun isi materi harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya.

3) Menurut kemampuan awal.

Kemampuan awal siswa ditentukan dengan memberikan tes awal. Pengetahuan tentang kemampuan awal siswa ini penting bagi pengajar agar dapat memberikan dosis pelajaran yang tepat; tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Pengetahuan tentang kemampuan awal juga berguna untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, misalnya apakah perlu persiapan remedial.

4) Menentukan teknik dan strategi.

Menurut Gerlach dan Ely, strategi merupakan pendekatan yang dipakai pengajar dalam memanipulasi informasi, memilih sumber-sumber, dan menentukan tugas/peranan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan

Determination Of STRATEGY Organitation Of GROUPS Allocation Of TIME Allocation Of SPACE Evaluasi Of PERFORMAN CE Analysis Of FEEDBAC Measurement Of ENTERING BEHAVIORS Specification Of CONTENT Specification Of OBJECTIVES


(32)

24

perkataan lain, pada tahap ini pengajar harus menentukan cara untuk dapat mencapai tujuan instruksional dengan sebaik-baiknya. Dua bentuk umum tentang pendekatan ini adalah berntuk eksopose (espository) yang lazim dipergunakan dalam kuliah-kuliah tradisional, biasanya lebih bersifat komunikasi satu arah, dan bentuk penggalian (inquiry) yang lebih mengutamakan partisipasi siswa dalam proses belajar-mengajar. Dalam pengertian instruksional yang sempit, metode ini merupakan rencana yang sistematis untuk menyajikan pesan atau informasi instruksional.

5) Pengelompokan belajar.

Setelah menentukan pendekatan dan metode, pengajar harus mulai merencanakan bagaimana kelompok belajar akan diatur. Pendekatan yang menghendaki kegiatan belajar secara mandiri dan bebas (independent study) memerlukan pengorganisasian yang berbeda dengan pendekatan yang memerlukan banyak diskusi dan partisipasi aktif siswa dalam ruang yang kecil, atau untuk mendengarkan ceramah dalam ruang yang luas.

6) Menentukan pembagian waktu.

Pemilihan strategi dan teknik untuk ukuran kelompok yang berbeda-beda tersebut mau tidak mau akan memaksa pengajar memikirkan penggunaan waktunya, yaitu apakah sebagian besar waktunya harus dialokasikan untuk presentasi atau pemberian informasi, untuk pekerjaan laboratorium secara individual, atau untuk diskusi. Mungkin keterbatasan ruangan akan menuntut pengaturan yang berbeda pula karena harus dipecah ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil.

7) Menentukan ruang.

Sesuai dengan tiga alternative pengelompokan belajar seperti pada no.5, alokasi ruang ditentukan dengan menjawab apakah tujuan belajar dapat dipakai secara lebih efektif dengan belajar secara mandiri dan bebas, berinteraksi antarsiswa, atau mendegarkan penjelasan dan bertatap muka dengan penagajar.


(33)

25

Pemilihan media ditentukan menurut tanggapan siswa yang disepakati. Jadi tidak sekadar yang dapat memberikan stimulus rangsangan belajar. Gerlach dan Ely mambagi media sebagai sumber belajar ini ke dalam lima katergori, yaitu: (a) manusia dan benda nyata, (b) media visual proyeksi, (c) media audio, (d) media cetak, dna (e) media display.

9) Mengevaluasi hasil belajar.

Kegiatan belajar adalah interaksi antara pengajar dan siswa, interaksi antara siswa dna media instruksional. Hakiakat belajar adalah perubahan tingkah laku belajar pada akhir kegiatan instruksional. Semua usaha kegiatan pengembangan instruksional di atas dapat dikatakan berhasil atau tidak setelah tingkah laku akhir belajar tersebut dievaluasi. Instrumen evaluasi dikembangkan atas dasar rumusan tujuan dan harus dapat mengukur keberhasilan secara benar dan objektif. Oleh sebab itu, tujuan instruksional harus dirumuskan dalam tingkah laku belajar siswa yang terukur dan dapat diamati.

10) Menganalisis umpan balik.

Analisis umpan balik merupakan tahap terakhir dari pengembangan sistem instruksional ini. Data umpan balik yang diperoleh dari evaluasi, tes, observasi, maupun tanggapan-tanggapan tentang usaha-usaha instruksional ini menentukan, apakah sistem, metode, maupun media yang dipakai dalam kegiatan instruksional tersebut sudah sesuai untuk tujuan yang ingin dicapai atau masih perlu disempurnakan.

