Evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien ICU yang dirawat di RSH Jerman periode Januari-September 2015.

(1)

i ABSTRAK

Sekitar 80% pasien ICU mendapatkan terapi antibiotika sehingga kemungkinan memicu penggunaan antibiotika yang tidak tepat. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat seperti ketidaktepatan obat, indikasi, dosis, pemberian antibiotika dapat mengakibatkan resistensi. Untuk mengatasi keadaan tersebut, maka penelitian ditujukan untuk mengidentifikasi pola penggunaan antibiotika dan mengevaluasi peresepan antibiotika pada pasien ICU.

Penelitian ini merupakan deskriptif evaluatif dengan rancangan penelitian cross-sectional dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif yaitu data rekam medis pasien ICU yang mendapatkan antibiotika dari periode Januari – September 2015 di salah satu rumah sakit swasta di Jerman. Data rekam medis yang diambil yaitu profil pasien meliputi jenis kelamin, umur, diagnosa, lama perawatan dan pola peresepan antibiotika meliputi golongan, jenis antibiotika, dosis, waktu, frekuensi, cara, lama pemberian, hasil kultur bakteri kemudian diolah dengan metode gyssens.

Hasil penelitian menunjukkan dari 80 rekam medis, pasien yang dirawat di ICU hanya 23 pasien yang memperoleh antibiotika dengan antibiotika terbanyak adalah meropenem. Evaluasi dengan metode gyssens mendapatkan hasil untuk peresepan antibiotika yang masuk dalam kategori O sebesar 31%, kategori IIA sebesar 6%, kategori IIB sebesar 14%, IIIA sebesar 31%, IIIB sebesar 17% sehingga dapat disimpulkan masih ada penggunaan antibiotika yang kurang tepat menyebabkan perlunya pengawasan untuk meningkatkan ketepatan peresepan antibiotika.


(2)

ii ABSTRACT

Approximately 80% of ICU patients receive antibiotic therapy, so the possibility of triggering the use of antibiotics that are not appropriate. Improper of using antibiotics such as imprecision of drugs, indications, dosage, giving of antibiotics can lead to resistance. To fixing the situation, this research aimed to identify and evaluate usage patterns of antibiotic prescribing antibiotics in ICU patients.

This research is an evaluative descriptive cross-sectional study design and data collection was done by retrospectively medical for ICU patients which is received antibiotics from the period January – September 2015 in one of the private hospitals in Germany. Medical record data taken is the patient profile includes gender, age, diagnosis, treatment duration and antibiotic prescription patterns include class, type of antibiotic, dosage, periode, frequency, method, duration of administration, the results of bacterial culture is then processed by gyssens methods.

The result showed 80 medical records of patients admitted to the ICU, only 23 patients who took antibiotics to most antibiotics are meropenem. Evaluation gyssens methods get results for prescribing antibiotics in the category O amounted to 31%, II A 6%, IIB 14%, IIIA 31% and IIIB 17%, so that it can be concluded there is still lack of proper antibiotic use causes the need for oversight to improve the accuracy of prescribing antibiotics.


(3)

i

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN ICU YANG DIRAWAT DI RSH JERMAN PERIODE JANUARI - SEPTEMBER 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh: Sonia Sara Santya NIM : 138114038

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(4)

ii

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN ICU YANG DIRAWAT DI RSH JERMAN PERIODE JANUARI - SEPTEMBER 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh: Sonia Sara Santya NIM : 138114038

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(5)

(6)

(7)

(8)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Jesus Said “You’re-shape up”

You are the salt of the earth, but it salt has lost its taste, how can its saltiness be restored? You are the light of the world. No one after lighting a lamp puts it under

the bushel basket, but on the lampstand, and it gives light to all in the house. In the same way, let your light shine before others, so that they may see your good

works and give glory to your Father in heaven

Matthew 5 : 13-16

Kupersembahkan buat : Yesus Kristus yang selalu kuandalkan Papa dan mamaku tercinta Koko dan adikku tersayang Sahabat dan almamater Universitas Sanata Dharma


(9)

(10)

viii PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak, baik berupa materiil, moral, maupun spiritual. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Ibu T.B. Titien Siwi Hartayu, M.Kes., Ph.D., Apt. selaku dosen pembimbing utama yang telah memberi bimbingan, dukungan, waktu, saran, kritik dan pengarahan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

2. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt., dan Bapak Christianus Heru Setiawan, M.Sc., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi inI.

3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari kesempurnaan. Walaupun demikian, penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak dan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian.

Penulis


(11)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

PRAKATA ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

ABSTRAK ... xviii

ABSTRACK ... xix

PENDAHULUAN ... 1

METODE PENELITIAN ... 2

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 5

KESIMPULAN ... 17

SARAN ... 17

DAFTAR PUSTAKA ... 18

LAMPIRAN ... 21


(12)

x

DAFTAR TABEL

Tabel I. Profil Pasien ICU RSH Jerman Periode Januari – September 2015 ... 6 Tabel II. Profil Penggunaan Antibiotika Tunggal Berdasarkan Jenis Antibiotika, Diagnosis dan Kesesuaian dengan DIH Pada Pasien ICU RSH Jerman Periode Januari – September 2015 ... 9 Tabel III. Profil Penggunaan Antibiotika Kombinasi Berdasarkan Jenis

Antibiotika, Diagnosis dan Kesesuaian dengan DIH Pada Pasien ICU RSH

Jerman Periode Januari – September 2015 ... 10 Tabel IV. Distribusi Kategori Antibiotika yang Digunakan Pada Pasien ICU RSH Jerman Periode Januari – September 2015 dengan Metode Gyssens ... 12


(13)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Distribusi Ketepatan Peresepan Antibiotika Berdasarkan Kategori


(14)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Gambar 1 Diagram Alir Kualitas Peresepan Antibiotika Berdasarkan Kriteria Gyssens ... 22 Lampiran 2. Tabel I Profil Golongan dan Jenis Antibiotika Pada Pasien ICU RSH Jerman Periode Januari – September 2015 ... 24 Lampiran 3. Tabel II Profil Cara Pemberian Antibiotika Pada Pasien ICU RSH Jerman Periode Januari – September 2015 ... 25 Lampiran 4. Tabel III Hasil Pemeriksaan Kultur Bakteri Pada Pasien ICU RSH Jerman Periode Januari – September 2015 ... 26 Lampiran 5. Contoh Rekam Medis Kasus 1 ... 28 Lampiran 5. Tabel IV Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 1.. ... 28 Lampiran 5. Tabel V Analisis Antibiotika Pada Kasus 1 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 28 Lampiran 6. Contoh Rekam Medis Kasus 2 ... 31 Lampiran 6. Tabel VI Analisis Antibiotika Pada Kasus 2 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 32 Lampiran 7. Contoh Rekam Medis Kasus 3 ... 35 Lampiran 7. Tabel VII Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 3.. ... 36 Lampiran 7. Tabel VIII Analisis Antibiotika Pada Kasus 3 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 37 Lampiran 8. Contoh Rekam Medis Kasus 4 ... 39 Lampiran 8. Tabel IX Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 4.. ... 39


(15)

xiii

Lampiran 8. Tabel X Analisis Antibiotika Pada Kasus 4 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 40 Lampiran 9. Contoh Rekam Medis Kasus 5 ... 43 Lampiran 9. Tabel XI Analisis Antibiotika Pada Kasus 5 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 44 Lampiran 10. Contoh Rekam Medis Kasus 6 ... 47 Lampiran 10. Tabel XII Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 6.. ... 48 Lampiran 10. Tabel XIII Analisis Antibiotika Pada Kasus 6 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 49 Lampiran 10. Tabel XIV Analisis Antibiotika Pada Kasus 6 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 51 Lampiran 10. Tabel XV Analisis Antibiotika Pada Kasus 6 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 54 Lampiran 11. Contoh Rekam Medis Kasus 7 ... 56 Lampiran 11. Tabel XVI Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 7.. ... 56 Lampiran 11. Tabel XVII Analisis Antibiotika Pada Kasus 7 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 57 Lampiran 12. Contoh Rekam Medis Kasus 8 ... 59 Lampiran 12. Tabel XVIII Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 8.. ... 60 Lampiran 12. Tabel XIX Analisis Antibiotika Pada Kasus 8 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 61 Lampiran 13. Contoh Rekam Medis Kasus 9 ... 64


(16)

xiv

Lampiran 13. Tabel XX Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 9.. ... 65 Lampiran 13. Tabel XXI Analisis Antibiotika Pada Kasus 9 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 66 Lampiran 14. Contoh Rekam Medis Kasus 10 ... 68 Lampiran 14. Tabel XXII Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 10.. ... 69 Lampiran 14. Tabel XXIII Analisis Antibiotika Pada Kasus 10 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 70 Lampiran 15. Contoh Rekam Medis Kasus 11 ... 72 Lampiran 15. Tabel XXIV Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 11.. ... 73 Lampiran 15. Tabel XXV Analisis Antibiotika Pada Kasus 11 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 74 Lampiran 15. Tabel XXVI Analisis Antibiotika Pada Kasus 11 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 76 Lampiran 16. Contoh Rekam Medis Kasus 12 ... 78 Lampiran 16. Tabel XXVII Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 12... ... 79 Lampiran 16. Tabel XXVIII Analisis Antibiotika Pada Kasus 12 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 80 Lampiran 17. Contoh Rekam Medis Kasus 13 ... 82 Lampiran 17. Tabel XXIX Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 13.. ... 83 Lampiran 17. Tabel XXX Analisis Antibiotika Pada Kasus 13 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 84


