Hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan beragama Kristen dan Katolik

(1)

HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI BERDOA

DENGAN ADVERSITY QUOTIENT

PADA KARYAWAN BERAGAMA KRISTEN DAN KATOLIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Arinda Anantu NIM: 099114120

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGTAKARTA

2013


(2)

(3)

(4)

(5)

v

HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI BERDOA DENGAN ADVERSITY QUOTIENT

PADA KARYAWAN BERAGAMA KRISTEN DAN KATOLIK Arinda Anantu

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan beragama Kristen dan Katolik. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif dan signifikan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan. Subjek yang digunakan dalam penelitian dalam penelitian ini adalah 57 orang karyawan CV. Andi Offset yang beragama Kristen dan Katolik. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan dua skala, yaitu Skala frekuensi berdoa dan skala Adversity Quotient. Pengujian reliabilitas Cronbach’s Alpha menghasilkan koefisiensi sebesar 0.948 pada skala frekuensi berdoa dan 0.951 pada skala Adversity Quotient. Dari hasil analisis data dengan menggunakan metode korelasi Product Moment Pearson diketahui bahwa kedua variabel terebut memiliki koefisien korelasi sebesar 0.122 dengan signifikansi 0.366. Angka tersebut menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki korelasi yang sangat lemah dan tidak signifikan. Hal tersebut menandakan bahwa hipotesis awal penelitian ini ditolak.


(6)

vi

THE CORRELATION BETWEEN PRAYER FREQUENCE AND ADVERSITY QUOTIENT

ON CHRISTIAN AND CATHOLIC EMPLOYEES Arinda Anantu

ABSTRACT

The purpose of this research was to find out the correlation between prayer frequence and Adversity Quotient on Christian and Catholic employees. The hypothesis proposed in this research was there is positive and significant correlation between prayer frequence and Adversity Quotient on the employees. The subject of this research were 57 Christian and Catholic employees of CV. Andi Offset Yogyakarta. The data was gathered by prayer frequence scale and Adversity Quotient scale. The reliability coefficient of the scales was tested by Cronbach’s Alpha technique with value 0.948 on prayer behavior scale and 0.951 on Adversity Quotient scale. The data was analyzed by Product Moment Pearson correlation technique. The result showed that the correlation coefficient was 0.122 with 0.366 as the value of significance, which means that the correlation was poor and not significant. The result also indicate that the hypothesis of this research was rejected.


(7)

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Rasa kagum yang teramat dalam ditujukan oleh penulis kepada sesuatu

yang sangat besar, sumber dari segala sumber kekuatan, yang karena berkat dan

karunia-Nyalah, penulis dapat melalui segala tantangan dan kesulitan dalam

menyelesaikan skripsi ini. Dia yang tak terlihat, memberikan kasih dan cintanya

melalui orang-orang yang Ia tempatkan di sisiku:

1. Mama, papa, dan Aditya. Terimakasih untuk sebuah penerimaan tanpa syarat,

yang tidak pernah aku dapatkan dari orang lain.

2. Mbah Kakung. Terimakasih atas segala kesabaran dan kemurahan hati dalam

menemani cucumu hingga sejauh ini.

3. Keluarga Besar S. Reksodihardjo. Terimakasih untuk kebersamaan yang

selalu dapat aku banggakan.

4. Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si dan Dr. A. Priyono Marwan (Romo Pri) selaku

dosen pembimbing skripsi. Terimakasih untuk bimbingan dan diskusi-diskusi

yang menarik

5. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M. Psi selaku dekan Fak. Psikologi dan dosen

pembimbing akademik. Terimkasih atas kesediaan Bapak untuk selalu

mendengarkan curhatan-curhatan saya.

6. Genk Iwak Peyek (Kelas C angkatan ’09). Terimakasih untuk cerita-cerita yang tak terlupakan. Bahagia, marah, sedih, kecewa, takut, semuanya jadi


(9)

(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II: LANDASAN TEORI ... 9

A. Adversity Quotient ... 9

1. Definisi Adversity Quotient ... 9

2. Tiga Tingkat Kesulitan ... 11


(11)

xi

4. Faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient ... 16

5. Dimensi Adversity Quotient ... 17

B. Frekuensi Berdoa ... 21

1. Definisi Berdoa ... 21

2. Komponen-Komponen Berdoa ... 22

3. Jenis-jenis Doa ... 23

4. Efek Psikologis Berdoa ... 25

C. Hubungan antara Frekuensi Berdoa dengan Adversity Quotient 32 D. Hipotesis ... 38

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ... 39

A. Jenis Penelitian ... 39

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 39

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 39

1. Frekuensi Berdoa ... 40

2. Adversity Quotient ... 40

D. Subjek Penelitian ... 41

E. Metode Pengumpulan Data ... 41

1. Skala Frekuensi Berdoa ... 41

2. Skala Adversity Quotient ... 43

F. Pertanggungjawaban Mutu ... 44

1. Validitas ... 44

2. Seleksi Aitem ... 45


(12)

xii

G. Metode Analisis Data ... 48

1. Uji Normalitas ... 48

2. Uji Linearitas ... 48

3. Uji Hipotesis ... 48

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Orientasi Kancah Penelitian ... 49

B. Pelaksanaan Penelitian ... 49

1. Perijinan Penelitian ... 49

2. Pelaksanaan Penelitian ... 50

C. Deskripsi Subjek ... 51

D. Deskripsi Data Penelitian ... 52

E. Kategorisasi ... 53

F. Analisis Data Penelitian ... 54

1. Uji Normalitas ... 54

2. Uji Linearitas ... 55

3. Uji Hipotesis ... 55

G. Pembahasan ... 55

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 60

1. Bagi perusahaan dan Subjek Penelitian ... 60


(13)

xiii

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blueprint Skala Frekuensi Berdoa ... 42

Tabel 2. Blueprint Skala Adversity Quotient ... 43

Tabel 3. Sebaran Aitem Skala Frekuensi Berdoa Setelah Seleksi Aitem ... 46

Tabel 4. Sebaran Aitem Skala Adversity Quotient Setelah Seleksi Aitem ... 46

Tabel 5. Deskripsi Subjek Penelitian ... 51

Tabel 6. Deskripsi Data Penelitian ... 52

Tabel 7. Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala Frekuensi Berdoa ... 53


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Penelitian ... 65

Lampiran 2. Seleksi Aitem Skala Frekuensi Berdoa ... 83

Lampiran 3. Seleksi Aitem Skala Adversity Quotient ... 86

Lampiran 4. Uji Reliabilitas Skala Frekuensi Berdoa ... 89

Lampiran 5. Uji Reliabilitas Skala Adversity Quotient ... 91

Lampiran 6. Uji T Mean Empirik dan Mean Teoritik Skala Frekuensi Berdoa 93 Lampiran 7. Uji T Mean Empirik dan Mean Teoritik Skala AQ ... 95

Lampiran 8. Uji Normalitas ... 97

Lampiran 9. Uji Linearitas ... 99

Lampiran 10. Uji Hipotesis ... 101

Lampiran 11. Scatterplot ... 103


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah bagian dari dunia yang tidak bisa menutup dirinya

dari pengaruh global. Pengaruh global yang sangat menonjol dapat terlihat di

bidang ekonomi, teknologi, dan budaya. Pengaruh global dalam bidang

ekonomi telah membuka lebar peluang bagi pihak asing untuk berdagang di

Indonesia. Dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat

organisasi dituntut untuk memiliki sumber daya manusia yang berkualitas

tinggi agar mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif. Sumber

daya manusia dapat menentukan apakah suatu organisasi dapat bertahan di era

yang ditandai dengan kompetisi yang sangat ketat. Sumber daya manusia

dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam merespon lingkungan yang

berubah (Ancok, 2002).

Stoltz (2000) mengatakan bahwa sumber terbesar dari kesulitan

untuk kebanyakan organisasi adalah perubahan yang terjadi terus-menerus.

Perubahan yang terjadi terus-menerus membuat karyawan hidup dalam

lingkungan yang tidak nyaman. Perubahan membawa dampak pada

meningkatnya kesulitan yang harus dihadapi oleh para pekerja, mulai dari

pemotongan gaji, perampingan perusahaan, restrukturisasi, merger, persaingan


(17)

telah menimbulkan rasa takut yang meluas bagi banyak orang. Banyak pekerja

yang mencemaskan posisi mereka dalam perekonomian di era global ini.

Perubahan yang terjadi terus menerus membuat kaum pekerja harus terus

bersusah-payah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka untuk

dapat bertahan dalam sebuah organisasi.

Hood, Hill, dan Spilka (2009) memberikan sorotan secara khusus

kepada umat Kristiani yang memaknai pekerjaan bukan hanya sebagai sumber

mata pencaharian, tetapi juga sebagai sebuah „panggilan‟. Hal ini dibuktikan melalui sebuah penelitian terhadap 1.869 responden beragama Kristen dan

Katholik yang hasilnya menunjukkan bahwa 15% sampel penelitian

memaknai pekerjaan sebagai sebuah „panggilan‟. Pada tingkatan yang paling umum, umat Kristian diajarkan untuk tidak mementingkan diri sendiri, untuk

memaknai hidup sebagai upaya aktif yang menuntut pengorbanan (misalnya;

dalam melayani orang lain), dan untuk memerangi kemalasan. Pada tingkatan

yang lebih luas, Alkitab menceritakan bahwa sejak semula Allah menciptakan

manusia sebagai subjek yang bekerja, seperti pada saat Allah memberikan

Taman Eden kepada manusia “untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kejadian 2:15). Setelah manusia tidak menaati Allah, Allah menghukum

Adam dan Hawa untuk mencari makanan “dengan berpeluh” (Kejadian 3:19). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa di tengah kesulitan yang semakin

besar, umat Kristiani cenderung berusaha untuk mempertahankan pekerjaan


(18)

Stoltz (2000) mengemukakan bahwa saat dihadapkan pada kesulitan

hidup, sebagian individu bertahan dan terus berjuang sementara yang lain

gagal dan menyerah. Adversity Quotient adalah suatu bentuk kecerdasan baru yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang dalam

merespon kesulitan. Adversity Quotient adalah prediktor keberhasilan seseorang dalam menghadapi kesulitan, bagaimana ia berperilaku dalam

situasi sulit, bagaimana ia mengendalikan situasi, apakah ia dapat menemukan

sumber permasalahan, apakah ia mempunyai rasa memiliki dalam situasi

tersebut, apakah ia mencoba untuk membatasi efek dari kesulitan, dan

bagaimana ia optimis bahwa kesulitan itu akan berakhir (Phoolka & Kaur,

2012). Pada fase perubahan yang terjadi dalam suatu organisasi, para pekerja

dengan Adversity Quotient rendah cenderung kehilangan harapan, menjadi tidak termotivasi, dan mengalami kebingungan, beberapa bahkan

menyangsikan hasil dari proses perubahan itu sendiri. Sebaliknya, para pekerja

dengan Adversity Quotient tinggi cenderung mau memeluk perubahan, mendorong terjadinya perubahan, dan bertahan dalam menjalani proses

perubahan (Stoltz, 2000).