2. Tujuan Pendidikan/Pengajaran dalam Pendidikan Nasional

Pertama sekali adalah bahwa setiap pembicaraan tentang pendidikan sebagai suatu ilmu pengetahuan selalu melibatkan tentang tujuan-tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan ini serupa dengan tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya sebagai individu dan masyarakat. Jadi tujuan pendidikan ini sangat penting, sebab akan menentukan sifat-sifat metode dan materi pendidikan.


(34)

26

Berbicara tentang tujuan pendidikan, akan ditemukan berbagai mazhab dalam pendidikan, ada mazhab rasionalisme yang berpangkal pada plato aristoteles, descartes, kant dan lain-lain. Ada mazhab empirisme yang dipelopori oleh jhon locke yang terkenal dengan istilah tabula rasa, ada mazhab progresivisme yang dipelopori oleh jhon dewey, ada mazhab sosiologi pendidikan yang menitik beratkan pada budaya, ada mazhab fenomenologi atau eksistensialisme yang beranggapan bahwa pendidikan seharusnya bersifat personal oleh sebab itu sekolah tidak perlu dan harus dibubarkan.

Dalam konteks wacana pendidikan Islam, tujuan pendidikan islam akan ditumpukan pada konsep manusia dalam islam. Dalam al-qur’an manusia menempati kedudukan istimewa dalam alam semesta ini. Dia adalah khalifah di muka bumi ini. Seperti firman Allah SWT yang bermakna: “ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat: Aku akan menciptakan khalifah di atas bumi”. (Q.2:31).

Pendidikan dalam Islam hanyalah suatu alat yang digunakan manusia untuk bertahan hidup, baik sebagai individu atau maupun sebagai masyarakat, fungsi yang lainnya adalah mengembangkan potensi-potensi yang ada pada individu supaya dapat dipergunakanoleh sendiri dan seterusnya oleh masyarakat.

Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli dalam dunia pendidikan melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah : 1). Proses pemerolehan informasi baru; 2). Personalia informasi ini pada individu.

Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah


(35)

27

perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada.

Tujuan instruksional merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan dalam sistem pendidikan, secara nasional tujuan pendidikan tercantum dalam pembukaan Undang undang dasar 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Gambaran tentang ciri ciri kedewasaan yang perlu dikembangkan pada anak didik dapat ditemukan dalam penentuan perumusan mengenai tujuan pendidikan, baik pada taraf nasional maupun taraf pengelolaan institusi pendidikan. Perumusan suatu tujuan pendidikan yang menetapkan hasil yang harus diperoleh siswa selama belajar, dijabarkan atas pengetahuan dan pemahaman, keterampilan, sikap dan nilai yang telah menjadi milik siswa. Adanya tujuan tertentu memberikan arah pada usaha para pengelola pendidikan dalam berbagai taraf pelaksanaan.

Berkaitan dengan penentuan tujuan pendidikan perlu dibedakan antara pengelolaan pendidikan pada taraf:

1. Organisasi makro : sistem pendidikan sekolah pada taraf nasional, dengan penjabarannya dalam jenjang jenjang dan jenis jenis pendidikan sekola, yang semuanya harus menuju ke pencapaian tujuan pendidikan nasional sesuai dengan progam pendidikan masing masing.

2. Organisasi meso : pengaturan progam pendidikan di sekolah tertentu sesuai dengan ciri ciri khas jenjang tertentu dan jenis pendidikan yang di kelola sekolah itu

3. Organisasi mikro : perencanaan dan pelaksanaan suatu proses belajar mengajar tertentu di dalam kelas yang diperuntukkan kelompok siswa tertentu (Winkel W.S, 2004)

Tujuan instruksional ternyata masuk ke dalam organisasi mikro karena mencakup kesatuan bidang studi tertentu yang menjadi pokok bahasan seperti tercantum pada bagan hubungan hierarkis antara berbagai tujuan pendidikan sekolah, taraf organisasi pendidikan sekolah dan taraf pengelolaan pendidikan sekolah dibawah ini:


(36)

28 Hierarki Tujuan

Pendidikan Taraf Organisasi Taraf pengelolaan Tujuan Pendidikan

Nasional Makro

Keseluruhan usaha pendidikan masyarakat di negara Indonesia Tujuan Pendidikan

Institusional Meso

Jenjang pendidikan sekolah tertentu dan jenis pendidikan Tujuan Pendidikan

Kurikuler Meso

Kesatuan kurikulum tertentu yang mencakup sejumlah bidang studi Tujuan Instruksional