(17)

xv

Lampiran 17. Tabel XXXI Analisis Antibiotika Pada Kasus 13 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 86 Lampiran 18. Contoh Rekam Medis Kasus 14 ... 89 Lampiran 18. Tabel XXXII Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 14.. ... 89 Lampiran 18. Tabel XXXIII Analisis Antibiotika Pada Kasus 14 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 90 Lampiran 18. Tabel XXXIV Analisis Antibiotika Pada Kasus 14 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 92 Lampiran 19. Contoh Rekam Medis Kasus 15 ... 94 Lampiran 19. Tabel XXXV Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 15.. ... 94 Lampiran 19. Tabel XXXVI Analisis Antibiotika Pada Kasus 15 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 95 Lampiran 19. Tabel XXXVII Analisis Antibiotika Pada Kasus 15 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 97 Lampiran 19. Tabel XXXVIII Analisis Antibiotika Pada Kasus 15 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 99 Lampiran 20. Contoh Rekam Medis Kasus 16 ... 102 Lampiran 20. Tabel XXXIX Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 16.. ... 102 Lampiran 20. Tabel XL Analisis Antibiotika Pada Kasus 16 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 103 Lampiran 20. Tabel XLI Analisis Antibiotika Pada Kasus 16 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 105


(18)

xvi

Lampiran 21. Contoh Rekam Medis Kasus 17 ... 107 Lampiran 21. Tabel XLII Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 17.. ... 108 Lampiran 21. Tabel XLIII Analisis Antibiotika Pada Kasus 17 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 109 Lampiran 21. Tabel XLIV Analisis Antibiotika Pada Kasus 17 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 111 Lampiran 22. Contoh Rekam Medis Kasus 18 ... 114 Lampiran 22. Tabel XLV Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 18.. ... 115 Lampiran 22. Tabel XLVI Analisis Antibiotika Pada Kasus 18 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 116 Lampiran 22. Tabel XLVII Analisis Antibiotika Pada Kasus 18 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 118 Lampiran 23. Contoh Rekam Medis Kasus 19 ... 120 Lampiran 23. Tabel XLVIII Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 19.. ... 120 Lampiran 23. Tabel XLIX Analisis Antibiotika Pada Kasus 19 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 121 Lampiran 24. Contoh Rekam Medis Kasus 20 ... 124 Lampiran 24. Tabel L Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 20.. ... 125 Lampiran 24. Tabel LI Analisis Antibiotika Pada Kasus 20 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 126 Lampiran 25. Contoh Rekam Medis Kasus 21 ... 128


(19)

xvii

Lampiran 25. Tabel LII Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 21.. ... 128 Lampiran 25. Tabel LIII Analisis Antibiotika Pada Kasus 21 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 129 Lampiran 25. Tabel LIV Analisis Antibiotika Pada Kasus 21 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 132 Lampiran 26. Contoh Rekam Medis Kasus 22 ... 135 Lampiran 26. Tabel LV Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 22.. ... 135 Lampiran 26. Tabel LVI Analisis Antibiotika Pada Kasus 22 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 136 Lampiran 27. Contoh Rekam Medis Kasus 23 ... 138 Lampiran 27. Tabel LVII Analisis Antibiotika Pada Kasus 23 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 139 Lampiran 27. Tabel LVIII Analisis Antibiotika Pada Kasus 23 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens ... 142


(20)

xviii ABSTRAK

Sekitar 80% pasien ICU mendapatkan terapi antibiotika sehingga kemungkinan memicu penggunaan antibiotika yang tidak tepat. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat seperti ketidaktepatan obat, indikasi, dosis, pemberian antibiotika dapat mengakibatkan resistensi. Untuk mengatasi keadaan tersebut, maka penelitian ditujukan untuk mengidentifikasi pola penggunaan antibiotika dan mengevaluasi peresepan antibiotika pada pasien ICU.

Penelitian ini merupakan deskriptif evaluatif dengan rancangan penelitian cross-sectional dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif yaitu data rekam medis pasien ICU yang mendapatkan antibiotika dari periode Januari – September 2015 di salah satu rumah sakit swasta di Jerman. Data rekam medis yang diambil yaitu profil pasien meliputi jenis kelamin, umur, diagnosa, lama perawatan dan pola peresepan antibiotika meliputi golongan, jenis antibiotika, dosis, waktu, frekuensi, cara, lama pemberian, hasil kultur bakteri kemudian diolah dengan metode gyssens.

Hasil penelitian menunjukkan dari 80 rekam medis, pasien yang dirawat di ICU hanya 23 pasien yang memperoleh antibiotika dengan antibiotika terbanyak adalah meropenem. Evaluasi dengan metode gyssens mendapatkan hasil untuk peresepan antibiotika yang masuk dalam kategori O sebesar 31%, kategori IIA sebesar 6%, kategori IIB sebesar 14%, IIIA sebesar 31%, IIIB sebesar 17% sehingga dapat disimpulkan masih ada penggunaan antibiotika yang kurang tepat menyebabkan perlunya pengawasan untuk meningkatkan ketepatan peresepan antibiotika.


(21)

xix ABSTRACT

Approximately 80% of ICU patients receive antibiotic therapy, so the possibility of triggering the use of antibiotics that are not appropriate. Improper of using antibiotics such as imprecision of drugs, indications, dosage, giving of antibiotics can lead to resistance. To fixing the situation, this research aimed to identify and evaluate usage patterns of antibiotic prescribing antibiotics in ICU patients.

This research is an evaluative descriptive cross-sectional study design and data collection was done by retrospectively medical for ICU patients which is received antibiotics from the period January – September 2015 in one of the private hospitals in Germany. Medical record data taken is the patient profile includes gender, age, diagnosis, treatment duration and antibiotic prescription patterns include class, type of antibiotic, dosage, periode, frequency, method, duration of administration, the results of bacterial culture is then processed by gyssens methods.

The result showed 80 medical records of patients admitted to the ICU, only 23 patients who took antibiotics to most antibiotics are meropenem. Evaluation gyssens methods get results for prescribing antibiotics in the category O amounted to 31%, II A 6%, IIB 14%, IIIA 31% and IIIB 17%, so that it can be concluded there is still lack of proper antibiotic use causes the need for oversight to improve the accuracy of prescribing antibiotics.


(22)

1 PENDAHULUAN

Intensive Care Unit (ICU) adalah instalasi di bawah direktur pelayanan dengan staf dan perlengkapan khusus yang bertujuan untuk observasi, perawatan dan terapi pada pasien yang menderita penyakit cedera atau yang mengancam nyawa. ICU menyediakan sarana, prasarana dan peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan kritis pada pasien (Menkes RI, 2010).

Pasien-pasien yang dirawat di ICU memiliki risiko tinggi mengalami infeksi bakteri karena memiliki kekebalan tubuh yang lemah, adanya penggunaan peralatan khusus (seperti ventilator, bed side monitor, cateter), kedekatan pasien dengan pasien lainnya yang mungkin terjangkit oleh bakteri serta kondisi lainnya yang memudahkan transmisi infeksi sehingga dibutuhkan penanganan yang tepat dan cepat dengan pemberian antibiotika yang rasional.

Penggunaan obat secara rasional diartikan sebagai meresepkan obat yang tepat, dalam dosis yang kuat untuk durasi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan klinis pasien, serta harga yang terjangkau (Ambwani dkk, 2006). Konsep dan indikator-indikator penggunaan obat secara rasional juga berlaku bagi peresepan antibiotika. Menurut WHO (World Health Organization), penggunaan antibiotika yang tepat adalah penggunaan antibiotika yang efektif dari segi biaya dengan peningkatan efek terapeutik klinis, meminimalkan toksisitas obat dan meminimalkan terjadinya resistensi bakteri (WHO, 2001).

Penggunaan antibiotika untuk mengobati penyakit infeksi tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Para ahli mengingatkan dokter dan perawat untuk lebih berhati-hati dalam memberikan antibiotika dosis tinggi terutama pada pasien lansia. Penggunaan antibiotika berlebihan atau penggunaan irrasional dapat menimbulkan terjadinya resistensi bakteri (Kepmenkes, 2011a). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menilai kualitas peresepan antibiotika adalah diagram alir gyssens (Gyssens, 2001).

Berdasarkan kenyataan di atas, maka penelitian ini ditujukan untuk melakukan evaluasi peresepan antibiotika dengan metode gyssens di rumah sakit diawali dengan identifikasi karakteristik pasien ICU dan identifikasi pola peresepan antibiotika.