Stoltz (2000) mengatakan bahwa Adversity Quotient dapat membantu individu untuk memandang sebuah kesulitan dengan lebih

konstruktif. Seligman (dalam Stoltz, 2000) mengatakan bahwa orang yang

memiliki Adversity Quotient tinggi akan merespon kesulitan dengan gaya yang lebih optimis dan meyakini bahwa permasalahan mereka akan segera


(19)

Quotient tinggi memiliki kekebalan terhadap rasa tidak berdaya dan putus asa. Mereka memiliki pengendalian diri dan sifat tahan banting dalam menghadapi

situasi kehidupan yang keras. Individu dengan Adversity Quotient yang tinggi membaktikan dirinya pada perbaikan diri seumur hidup. Hal ini yang

menyebabkan mereka memiliki ketekunan untuk terus menerus berusaha,

bahkan ketika dihadapkan pada kegagalan (Stoltz, 2000)

Stoltz (2000) menjelaskan bahwa salah satu ilmu yang mendasari

terbentuknya teori mengenai Adversity Quotient adalah Psikologi Kognitif. Psikologi kognitif merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang

memperoleh, mentransformasi, merepresentasi, menyimpan, dan menggali

kembali pengetahuan, serta bagaimana pengetahuan tersebut dapat digunakan

untuk merespon atau memecahkan masalah, berpikir, dan berbahasa

(Lasmono, 2001). Dalam Psikologi Kognitif terdapat sebuah teori yang

disebut dengan Learned Helplessnes atau ketidakberdayaan yang dipelajari. Teori Learned Helplessness menjelaskan mengapa banyak orang menyerah atau gagal ketika dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup.

Ketidakberdayaan yang dipelajari menggambarkan keyakinan bahwa apapun

yang dilakukan oleh seseorang tidak akan ada gunanya. Keyakinan seperti itu

praktis menghancurkan dorongan seseorang untuk mengambil tindakan dalam

usaha untuk mengatasi kesulitan. Stoltz (2000) lebih lanjut menjelaskan

bahwa suatu keadaan yang bertolak belakang dengan keadaan tidak berdaya

disebut dengan pemberdayaan. Manusia harus diberdayakan agar bisa


(20)

Stoltz (2000) mengatakan bahwa keyakinan atau iman merupakan

salah satu faktor penting yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat

Adversity Quotient yang dimiliki oleh seseorang. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui pendapat Sharp (2010) yang mengatakan bahwa berdoa sebagai inti

dari iman (Bade & Cook 2008) dapat memberikan beragam sumber daya yang

dapat dimanfaatkan oleh individu dalam menghadapi berbagai situasi sulit

dalam kehidupan. Salah satu sumber daya yang diperoleh individu melalui

berdoa adalah sumber daya reinterpretasi kognitif.

Kesulitan hidup seringkali membawa manusia pada batas-batas

kemampuannya dalam mengatasi kesulitan tersebut. Ini adalah saat-saat ketika

manusia beralih pada sesuatu yang transenden dalam upaya untuk mengatasi

masalah dan menemukan pemaknaan baru (Harrison et al. dalam Miller, Gall

& Corbeil, 2011). Hal tersebut sesuai dengan pendapat McIntosh (dalam Lowenthal, 2000) yang mengatakan bahwa keadaan stres dapat membawa

individu pada skema berbasis agama yang dapat digunakan untuk

menginterpretasi peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan.

Park dan Silberman (dalam Whittington & Scher, 2010) mengatakan

bahwa doa adalah usaha untuk menciptakan hubungan dengan Tuhan. Dengan

demikian, doa memainkan peran penting dalam sistem pemaknaan religius.

Doa dapat berisi pengakuan bahwa individu membutuhkan dukungan Tuhan,

baik untuk berhadapan dengan permasalahan kehidupan, ataupun untuk


(21)

dapat memberi dukungan mungkin dapat membantu meringankan kesulitan

(Levine, 2008).

Beberapa keyakinan yang sering digunakan oleh orang yang aktif

secara religius dalam menghadapi permasalahan adalah bahwa “semua akan

indah pada waktunya”, “bersama Tuhan tidak ada yang mustahil”, “permasalahan adalah cobaan dari Tuhan”, dan lain sebagainya. Melalui interpretasi-interpretasi tersebut individu menjadi mampu untuk memahami

dunia dan menghadapi permasalahan sehari-hari dengan cara yang lebih

efektif (Monk-Turner, dalam Maltby, Lewis & Day 2008). Dengan demikian,

Thoits (dalam Levine, 2008) mengatakan bahwa berdoa dapat mengubah

konsep seseorang tentang situasi.

Sharp (2010) mengatakan banyak orang mengelola emosi negatif

melalui berdoa. Beberapa individu menggunakan doa untuk mengelola emosi

negatif yang disebabkan oleh penyakit, peristiwa traumatis, atau peritiwa

hidup yang negatif. Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan

perilaku berdoa. Levine (2008) mengatakan bahwa melibatkan diri dalam doa

dan memegang sikap positif terhadap agama secara empiris berhubungan

dengan kesejahteraan pribadi, kesehatan, dan penurunan stress). Johnson

(dalam Lowenthal, 2000) lebih lanjut menjelaskan bahwa berdoa dapat

menumbuhkan harapan, kepercayaan diri, dan ketenangan pikiran. Selain itu,

doa juga dapat berfungsi sebagai sumber pembaharuan energi emosional dan

membantu mempersiapkan individu untuk menerima apapun yang terjadi.


(22)

ada penelitian yang secara khusus mengaitkan frekuensi berdoa dengan

kemampuan individu dalam mengatasi masalah. Oleh karena itu, peneliti

tertarik untuk meneliti hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah apakah ada

hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan beragama Kristen dan Katolik?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi

berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan beragama Kristen dan Katolik.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan

mengenai hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan. Hasil penelitian yang diperoleh memberikan kontribusi bagi

pengembangan penelitian di bidang Psikologi Industri dan Organisasi,


(23)

bahan pembanding bagi peneliti-peneliti yang ingin mengkaji masalah yang

berkaitan dengan frekuensi berdoa dan Adversity Quotient.

Secara praktis, jika penelitian ini diterima diharapkan dapat membantu

memberikan informasi yang berguna bagi karyawan ataupun perusahaan

dalam memperbaiki respon terhadap kesulitan di tempat kerja demi


(24)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Adversity Quotient

1. Definisi Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengatakan bahwa Adversity Quotient adalah suatu bentuk kecerdasan yang mengukur kemampuan seseorang untuk bertahan

dalam kesulitan dan mengatasinya. Adversity Quotient dapat menjelaskan bagaimana seseorang berperilaku dalam situasi sulit, apakah ia dapat

mengendalikan situasi, menemukan sumber permasalahan, mempunyai

rasa memiliki dalam situasi tersebut, membatasi efek dari kesulitan, dan

bagaimana seseorang tersebut optimis bahwa kesulitan akan segera

berakhir (Phoolka & Kaur, 2012). Adversity Quotient dapat memprediksi siapa yang akan berhasil mengatasi kesulitan, dan siapa yang akan gagal

dan menyerah. Adversity Quotient menggabungkan teori ilmiah dan penerapan di dunia nyata dalam setiap konsepnya, sehingga Adversity Quotient tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga peralatan yang secara praktis dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas pribadi

demi tercapainya kesuksesan di berbagai bidang kehidupan (Stoltz, 2000).

Adversity Quotient didasarkan pada tiga cabang ilmu pengetahuan, yang pertama adalah psikologi kognitif. Psikologi kognitif


(25)

bagaimana orang berpikir, mengingat, dan belajar. Psikologi kognitif

menjadi dasar pertama dari Adversity Quotient karena dalam psikologi

konitif terdapat sebuah teori tentang ‘ketidakberdayaan yang dipelajari’

(learned helplessness). Belajar ketidakberdayaan adalah internalisasi keyakinan bahwa apapun yang dilakukan tidak akan merubah keadaan.

Hal ini terkait dengan dimensi kendali (control) yang merupakan dimensi pertama dalam Adversity Quotient.

Kedua, ilmu yang mendasari Adversity Quotient adalah psikoneuroimunologi. Psikoneuroimunologi mempelajari tentang

hubungan antara jiwa (psyche), otak (neuro), dan sistem kekebalan tubuh (immune). Para peneliti menemukan bahwa kesehatan emosional membawa dampak besar pada sistem kekebalan tubuh manusia. Misalnya,

rasa benci, marah, dan frustrasi dalam jangka panjang dapat menyebabkan

perubahan biokimia yang berbahaya dalam tubuh. Sebaliknya, perasaan

cinta, tawa, dan ketenangan dapat membawa kesembuhan. Demikian pula

Adversity Quotient dapat berpengaruh pada kesehatan karena ada keterkaitan langsung antara bagaimana seseorang menanggapi kesulitan

dengan kesehatan mental dan fisik orang tersebut.

Ilmu terakhir yang mendasari Adversity Quotient adalah neurofisiologi. Neurofisiologi mempelajari hubungan antara otak dengan

sistem syaraf. Penelitian di bidang neurofisiologi menunjukkan bahwa

otak memliki kemampuan untuk membentuk kebiasaan-kebiasaan yang


(26)

bahwa kebiasaan-kebiasaan yang diperlukan untuk meningkatkan

Adversity Quotient dapat dibentuk dan diperkuat dalam diri manusia.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Adversity Quotient adalah suatu bentuk kecerdasan yang mengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan untuk mencapai

kesuksesan di berbagai bidang kehidupan.