Umum Mikro

Kesatuan bidang studi tertentu yang mencakup sejumlah pokok bahasan

Tujuan Instruksional

Khusus Mikro

Satuan pokok bahasan atau topik pelajaran tertentu

Tujuan pendidikan akan berbeda beda tergantung pada taraf organisasi manakah tujuan itu ditetapkan. Sudah barang tentu isi tujuan pendidikan pada taraf organisasi yang satu tidak bertentangan dengan yang lain, melainkan tujuan pada taraf yang lebih bawah menjabarkan dan mengkhususkan tujuan pada taraf organisasi yang lebih tinggi. Maka perumusan tujuan instruksional akan lebih mengkhususkan tujuan pendidikan. Tujuan instruksional umum menggariskan hasil hasil di bidang studi tertentu yang seharusnya dicapai siswa, adanya hasil akan nampak dalam seluruh prestasi belajar yang diberikan oleh siswa. intinya tujuan instruksional adalah kemampuan yang harus diperoleh atau dicapai oleh siswa yang menjadi tujuan dari proses belajar mengajar.

Dalam pengelolaan dan pengembangan pengajaran diperlukan suatu model yang dipakai sebagai pegangan yang mencakup seluruh komponen pokok yang harus dipertimbangkan, dibuat, duatur dan dilaksanakan. Seperti model yang dikembangkan oleh van gelder yang disebut Didactische Analyse dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Tujuan Instruksional : kemampuan yang harus diperoleh siswa

2. Kemampuan siswa pada awal pelajaran : kemampuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan instruksional (prasyarat)

3. Materi pelajaran : bahan pelajaran

4. Prosedur didaktis : metode didaktis yang digunakan oleh guru 5. Kegiatan belajar : aktivitas belajar yang dijalankan siswa

6. Peralatan ,engajar dan belajar : berbagai media pengajaran dan alat bantu 7. Evaluasi hasil belajar : penilaian terhadap prestasi siswa


(37)

29

ada beberapa definisi yang disampaikan oleh beberapa tokoh seperti Robert F. Magner (1962) yang mendefinisikan tujuan instruksional sebagai tujuan perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa sesuai kompetensi. Eduard L. Dejnozka dan David E. Kavel (1981) mendefinisikan tujuan instruksional adalah suatu pernyataan spefisik yang dinyatakan dalam bentuk perilaku yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. sedangkan Fred Percival dan Henry Ellington (1984) yang mendefinisikan tujuan instruksional adalah suatu pernyataan yang jelas menunjukkan penampilan/keterampilan yang diharapkan sebagai hasil dari proses belajar.

Dalam proses belajar mengajar tujuan instruksional dapat di bagi menjadi 2 yaitu tujuan instruksional umum yang menggariskan hasil hasil di aneka bidang studi yang harus dicapai siswa dan tujuan instruksional khusus (TIK) yang merupakan penjabaran dari tujuan instruksional umum yang menyangkut suatu pokok bahasan sebagai tujuan pengajaran yang konkrit dan spesifik.

Ada beberapa langkah yang harus dilalui untuk merumuskan tujuan instruksional khusus. Yaitu:

Pertama usahakan menggunakan kata kata yang menuntut siswa berbuat sesuatu yang menampakkan hasil belajarnya dan sekaligus menunjukkan jenis perilaku (behavioral aspect) yang diharapkan,

Kedua perlu dijelaskan terhadap hal apa siswa harus melakukan sesuatu (isi). Misal TIK yang dirumuskan sbb “Siswa akan menunjukkan sikap positif terhadap kebudayaan nasional”, dapat lebih dikhususkan dengan mengatakan “siswa akan membuktikan penghargaannya terhadapa seni tari nasional dengan ikut membawakan suatu tarian dalam perpisahan kelas”.

Ketiga perlu dijelaskan persyaratan yang berlaku,bila siswa akan melakukan sesuatu, sesuai dengan tujuan intruksional khusus. Persyaratan itu dapat


(38)

30

menyangkut bentuk hasl belajar seperti secara tertulis atau secara lisan dan dapat menyangkut informasi yang diberikan.

Keempat perlu ditentukan suatu norma mengenai taraf prestasi minimal yang diberlakukan. Ini berarti bahwa siswa akan mampu melakukan sesuatu dalam batas paling sedikit atau paling banyak. TIK dianggap sebagai suatu “sasaran tingkah laku nyata”( behavioral objective). Adanya serangkaian sasaran yang demikian membawa keuntungan sejauh proses belajar mengajar terarah pada tujuan yang spesifik dan konkret.