(23)

2 METODE PENELITIAN

Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif evaluatif sebab penelitian ini mendeskripsikan dan mengevaluasi ketepatan peresepan antibiotika pada pasien ICU dengan metode gyssens. Rancangan penelitian ini cross-sectional karena penelitian ini dalam pengukuran penggunaan antibiotika yang digunakan pasien ICU dilakukan hanya satu kali pada suatu saat. Pengambilan data dalam penelitian ini bersifat retrospektif karena data didapatkan melalui penelusuran dokumen terdahulu (Notoadmojo, 2012), yaitu dokumen yang berupa rekam medis pasien ICU selama periode Januari - September 2015 di RSH Jerman.

Alat, Bahan dan Subyek Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian yaitu berupa lembar kerja penggunaan antibiotika pasien ICU. Lembar kerja penggunaan antibiotika berisi informasi tentang tanggal pengobatan, nomor rekam medis, nama pasien, jenis kelamin, usia pasien, kategori pasien, diagnosa penyakit infeksi, lama pengobatan, jenis antibiotika yang diberikan, dosis, waktu pemberian, frekuensi pemberian, cara pemberian, lama pemberian, hasil kultur bakteri dan kategori menurut gyssens. Sedangkan bahan penelitian yang digunakan adalah data rekam medis pasien ICU di RSH Jerman pada periode Januari – September 2015.

Pasien ICU yang dirawat di RSH Jerman selama periode Januari – September 2015, dalam hal ini data pasien diambil dari lembar rekam medis yang memenuhi kriterian inklusi subyek yaitu pasien ICU yang dirawat di RSH Jerman selama periode Januari – September 2015 yang memperoleh antibiotika. Sedangkan yang tidak diambil data pasien, termasuk kriteria eksklusi adalah catatan rekam medisnya tidak lengkap seperti tidak ada profil pasien, diagnosa pasien dan jenis-jenis antibiotika yang diberikan serta ada yang tidak terbaca dengan jelas

Jalannya Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari tahap penyeleksian 80 data rekam medis berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Setelah didapatkan hasil penyeleksian dari 80 rekam medis menjadi 23 data rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi, lalu dituliskan pada lembar kerja. Data yang dicatat dalam lembar kerja meliputi nama pasien, nomor rekam medis, jenis kelamin, umur pasien, diagnosa penyakit infeksi, lama perawatan, jenis antibiotika yang diberikan, dosis, waktu pemberian, frekuensi pemberian, cara pemberian, lama pemberian, hasil kultur bakteri dan kategori menurut gyssens. Setelah menuliskan lembar kerja, maka data tersebut dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu profil pasien ICU, pola peresepan antibiotika pada pasien ICU dan evaluasi penggunaan antibiotika dengan metode gyssens.


(24)

3 Pengolahan dan Analisis Data

Data dianalisis secara deskriptif evaluatif dengan mengelompokkan data profil pasien yang meliputi jenis kelamin, umur, diagnosa penyakit dan lama perawatan dan mengelompokkan pola penggunaan antibiotika yang didapatkan pasien ICU yang dirawat di RSH Jerman berdasarkan golongan, jenis antibiotika, dosis, waktu, frekuensi, cara, lama pemberian dan hasil kultur bakteri . Setelah itu, dievaluasi ketepatan penggunaan antibiotika sesuai dengan diagram alur gyssens dan hasil evaluasi dikategorikan sesuai kriteria gyssens pada Lampiran 1 Gambar 1.

Analisis penggunaan antibiotika dengan diagram alir gyssens, diidentifikasi pertama dimulai dari kategori VI yang menunjukkan bahwa data rekam medis lengkap atau tidak. Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa anamnesa, diagnosa yang tidak jelas dan ada halaman rekam medis yang hilang sehingga tidak dapat dievaluasi. Apabila lolos kategori VI maka analisis dilanjutkan dengan evaluasi kategori V yaitu menunjukkan adanya indikasi penggunaan antibiotika.

Bila tidak ada indikasi penggunaan antibiotika, berhenti di kategori V. Tidak adanya indikasi penggunaan antibiotika terjadi ketika pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi bakteri. Tanda-tanda infeksi bakteri tersebut dapat dilihat dari diagnosa, gejala klinis pasien, dan hasil uji laboratorium yang dilakukan (pemeriksaan kultur bakteri) dari rekam medis. Antibiotika yang lolos kategori V dilanjutkan dengan evaluasi kategori IVA yaitu menunjukkan adanya antibiotika lain yang lebih efektif.

Adanya antibiotika lain yang lebih efektif adalah pasien yang diberikan antibiotika yang bukan merupakan lini pertama pengobatan (terapi empiris) atau antibiotika lini pertama yang digunakan tidak memberikan hasil yang baik. Pada penelitian ini, adanya antibiotika lain yang lebih efektif berdasarkan acuan Antibiotics Guidelines 2015 / 2016 (Hopkins, 2015) dan Pharmacotherapy Handbook (Wells et al, 2015). Apabila lolos kategori IVA maka analisis dilanjutkan dengan evaluasi kategori IVB yaitu menunjukkan adanya pilihan antibiotika lain yang tidak toksik.

Adanya antibiotika lain yang tidak toksik apabila antibiotika tersebut memiliki interaksi dengan obat lain yang digunakan oleh pasien atau kontraindikasi dengan kondisi pasien. Informasi mengenai kontraindikasi dan interaksi obat disini berdasarkan Drug Information Handbook (Lacy et al, 2011). Apabila lolos kategori IVB maka analisis dilanjutkan dengan evaluasi kategori IVC yaitu menunjukkkan adanya pilihan antibiotika lain yang lebih murah.

Adanya pilihan antibiotika lain yang lebih murah ketika pasien diresepkan antibiotika dengan merk paten meskipun tersedia antibiotika yang generik hingga meningkatkan biaya yang dikeluarkan. Informasi mengenai harga antibiotika yang diberikan didasarkan pada acuan MIMS 2015. Apabila lolos kategori IVC maka analisis dilanjutkan dengan evaluasi kategori IVD yaitu menunjukkan adanya pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit.

Adanya pilihan antibiotika lain yang memiliki spektrum lebih sempit apabila sudah diketahui bakteri berdasarkan pada hasil kultur bakteri, namun pasien diberikan resep antibiotika yang berspektrum luas untuk bakteri penyebab infeksi. Pada penelitian ini, adanya antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit


(25)

4

ditetapkan dengan acuan Antibiotic Guidelines 2015 / 2016 (Hopkins, 2015) dan Pharmacotherapy Handbook (Wells et al, 2015). Apabilla lolos kategori IVD maka analisis dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIIA yaitu menunjukkan durasi pemberian antibiotika terlalu panjang.

Durasi pemberian antibiotika terlalu panjang dapat diartikan sebagai pemberian antibiotika yang melebihi durasi yang seharusnya diberikan atau dengan maksud pasien sudah selesai pengobatannya. Pada penelitian ini, pemberian antibiotika yang lebih lama ditetapkan dengan acuan Drug Information Handbook (Lacy et al, 2011). Antibiotika yang lolos kategori IIIA dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIIB yaitu menunjukkan durasi pemberian antibiotika terlalu singkat.

Durasi pemberian antibiotika yang terlalu singkat dapat diartikan sebagai pemberian antibiotika yang kurang dari durasi yang seharusnya diberikan. Pada penelitian ini, pemberian antibiotika yang terlalu singkat ditetapkan dengan acuan Drug Information Handbook (Lacy et al, 2011). Antibiotika yang lolos kategori IIIB dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIA yaitu menunjukkan dosis pemberian antibiotika tidak tepat.

Dosis pemberian antibiotika tidak tepat apabila dosis yang diberikan kurang atau lebih dari dosis yang direkomendasikan menurut Drug Information Handbook (Lacy et al, 2011). Apabila lolos kategori IIA maka analisis dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIB yaitu menunjukkan interval pemberian antibiotika tidak tepat.

Interval pemberian antibiotika yang tidak tepat dapat terjadi ketika interval yang diberikan kurang atau berlebih. Pada penelitian ini, interval yang tidak tepat ditetapkan dengan acuan Drug Information Handbook (Lacy et al, 2011). Antibiotika yang lolos kategori IIB dilanjutkan dengan evaluasi IIC yaitu menunjukkan rute pemberian antibiotika tidak tepat.

Rute pemberian antibiotika tidak tepat apabila jalur pemberian antibiotika tidak sesuai dengan rute yang direkomendasikan atau tidak sesuai dengan kondisi pasien didasarkan acuan Drug Information Handbook (Lacy et al, 2011). Apabila lolos kategori IIC maka analisis dilanjutkan dengan evaluasi kategori I yaitu menunjukkan waktu pemberian antibiotika tidak tepat.

Waktu pemberian antibiotika dievaluasi berdasarkan aturan pemakaian antibiotika yang diberikan pada pasien ICU. Pada penelitian ini, adanya antibiotika yang tidak tepat dalam aturan pemakaiannya ditetapkan dengan acuan Drug Information Handbook (Lacy et al, 2011). Antibiotika yang lolos kategori l dilanjutkan dengan evaluasi kategori O yaitu menunjukkan penggunaan antibiotika secara tepat atau bijak (tidak masuk dalam kategori I-VI).

Setelah dilakukan analisis penggunaan antibiotika dengan metode gyssens, hasil yang diperoleh dibuat dalam bentuk persentase dari masing-masing kategori antibiotika sesuai dengan kriteria gyssens.