2. Tiga Tingkat Kesulitan

Stoltz (2000) mengatakan bahwa ukuran dan frekuensi kesulitan

yang harus dihadapi setiap orang semakin besar dari hari ke hari. Kesulitan

hidup terus meningkat dan tidak pernah berhenti. Untuk membantu

menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh manusia, Stoltz (2000)

memperkenalkan model “Tiga Tingkat Kesulitan”. Model ini hendak

menggambarkan suatu kenyataan bahwa kesulitan merupakan bagian dari

hidup yang ada di mana-mana, nyata, dan tidak terelakkan. Selain itu,

model ini juga hendak memperlihatkan bahwa perubahan positif yang

dapat terjadi pada ketiga tingkatnya berawal dari individu yang mengalami

kesulitan.

a. Kesulitan di Masyarakat.

Pada zaman sekarang ini, masyarakat dihadapkan pada

banyak kesulitan, misalnya: tindakan kejahatan yang meningkat secara


(27)

lingkungan yang semakin parah, krisis moral yang melanda generasi

muda, perubahan pandangan terhadap kehidupan rumah tangga, dan

hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga pemerintah. Stoltz

(2000) menyebut perubahan tersebut sebagai kesulitan masyarakat.

b. Kesulitan di Tempat Kerja.

Stoltz (2000) mengatakan bahwa situasi sulit di tempat kerja

semakin meningkat, hal ini menyebabkan frustrasi yang dialami kaum

pekerja semakin menumpuk. Mengerjakan banyak hal dengan upah

yang sedikit merupakan salah satu dari sekian banyak kesulitan yang

dapat ditemukan di tempat kerja. Tuntutan-tuntutan dan ketidakpastian

yang harus dihadapi seringkali membuat kaum pekerja berangkat ke

tempat kerja dengan perasaan cemas setiap harinya.

c. Kesulitan Individu.

Phoolka dan Kaur (2012) menyebutkan beberapa contoh

kesulitan yang terjadi pada tingkat individu, diantaranya adalah rasa

kesepian, kurang percaya diri, kehilangan semangat, kelelahan, dan

kesehatan yang buruk. Namun, sesuai dengan penjelasan sebelumnya

mengenai model “Tiga Tingkat Kesulitan”, pada tingkat inilah

individu dapat memulai perubahan.

3. Tiga Tipe Individu dalam Menghadapi Kesulitan

Setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda ketika


(28)

tingkat keberhasilan yang berbeda-beda pula. Stoltz (2000)

mengumpamakan usaha untuk mengatasi kesulitan dalam meraih

kesuksesan sebagai sebuah pendakian, berikut tiga tipe individu dalam

menghadapi kesulitan:

a. Mereka yang berhenti (quitters)

Mereka yang berhenti terlihat seperti menolak banyak

kesempatan yang ditawarkan oleh kehidupan. Quitters bahkan meninggalkan impian-impian yang pernah mereka miliki sebelumnya.

Sebagai akibatnya, mereka seringkali menjadi sinis, frustrasi, dan

membenci orang-orang yang terus mendaki. Quitters mencari pelarian untuk menenangkan hati dan pikiran mereka dengan melakukan

hal-hal yang tidak produktif.

Di tempat kerjanya, Quitters bekerja sekadar cukup untuk hidup. Quitters juga cenderung menolak perubahan. Hal ini yang membuat mereka dapat dengan cepat menemukan cara untuk

menyatakan bahwa sesuatu tidak dapat dilaksanakan. Quitters

memberikan kontribusi yang sangat sedikit bagi tempat kerjanya.

b. Mereka yang berkemah (campers)

Berbeda dengan Quitters. Campers setidaknya telah menanggapi tantangan pendakian itu. Namun, Campers memiliki ambang kemampuan yang terbatas dalam menghadapi kesulitan, dan

menemukan alasan-alasan yang kuat untuk berhenti mendaki. Mereka


(29)

menghentikan pendakian mereka. Kenyamanan yang mereka dapatkan

di tempat berkemah telah dianggap sebagai tujuan akhir mereka.

Campers hidup dengan keyakinan bahwa setelah melakukan sejumlah usaha, hidup seharusnya bebas dari kesulitan. Campers merasa cukup diri dengan apa yang sudah mereka peroleh, dan mengorbankan

kemungkinan untuk melihat atau mengalami apa yang masih mungkin

mereka dapatkan.

Di tempat kerjanya, Campers masih belum menggunakan seluruh kemampuannya, tetapi apa yang dilakukannya cukup untuk

membuat dia tetap dipekerjakan. Campers bersedia melakukan pekerjaan yang penuh resiko, namun mereka memilih yang

ancamannya paling kecil. Motivasi mereka adalah rasa takut dan

kenyamanan, sehingga mereka mengindarkan diri dari sesuatu yang

bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Mereka mungkin saja

menerima perubahan, sepanjang perubahan tersebut dapat dipastikan

tidak akan menggoyahkan landasan tempat mereka berdiri. Jika

Campers terlalu lama berdiam diri dalam kenyamanan, maka mereka akan kehilangan keunggulannya dan kinerjanya semakin merosot.

c. Mereka yang mendaki (climbers)

Para Climbers tidak pernah membiarkan hambatan apapun menghalangi pendakiannya. Mereka benar-benar memahami tujuan

mereka dan bisa merasakan semangat dalam diri mereka. Mereka


(30)

pendakian yang telah mereka lakukan. Mereka memiliki keyakinan

bahwa suatu hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain

bersikap negatif dan beranggapan bahwa hal tersebut mustahil.

Climbers juga manusia biasa, terkadang mereka merasa bosan, ragu-ragu, ataupun kesepian saat melakukan pendakian. Namun mereka

memiliki kematangan dan kebijaksanaan bahwa terkadang mereka

perlu berhenti sejenak agar bisa maju lagi. Berbeda dengan Campers

yang berhenti untuk menetap, Climbers berhenti sejenak untuk memulihkan kekuatan dan mengumpulkan tenaga baru untuk

pendakian selanjutnya.

Di tempat kerjanya, Climbers terus mencari cara untuk melakukan perbaikan diri dan berkontribusi. Mereka memanfaatkan

hampir seluruh potensi mereka, sehingga mereka memberikan

kontribusi paling banyak jika dibandingkan dengan Quitters dan

Campers. Climbers menyambut baik dan mendorong terjadinya perubahan-perubahan yang positif. Tantangan yang ditawarkan oleh

perubahan justru mereka jadikan kesempatan untuk berkembang.

Climbers bersedia melakukan pekerjaan yang penuh resiko dan mengatasi rasa takut.


(31)

4. Faktor yang Mempengaruhi Advesity Quotient

Stoltz (2000) mengatakan bahwa terdapat tiga faktor yang

mempengaruhi tingkat Adversity Quotient seseorang, yaitu keyakinan, genetika, dan pendidikan.

a. Genetika

Stoltz (2000) menjelaskan bahwa meskipun warisan genetis

tidak akan menentukan nasib seseorang, namun faktor ini pasti ada

pengaruhnya. Hal ini didasari oleh banyaknya hasil penelitian yang

membuktikan bahwa genetika sangat mendasari perilaku seseorang.

Penelitian lainnya memperlihatkan bahwa suasana hati dan tingkat

kecemasan juga memiliki kaitan genetis.

b. Pendidikan

Faktor lain yang dapat mempengaruhi Adversity Quotient

seseorang adalah pendidikan. Stoltz (2000) mengatakan bahwa

pendidikan seseorang bisa mempengaruhi kecerdasan, pembentukan

kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan

kenerja yang dihasilkan.

c. Keyakinan

Stoltz (2000) mengatakan bahwa sebagian besar orang yang

berhasil meraih kesuksesan memiliki faktor ini. Pemimpin-pemimpin

besar dunia seperti Vaclav Havel dan Nelson Mandela mengatakan

bahwa keyakinan atau iman merupakan unsur yang sangat penting bagi


(32)

mengenai peran keyakinan dalam dunia kerja telah banyak beredar.

Iman merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan

harapan, tindakan, moralitas, kontribusi, dan bagaimana individu

memperlakukan sesamanya.

5. Dimensi Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengatakan bahwa Adversity Quotient terdiri atas empat dimensi, yaitu Control, Origin-Ownership, Reach, dan Endurance. a. C = Control (Kendali)

Dimensi control ingin mengukur dua hal, yang pertama sejauh mana seseorang merasa mampu mengendalikan dan

mempengaruhi sebuah situasi sulit secara positif, yang kedua sejauh

mana seseorang mampu mengendalikan tanggapannya sendiri terhadap

sebuah situasi sulit. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi

control merasakan kendali yang kuat atas peristiwa-peristiwa yang buruk. Besarnya pengendalian yang dirasakan akan membawa individu

pada usaha penyelesaian masalah dengan mengambil sebuah tindakan.

Selain itu, individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi control

memiliki kemampuan untuk mengelola dan mempertimbangkan

tanggapan yang akan muncul pada saat kesulitan melanda.

Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah pada

dimensi control memiliki keyakinan bahwa apapun yang mereka kerjakan tidak akan merubah keadaan. Individu yang kemampuan


(33)

pengendaliannya rendah sering merasa tidak berdaya dan berhenti

berusaha saat dihadapkan pada kesulitan. Mereka juga akan cenderung

bereaksi dengan cara yang negatif pada saat kesulitan melanda, seperti

mengumpat, menghina, bahkan mengucapkan kata-kata yang

kemudian mereka sesali. Hal tersebut dapat terjadi karena individu

yang memiliki skor rendah pada dimensi control tidak mampu mengendalikan ataupun merubah reaksi internal yang ada dalam

pikiran mereka sehingga terlepas begitu saja dalam wujud kata-kata

dan tindakan.

b. O2 = Origin-Ownership (Asal-usul dan Pengakuan)

Dimensi origin-ownership ingin mengukur dua hal, yang pertama sejauh mana seseorang menemukan penyebab dari suatu

kesulitan dengan tepat, yang kedua sejauh mana seseorang mengakui

dan bertanggung jawab atas suatu kesulitan tanpa mempedulikan

penyebabnya. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi origin-ownership mampu memandang perasaan bersalah sebagai sebuah umpan balik untuk melakukan perbaikan. Rasa bersalah yang

sewajarnya akan menggugah mereka untuk belajar dari kesalahan

untuk menghindari kesalahan yang sama terulang lagi. Selain itu,

individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi origin-ownership

akan menghindarkan diri dari sikap menyalahkan orang lain dan

mengambil tindakan bertanggung jawab tanpa mempedulikan


(34)

Individu yang memiliki skor rendah pada dimensi origin-ownership cenderung tidak mampu menimpakan suatu kesalahan pada tempat yang semestinya. Terkadang mereka melihat dirinya sendiri

sebagai satu-satunya penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa yang

buruk. Hal ini yang membuat mereka mudah sekali dilanda perasaan

bersalah yang terlampau besar. Rasa bersalah memang tidak selamanya

berdampak negatif, namun rasa bersalah yang terlampau besar akan

menjadi destruktif dan menempatkan individu pada penyesalan yang

tidak sewajarnya. Di sisi lain, seringkali mereka sibuk untuk

mencari-cari sumber permasalahan dan menimpakan kesalahan kepada orang

lain. Hal ini yang membuat individu dengan skor rendah pada dimensi

origin-ownership menghindarkan diri dari pengakuan dan tindakan bertanggung jawab atas sebuah situasi sulit.

c. R = Reach (Jangkauan)

Dimensi reach mengukur sejauh mana seseorang mampu membatasi kesulitan agar tidak menjangkau bidang kehidupanya yang

lain. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi reach akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Sebagai

contoh, kesalahpahaman dengan orang yang dikasihi adalah sebatas

kesalahpahaman, bukan pertanda bahwa suatu hubungan akan

berakhir. Membatasi jangkauan kesulitan memungkinkan individu


(35)

Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah pada

dimensi reach akan menganggap suatu kesulitan sebagai bencana. Sebagai contoh, hasil penilaian kinerja yang buruk dianggap sebagai

sesuatu yang menghambat karir dan pada akhirnya melemahkan

motivasi kerja. Membiarkan kesulitan menjangkau bidang-bidang

kehidupan yang lain hanya akan menguras tenaga dan membuat

seseorang menjadi semakin tidak berdaya untuk mengambil sebuah

tindakan penyelesaian.

d. E = Endurance (Daya Tahan)

Dimensi endurance mengukur seberapa lama seseorang menganggap sebuah kesulitan dan penyebab kesulitan akan

berlangsung. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi

endurance akan menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu, dan kecil

kemungkinannya akan terjadi lagi. Anggapan seperti ini akan

meningkatkan optimisme dan dorongan untuk bertindak. Sebaliknya,

individu yang memiliki skor rendah pada dimensi endurance akan menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu

yang sifatnya permanen dan berlangsung lama. Anggapan seperti ini


(36)

B. Frekuensi Berdoa 1. Definisi Berdoa

McCullough dan Larson (dalam Bade & Cook, 2000)

mengatakan bahwa doa adalah pikiran, sikap, dan tindakan yang dilakukan

untuk mengekspresikan atau mengalami hubungan dengan yang yang

Ilahi. Matthews (dalam Bade & Cook, 2000) secara sederhana

mendefinisikan doa sebagai sarana yang dapat digunakan seseorang untuk

berkomunikasi dengan Tuhan. Cole (2000) menjelaskan bahwa doa dapat

berlangsung secara individu maupun kelompok, dalam bentuk verbal

maupun non-verbal, berdasarkan metode ritual maupun non-ritual, dan

dalam tingkat kesadaran yang berbeda-beda.

Doa adalah setiap jenis persekutuan atau percakapan batin

dengan suatu kekuatan yang diakui sebagai yang Ilahi (James, dalam

Breslin & Lewis 2008). Doa adalah praktek keagamaan paling utama yang

melibatkan pencarian dan tanggapan terhadap kehadiran, kehendak, dan

bantuan dari yang Ilahi. Berdoa menuntut orientasi kepada sesuatu yang

transenden, dimana seseorang biasanya mengekspresikan pergumulan,

penyesalan, kebutuhan, dan keinginan (Cole, 2010).

Heiler (dalam Breslin & Lewis, 2008) mengatakan bahwa doa

merupakan akibat dari kebutuhkan individu yang memiliki sedikit kendali

atas kehidupannya. Hal ini kemudian berkembang menjadi suatu prinsip

yang diyakini oleh kebanyakan orang yang berdoa, yaitu ''Bukan


(37)

pendapat Kelcourse (2001) yang mengatakan bahwa manusia yang berdoa

untuk meminta pertolongan Tuhan adalah sama halnya dengan bayi yang

menangis untuk hehadiran responsif dari ayah dan ibu. Oleh karena itu,

Caughey (dalam Sharp, 2010) kemudian mendefinisikan doa sebagai

interaksi sosial imajiner antara individu dengan sosok yang imajiner.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa berdoa

adalah segala bentuk komunikasi yang dilakukan oleh manusia untuk

berhubungan dengan yang Ilahi, dimana dalam komunikasi tersebut

manusia dapat mengekspresikan pergumulan, penyesalan, kebutuhan, dan

keinginan.

2. Komponen-komponen Berdoa

Loewenthal (2000), dalam bukunya The Psychology of Religion : A Short Introduction mengatakan bahwa berdoa melibatkan beberapa komponen, yaitu :

a. Komponen Perilaku.

Doa melibatkan persiapan perilaku, seperti menjaga jarak dari

keramaian, menenangkan pikiran, serta persiapan sikap tubuh -

menghadapi ke arah tertentu, berdiri, duduk, membungkuk, berlutut

atau gerakan khusus lainnya seperti menari.

b. Komponen Linguistik.

Individu berdoa menggunakan bahasa, mungkin kata-kata


(38)

muncul saat berdoa bisa sangat lantang atau tenang, berdoa di dalam

hati, atau kadang-kadang beberapa bentuk mencari keheningan batin

(doa kontemplatif).

c. Komponen Kognitif.

Doa melibatkan orientasi menuju perspektif religius atau

spiritual dalam kehidupan, tujuan, dan makna yang terkandung di

dalamnya.

d. Komponen Emosional.

Doa biasanya memberikan rasa kedekatan kepada Allah, dan

mungkin dukungan dan kenyamanan.

3. Jenis-jenis Doa

Poloma dan Pendleton (dalam Nelson, 2009) membedakan doa

dalam empat kategori, yaitu doa meditatif (meditative prayer), doa ritual (ritual prayer), doa percakapan (colloquial prayer), dan doa permohonan (petitionary prayer). Doa meditatif mencakup komponen keintiman dan hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan tiga jenis doa lainnya

mengacu pada bentuk doa yang lebih aktif dan lisan.

a. Doa meditatif (meditative prayer)

Jenis doa ini menekankan pada tindakan kontemplasi

(Argyle, dalam Cole 2010). Seseorang yang terlibat dalam doa

meditatif biasanya akan mencari persekutuan dengan Tuhan dengan


(39)

Tuhan, merasakan kehadiran Tuhan, merenung tentang Tuhan, dan

mengagumi keagungan Tuhan (Breslin, Shevlin & Lewis 2010).

b. Doa ritual (ritual prayer)

Jenis doa ini menekankan pada kualitas tradisi keagamaan,

termasuk di dalamnya pembacaan doa dari buku-buku doa maupun doa

hafalan. Doa ritual cenderung dipraktekkan di antara

kelompok-kelompok yang kepemimpinannya terdiri dari imam-imam yang

mengatur praktek-praktek keagamaan (Heiler, dalam Cole 2010).

Bentuk doa ini terkadang dilakukan di tempat-tempat tertentu yang

dianggap sakral (Argyle, dalam Cole 2010).

c. Doa permohonan (petitionary prayer)

Jenis doa ini berisi permohonan kepada Tuhan untuk

memenuhi kebutuhan material dan spiritual baik bagi diri sendiri

maupun orang lain (Miller et al., 2011). Caps (dalam Spilka, 2005)

mengatakan bahwa petitionary prayer merupakan suatu bentuk permintaan kepada Tuhan untuk memberikan apa pun yang diinginkan

oleh pemohon. Dalam doa ini, seseorang secara eksplisit meminta

bantuan dan campur tangan Tuhan (Heiler, dalam Cole 2010).

d. Doa percakapan (colloquial prayer)

Jenis doa ini berisi percakapan antara individu dengan Tuhan,

sehingga di dalamnya tidak melibatkan permohonan spesifik. Dalam


(40)

menggunakan bahasa percakapan sehari-hari, termasuk di dalamnya

ucapan syukur dan ungkapan cinta kepada Tuhan (Miller et al., 2011).

4. Efek Psikologis Berdoa

Penelitian yang dilakukan oleh Sharp (2010) menunjukkan

bahwa berdoa sebagai interaksi dukungan sosial imajiner memberikan

individu beberapa sumber daya yang dapat mereka manfaatkan sebagai

strategi untuk mengelola emosi negatif mereka:

a. Menyediakan orang lain sebagai tempat untuk mengekspresikan emosi

negatif.

Individu yang menggunakan doa sebagai cara untuk

mengekspresikan emosi-emosi negatif memandang Tuhan sebagai

figur yang memiliki karakteristik penuh kasih, peduli, dan tidak

menghakimi. Dengan kata lain, interaksi dengan Tuhan memberikan

individu sumber daya interpersonal berupa seseorang yang mau

mendengar. Individu dapat menceritakan kepada Tuhan tentang apa

yang mereka rasakan tanpa perlu merasa takut dihakimi atau mendapat

tanggapan negatif. Individu merasakan kenyamanan dan kesejahteraan

subjektif ketika mereka mampu mengekspresikan perasaan dan

frustrasi.

b. Memberikan penilaian yang positif.

Para ahli berpendapat bahwa individu mendasarkan harga diri


(41)

berdoa meyakini bahwa Tuhan peduli kepada mereka, mencintai

mereka, dan memandang mereka sebagai orang-orang yang berharga.