Dari perspektif Ilmu psikologi mengenal pembagian aspek kepribadian atas tiga kategori yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik. Aspek kognitif yang mencakup pengetahuan serta pemahaman, aspek afektif yang mencakup perasaan, minat, motivasi, sikap kehendak serta nilai dan aspek psikomotorik yang mencakup pengamatan dan segala gerak motorik. Dalam kenyataannya dasar pembagian yang demikian kerap menjadi pedoman dalam menggolongkan segala jenis perilaku. Kegunaan dari suatu sistem klasifikasi mengenai tujuan instruksional termasuk tujuan intruksional khusus adalah kita dapat memperoleh gambaran tujuan tujuan instruksional ditinjau dari segi jenis perilaku yang mungkin dicapai oleh siswa. Menurut Bloom dan kawan kawan pengklasifikasian jenis perilaku disusun secara hierarkis sehingga menjadi taraf taraf yang menjadi semakin kompleks.

A. Kognitif :

1. Mencakup pengetahuan ingatan yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan

2. Mencakup pemahaman untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari

3. Mencakup kemampuan menerapkan suatu kaidah atau metode yang baru 4. Mencakup kemampuan untuk merinci suatu kesatuan

5. Mencakup kemampuan membentuk suatu kesatuan

6. Mencakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat B. Afektif :

1. Mencakup kepekaan akan adanya suatu perangsang dan kesediaan untuk memperhatikan


(39)

31

3. Mencakup kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu 4. Mencakup kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai

5. Mencakup kemampuan untuk menghayati nilai nilai kehidupan C. Psikomotorik :

1. Mencakup kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam memulai gerakan

2. Mencakup kemampuan untuk melakukan sesuatu rangkaian gerak gerik 3. Mencakup kemampuan untuk melakukan sesuatu rangkaian gerak gerik

dengan lancar

4. Mencakup kemampuan untuk melaksanakan suatu keterampilandengan lancar, efisien dan tepat

5. Mencakup kemampuan untuk mengadakan perubahan dan menyesuaikan Pola gerak gerik yang mahir

6. Mencakup kemampuan untuk melahirkan aneka pola gerak gerik yang baru

3. Bahan Pengajaran

Sebelum melaksanakan pemilihan bahan ajar, terlebih dahulu perlu diketahui kriteria pemilihan bahan ajar. Kriteria pokok pemilihan bahan ajar atau materi pembelajaran adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar. Hal ini berarti bahwa materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan oleh guru di satu pihak dan harus dipelajari siswa di lain pihak hendaknya berisikan materi atau bahan ajar yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Dengan kata lain, pemilihan bahan ajar haruslah mengacu atau merujuk pada standar kompetensi.

Setelah diketahui kriteria pemilihan bahan ajar, sampailah kita pada langkah-langkah pemilihan bahan ajar. Secara garis besar langkah-langkah pemilihan bahan ajar meliputi pertama-tama mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang menjadi acuan atau rujukan pemilihan bahan ajar. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi jenis-jenis materi bahan ajar. Langkah ketiga memilih bahan ajar yang sesuai atau relevan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah


(40)

32

teridentifikasi tadi. Terakhir adalah memilih sumber bahan ajar.Secara lengkap, langkah-langkah pemilihan bahan ajar dapat dijelaskan sebagai berikut:

A. Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar

Sebelum menentukan materi pembelajaran terlebih dahulu perlu diidentifikasi aspek-aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dipelajari atau dikuasai siswa. Aspek tersebut perlu ditentukan, karena setiap aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar memerlukan jenis materi yang berbeda-beda dalam kegiatan pembelajaran. Setiap aspek standar kompetensi tersebut memerlukan materi pembelajaran atau bahan ajar yang berbeda-beda untuk membantu pencapaiannya.

B. Identifikasi jenis-jenis materi pembelajaran

Sejalan dengan berbagai jenis aspek standar kompetensi, materi pembelajaran juga dapat dibedakan menjadi jenis materi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Materi pembelajaran aspek kognitif secara terperinci dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: fakta, konsep, prinsip dan prosedur (Reigeluth, 1987). Adapun 1). materi jenis fakta adalah materi berupa nama-nama objek, nama tempat, nama orang, lambang, peristiwa sejarah, nama bagian atau komponen suatu benda, dan lain sebagainya. 2). Materi konsep berupa pengertian, definisi, hakekat, inti isi. 3). Materi jenis prinsip berupa dalil, rumus, postulat adagium, paradigma, teorema. 4). Materi jenis prosedur berupa langkah-langkah mengerjakan sesuatu secara urut,

Materi pembelajaran aspek afektif meliputi: pemberian respon, penerimaan (apresisasi), internalisasi, dan penilaian Materi pembelajaran aspek motorik terdiri dari gerakan awal, semi rutin, dan rutin.