(26)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Pasien ICU

Hasil dan pembahasan penelitian ini dibagi menjadi beberapa bagian yang akan dibahas adalah mengidentifikasi profil pasien ICU, pola peresepan antibiotika dan mengevaluasi pola peresepan antibiotika pada pasien ICU yang dirawat di RSH Jerman periode Januari - September 2015 dengan metode gyssens yang dinyatakan dalam bentuk persentase.

Karakteristik pasien ICU yang dirawat di RSH Jerman berjumlah 23 pasien dengan rentang usia 19-59 tahun terdiri dari 6 pasien dewasa dan 17 pasien lansia. Diagnosa penyakit infeksi terbanyak adalah sepsis sebesar 22% pada pasien ICU yang berjenis kelamin laki-laki (61%). Penyakit-penyakit lain yang diderita pasien ICU berupa ventilator associated pneumonia, pneumonia aspirasi, pneumonia nosokomial, infeksi saluran kemih, pielonefritis akut, peritonitis akut, keracunan makanan, herpes zoster, septic arthritis, peptic ulcer, COPD (penyakit paru obstruktif kronis) dan infeksi vagina. Ada 16 pasien yang dirawat selama kurang dari 10 hari dan 7 pasien yang dirawat selama lebih dari 10 hari (Hammes et al, 2008 dan Kepmenkes, 2011a).

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa lama perawatan pasien ICU di RSH Jerman dalam kategori normal (70%) dan sebagian besar diagnosisnya sepsis maka antibiotika yang diberikan adalah meropenem dalam peresepan antibiotika tunggal maupun kombinasi yang sesuai standar DIH. Namun pasien yang lama rawat di ICU lebih dari 10 hari kemungkinan disebabkan sifat penyakit yang kronis dan muncul komplikasi penyakit infeksi sehingga dokter memberikan antibiotika kombinasi untuk meningkatkan aktivitas antibiotika pada infeksi spesifik (efek sinergis atau aditif) (Kepmenkes, 2011a). Secara lengkap, hasil penelitian identifikasi profil pasien ICU disajikan dalam Tabel I.


(27)

6

Tabel I. Profil Pasien ICU RSH Jerman Periode Januari – September 2015

Jumlah Pasien

Persentase (n = 23) Jenis Kelamin Pasien ICU

Laki - Laki 14 61%

Perempuan 9 39%

Umur Pasien ICU

Umur Dewasa (antara 19-59 tahun) 6 26%

Umur Lansia ( > 60 tahun) 17 74%

Lama Perawatan

Kurang dari 10 hari (< 10 hari) 16 70%

Lebih dari 10 hari (> 10 hari) 7 30%

Pola Peresepan Antibiotika

Pada pola peresepan antibiotika ini akan dijelaskan mengenai golongan, jenis, dosis, waktu pemberian, frekuensi pemberian, lama pemberian, cara pemberian antibiotika dan hasil kultur bakteri pada pasien ICU yang dirawat di RSH Jerman periode Januari – September 2015. Antibiotika yang paling sering digunakan adalah golongan karbapenem pada jenis antibiotika meropenem dengan jumlah 8 antibiotika atau 23% dari jumlah keseluruhan antibiotika. Antibiotika meropenem ini baik dalam peresepan antibiotika tunggal maupun kombinasi yang diberikan pasien ICU sesuai dengan standar DIH yang digunakan secara intravena untuk pengobatan pneumonia aspirasi, peritonitis akut, sepsis dan infeksi vagina yang disebabkan Escherichia dan Klebsielle. Antibiotika meropenem ini berspektrum luas yang membunuh bakteri gram positif maupun gram negatif. Sedangkan antibiotika yang jarang digunakan yaitu golongan penisilin (amoksisilin, amoclav), golongan sefalosporin, golongan antibiotika lain sebagai inhibitor sintesis dinding sel dan golongan kuinolon yang masing-masing berjumlah 1 satuan antibiotika atau sebanyak 3% yang dapat ditunjukkan pada Lampiran 2 Tabel I.


(28)

7

Selain itu, antibiotika ada yang berbagai variasi dosis, waktu, frekuensi dan lama pemberian antibiotika. Dari hasil evaluasi, jumlah antibiotika yang sesuai dengan standar DIH sejumlah 18 antibiotika atau 51% sedangkan yang tidak sesuai dengan standar DIH sejumlah 17 antibiotika atau 49%. Adanya berbagai macam antibiotika dalam kasus rekam medis yang tidak sesuai dengan standar DIH yaitu mengenai dosis, waktu, frekuensi dan lama pemberian antibiotika karena secara praktek, dokter memberikan antibiotika dengan melihat gejala klinis pasien (pemeriksaan fisik pasien) dan keluhan yang dialaminya.

Cara pemberian antibiotika yang paling banyak adalah oral sebesar 57% (20 antibiotika) sedangkan sisanya sebanyak 43% (15 antibiotika) diberikan secara intravena yang dapat ditunjukkan pada Lampiran 3 Tabel II. Rute pemberian antibiotika per oral merupakan pilihan pertama untuk terapi infeksi. Akan tetapi pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotika parenteral seperti rute intravena dengan melihat kondisi klinis pasien dan bioavailabilitas obatnya (Kepmenkes, 2011a). Dalam data rekam medis, antibiotika meropenem secara paling banyak digunakan secara intravena dalam pengobatan infeksi sebanyak 5 peresepan antibiotika tunggal dan 3 peresepan antibiotika kombinasi dalam pengobatan berbagai penyakit infeksi. Sedangkan antibiotika oral yang banyak digunakan adalah antibiotika klacid sejumlah 4 peresepan antibiotika kombinasi yang digunakan dalam mengobati sepsis, COPD dengan adanya gejala eksaserbasi dan septic arthritis. Dalam kasus ini, penggunaan 2 antibiotika kombinasi yang banyak digunakan adalah klacid secara oral dengan meropenem, amoxicillin atau tazobac sejumlah 4 peresepan. Adapun 2 kasus, penggunaan 3 antibiotika kombinasi adalah aciclovir secara oral dengan meropenem, doxycyclin dan dengan cotrim forte, ofloxacin dalam pengobatan penyakit infeksi. Antibiotika kombinasi ini diberikan dokter berdasarkan kondisi klinis pasien dan hasil laboratorium untuk meningkatkan aktivitas antibiotika pada infeksi spesifik tetapi tidak efektif dalam mencegah resistensi sehingga dapat menimbulkan toksisitas obat (Kepmenkes, 2011a).

Dari 23 data rekam medis, ada pemeriksaan bakteri melalui kultur darah pada pasien untuk mendeteksi bakteri atau jamur dalam darah. Ketika pasien memiliki


(29)

8

gejala infeksi, dokter mencurigai bakteri atau jamur telah menyebar ke dalam darah, maka dengan pemeriksaan kultur darah dapat menentukan jenis bakteri penginfeksi atau jamur. Setelah dilakukan pemeriksaan kultur darah, dokter memberikan antibiotika secara oral atau intravena yang sesuai untuk membunuh bakteri penginfeksi atau jamur (Brooks et al, 2013). Tetapi tidak semua pasien mampu melakukan pemeriksaan bakteri karena biaya yang cukup tinggi sehingga dokter memberikan antibiotika berdasarkan gejala klinis atau diagnosa (Arulanantham et al, 2012). Dari 23 data rekam medis, ada pasien yang kultur bakterinya positif sebanyak 2 pasien sedangkan kultur bakteri yang negatif sebanyak 8 pasien. Sisanya 13 pasien tidak melakukan pemeriksaan kultur bakteri yang dapat ditunjukkan pada Lampiran 4 Tabel III.

Berbagai macam antibiotika diberikan oleh dokter tergantung dari jenis penyakit infeksi yang diderita pasien ICU. Apabila belum diketahui bakteri yang pasti, dokter biasanya memberikan antibiotika berspektrum luas secara empiris dalam peresepan antibiotika tunggal maupun kombinasi untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi atau pemberian berdasarkan pengalaman prakteknya seperti golongan karbapenem, golongan sefalosporin, golongan kuinolon, golongan tetrasiklin dan metronidazol. Lama pemberian antibiotika secara empiris dalam jangka waktu 48-72 jam, lalu harus dilakukan berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien membaik atau memburuk (Menkes RI, 2011). Secara ringkas, profil pola peresepan antibiotika tunggal dan peresepan antibiotika kombinasi dapat ditunjukkan pada Tabel II dan III.