Oleh karena itu, individu mulai menganggap diri mereka sebagai orang

yang berharga ketika berinteraksi dengan Tuhan. Dengan kata lain,

interaksi dengan Tuhan memberikan individu penilaian positif yang

akan mereka gunakan untuk meningkatkan harga diri dan pada

akhirnya mengurangi perasaan sedih dan depresi.

c. Memberikan perasaan dilindungi melalui reinterpretasi kongnitif.

Selama interaksi berlangsung, individu meyakini bahwa

Tuhan peduli kepada mereka dan memiliki kekuatan untuk melindungi

mereka dalam kesulitan. Individu pada akhirnya menggunakan

keyakinan ini untuk menafsirkan situasi sulit yang mereka alami

sebagai sesuatu yang tidak begitu mengancam. Proses reinterpretasi ini

memberikan individu rasa perlindungan, dan persepsi ini akan

membantu individu mengurangi ketakutan dan kecemasan. Menurut

beberapa individu, rasa perlindungan yang didapat melalui doa ini

memberi mereka kekuatan dan keberanian untuk menghadapi bahaya.

d. “Zoning Out”

Doa dapat membantu individu mengelola emosi negatif

dengan memberikan mereka cara untuk mengalihkan diri dari stimulus

yang dapat menyebabkan emosi negatif. Dengan mengalihkan diri dari

stimulus yang menyebabkan emosi negatif, zoning out membantu individu mengelola beberapa emosi negatif dengan mencegahnya


(42)

masuk ke kesadaran kognitif. Selain itu, zoning out melalui doa juga membantu individu untuk tidak bereaksi dengan emosi negatif yang

dapat memperburuk situasi.

e. Menumbuhkan sikap memaafkan dengan meniru Tuhan

Caughey (dalam Sharp, 2010) berpendapat bahwa individu

sering menggunakan figur lain sebagai role model untuk ditiru, bahkan

beberapa ahli sosiologi emosi berpendapat bahwa individu sering

meniru strategi manajemen emosi yang digunakan oleh figur tersebut.

Dalam cara yang sama, selama berinteraksi dengan Tuhan individu

memandang Tuhan sebagai figur yang layak mereka tiru untuk

mengelola kemarahan mereka. Tuhan dipandang sebagai seseorang

yang mengampuni pelanggaran dan kesalahan oranng lain. Mereka

kemudian mengadopsi sikap ini sebagai cara untuk mengurangi atau

melepaskan kemarahan dan kebencian mereka terhadap orang lain.

Levine (2008) mengatakan bahwa berdoa sebagai salah satu

bentuk strategi coping dan dukungan sosial dapat membawa dampak positif pada kondisi psikologis individu. Berikut beberapa proses

psikologis yang terjadi pada individu yang berdoa beserta manfaat yang

mengikutinya:

a. Konsekuesi percakapan.

Ketika klien psikoterapi berbicara kepada seorang terapis

yang penuh dengan penerimaan, pikiran dan perasaan klien akan


(43)

halnya dengan berdoa yang dapat membantu mengklarifikasi pikiran

dan perasaan seseorang yang berbicara pada diri sendiri ketika

berbicara dalam hati (Ho, Chan, Peng & Ng, dalam Levine 2008).

b. Tuhan sebagai attachment figur

Kirkpatrick (dalam Levine, 2008) menggambarkan Tuhan

sebagai ‘figur kelekatan’, sama halnya dengan ibu yang menghadirkan

kenyamanan pada anak. Ketika seseorang yakin bahwa figur kelekatan

akan hadir baginya setiap kali ia perlukan, individu tersebut menjadi

lebih kebal terhadap rasa takut bila dibandingkan dengan individu yang

tidak memiliki keyakinan seperti itu (Bowlby, dalam Levine 2008).

Berdoa dapat dilihat sebagai usaha untuk mencari kedekatan dengan

figur kelekatan yang kehadirannya dianggap dapat memberikan

kenyamanan (Mazmur 23: “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.”)

c. Tuhan yang selalu hadir.

Orang-orang yang berdoa meyakini bahwa Tuhan ada

dimana-mana (Mazmur 139:7) dan dapat mendengar seruan doa

mereka (James, dalam Levine 2008). Keyakinan ini yang

menyebabkan beberapa orang dapat merasakan kehadiran Tuhan ketika

mereka berdoa. Individu yang merasakan kehadiran Tuhan berada

dalam tingkat kesadaran yang mirip dengan yang dialami oleh orang

yang sedang mengunjungi sebuah makam dan berbicara kepada orang


(44)

menganggap Tuhan sebagai teman yang setia menemani. Oleh karena

itu, interaksi dengan Tuhan dapat mengurangi perasaan kesepian.

d. Menyerahkan masalah ke tangan Tuhan.

Individu yang berdoa menyerahkan sebuah permasalahan

kepada Tuhan untuk mendapatkan solusi. Hal tersebut memberikan

kesempatan bagi individu untuk melepaskan diri secara emosional dari

kesulitan untuk mencari pemecahan masalah dalam level kesadaran

yang berbeda. Ada dua konsekuensi psikologis yang diterima setelah

menyerahkan masalah ke tangan Tuhan:

1) Fenomena inkubasi

Proses inkubasi akan terjadi setelah individu mengambil

waktu untuk sejenak melepaskan diri dari segala kesulitan.

Melepaskan diri dari segala kesulitan untuk sementara waktu

memungkinkan individu untuk menghilangkan pemikiran negatif

dan mengembangkan pemikiran positif (Davidson, dalam Levine

2008). Solusi untuk permasalahan yang muncul setelah proses

inkubasi dapat dimaknai sebagai jawaban atas doa yang telah

disampaikan. Menurut hasil penelitian Stolz (dalam Levine, 2008),

orang-orang yang terlibat dalam doa mungkin mendapatkan insight

setelah berdoa.

2) Priming

Karena doa didasarkan pada nilai-nilai agama, maka


(45)

tersebut. Berdoa membuat nilai-nilai agama menjadi aktif dalam

proses pencarian solusi. Solusi yang muncul akan mendorong

seseorang untuk mengambil tindakan yang benar untuk mengatasi

suatu dilema.

e. Doa sebagai cara pemenuhan tugas.

Bagi kebanyakan orang, berdoa adalah kewajiban agama

(Ariel, dalam Levine 2008). Memenuhi kewajiban atau bertindak

sesuai dengan apa yang dianggap baik akan menghasilkan peningkatan

harga diri, Jika demikian, berdoa membantu seseorang untuk

meningkatkan harga diri karena orang tersebut telah memenuhi

kewajibannya. Orang yang disosialisasikan dalam keyakinan dan

praktek agama akan merasa tidak nyaman ketika mereka tidak berdoa.

f. Mendoakan orang lain.

Niatan untuk mendoakan orang lain dengan menyampaikan

bahwa “Aku akan mendoakanmu.” atau “Kau akan kubawa dalam doaku.” akan membawa dampak psikologis bagi yang didoakan

maupun yang mendoakan. Mendoakan orang lain dapat dipandang

sebagai salah satu cara untuk memberikan dukungan emosional bagi

orang yang sedang dalam kesulitan. Hal ini dapat berguna untuk

mengurangi perasaan tidak berdaya dalam diri orang yang mendoakan.

g. Harapan, optimisme, dan orientasi ke masa depan.

Doa memunculkan pemikiran bahwa betapapun sulitnya


(46)

Dengan demikian, tindakan berdoa dapat menghasilkan harapan,

optimisme dan orientasi ke masa depan. Dengan demikian tindakan

berdoa membantu individu untuk menjauhkan diri dari rasa stres dan

putus asa.

h. Berdoa sebagai stimulus terkondisi.

Banyaknya manfaat yang diperoleh melalui doa membuat doa

dianggap dapat memberikan kontribusi pada penurunan tingkat stres.

Tindakan berdoa yang diikuti dengan penguatan berupa penurunan

tingkat stres dapat menjadi stimulus terkondisi untuk penurunan stres.

i. Keadaan mental saat doa dan meditasi.

Jika berdoa menimbulkan pikiran dan perasaan relaks seperti

yang dicapai dalam meditasi, maka orang yang berdoa secara teratur

dapat merasakan manfaat seperti yang didapatkan saat bermeditasi.

Dengan demikian orang yang berdoa dapat merasakan relaksasi

ketegangan. Selain itu, berdoa secara teratur juga memberikan dampak

positif pada sistem kekebalan tubuh (Seeman, Dubin & Seeman, dalam

Levine 2008).

j. Doa dalam kelompok

Doa yang dilakukan dalam kelompok memiliki dampak pada

kesejahteraan psikologis. Individu yang berdoa dalam kelompok akan

memperkuat identifikasinya pada kelompok agama tersebut beserta

dengan nilai-nilainya. Berkumpul bersama dengan orang lain yang


(47)

seseorang. Berdoa dalam kelompok juga dapat meningkatkan rasa

kebersamaan melalui berpartisipasi dalam sebuah ritual bersama.

Keterlibatan bersama orang lain menjauhkan individu dari perasaan

terisolasi dan kesendirian (Sarason, dalam Levine 2008). Selain itu,

dalam sebuah kelompok doa, biasanya para anggota dapat

menyediakan pemenuhan kebutuhan emosional dan bantuan yang lebih

kongkrit untuk satu sama lain. Oleh karena itu, berdoa dalam

kelompok juga dianggap sebagai bagian dari upaya pencarian

dukungan sosial.

C. Hubungan antara Frekuensi Berdoa dengan Adversity Quotient

Individu yang berdoa membentuk gambaran-gambaran tertentu

mengenai Tuhan (Stolz, dalam Levine 2008). Faktanya adalah orang-orang

yang berdoa percaya bahwa mereka sedang berinteraksi, berbicara, dan

memiliki hubungan dengan aktor lain yang benar-benar mendengar,

memahami, dan bereaksi terhadap mereka (Sharp, 2010). Selama interaksi

berlangsung, individu yang berdoa percaya bahwa Tuhan mampu memberikan

bantuan apapun. Doa memunculkan pemikiran bahwa betapapun sulitnya

masa sekarang, Tuhan dapat membuatnya berbeda di masa depan. Lowenthal

(2000) berpendapat bahwa individu yang berdoa memiliki keyakinan bahwa

“Tuhan akan membuat semua indah pada waktunya”. Dengan demikian, tindakan berdoa menghasilkan optimisme dan orientasi ke masa depan (Ai et


(48)

masa menggambarkan skor yang tinggi pada salah satu dimensi Adversity Quotient, yaitu dimensi Endurance. Individu dengan Endurance yang tinggi akan memandang permasalahan sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, akan

segera berlalu, dan kecil kemungkinannya akan terjadi lagi di masa depan.