(41)

33

C. Memilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar

Pilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditentukan dengan berpijak dari aspek-aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah memilih jenis materi yang sesuai dengan aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut. Materi yang akan diajarkan perlu diidentifikasi apakah termasuk jenis fakta, konsep, prinsip, prosedur, afektif, atau gabungan lebih daripada satu jenis materi. Dengan mengidentifikasi jenis-jenis materi yang akan diajarkan, maka guru akan mendapatkan kemudahan dalam cara mengajarkannya. Setelah jenis materi pembelajaran teridentifikasi, langkah berikutnya adalah memilih jenis materi tersebut yang sesuai dengan standar kompetensi atau kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Identifikasi jenis materi pembelajaran juga penting untuk keperluan mengajarkannya. Sebab, setiap jenis materi pembelajaran memerlukan strategi pembelajaran atau metode, media, dan sistem evaluasi/penilaian yang berbeda-beda.

Cara yang paling mudah untuk menentukan jenis materi pembelajaran yang akan diajarkan adalah dengan jalan mengajukan pertanyaan tentang kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Dengan mengacu pada kompetensi dasar, kita akan mengetahui apakah materi yang harus kita ajarkan berupa fakta, konsep, prinsip, prosedur, aspek sikap, atau psikomotorik. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk mengidentifikasi jenis materi pembelajaran:

1. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa mengingat nama suatu objek, simbul atau suatu peristiwa? Kalau jawabannya “ya” maka materi pembelajaran yang harus diajarkan adalah “fakta”.

2. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa kemampuan untuk menyatakan suatu definisi, menuliskan ciri khas sesuatu, mengklasifikasikan atau mengelompokkan beberapa contoh objek sesuai dengan suatu definisi


(42)

34

3. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa menjelaskan atau melakukan langkah-langkah atau prosedur secara urut atau membuat sesuatu ? Bila “ya” maka materi yang harus diajarkan adalah “prosedur 4. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa menentukan

hubungan antara beberapa konsep, atau menerapkan hubungan antara berbagai macam konsep ? Bila jawabannya “ya”, berarti materi pembelajaran yang harus diajarkan termasuk dalam kategori “prinsip”. 5. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa memilih

berbuat atau tidak berbuat berdasar pertimbangan baik buruk, suka tidak suka, indah tidak indah? Jika jawabannya “Ya”, maka materi pembelajaran yang harus diajarkan berupa aspek afektif, sikap, atau nilai 6. Apakah kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa berupa melakukan

perbuatan secara fisik? Jika jawabannya “Ya”, maka materi pembelajaran yang harus diajarkan adalah aspek motorik. (Hamalik, 1990:181)

4. Strategi Pengajaran

Strategi belajar-mengajar, menurut J.R. David dalam Teaching Strategies for College Class Room (1976) ialah a plan, method, or series of activities designe to achicves a particular educational goal (P3G, 1980). Menurut pengertian ini strategi belajar-mengajar meliputi rencana, metode dan perangkat kegiatan yang direncanakan untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. Untuk melaksanakan strategi tertentu diperlukan seperangkat metode pengajaran. Strategi dapat diartikan sebagai a plan of operation achieving something.

Sedangkan metode ialah a way in achieving something. Untuk melaksanakan suatu strategi digunakan seperangkat metode pengajaran tertentu. Dalam pengertian demikian maka metode pengajaran menjadi salah satu unsur dalam strategi belajar mengajar. Unsur seperti sumber belajar, kemampuan guru dan siswa, media pendidikan, materi pengajaran, Adapun Komponen-komponen dalam proses pembelajaran berlangsung adalah:

1. Tujuan pengajaran, acuan yang dipertimbangkan untuk memilih strategi belajar mengajar.


(43)

35

3. Peserta didik, dalam kegiatan belajar mengajar peserta didik mempunyai latarbelakang yang berbeda-beda, hal ini perlu dipertimbangkan dalam menyusun strategi belajar mengajar yang tepat

4. Materi pelajaran, Materi pelajaran dapat dibedakan antara materi formal (isi pelajaran dalam buku teks resmi/buku paket di sekolah) dan materi informal (bahan-bahan pelajaran yang bersumber dari lingkungan sekolah)

5. Metode pengajaran,

Keberhasilan program belajar mengajar tidak tergantung dari canggih atau tidaknya media yang digunakan, tetapi dari ketepatan dan keefektifan media yang digunakan. Dalam hal ini dikenal tiga macam strategi belajar mengajar yaitu:

1. Strategi belajar mengajar yang berpusat pada guru

2. Strategi belajar mengajar yang berpusat pada peserta didik 3. Strategi belajar mengajar yang berpusat pada materi pengajaran

Dilihat dari kegiatan pengolahan pesan atau materi, maka strategi belajar mengajar dibedakan dalam dua jenis, yaitu:

1. Strategi belajar mengajar ekspositori dimana guru mengolah secara tuntas pesan/materi sebelum disampaikan di kelas sehingga peserta didik tinggal menerima saja.