(30)

9

Tabel II. Profil Penggunaan Antibiotika Tunggal Berdasarkan Jenis Antibiotika, Diagnosis dan Kesesuaian dengan DIH Pada Pasien ICU

RSH Jerman Periode Januari – September 2015 Nomor Jenis

Antibiotika Diagnosis

Kesesuaian dengan

DIH Jumlah

Pasien Sesuai Tidak Sesuai

1 Tazobac V.a pneumonia, pneumonia nosokomial,

infeksi saluran kemih dan COPD - √ 2

2 Meropenem Pneumonia nosokomial, peritonitis akut,

sepsis dan infeksi vagina √

-

5

3 Metronidazol Keracunan makanan dengan adanya indikasi clostridium

enteritis positif dan sepsis - √ 2

4 Cefriaxon Pielonefritis akut (infeksi saluran kemih

komplikasi) √ - 1

5 Ciprofloxacin Septic arthritis - √ 1

6 Vancomycin Clostridium difficile terkait sepsis - √ 1

7 Ampicillin-


(31)

10

Tabel III. Profil Penggunaan Antibiotika Kombinasi Berdasarkan Jenis Antibiotika, Diagnosis dan Kesesuaian dengan DIH Pada Pasien ICU

RSH Jerman Periode Januari – September 2015 Nomor Jenis

Antibiotika Diagnosis

Kesesuaian dengan

DIH Jumlah

Pasien Sesuai Tidak Sesuai

1

Aciclovir, Cotrim Forte

dan Ofloxoxacin

COPD dan septic arthritis √ √ (Aciclovir) 1

2

Aciclovir, Meropenem

Dan Doxycyclin

Herpes zoster enzefalitis, pneumonia aspirasi,

sepsis dan COPD √ √ (Aciclovir) 1

3

Meropenem dan Klacid

Sepsis, pneumonia aspirasi, COPD √ √ (Klacid) 2

4

Doxycylin dan Amoclav

Pneumonia aspirasi dan COPD √ √ (Amoclav) 1

5

Aciclovir dan Cotrim

Forte

Pneumonia nosokomial, COPD, infeksi saluran kemih dan herpes zoster yang

disebabkan varicella zoster

√ √ (Aciclovir) 2

6

Amoxicillin dan Klacid

Septic arthritis dan peptic ulcer

yang disebabkan Helicobacter pylori positif √ √ (Klacid) 1

7 Klacid dan

Tazobac COPD dengan komplikasi eksaserbasi uncomplicanted √ √ (Tazobac) 1

8

Ampicillin-Sulbactam

dan Doxycylin

V.a pneumonia dan COPD √ √ (Ampicillin-

Sulbactam) 1

Evaluasi Peresepan Antibiotika dengan Metode Gyssens

Evaluasi peresepan antibiotika dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan metode Gyssens dan Meers (2001) yang terbagi dalam 12 kategori dan dinyatakan dengan satuan peresepan atau persentase dalam rekam medis kasus.

Dari 23 rekam medis didapatkan hasil sebanyak 11 peresepan antibiotika atau 31% masuk dalam kategori O (pemberian antibiotika yang tepat atau bijak), 2 peresepan atau 6% masuk kategori IIA, 5 peresepan atau 14% masuk kategori IIB (pemberian antibiotika tidak tepat interval), 11 peresepan atau 31% masuk


(32)

11

kategori IIIA (pemberian antibiotika terlalu lama) dan 6 peresepan atau 17% masuk kategori IIIB (pemberian antibiotika terlalu singkat). Tidak ditemukan antibiotika yang termasuk dalam kategori I (pemberian antibiotika tepat waktu), kategori IIC (pemberian antibiotika yang tidak tepat cara pemberian), kategori IVA (ada alternatif antibiotika lain yang lebih efektif), kategori IVB (ada antibiotika lain yang lebih aman), IVC (ada antibiotika lain yang lebih murah), kategori IVD (ada antibiotika lain dengan spektrum lebih sempit) dan kategori V (tidak ada indikasi infeksi bakteri). Hasil evaluasi peresepan antibiotika dengan kategori gyssens dapat ditunjukkan pada Gambar 1 dan Tabel IV.

Gambar 1. Distribusi Ketepatan Peresepan Antibiotika Berdasarkan Kategori Gyssens di RSH Jerman Periode Januari – September 2015


(33)

12

Tabel IV. Kategori Antibiotika yang Digunakan Pada Pasien ICU RSH Jerman Periode Januari - September 2015 dengan Metode Gyssens Kategori

Antibiotika Jenis Antibiotika Nomor Kasus Jumlah Kasus

Kategori O Amoclav Cefriaxon Meropenem Ofloxacin Klacid Ampicillin-Sulbactam 13 5 2,4, 6, 8,17, 19

15 21 23

11

Kategori I - - -

Kategori IIA

Aciclovir Metronidazol

6

9 2

Kategori IIB Doxycyclin Ampisilin-Sulbactam Aciclovir Cotrim Forte Tazobac 6 7 15 15 21 5

Kategori IIC - - -

Kategori IIIA Metronidazol Vancomycin Klacid Amoxicillin Tazobac Meropenem Cotrim Forte Aciclovir 3 12 17,18 18 20 22 14, 16 14, 16 11 Kategori IIIB Meropenem Ciprofloxacin Klacid Doxycyclin Tazobac 11 10 11 13, 23 1 6

Kategori IVA - - -

Kategori IVB - - -

Kategori IVC - - -

Kategori IVD - - -

Kategori V - - -

Kategori VI - - -

Kajian literatur ketepatan peresepan antibiotika per kategori gyssens pada pasien ICU yang dirawat di RSH Jerman periode Januari – September 2015 akan disajikan di bawah ini secara lebih terperinci :


(34)

13

1. Rekam medis pasien tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi (kategori VI)

Pada penelitian ini rekam medis yang digunakan sebagai bahan penelitian diseleksi kelengkapan data melalui kriteria inklusi dan eksklusi. Sebanyak 23 rekam medis yang digunakan sebagai bahan penelitian masuk dalam kriteria inklusi, sehingga tidak terdapat peresepan antibiotika yang masuk dalam kategori VI.

2. Pemberian antibiotika tanpa indikasi (kategori V)

Antibiotika tanpa indikasi dapat diartikan pemberian terapi antibiotika tidak diperlukan bagi pasien tersebut (Kepmenkes, 2011a), misalkan pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi bakteri. Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan kasus peresepan antibiotika dengan indikasi infeksi bakteri atau virus dengan menggunakan kultur darah. Serta tanda-tanda infeksi juga ditunjukkan dengan nilai leukosit, eritrosit, neutrofil, basofil, limfosit, monosit, temperatur tubuh, CRP (C-Reactive Protein), PCT (Procalcitonin) di luar batas normal dan warna urin yang tidak normal (Martantya et al, 2014, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003 & Wells et al, 2015). Berdasarkan hasil evaluasi, tidak ditemukan kasus peresepan antibiotika dalam kategori V.

3. Ada antibiotika lain yang lebih efektif (kategori IVA)

Ada antibiotika lain yang lebih efektif dapat diartikan ada pilihan antibiotika lain yang lebih direkomendasikan untuk pasien karena dinilai akan memberikan efek terapi yang lebih optimal. Dalam penelitian ini, seluruh pasien ICU dirawat menerima peresepan antibiotika secara empiris karena tidak dilakukan proses kultur. Oleh karena itu, sebagian besar pemilihan antibiotika adalah berspektrum luas. Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus peresepan antibiotika dalam kategori IVA.


(35)

14

4. Ada pilihan antibiotika lain yang lebih aman (kategori IVB)

Peresepan antibiotika menjadi tidak aman bisa disebabkan karena adanya interaksi obat serta munculnya efek samping yang tidak diinginkan, misalnya dengan muncul reaksi alergi atau antibiotika yang diterima kontraindikasi dengan kondisi klinis pasien. Berdasarkan hasil evaluasi, tidak ditemukan kasus peresepan antibiotika dalam kategori IVB.

5. Ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah (kategori IVC)

Kategori IVC dievaluasi dengan membandingkan obat generik dengan obat generik lain dengan menggunakan acuan MIMS 2015. Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus peresepan antibiotika yang lebih murah. Dalam hal ini adanya keterbatasan dalam menentukan antibiotika generik atau paten yang diberikan pasien ICU sehingga sulit ditentukan pemilihan antibiotika yang lebih murah.

6. Ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit (kategori IVD)

Proses pemilihan antibiotika dengan spektrum yang lebih sempit harus berdasarkan pada hasil kultur bakteri dari spesimen yang relevan atau dari pola kultur kuman (Kepmenkes, 2011a). Dalam penelitian ini, tidak ditemukan hasil kultur pasien sehingga tidak diketahui jenis bakteri penginfeksi atau virus. Oleh karena adanya keterbatasan ini maka tidak dapat ditentukan pemilihan antibiotika dengan spektrum yang lebih sempit.

7. Pemberian antibiotika terlalu lama (kategori IIIA) dan pemberian antibiotika terlalu singkat (kategori IIIB)

Lama pemberian antibiotika pada tiap jenis antibiotika sangat bervariasi tergatung pada jenis penyakit dan tingkat keparahan penyakit. Dalam penelitian ini lama pemberian antibiotika dihitung sesuai dengan lama pemberian yang tercatat dalam rekam medis. Dalam penelitian ini, untuk menentukan lama dan singkatnya pemberian antibiotika dengan memggunakan acuan Drug Information


(36)

15

Handbook (2011). Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan kasus dengan pemberian antibiotika yang terlalu lama maupun yang terlalu singkat dengan total sebanyak 17 kasus peresepan. Pemberian antibiotika yang terlalu lama terjadi pada antibiotika metronidazol pada kasus 3, antibiotika vancomycin kasus 12, antibiotika cotrim forte pada kasus 14 dan 16, aciclovir kasus 14 dan 16, antibiotika klacid pada kasus 17 dan 18, antibiotika amoxicillin pada kasus 18, antibiotika tazobac pada kasus 20 dan antibiotika meropenem pada kasus 22 sedangkan pemberian antibiotika yang terlalu singkat terjadi pada antibiotika tazobac pada kasus 1, antibiotika doxycyclin pada kasus 6, antibiotika ciprofloxacin pada kasus 10, antibiotika meropenem dan klacid pada kasus 11 dan antibiotika doxycylin pada kasus 13 dan 23.