Pandangan seperti ini akan meningkatkan optimisme dan dorongan untuk

bertindak.

Sumber daya kognitif lain yang dapat diperoleh individu melalui

berdoa adalah bahwa berdoa dapat membantu mengklarifikasi pikiran dan

perasaan seseorang yang berbicara pada diri sendiri ketika berbicara dalam

hati (Ho, Chan, Peng & Ng, dalam Levine 2008). Johnson (dalam Lowenthal,

2000) secara khusus mengatakan bahwa doa dapat digunakan sebagai alat

untuk mengklarifikasi tujuan hidup dimana seseorang dapat mendedikasikan

dirinya. Selain itu, doa juga dapat meningkatkan fokus hidup dan membantu

individu untuk melepaskan kekuatan laten untuk mencapai tujuan hidupnya.

Kemampuan untuk mengingat kembali tujuan yang menyebabkan individu

terlibat dalam suatu situasi sulit dapat membantu individu untuk membatasi

suatu permasalahan agar tidak terlihat semakin membesar (Stoltz, 2000).

Selain itu, Johnson (dalam Lowenthal, 2000) juga mengatakan bahwa berdoa

untuk orang lain dapat menjadi salah satu cara untuk menolong orang lain

yang sedang berada dalam kesulitan. Stoltz (2000) mengatakan bahwa

menolong orang lain yang memiliki masalah yang lebih besar dapat membantu

individu untuk menghargai nasibnya dan melihat betapa kecilnya


(49)

bahwa meningkatkan fokus pada tujuan dan membantu orang lain yang berada

dalam kesulitan akan membantu individu untuk mengembalikan suatu

permasalahan pada tempat yang semestinya agar tidak menjangkau bidang

kehidupan yang lain. Kemampuan tersebut terkait dengan dimensi reach yang ada pada Adversity Quotient (Stoltz, 2000).

Johnson (dalam Lowenthal, 2000) mengatakan bahwa dalam situasi

yang penuh permasalahan, doa memungkinkan munculnya pengakuan dari

dalam diri manusia atas kesalahan yang telah dilakukan. Namun Levine

(2008) mengatakan bahwa ketika dihadapkan pada suatu permasalahan

individu yang berdoa mampu memandang asal-usul dari sebuah kesulitan

dengan lebih positif, yaitu sebagai cobaan dari Tuhan. Individu yang berdoa

meyakini bahwa Tuhan yang maha bijaksana selalu melakukan sesuatu untuk

kebaikan manusia, bahkan walaupun manusia tidak bisa melihatnya pada saat

itu. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk khawatir tentang perkara sulit

karena mereka meyakini bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan

melebihi kekuatan manusia. Keyakinan tersebut menyebabkan mereka

menganggap kesulitan sebagai sebuah kesempatan untuk belajar menjadi

individu yang lebih baik lagi dan pada akhirnya doa mendorong mereka untuk

mengambil tindakan penyelesaian masalah. Stoltz (2000) mengatakan bahwa

individu dengan skor yang tinggi pada dimensi origin-ownership mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya sebagai bentuk dari rasa tanggung jawab,

namun tidak melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab dari


(50)

menempatkan asal usul dari suatu permasalahan dengan lebih positif. Rasa

bersalah yang sewajarnya akan membantu individu untuk belajar menjadi

lebih baik lagi, namun rasa bersalah yang berlebihan akan melemahkan.

Taylor et al. (dalam Miller et al., 2011) mengatakan bahwa individu

lebih cenderung untuk berdoa ketika situasi semakin sulit dan tidak dapat

dikendalikan. Hubungan dengan sesuatu yang tansenden dapat berfungsi

sebagai kerangka dimana seseorang dapat memperkuat pengendalian diri (Gall

et al., dalam Miller et al. 2011). Berdoa dapat memperkuat pengendalian diri

seseorang karena melalui berdoa individu mendapatkan sumber daya

pengalihan emosi yang dapat digunakan dengan segera ketika berhadapan

dengan kesulitan. Dengan berdoa individu dapat mencegah rangsangan emosi

negatif masuk ke kesadaran kognitif. Dengan demikian, berdoa dapat

membantu individu untuk mengendalikan diri dan tidak bereaksi dengan

emosi negatif yang dapat memperburuk situasi (Sharp, 2010). Selain itu,

Sharp (2010) mengatakan bahwa individu yang meminta pertolongan kepada

Tuhan melalui doa merasakan karakteristik Tuhan sebagai figur yang memiliki

kemampuan untuk membuat segala sesuatu terjadi dalam kehidupan individu

(Cerulo & Barra, dalam Sharp 2010). Gambaran tentang Tuhan sebagai sosok

yang maha kuasa, maha tahu, dan selalu hadir menumbuhkan keyakinan

bahwa “Bersama Tuhan tidak ada yang mustahil” (Thoits, dalam Levine 2008). Tuhan juga dipersepsikan sebagai figur yang penuh kasih, kuat, dan

peduli. Lowenthal (2000) berpendapat bahwa individu yang berdoa memiliki


(51)

Persepsi ini memberi individu rasa perlindungan yang pada akhirnya memberi

mereka kekuatan dan keberanian dalam mengandalikan situasi sulit (Sharp,

2010). Keberanian dan kekuatan untuk mengandalikan situasi sulit, serta

kemampuan untuk mengendalikan emosi negatif ketika dihadapkan pada suatu

permasalahan dimiliki oleh individu dengan skor yang tinggi pada dimensi


(52)

Gambar 1

Hubungan antara Frekuensi Berdoa dengan Adversity Quotient

BERDOA

Sumber daya reinterpretasi kognitif

“Semua akan indah pada

waktunya”

Optimisme dan orientasi ke masa depan

Klarifikasi tujuan

Menolong orang lain yang sedang kesulitan

Membatasi suatu permasalahan agar tidak terlihat semakin membesar

Pengakuan atas suatu kesalahan

“Masalah adalah cobaan

dari Tuhan” dan merupakan

kesempatan untuk belajar

Tanggung jawab

Menempatkan asal usul permasalahan dengan lebih positif

Doa sebagai sumber daya pengalihan emosi negatif

“Bersama Tuhan tidak ada yang mustahil”

Tuhan menuntun dalam setiap kesulitan”

Kemampuan mengendalikan emosi

Keberanian dan kekuatan mengendalikan situasi sulit.

Endurance Reach Origin -Ownership Control ADVERSITY QUOTIENT


(53)

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan

positif dan signifikan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient pada karyawan. Hipotesis tersebut mengandung pengertian bahwa semakin tinggi

frekuensi berdoa karyawan, semakin tinggi pula Adversity Quotient yang dimiliki karyawan tersebut. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah frekuensi

berdoa karyawan, semakin rendah pula Adversity Quotient yang dimiliki karyawan tersebut.


(54)

39

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian korelasional. Penelitian korelasional bertujuan untuk menyatakan

hubungan antar variabel yang tidak menunjukkan ketergantungan variabel satu

terhadap variabel lainnya seperti halnya dalam hubungan sebab akibat (Widi,

2010).

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang diidentifikasi

sebagai berikut:

Variabel X : Frekuensi Berdoa

Variabel Y : Adversity Quotient

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah suatu definisi yang memberikan

penjelasan atas suatu variabel dalam bentuk yang dapat diukur (Kountur,


(55)

1. Frekuensi Berdoa

Frekuensi berdoa didefinisikan sebagai tingkat kekerapan subjek

dalam berdoa atau jumlah berdoa yang dilakukan dalam rentang waktu

tertentu. Doa adalah segala bentuk komunikasi yang dilakukan oleh

manusia untuk berhubungan dengan yang Ilahi, baik yang dilakukan

secara individu maupun kelompok, dalam bentuk verbal maupun

non-verbal, berdasarkan metode ritual maupun non-ritual.

Frekuensi berdoa diukur dengan menggunakan skala yang

mencakup empat jenis doa menurut Poloma dan Pendleton, yaitu doa

meditatif (meditative prayer), doa ritual (ritual prayer), doa percakapan (colloquial prayer), dan doa permohonan (petitionary prayer).

2. Adversity Quotient

Adversity Quotient didefinisikan sebagai suatu bentuk kecerdasan yang mengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi dan mengatasi

kesulitan untuk mencapai kesuksesan di berbagai bidang kehidupan.

Adversity Quotient diukur dengan menggunakan skala yang mencakup empat dimensi Adversity Quotient menurut Stoltz, yaitu dimensi Control (Kendali), dimensi Origin-Ownership (Asal-usul dan Pengakuan), dimensi Reach (Jangkauan), dan dimensi Endurance (Daya Tahan).


(56)

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang

memiliki data mengenai variabel-variabel yang diteliti. Subjek penelitian,

pada dasarnya, adalah yang akan dikenai kesimpulan hasil penelitian (Azwar,

1997a). Karena subjek dalam penelitian ini sangat banyak, sehingga dilakukan

pengambilan sampel. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan

dengan cara nonprobability sampling dimana setiap anggota populasi tidak memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel.

Adapun salah satu teknik nonprobability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah convenience sampling yang merupakan teknik pengampilan sampel berdasarkan kemudahan saja (Noor, 2011). Kriteria

subjek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah karyawan yang beragama

Kristen dan Katolik.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat

digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data (Riduwan, 2008). Metode

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan skala. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala

frekuensi berdoa dan skala Adversity Quotient.