2. Strategi belajar mengajar heuristik atau kuriorstik, dimana peserta didik mengolah sendiri pesan/materi dengan pengarahan dari guru.

Strategi belajar mengajar dilihat dari cara pengolahan atau memproses pesan atau materi dibedakan dalam dua jenis yaitu:

1. Strategi belajar mengajar deduksi yaitu pesan diolah mulai dari umum menuju kepada yang khusus, dari hal-hal yang abstrak kepada hal-hal yang konkrit.

2. Strategi belajar mengajar induksi yaitu pengolahan pesan yang dimulai dari hal-hal yang khusus menuju ke hal-hal umum, dari peristiwa-peristiwa yang bersifat induvidual menuju ke generalisasi.

Berikut beberapa strategi pengajaran yang dapat diaplikasikan oleh guru di kelas, yaitu:

1. Metode Kerja kelompok

Cara mengajar , dimana siswa didalam kelas dipandang sebagai suatu kelompok atau dibagi menjadi beberapa kelompok Adapun pengelompokkan itu berdasarkan :


(44)

36

Adanya alat peraga yang tidak mencukupi jumlahnya Kemampuan belajar siswa

Minat Khusus

Memperbesar partisipasi siswa Pembagian tugas atau pekerjaan Kerjasama yang efektif

Keuntungan penggunaan metode kelompok :

Dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menggunakan keterampilan bertanya dan membahas sesuatu masalah

Dapat mengembangkan bakat kepemimpinan dan mengajarkan keterampilan berdiskusi

Dapat memberikan kesempatan pada para sisw untuk lebih intensif mengadakan penyelidikan mengenai suatu kasus

Para siswa lebih aktif tergabung dalam pelajaran mereka dan mereka lebih aktif partisipasi dalam diskusi

Dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengembangkan rasa menghargai panda[pat orang lain

Kekurangan metode ini adalah :

Kerja kelompok sering kali hanya menlibatkan kepada siswa yang mampu sebab mereka cakap memimpin dan mengarahkan yang kurang

Strategi ini kadang-kadang menuntut pengaturan tempat duduk yangberbeda-beda dan gaya mengajar yang berbeda pula

Keberhasilan kerja kelompok ini tergantung kepada kemampuan sisw memimpin kelompok atau untuk bekerja sendiri

2. Metode Penemuan ( Discovery)

Proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Yang dimaksud dengan proses mental adalah mengamati, mencerna, mengerti, menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan.

Kelebihan metode discovery adalah :

Mampu membantu siswa untuk mengembangkan, memperbanyak kesiapan , serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan siswa

Dapat membangkitkan kegairahan belajar para siswa

Mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya masing-masing

Mampu mengarahkan cara siswa belajar , sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar giat

Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri


(45)

37 Kelemahan metode penemuan ini adalah :

Siswa harus ada kesiapan dankematangan metal

Bila kelas terlalu besar penggunaan tehnik ini kurang berhasil Bagi guru dan siswa yangsudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan metode ini

Proses mental terlalu mementingkan proses pengertian saja , kurangmemperhatikan perkembangan / pembentukan sikap dan keterampilann nagi siswa

Tidak memberikan kesempatan untuk berpikir secara kreatif

3. Unit Teaching

Tehnik ini memberi kesempatan siswa belajar secara aktif dan guru dapat mengenal dan menguasai cara belajar secara unit.

Pengajaran unti ini ada 3 fase : Fase perencanaan/permulaan

o Guru membagi kelas ke beberapa kelompok

o Membagi tugas dengan masalah yang akan dibahas

o Setiap kelompok menunjukkan pencatatn laporankemajuan dan hasil kerja kelompok

o Guru menunjukan sumber-sumber untuk memecahkan masalah Fase pengerjaan unit

o Siswa terjunkelapangan,belajar diperpustakaan, meneliti laboratorium, mengamati

o Guru mengntrol apa yangdikerjakan siswa, memberi saran/pertanyaan, membantu merumuskan kesimpulan bila perlu

Fase kulminasi

o Hasil kerja siswa dibawa kembali kesekolah

o Hasil informasi disusn ,diolah, sehingga menghasilkan sesuatu yang bisa dilihat orang banyak misalnya hasil kerajinan, hasil perkebunan atau lainnya

Keunggulan Unit Teaching adalah :

Siswa dapat belajar secara keseluruhan yang bulat sehingga hasil pelajarannya menjadi lebih berarti baginya

Pengajaran menimbulkan suasana kelas demokratis

Siswa bisa menggunakan sumber-sumber materi pelajaran secara luas

Dapat direalisir prinsip-prinsip psikologi belajar modern Kelemahan metode ini :

Untuk merencanakan unti tidak mudah

Memerlukan seorang ahli yang betul-betul menguasai masalah Memerlukan kecakapan, ketekunan

Perhatian guru harus lebih banyak dicurahkan pada bimbingan kerja siswa


(1)

175

guru memiliki i’tikad, keinginan serta motivasi yang tinggi merumuskan desain rencana pembelajaran berbasis nilai-nilai Islam.