8. Peresepan antibiotika tidak tepat dosis (kategori IIA)

Ketidaktepatan dosis dapat disebabkan oleh dosis antibiotika yang diberikan terlalu tinggi atau terlalu rendah. Dosis yang terlalu rendah akan menyebabkan kurangnya ketersediaan hayati obat sehingga durasi kerja obat menjadi lebih singkat untuk menghasilkan efek terapi yang diharapkan (Nascimento, Carvalho, Acurcio, 2009), sedangkan dosis yang terlalu tinggi dapat menimbulkan toksisitas. Dalam penelitian ini, untuk menentukan dosis dalam penyembuhan penyakit dengan menggunakan acuan Drug Information Handbook (2011). Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan kasus dengan peresepan antibiotika aciclovir pada kasus 6, antibiotika metronidazol pada kasus 9 yang tidak tepat dosis.

9. Peresepan antibiotika tidak tepat interval (kategori IIB)

Ketepatan interval pemberian antibiotika harus disesuaikan dengan sifat obat dan profil farmakokinetikanya agar ketersediaan hayati antibiotika tetap terjaga sehingga dapat dihasilkan efek terapeutik yang diharapkan (Kepmenkes, 2011a). Dalam penelitian ini, untuk menentukan interval pemberian antibiotika dalam penyembuhan penyakit dengan menggunakan acuan Drug Information Handbook (2011). Berdasarkan hasil evaluasi, ditemukan peresepan antibiotika doxycyclin


(37)

16

pada kasus 6, antibiotika ampisilin-sulbactam pada kasus 7, antibiotika cotrim forte dan aciclovir pada kasus 15, antibiotika tazobac pada kasus 21.

10. Pemberian antibiotika yang tidak tepat rute pemberian (kategori IIC) Rute pemberian antibiotika merupakan salah satu faktor penting dalam proses keberhasilan terapi. Rute pemberian antibiotika harus disesuaikan dengan kebutuhan klinis dan kondisi pasien. Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus dengan pemberian antibiotika yang tidak tepat rute pemberian.

11. Peresepan antibiotika tidak tepat waktu pemberian (kategori I)

Waktu pemberian antibiotika merupakan hal yang sangat penting karena akan mempengaruhi ketersediaan obat di dalam sirkulasi sistemik yang berdampak pada efek terapetik yang dihasilkan (Yuniftiadi, 2009). Dalam penelitian ini, untuk menentukan waktu pemberian antibiotika dalam penyembuhan penyakit dengan menggunakan acuan Drug Information Handbook (2011). Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus dengan pemberian antibiotika yang tidak tepat waktu.

12.Peresepan tepat (kategori O)

Terapi pengobatan dikatakan tepat jika telah memenuhi indikator tepat penderita, tepat indikasi penyakit, tepat obat, tepat dosis (dosis, jumlah, cara, waktu dan lama pemberian obat harus tepat untuk mencapai efek terapi) dan tepat penilaian kondisi pasien (Depkes RI, 2008). Tepat penderita terkait dengan tingkat keparahan infeksi yang akan mempengaruhi dosis, rute, interval dan lama pemberian antibiotika. Tepat indikasi adalah peresepan antibiotika dengan tujuan untuk menghentikan infeksi. Tepat obat artinya pilihan antibiotika yang digunakan efektif untuk jenis bakteri yang diperkirakan atau berdasarkan hasil kultur. Tepat dosis berarti pasien telah menerima antibiotika dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan klinis dan kondisi fisiologi pasien. Tepat penilaian kondisi pasien yaitu penggunaan antibiotika disesuaikan dengan kondisi pasien, antara lain harus memperhatikan kontraindikasi, komplikasi, kehamilan,


(38)

17

menyusui, lanjut usia atau bayi. Berdasarkan, hasil evaluasi ditemukan peresepan antibiotika meropenem pada kasus 2, 6, 8, 17 dan 19, antibiotika cefriaxon pada kasus 6, antibiotika amoclav pada kasus 13, antibiotika ofloxacin pada kasus 15, antibiotika klacid pada kasus 21, antibiotika ampicillin-sulbactam pada kasus 23.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian adalah pasien ICU yang paling banyak ditemui laki – laki (61%) dan kelompok lansia (74%) dengan lama perawatan sesuai standar yang kurang dari 10 hari (70%). Antibiotika paling banyak diresepkan untuk pasien ICU adalah meropenem (23%) dengan cara pemberian intravena (43%), frekuensi pemberian 8 jam dan lama pemberian 4-7 hari (sesuai dengan standar DIH). Penyakit infeksi yang banyak ditemui pada pasien ICU adalah penyakit sepsis (22%). Berdasarkan kriteria gyssens, antibiotika yang digunakan adalah 31% masuk dalam kategori O, 6% masuk dalam kategori IIA, 14% masuk dalam kategori IIB, 31% masuk dalam kategori IIIA dan 17% masuk dalam kategori IIIB.

SARAN

Mengingat antibiotika dengan kategori O yang digunakan masih rendah (31%), maka disarankan perlunya pengawasan penggunaan antibiotika oleh tenaga medis di rumah sakit yang bersangkutan guna menjaga dan meningkatkan ketepatan penggunaan antibiotika serta melakukan standarisasi dengan DIH apabila pasien tidak memiliki resintensi terhadap antibiotika yang digunakan.


(39)

18 DAFTAR PUSTAKA

Arulanantham, R., Pathmanathan, S., Ravimannan, N., and Niranjan, K., 2012, Alternative Culture Media for Bacterial Growth Using Different Formulation of Protein Sources, Scholars Research Library, pp. 1-4.

Brooks, G.F., Carroll, K.C., Butel, J.S., Morse, S.A., and Mietzner, T.A., 2013, Medical Microbiology, 26th edition, Mc Graw-Hill Companies, USA, pp. 755-760.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat Bagi Tenaga Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, hal. 6-8.

Gyssens, I.C., and Meer, J.M.W.V., 2001, Quality of Antimicrobial Drug Prescription in Hospital, Clinical Microbiology Infection, Volume 7, pp. 12-15.

Hopkins, J., 2015, Antibiotic Guidelines 2015/2016, John Hopkins Medicine, USA, pp. 8-20, 24-28, 32, 42-50, 54-56, 82-90, 99-100, 110-114, 137-144. Kaldhudal, M., and Lovland, A., 2002, Clostridial Necrotic Enteritis and

Cholangiohepatitis, The Elanco Global Enteritis Symposium, pp.1-14. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011a, Pedoman Pelayanan

Kefarmasian untuk Terapi Antibiotik, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, hal. 15, 21, 27, 35-36.

Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, P., and Lance, L.L., 2011, Drug Information Handbook, 20th edition, Lexi-Comp Inc, USA, pp. 105-109, 119-121, 320-323, 366-370, 378-380, 382-384, 565-568, 1095-1096, 1136-1138, 1394-1396, 1642-1644, 1790-1791.

Martantya, R.S., Nasrul, E., dan Basyar, M., 2014, Gambaran Hitung Jenis Leukosit Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang Dirawat di RSUP Dr. M. Djamil Padang, Artikel Penelitian, hal. 1-4.

Mckendrick, M.W., Mcgill, J.I., White, J.E., Wood, M.J., 1986, Oral Aciclovir in Acute Herpes zoster, British Medical Journal, pp. 1-4.


(40)

19

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010, Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) Di Rumah Sakit, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, hal. 4.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Kementerian Kesehatan RI, hal. 16-18,19-22.

MIMS, 2015, MIMS Petunjuk Konsultasi, Edisi 15, PT Bhuana Ilmu Populer,

Jakarta, hal. 166, 180, 186-187, 188-189, 190-191, 196-197, 199, 201, 207-209, 221, 223.

Nascimento, Y.A., Carvalho, W.A., and Acurcio, F.A., 2009, Drug-Related Problems Observed in a Pharmaceutical Care Service, Belo Horizonte, Brazil, Brazilian Journal of Pharmaceutical Sciences, p. 1-10.

Notoatmodjo, 2012, Metodologi Penelitian Kesehatan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 35-36.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial di Indonesia, PDPI, Jakarta, hal. 2-4, 7-9.

Pratiwi, S.T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 152, 154-164

Siswandono, dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal, Universitas Airlangga Press, Surabaya, hal. 109-161.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2002, Obat-Obat Penting, Edisi Kelima, PT Gramedia, Jakarta, hal. 60-61.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi VI, Penerbit PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 65-67.

Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., dan Dipiro, C.V., 2015, Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edision, Mc Graw Hill, USA, p. 1-8, 26-35, 185-193, 221-230, 251-255, 293, 313-322, 361-404, 418-447, 490-499.


(41)

20

WHO, 2001, WHO Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistance, WHO, Switzerland, p. 24-25.


(42)

21


(43)

22 Lampiran 1

Gambar 1. Diagram Alir Kualitas Peresepan Antibiotika Berdasarkan Kriteria Gyssens


(44)

23

Penilaian peresepan antibiotika dengan menggunakan metode gyssens terbagi dalam kategori 0-VI. Kategori pengkajian kualitas peresepan antibiotika menurut metode gyssens (Gyssens, 2001):

Kategori 0 Penggunaan antibiotika tepat atau bijak Kategori I Penggunaan antibiotika tidak tepat waktu Kategori IIA Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis

Kategori IIB Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian Kategori IIC Penggunaan antibiotika tidak tepat cara atau jalur pemberian Kategori IIIA Penggunaan antibiotika terlalu lama

Kategori IIIB Penggunaan antibiotika terlalu singkat Kategori IVA Ada antibiotika lain yang lebih efektif

Kategori IVB Ada antibiotika lain yang kurang toksik atau lebih aman Kategori IVC Ada antibiotika lain yang lebih murah

Kategori IVD Ada antibiotika lain yang spektrum anti bakterinya lebih sempit

Kategori V Penggunaan antibiotika tanpa ada indikasi Kategori VI Rekam medis tidak lengkap untuk dievaluasi


(45)

24 Lampiran 2

Tabel I. Profil Golongan dan Jenis Antibiotika Pada Pasien ICU RSH Jerman Periode Januari – September 2015

Golongan Antibiotika Jenis Antibiotika Jumlah Antibiotika

Persentase (%)

Penisillin

Amoksisilin 1 3

Amoclav 1 3

Ampicillin-Sulbactam 2 6

Sefalosporin Cefriakson 1 3

Carbapenem Meropenem 8 23

Antibiotika lain sebagai inhibitor

sintesis dinding sel Vancomycin 1 3

Kuinolon Ciprofloxacin 1 3

Ofloxacin 1 3

Makrolida Klacid

(Clarithromycin) 4 11

Tetrasiklin Doxycylin 3 8

Metronidazol Metronidazol 2 6

Piperacillin Tazobac 3 9

Sulfonamida Cotrim Fote 3 8

Antivirus Aciclovir 4 11


(46)

25 Lampiran 3

Tabel II. Profil Cara Pemberian Antibiotika Pada Pasien ICU RSH Jerman Periode Januari – September 2015

Nama Antibiotika Jumlah Antibiotika Cara Pemberian Antibiotika

Amoksisilin 1 Intravena

Amoclav 1 Oral

Ampisilin-Sulbactam 2 Intravena

Cefriaxon 1 Intravena

Meropenem 8 Intravena

Vancomycin 1 Oral

Ciprofloxacin 1 Oral

Klacid (Clarithromycin) 4 Oral

Doxycyclin 3 Oral

Metronidasol 2 Oral

Tazobac 3 Intravena

Cotrim Forte 3 Oral

Aciclovir 4 Oral

Ofloxacin 1 Oral

Total Antibiotika Oral 20 (57,14%)


(47)

26 Lampiran 4

Tabel III. Hasil Pemeriksaan Kultur Bakteri Pada Pasien ICU RSH Jerman Periode Januari – September 2015

Nama Pasien Penyakit Infeksi Hasil Kultur Bakteri

Kasus 1 V.a pneumonia dan infeksi

saluran kemih -

Kasus 2 Peritonitis akut dan sepsis -

Kasus 3 Keracunan makanan

(Clostridium enteritis positif) -

Kasus 4 Sepsis

Tidak ada bakteri aerobik dan anaerobik maupun fungi pada kultur darah secara mikroskopis

Kasus 5 Pielonefritis akut

(ISK komplikasi) -

Kasus 6

Herpes zoster enzefalitis, pneumonia aspirasi,sepsis

dan COPD

Tidak ada bakteri dan jamur

pada kultur darah secara

mikroskopis

Kasus 7 Pneumonia nosokomial oleh

MS Staphylococcus aureus -

Kasus 8 Peritonitis akut dan sepsis -

Kasus 9 Sepsis -

Kasus 10 Septic arthritis -

Kasus 11 Pneumonia aspirasi dan

sepsis -

Kasus 12 Clostridium difficile terkait sepsis

Tidak ada bakteri aerobik dan anaerobik maupun fungi pada kultur darah secara mikroskopis

Kasus 13 Pneumonia aspirasi dan

COPD

Ada bakteri aerobik dan anaerobik maupun fungi pada kultur darah secara mikroskopis

Kasus 14 Pneumonia nosokomial oleh

MRSA MRSA tidak terdeteksi

Kasus 15 COPD dan septic arthritis

Tidak ada bakteri aerobik dan anaerobik maupun fungi pada kultur darah secara mikroskopis

Kasus 16 Herpes zoster dan infeksi


(48)

27

Kasus 17 COPD dan sepsis Terdapat Bacillus dan

Staphylococcus epidermidis banyak

Kasus 18

Septic arthritis dan peptic ulcer (Helicobacter pylori

positif)

Tidak ada bakteri aerobik dan anaerobik maupun fungi pada kultur darah secara mikroskopis

Kasus 19 Infeksi vagina oleh

Escherichia dan Klebsiella -

Kasus 20 Pneumonia nosokomial dan

COPD -

Kasus 21 COPD dengan komplikasi

eksaserbasi uncomplicanted -

Kasus 22 Pneumonia nosokomial oleh

MRSA MRSA tidak terdeteksi

Kasus 23 V.a pneumonia dan COPD

Tidak ada bakteri aerobik dan anaerobik maupun fungi pada kultur darah secara mikroskopis


(49)

28 Lampiran 5

Contoh Rekam Medis Kasus 1 Nama Pasien :

Kasus 1

No RM : 78652

Umur : 60 tahun

Jenis Kelamin : perempuan

Tanggal Masuk : 10.01.2015

Riwayat : - Tanggal Keluar :

26.01.2015 Diagnosa Penyakit :

 Ventilator associated pneumonia

 Infeksi saluran kemih terdapat nitrit positif

 Serangan jantung tahap pertama

 Hipertensi arteri

 Hipokalemia Hasil Laboratorium : -

Tabel IV. Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 1 Nama Antibiotika Dosis Antibiotika Aturan Pemakaian Lama Pemberian Jalur Pemberian

Tazobac 4,5 g 3x1 sehari 3 hari Intravena

Nama Obat Lain Dosis Obat Aturan Pemakaian

Lama Pemberian

Jalur Pemberian

Pantozol 40 mg 2x1 sehari 16 hari Oral

Xarelto 15 mg 1x sehari 16 hari Oral

Metoprolol 47,5 mg 3x1 sehari 16 hari Oral

Ramipril 5 mg 2x1 sehari 16 hari Oral

Bricanyl 250 mcg 2x 1/2 ampul 16 hari Subkutan

NAC 600 mg 1x sehari 16 hari Oral

Insulin Rapid - jika dibutuhkan - Intravena

Terapi inhalasi

dengan larutan - 3x1 sehari 16 hari Inhaler

Bifiteral (obat


(50)

29

Tabel V. Analisis Antibiotika Pada Kasus 1 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens

Antibiotika : Tazobac 4,5 g

Kategori Gyssens Hasil Assesment (Lolos / Tidak Lolos Per Kategori) Kategori VI

Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap) Assesment : Data rekam medis lengkap.

Kategori V

Lolos kategori V (Ada indikasi infeksi bakteri)

Assesment : Pada pasien ini menderita penyakit ventilator associated pneumonia yang ada indikasi infeksi bakteri (diduga adanya bacilli gram negatif yang lain) dan infeksi saluran kemih yang terdapat nitrit positif yang mengindikasikan adanya bakteri gram negatif, misalnya E.coli (Hopkins, 2015).

Kategori IV A

Lolos kategori IV A (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif) Assesment : Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif, antibiotika lini pertama untuk pengobatan V.a pneumonia dan infeksi saluran kemih adalah tazobac 4,5 g bentuk injeksi sudah tepat (Lacy et al, 2011 and Hopkins, 2015).

Kategori IV B

Lolos kategori IV B (Tidak ada antibiotika yang lebih aman) Assesment : Antibiotika ini cukup aman digunakan karena tidak ada kontraindikasi dengan kondisi fisiologis pasien kecuali bagi pasien yang hipersensitivitas terhadap penisilin dan inhibitor beta laktamase serta tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan kecuali dengan probenecid (Lacy et al, 2011).

Kategori IV C

Lolos kategori IV C (Tidak ada antibiotika yang lebih murah) Assesment : Harga antibiotika tazobac 4,5 g merek Tazocin Perusahaan Pfizer per vial adalah Rp 65.912,00 dibandingkan tazobac 4,5 g merek Pybactam Perusahaan Sandoz per vial adalah Rp 230.000,00 (MIMS, 2015).