1. Skala Frekuensi Berdoa

Skala frekuensi berdoa disusun oleh peneliti berdasarkan empat


(57)

(meditative prayer), doa ritual (ritual prayer), doa percakapan (colloquial prayer), dan doa permohonan (petitionary prayer). Selain itu, peneliti juga mengacu pada Poloma and Pendleton’s Prayer Measure dalam membuat aitem-aitem skala. Dalam skala ini terdapat 56 butir pernyataan, berikut adalah blueprint skala frekuensi berdoa:

Tabel 1

Blueprint Skala Frekuensi Berdoa

No. Dimensi Nomor Aitem Bobot Jumlah

Aitem

1. Doa meditatif (meditative prayer)

2, 3, 5, 6, 9, 10, 14, 16, 19, 24, 30

20 % 11

2. Doa ritual (ritual prayer)

1, 7, 8, 15, 17, 21, 25, 28, 26, 31, 36, 40, 45, 48, 51, 55

29 % 16

3. Doa percakapan (colloquial prayer)

12, 22, 27, 32, 34, 37, 42, 47, 49, 50, 53, 56

21 % 12

4. Doa permohonan (petitionary prayer)

4, 11, 13, 18, 20, 23, 29, 33, 35, 38, 39, 41, 43, 44, 46, 52, 54

30 % 17

Jumlah 56 100 % 56

Setiap pernyataan memiliki empat alternatif jawaban, yaitu; tidak


(58)

penghitungan summated rating, dimana setiap alternatif jawaban memiliki skor masing-masing. Jawaban ‘tidak pernah’ memiliki skor 1, ‘jarang’

memiliki skor 2, ‘sering’ memiliki skor 3, dan ‘selalu’ memiliki skor 4.

Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek dalam skala ini, berarti

semakin tinggi pula frekuensi berdoa yang dimilikinya.

2. Skala Adversity Quotient

Skala Adversity Quotient disusun oleh peneliti berdasarkan empat dimensi Adversity Quotient menurut Stoltz, yaitu dimensi Control

(Kendali), dimensi Origin-Ownership (Asal-usul dan Pengakuan), dimensi

Reach (Jangkauan), dan dimensi Endurance (Daya Tahan). Selain itu, peneliti juga mengacu pada Adversity Response Profile dalam membuat aitem-aitem skala. Dalam skala ini terdapat 55 butir aitem, berikut adalah

blueprint skala Adversity Quotient:

Tabel 2

Blueprint Skala Adversity Quotient

No. Dimensi Nomor Aitem Bobot Jumlah

Aitem

1. Control (Kendali) 3, 6, 10, 13, 22, 24, 27, 31, 34, 40, 44, 47, 49, 50, 53

27 % 15

2. Origin-Ownership

(Asal-usul dan

2, 4, 8, 12, 16, 17, 25, 29, 30, 35, 38,


(59)

Pengakuan) 42, 43, 51

3. Reach (Jangkauan) 1, 7, 9, 11, 15, 18, 20, 28, 32, 36, 39, 46, 54

24 % 13

4. Endurance (Daya Tahan)

5, 14, 19, 21, 23, 26, 33, 37, 41, 45, 48, 52, 55

24 % 13

Jumlah 55 100 % 55

Setiap aitem dalam skala ini berisi sebuah pernyataan peristiwa,

sebuah pertanyaan, dan pilihan jawaban yang bergerak dari angka 1

sampai dengan 5. Semakin besar angkanya berarti jawaban yang diberikan

subjek semakin positif. Skala ini juga akan menggunakan metode

summated rating dalam proses penghitungan data. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek dalam skala ini, berarti semakin tinggi pula tingkat

Adversity Quotient yang dimilikinya.

F. Pertanggungjawaban Mutu 1. Validitas

Kountur (2003) mengatakan bahwa suatu instrumen dapat

dikatakan valid apabila instrumen tersebut dapat mengukur apa yang

seharusnya diukur. Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini

adalah validitas isi. Validitas isi ditegakkan pada langkah telaah dan revisi


(60)

judgement) (Suryabrata, 2011). Dalam penelitian ini, professional judgement diperoleh melalui berkonsultasi dengan dosen pembimbing skripsi.

2. Seleksi Aitem

Setiap aitem dalam suatu skala harus diseleksi agar didapatkan

aitem-aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh

tes secara keseluruhan. Prosedur pengujian konsistensi aitem total akan

menghasilkan koefisien korelasi aitem total atau umum juga dikenal

dengan sebutan indeks daya beda aitem. Aitem yang konsisten pada

hakekatnya merupakan aitem yang mampu menunjukkan perbedaan antar

subjek pada aspek yang diukur. Dalam penelitian ini, prosedur seleksi

aitem dilakukan dengan menggunakan formula koefisiensi korelasi

Product Moment Pearson. Dimana semakin tinggi korelasi positif antara skor aitem dengan skor tes berarti semakin tinggi konsistensi antara aitem

tersebut dengan tes keseluruhan yang berarti semakin tinggi daya bedanya.

Azwar (1997b) mengatakan bahwa aitem yang memiliki koefisiensi

minimal 0,30 dianggap memiliki daya beda yang memuaskan.

Dari hasil prosedur seleksi aitem yang telah dilakukan, diperoleh

hasil bahwa terdapat 12 aitem yang gugur pada skala frekuensi berdoa dan

13 aitem yang gugur pada skala Adversity Quotient. Aitem-aitem tersebut gugur karena memiliki koefisiensi kurang dari 0,30. Tabel di bawah ini


(61)

menunjukkan sebaran aitem yang lolos setelah melalui proses seleksi

aitem:

Tabel 3

Sebaran Aitem Skala Frekuensi Berdoa Setelah Seleksi Aitem

No. Dimensi Nomor Aitem Bobot Jumlah

Aitem

1. Doa meditatif (meditative prayer)

2, 5, 6, 9, 14, 24, 30 16 % 7

2. Doa ritual (ritual prayer)

8, 15, 17, 21, 28, 31, 36, 40, 45, 48, 51, 55

27 % 12

3. Doa percakapan (colloquial prayer)

22, 27, 34, 37, 42, 47, 49, 50, 53, 56

23 % 10

4. Doa permohonan (petitionary prayer)

4, 11, 13, 18, 20, 23, 33, 35, 38, 39, 41, 43, 44, 46, 54

34 % 15

Jumlah 44 100 % 44

Tabel 4

Sebaran Aitem Skala Adversity Quotient Setelah Seleksi Aitem

No. Dimensi Nomor Aitem Bobot Jumlah

Aitem

1. Control (Kendali) 3, 6, 10, 13, 22, 24, 27, 31, 34, 40, 44, 47, 49,


(62)

50, 53

2. Origin-Ownership

(Asal-usul dan Pengakuan)

12, 17, 35, 38, 42, 43, 51

17 % 7

3. Reach (Jangkauan) 7, 9, 18, 20, 28, 32, 39, 46, 54

21 % 9

4. Endurance (Daya Tahan)

5, 14, 19, 23, 26, 37, 41, 45, 48, 52, 55

26 % 11

Jumlah 42 100 % 42

3. Reliabilitas

Suatu instrumen penelitian dapat dikatakan reliabel apabila

instrumen tersebut konsisten dalam memberikan penilaian atas apa yang

diukur (Kountur, 2003). Reliabilitas dinyatakan dalam koefisien

reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0,0 sampai dengan 1,0

(Azwar, 1997b). Semakin tinggi koefisien reliabilitas yang diperoleh,

berarti hasil pengukuran instrumen tersebut semakin dapat dipercaya.

Pengujian reliabilitas skala pada penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan metode Cronbach’s Alpha.

Dari hasil penghitungan data dapat disimpulkan bahwa skala

frekuensi berdoa dan skala Adversity Quotient memiliki reliabilitas yang baik. Hal ini dibuktikan dengan koefisien reliabilitas yang tinggi pada

kedua skala tersebut, yaitu 0,948 untuk skala frekuensi berdoa dan 0,951


(63)

G. Metode Analisis Data 1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang

diambil berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak (Noor,

2011). Sebaran data dapat dinyatakan berdistribusi normal apabila

memiliki signifikansi diatas 0,05. Dalam penelitian ini, uji normalitas

dilakukan dengan menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov Test.

2. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah hubungan

antara kedua variabel membentuk garis lurus atau tidak. Hubungan kedua

variabel dapat dikatakan linear apabila memiliki signifikansi dibawah

0.05. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan teknik test for liniearity yang terdapat pada program SPSS.

3. Uji Hipotesis

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan

menggunakan metode korelasi Product Moment Pearson. Metode tersebut digunakan untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel. Semua

penghitungan data dalam penelitian ini dilakukan dengan penggunakan


(64)

49

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Orientasi Kancah Penelitian

CV. Andi Offset adalah sebuah perusahaan yang berpengalaman di

bidang penerbitan dan percetakan selama lebih dari 30 tahun. Kata “Andi”

dalam nama perusahaan merupakan cerminan dari karakter perusahaan. Oleh

para perintisnya, kata “Andi” diakronimkan menjadi “Anak Didik Immanuel”,

yang berarti Tuhan beserta kita.

Karyawan CV. Andi Offset mayoritas beragama Kristen dan Katolik.

Ada sekitar 200 karyawan beragama Kristen dan Katolik yang berkantor di

Yogyakarta. Para karyawan terbiasa untuk memulai pekerjaan mereka dengan

berdoa di pagi hari. Sebagai perusahaan dengan karakter keagamaan yang

kuat, karyawan para karyawan di CV. Andi Offset memiliki kebiasaan untuk

berdoa sebelum memulai sebuah aktivitas bersama, misalnya: rapat,

perjalanan, dan lain sebagainya. Selain itu, CV. Andi Offset juga seringkali

mengadakan acara bersama untuk memperingati hari-hari besar keagamaan.

B. Pelaksanaan Penelitian 1. Perijinan Penelitian

Untuk memperoleh ijin peneilitian di CV. Andi Offset peneliti


(65)

dari Fakultas Psikologi dengan nomor surat 43 a/D/KP/Psi/USD/VI/2013

kepada departemen personalia CV. Andi Offset. Proposal penelitian

kemudian dipelajari oleh Bapak Antonius Ananta Nugraha selaku Kepala

Bagian Personalia untuk mendapatkan persetujuan.

2. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan bulan

Agustus. Pengambilan data dilakukan dengan meminta bantuan staff

personalia CV. Andi Offset untuk membagikan skala kepada para

karyawan. Pada tiap subjek dibagikan satu eksemplar skala yang terdiri

dari dua skala yaitu skala A sebagai skala frekuensi berdoa, dan skala B

sebagai skala Adversity Quotient. Skala dibagikan kepada 80 karyawan, namun hanya ada 57 skala yang dikembalikan. Pihak staff personalia CV

Andi Offset menjelaskan bahwa sebagian skala tidak kembali dikarenakan

hilang ataupun beberapa orang karyawan sangat sibuk sehingga tidak

sempat mengisi skala. Setelah diperiksa, seluruh skala yang dikembalikan

telah memenuhi persyaratan baik dari segi kelengkapan identitas maupun

jawaban.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode try out

terpakai untuk mengumpulkan data. Metode ini dipilih berdasarkan

pertimbangan dari pihak HRD yang mengatakan bahwa karyawan yang

bekerja di CV. Andi Offset sebagain besar berada pada divisi produksi.


(66)

kecepatan tangan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Jika penelitian

dilakukan pada divisi produksi, pihak HRD khawatir pelaksanaan

penelitian akan mengganggu kinerja para karyawannya. Oleh karena itu,

subjek penelitian dipilih dari divisi-divisi lain yang tugas-tugasnya tidak

terlalu padat. Keterbatasan jumlah subjek yang tersedia menyebabkan uji

coba skala tidak dapat dilakukan, sehingga skala yang telah disusun

langsung digunakan untuk penelitian yang sebenarnya. Namun peneliti

hanya akan menggunakan aitem yang sahih dalam pengolahan data.

C. Deskripsi Subjek

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 57 orang

dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 5

Deskripsi Subjek Penelitian

Agama Jenis Kelamin Usia Pendidikan Terakhir

Katholik

Kristen Protestan

Pria Wanita < 30 30-40 > 40 SMA Diploma S1


(67)

D. Deskripsi Data Penelitian

Tabel 6

Deskripsi Data Penelitian

N Mean Teoritik Mean Empirik

Frekuensi Berdoa 57 110 139.5

Adversity Quotient 57 126 143.4

Tabel di atas menunjukkan bahwa variabel frekuensi berdoa

memiliki mean teoritik sebesar 110 dan mean empirik sebesar 139.5. Dari

hasil penghitungan data diketahui bahwa kedua mean tersebut memiliki

signifikansi dibawah 0.05, yaitu 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa ada

perbedaan yang signifikan antara kedua mean tersebut. Angka t hitung yang

positif menunjukkan bahwa mean empirik pada variabel ini lebih tinggi

daripada mean teoritiknya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa subjek

dalam penelitian ini memiliki frekuensi berdoa yang cenderung tinggi.

Variabel Adversity Quotient memiliki mean teoritik sebesar 126 dan mean empirik sebesar 143.4. Dari hasil penghitungan data diketahui bahwa

kedua mean tersebut memiliki signifikansi dibawah 0.05, yaitu 0.000. Hal ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kedua mean

tersebut. Angka t hitung yang positif menunjukkan bahwa mean empirik pada


(68)

disimpulkan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki Adversity Quotient

yang cenderung tinggi.

E. Kategorisasi

Kategorisasi dilakukan untuk mengelompokkan subjek ke dalam

tingkatan kategori tertentu. Skor yang diperoleh dalam penelitian ini

dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah.

Tabel 7

Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala Frekuensi Berdoa

Norma Rentang Nilai Kategori Frekuensi Persentase

X > 139.5 + 17.9 X > 157.4 Tinggi 2 3.5 %

139.5 – 17.9 ≤ X

≤ 139.5 + 17.9

121.6 ≤ X ≤ 157.4

Sedang 47 82.5 %

X < 139.5 17.9 X < 121.6 Rendah 8 14 %


(69)

Tabel 8

Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala Adversity Quotient

Norma Rentang Nilai Kategori Frekuensi Persentase

X > 143.4 + 23.6 X > 167 Tinggi 7 12 %

143.4 – 23.6 ≤ X

≤ 143.4 + 23.6

119.8 ≤ X ≤ 167 Sedang 42 74 %

X < 143.4 23.6 X < 119.8 Rendah 8 14 %

Jumlah 57 100 %

Dari hasil penghitungan data diketahui bahwa dalam variabel

frekuensi berdoa subjek yang termasuk dalam kelompok kategori tinggi

sebanyak 4 %, kategori sedang sebanyak 82 %, dan kategori rendah sebanyak

14 %. Dalam variabel Adversity Quotient subjek yang termasuk dalam kelompok kategori tinggi sebanyak 12 %, kategori sedang sebanyak 74 %, dan

kategori rendah sebanyak 14 %.

F. Analisis Data Penelitian 1. Uji Normalitas

Dari hasil penghitungan data, dapat disimpulkan bahwa sebaran

data yang diperoleh dari masing-masing variabel berdistribusi normal. Hal

ini dibuktikan dengan signifikansi sebaran data masing-masing variabel

berada diatas 0,05, yaitu 0.642 untuk data variabel frekuensi berdoa dan


(70)

2. Uji Linearitas

Dari hasil penghitungan data, dapat disimpulkan bahwa

hubungan antara kedua variabel tidak linear. Hal ini dibuktikan dengan

signifikansi linearitas kedua variabel berada diatas 0.05, yaitu 0.218.

3. Uji Hipotesis

Dari hasil penghitungan data, diketahui bahwa koefisien korelasi

variabel frekuensi berdoa dan Adversity Quotient adalah 0.122 dengan signifikansi 0.366. Arikunto (2006) mengatakan bahwa koefisien korelasi

yang berada pada rentang 0.000 – 0.200 menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki korelasi yang sangat rendah, angka koefisien korelasi

yang positif menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang

searah. Taraf signifikansi yang berada diatas 0.05 menunjukkan bahwa

kedua variabel memiliki hubungan yang tidak signifikan.

G. Pembahasan

Pada penjabaran data sebelumnya, diperoleh kesimpulan bahwa

kedua variabel dalam penelitian ini memiliki korelasi yang sangat rendah dan

tidak signifikan. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa hipotesis awal

penelitian ini, yaitu ada hubungan positif dan signifikan antara frekuensi

berdoa dan Adversity Quotient ditolak. Ditolaknya hipotesis dalam penelitian ini mendorong peneliti untuk melakukan evaluasi dalam beberapa hal.


(71)

Dilihat dari kajian teori, Stoltz (2000) mengatakan bahwa Adversity Quotient seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor keyakinan dan sisi keimanan seseorang, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor genetika dan

pendidikan. Stoltz (2000) menjelaskan bahwa meskipun warisan genetis tidak

akan menentukan nasib seseorang, namun faktor ini pasti ada pengaruhnya.

Hal ini didasari oleh banyaknya hasil penelitian yang membuktikan bahwa

genetika sangat mendasari perilaku seseorang. Penelitian lainnya

memperlihatkan bahwa suasana hati dan tingkat kecemasan juga memiliki

kaitan genetis. Faktor lain yang dapat mempengaruhi Adversity Quotient

seseorang adalah pendidikan. Stoltz (2000) mengatakan bahwa pendidikan

seseorang bisa mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat,

perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan kenerja yang dihasilkan.

Dalam penelitian ini, tingkat Adversity Quotient yang dimiliki oleh para subjek besar kemungkinannya dipengaruhi secara lebih kuat oleh dua faktor

lain selain keimanan, yaitu faktor genetika dan pendidikan.

Selain itu, teori lain menurut Bartakova (2008) mengatakan bahwa

ternyata berdoa juga dapat membawa dampak negatif dalam kehidupan

individu yang berdoa. Berdoa dapat menjadi menjadi sumber bantuan yang

keliru ketika doa semata-mata dilakukan untuk tujuan pemenuhan gagasan

pribadi. Misalnya ketika individu yang berdoa mengatakan, “Tuhan berikanlah apa yang saya inginkan”, bukannya “Tuhan, apa yang kau berikan adalah yang terbaik untukku.”, atau “Tuhan, aku percaya Engkau akan memberikan apa yang aku butuhkan”.


(72)

Dampak negatif lain dari berdoa adalah ketika berdoa menjadi suatu

bentuk pelarian pada saat individu menghadapi kegagalan atau kekhawatiran.

Individu yang seharusnya meminta kekuatan kepada Tuhan untuk menghadapi

kesulitan, tetapi justru meminta Tuhan untuk mengubah suatu situasi sulit.

Dalam doa, seseorang juga mungkin mencoba melarikan diri dari

tanggungjawabnya. Misalnya ketika seseorang dihadapkan pada tantangan,

ujian yang sulit, atau situasi yang tidak nyaman, doa akan berbunyi, “ Tuhan,

hilangkan masalah ini, biarkan masalah ini lalu dariku”, bukannya “Tuhan,

biarlah kehendakmu yang jadi.” Dalam doa yang pertama, dapat terlihat

ketidakmampuan dalam dalam menghadapi masalah dan keengganan untuk

menerima apa yang sedang terjadi (Bartakova, 2008).

Tuhan dalam interpretasi yang salah dimaknai sebagai mesin

pemenuhan kebutuhan manusia. Tuhan hanya ditempatkan sebagai seseorang

dimana manusia bisa meminta segala sesuatu. Manusia seringkali

memperlakukan Tuhan seperti robot, tanpa mengingat kebebasan dan

kuasa-Nya. Individu dengan pemahaman seperti ini gagal untuk memaknai peristiwa

dalam hidupnya sebagai suatu tantangan yang harus dijawab. Pemahaman

seperti ini semakin menjauhkan individu yang berdoa dari usaha untuk

bertanggungjawab atas kehidupannya sendiri. Ketika pemahaman tentang doa

menjadi bergeser seperti ini, sesungguhnya individu yang berdoa gagal

mencapai pertumbuhan diri, tidak ada perubahan postitif dari kepribadiannya

ataupun peningkatan hubungan sosial dalam kehidupannya (Bartakova, 2008).


(1)

Sig. (2-tailed) .366

N 57 57

AQ Pearson Correlation .122 1 Sig. (2-tailed) .366


(2)

LAMPIRAN 11


(3)

(4)

Lampiran 12


(5)

(6)