3. Melihat hasil observasi dalam proses pembelajaran berbasis nilai-nilai Islam ini, guru pada proses pembelajaran pertama yang diobservasi masih memiliki berbagai kelemahan dalam upaya menyisipkan nilai-nilai Islam dalam bahan ajar. Ini berarti ada peningkatan yang cukup berarti dalam upaya menata proses dan aktivitas pembelajaran sains berbasis nilai-nilai Islam tersebut. Adapun kendal-kendala yang muncul dalam aktivitas pembelajaran ini adalah mencari nilai-nilai Islam yang sesuai dengan bahan ajar serta menyisipkan ayat-ayat qur’aniyah untuk memberikan semacam penegasan, penguatan atas materi yang sedang diajarkan.

4. Peran penting Pendidikan Umum yang berkaitan dengan upaya integrasi nilai-nilai Islam dalam pembelajaran sains ini adalah semakin memperkokoh program studi ini sebagai pengemban pendidikan nilai-nilai, norma, nilai agama dalam seluruh aspek kehidupan. Pendidikan umum merupakan sebuah kerangka dan konsep ilmu yang mampu memadukan kembali kekuatan intelektual, emosional dan spiritual siswa secara seimbang, utuh dan bermartabat.

A. Rekomendasi

1. Untuk Guru

a. Guru hendaknya selalu menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh aspek pendidikan dan pengajaran termasuk mengintegrasikan nilai Islam dalam pembelajaran sains, sehingga konsep sains yang dipelajari siswa lebih memiliki makna bagi kehidupan siswa.

b. Kegiatan observasi hendaknya dilakukan secara terintegrasi antara kegiatan pembelajaran intrakurikuler dan ekstrakurikuler sehingga semangat integrasi nilai-nilai Islam akan secara utuh menyentuh seluruh aspek kehidupan institusi pendidikan.

c. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa semakin seringnya guru dalam mendesain sebuah pembelajaran dengan menanamkan nilai-nilai


(2)

176

Islam secara eksplisit dan sistematis ke dalam rencana pembelajaran, maka guru akan semakin terampil dan terbiasa sehingga permasalahan kesulitan menyisipkan nilai-nilai Islam dalam pembelajaran sedikit demi sedikit dapat teratasi. Maka diperlukan upaya pembiasan bagi guru untuk melakukan integrasi nilai-nilai Islam ini dalam seluruh aspek pembelajaran.

d. Dalam proses pembelajaran di kelas, hendaknya guru selalu mencari nilai-nilai Islam yang muncul dalam bahan ajar tersebut dengan cara memberikan penjelasan pembelajaran dengan sesuatu yang kongkrit dan dialami oleh siswa, sehingga pembelajaran akan berlangsung lebih bermakna, kontekstual dan sarat dengan nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan siswa.


(3)

1

DAFTAR PUSTAKA

Al Quran. (1989). Terjemahan: Departemen Agama. Jawa Barat

Alwasilah. C.A. (2002). Pokoknya Kualitatif. Bandung: PT Pustaka Jaya Alwasilah. C.A. (2005). Pokoknya Menulis. Bandung: PT Kiblat Utama Arifin, H.M. (1987). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara,

Bagir, Z.A. (2005). Integrasi Ilmu dan Agama; Interpretasi dan Aksi. Bandung: Mizan

Baidhawy, Zakiyuddin. (1995). Pendidikan Agama berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga

Bakar, Osman. (1994). Tauhid dan Sains; Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam. Bandung: Pustaka Hidayah

Dahlan, Muhammad, (1997). SMU Insan Cendekia Serpong Sekolah Model untuk lulusan Madrasah. Jurnal Komunikasi Dunia Perguruan Madrasah.

Djahiri, K.(1985). Strategi Pengajaran Afektif Nilai/Moral. Bandung: Gramedia. Djamaludin, T. (2006). Menjelajah Keluasan Langit Menembus Kedalaman Al

Qur’an. Bandung: Khazanah Intelektual.

Djamarah, Sayiful Bahri. (2000). Guru dan Anak didk – dalam interaksi edukatif, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

Djamarah, Sayiful Bahri.(2006). Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

Fraenkel, Jack R. How to Teach about Values: Analitic Approach. San Francisco: State Univ. Prentice Hall Inc.


(4)

Gazalba, Sidi. (1985). Ilmu, Filsafat dan Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Hamalik, Oemar. (1990). Perencanaan Pengajaran berdasarkan Pendekatan Sistem: Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Hinduan, A. (2003). Menigkatkan Kualitas SDM melalui Pendidikan IPA. Tesis Magister pada PPS UPI; Tidak diterbitkan

Jarolimek and Foster,( 1989). Social Studies in Elementary Education. Newyork: Mc. Millan Publishing Company,

Jumsai, Art-Ong (2008). Model Pembelajaran Nilai-nilai Kemanusiaan Terpadu, Jakarta: Yayasan Pendidikan Sathya Sai Indonesia

Kartanegara, Mulyadi. (2005). Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik. Jakarta: PT. UIN Press

Kembara, Maulia. (2005). Analisis Implementasi Pendidikan Nilai melalu Mata Pelajaran Sains di SLTP Islam Terpadu. Tesis Magister pada PPS UPI; Tidak diterbitkan

Maleong, Lexy, J.(1970). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya.

Marimba, Ahmad D. (1987). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif,

Mulyana, R. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta Natsir, Nanat. (2008). Wahyu Memadu Ilmu. Bandung: Gunung Djati Press Quraish Shihab, M. (1996). Wawasan Al Qur’an. Bandung: Mizan

Roestiyah, (2008). Strategi Belajar Mangajar, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta Rustaman, N. dan Rustaman, A. (1997). Pokok-pokok Pengajaran Biologi dan


(5)

3

Sanusi, Ahmad, (1998). Pendidikan Alternatif; Menyentuh Aras Dasar Persoalan Pendidikan dan Kemasyarakatan. Bandung: Grafindo Media Pratama, Sauri, Sofyan, (2006). Membangun Komunikasi dalam Keluarga. Bandung: PT

Genesindo

Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Sukidi. (2006). Kecerdasan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum Tafsir, Ahmad. (2006). Filsafat Pendidikan Islami, Bandung: Rosda Karya.

Tafsir, Ahmad. (2008). Strategi Meningkatkan Mutu Pendidikan Agama Islam, Bandung: Maestro.


(6)

Dokumen yang terkait

PELAKSANAAN SISTEM PEMBELAJARAN ISLAMIC FULL DAY SCHOOL BIDANG STUDI MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU AL MADINAH SUKOHARJO.

0 0 8

KEMANDIRIAN SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN FULL DAY KEMANDIRIAN SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN FULL DAY SCHOOL DI SD ISLAM TERPADU NURUL ISLAM TENGARAN KABUPATEN SEMARANG.

0 0 12

PENDAHULUAN KEMANDIRIAN SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN FULL DAY SCHOOL DI SD ISLAM TERPADU NURUL ISLAM TENGARAN KABUPATEN SEMARANG.

0 0 9

ANALISIS KEMAMPUAN BERTANYA SISWA DALAM PENDEKATAN PEMBELAJARAN SAINTIFIK KURIKULUM 2013 DI SEKOLAH DASAR (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar di Kota Tasikmalaya).

0 0 35

DAMPAK FULL DAY SCHOOL TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK DI SEKOLAH DASAR ISLAM INTERNASIONAL AL ABIDIN Dampak Full Day School Terhadap Perkembangan Sosial Anak Di Sekolah Dasar Islam Internasional Al Abidin Surakarta Tahun Pelajaran 2010/2011.

0 0 15

STUDI IMPLEMENTASI KURIKULUM FULL DAY SCHOOL DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU IMAM BUKHARI JATINANGOR-SUMEDANG :Studi Deskriptif di Sekolah Dasar Islam Terpadu Imam Bukhari Jatinangor-Sumedang.

0 6 45

PROSES PEMBELAJARAN SENAM LANTAI DI SEKOLAH DASAR :Studi Deskriptif Kualitatif di SD Negeri Cikalong Kabupaten Tasikmalaya.

0 4 27

Penerapan Sistem Full Day School di SD Islam Al- Azhaar Tulungagung - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 6

INTEGRASI NILAI-NILAI ISLAM DALAM PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH | Muspiroh | QUALITY 2099 7121 1 SM

0 1 21

Pengaruh Manajemen Pembelajaran Full Day School terhadap Kinerja Guru dalam Mewujudkan Pengamalan Nilai-Nilai Islam Siswa

0 0 11