(51)

30 Kategori IV D

Lolos kategori IV D (Tidak ada antibiotika yang lebih spesifik)

Assesment : Tidak dilakukan kultur bakteri sehingga tidak diketahui jenis bakteri penginfeksi pasien pada awal diagnosa, sehingga pemberian antibiotika dilakukan secara empiris. Antibiotika tazobac 4,5 g merupakan golongan piperacillin yang berspektrum sempit untuk membunuh bakteri gram negatif (bersifat bakterisid) sehingga dalam pengobatan V.a pneumonia yang diduga disebabkan bacilli gram negatif dan infeksi saluran kemih yang terdapat nitrit positif (indikasi adanya bakteri gram negatif, E.coli) sudah tepat pengobatannya (Lacy et al, 2011; Hopkins, 2015; Perhimpunan Paru Indonesia, 2003).

Kategori III A

Lolos Kategori III A (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama)

Assessment : Penggunaan antibiotika tazobac 4,5 g secara intravena tidak terlalu lama, waktu yang dianjurkan 7-14 hari sedangkan penggunaan antibiotika tazobaz 4,5 g secara intravena diberikan selama 3 hari (Lacy et al, 2011).

Kategori III B

Tidak Lolos Katgeori III B (Penggunaan antibiotika terlalu singkat)

Assessment : Penggunaan antibiotika tazobac 4,5 g secara intravena terlalu singkat, waktu yang dianjurkan 7-14 hari sedangkan penggunaan antibiotika tazobac 4,5 g secara intravena yang diberikan selama 3 hari (Lacy et al, 2011).


(52)

31 Lampiran 6

Contoh Rekam Medis Kasus 2 Nama Pasien :

Kasus 2

No RM : 72172

Umur : 49 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Tanggal Masuk : 04.07.2015 Riwayat :

 Abdomen akut

 Kuadran peritonitis perforasi lambung

 Penggumpalan darah, leukopenia

 Gagal ginjal akut

Tanggal Keluar : 04.07.2015

Diagnosa Penyakit :

 Peritonitis akut

 Penggumpalan darah (sepsis)

 Gangguan ginjal kronis Hasil Laboratorium :

 Leukosit 2,7 x 10^3 /µl (normal : 4,4 - 10,1)

 CRP (C-Reactive Protein) 47,6 mg/L (normal : < 0,50 mg/L)

 PCT (Procalcitonin) >100 ng/mL (normal 0,5 ng/mL) Antibiotika yang Digunakan :

Meropenem

 Dosisnya 1 g

 Aturan pemakaian 3x1 sehari

 Lama pemberian 4-5 hari


(53)

32

Tabel VI. Analisis Antibiotika Pada Kasus 2 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens

Antibiotika : Meropenem 1 g

Kategori Gyssens Hasil Assesment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori) Kategori VI

Lolos Kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap) Assesment : Data rekam medis lengkap.

Kategori V

Lolos Kategori V (Ada indikasi infeksi bakteri)

Assesment : Adanya indikasi penyakit akibat infeksi bakteri. Peritonitis akut merupakan respon inflamasi pada lapisan peritoneum yang disebabkan oleh bakteri secara spontan (dapat berupa bakteri gram positif maupun gram negatif) dan beresiko tinggi pada pasien gagal ginjal. Sedangkan penyakit sepsis merupakan sindrom respon inflamasi sistemik sekunder terhadap infeksi bakteri (disebabkan bakteri gram negatif). Selain ini juga didukung dengan nilai leukosit yaitu 2,7 x 10^3 /µl (normal : 4,4 - 10,1),nilai CRP (C-Reactive Protein) 47,6 mg/L (menunjukkan risiko tinggi pada kardiovaskuler) dan nilai PCT (Procalcitonin) > 100 ng/mL (menunjukkan risiko tinggi sepsis berat) yang berada di luar batas normal sehingga menunjukkan adanya infeksi bakteri (Wells et al, 2015).

Kategori IV A

Lolos Kategori IV A (Tidak Ada antibiotika yang lebih efektif)

Assessment : Tidak ada antibiotika yang lebih efektif sehingga pengobatan peritonitis akut yang disebabkan bakteri secara spontan dan penyakit sepsis menggunakan Meropenem 1g bentuk injeksi sudah tepat karena pasien mempunyai riwayat abdomen akut (Hopkins, 2015).

Kategori IV B

Lolos Kategori IV B (Tidak ada antibiotika yang lebih aman)

Assessment : Antibiotika ini cukup aman digunakan karena tidak ada kontraindikasi dengan kondisi fisiologis pasien seperti terjadi reaksi anaphylactic dan tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan kecuali dengan probenecid (Lacy et al, 2011).


(54)

33 Kategori IV C

Lolos Kategori IV C (Tidak ada antibiotika yang lebih murah)

Assessment : Harga antibiotika meropenem 1 g merek Merabot Perusahaan Interbat adalah Rp 330.000,00 lebih murah dibandingkan meropenem 1 g merek Eradix Perusahaan Pharos adalah Rp 350.000,00 (MIMS, 2015).

Kategori IV D

Lolos Kategori IV D (Tidak ada antibiotika yang lebih spesifik)

Assessment : Tidak dilakukan kultur bakteri sehingga tidak diketahui jenis bakteri penginfeksi pasien pada awal diagnosa, sehingga pemberian antibiotika dilakukan berdasarkan riwayat pasien dan secara empiris. Antibiotika meropenem 1 g bentuk injeksi merupakan golongan beta-laktam yang berspektrum luas sehingga tepat digunakan untuk pengobatan peritonitis akut dan sepsis yang bakteri tidak diketahui dengan jelas yang dapat berupa bakteri gram negatif maupun gram positif (Hopkins, 2015 and Wells et al, 2015).

Kategori III A

Lolos Kategori III A (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama)

Assessment : Penggunaan antibiotika meropenem 1 g secara intravena tidak terlalu lama, waktu yang dianjurkan 4-7 hari sedangkan penggunaan antibiotika meropenem 1 g secara intravena diberikan selama 4-5 hari (Lacy et al, 2011).

Kategori III B

Lolos Kategori III B (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat)

Assessment : Penggunaan antibiotika meropenem 1 g secara intravena tidak terlalu singkat, waktu yang dianjurkan 4-7 hari sedangkan penggunaan antibiotika meropenem 1 g secara intravena diberikan selama 4-5 hari (Lacy et al, 2011).

Kategori II A

Lolos Kategori II A (Penggunaan antibiotika tepat dosis) Assessment : pasien diberikan antibiotika meropenem 1 g secara intravena dengan dosis 3 x 1 gram setiap 4-5 hari. Hal ini sesuai dengan dosis terapi meropenem untuk peritonitis akut dan sepsis yaitu 3x1 gram setiap 4-7 hari (Lacy et al, 2011).


(55)

34 Kategori II B

Lolos Kategori II B (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian)

Assessment : pasien diberikan antibiotika meropenem 1 g secara intravena dengan interval pemberian setiap 8 jam dalam 3x1 gram setiap 4-5 hari. Hal ini sesuai dengan interval pemberian dalam terapi meropenem 1 g untuk peritonitis akut dan sepsis yaitu setiap 8 jam dalam 3x1 gram setiap 4-7 hari (Lacy et al, 2011).

Kategori II C

Lolos Kategori II C (Rute pemberian antibiotika tepat) Assessment : Pasien diberikan antibiotika meropenem 1 g dengan jalur pemberian secara intravena dengan aturan pemakaian 3x1 gram selama 4-5 hari. Hal ini sesuai dengan jalur pemberian secara intravena dalam terapi meropenem 1 g untuk peritonitis akut dan sepsis dalam aturan pemakaian 3x1 gram setiap 4-7 hari (Lacy et al, 2011).

Kategori I

Lolos Kategori I (Waktu pemberian antibiotika tepat) Assessment : pasien diberikan antibiotika meropenem 1 g secara intravena dengan waktu pemberian 3x sehari dalam 1 gram setiap 4-5 hari. Hal ini sesuai dengan waktu pemberian dalam terapi meropenem 1 g untuk peritonitis akut dan sepsis yaitu 3x sehari dalam 1 gram setiap 4-7 hari (Lacy et al, 2011). Kategori O Penggunaan antibiotika tepat atau bijak


(56)

35 Lampiran 7

Contoh Rekam Medis Kasus 3 Nama Pasien :

Kasus 3

No RM : 34172

Umur : 83 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Tanggal Masuk : 11.01.2015 Riwayat :

 Sesak napas

 Pusing dan mual

 Alergi penisillin

Tanggal Keluar : 16.01.2015

Diagnosa Penyakit :

 Keracunan makanan (Clostridium enteritis positif)

 Tidak suara sesak nafas

 Perut kembung

 Tidak ada tekanan rasa sakit

 Neurologis pasien terganggu (kelainan pada sistem saraf)

Hasil Laboratorium : Tanggal 11.01.2015 :

 CK (Kreatin Kinase) 43 U/ L (normal : < 167 U/L)

 CRP (C-Reactive Protein) 2,02 mg/L (normal : < 0,50 mg/L)

 Kalsium 2,37 mmol / L (normal : 9 - 11 mg/dL)

 Kreatinin 1,05 mg/dL (normal : 0,8 – 1,4 mg/dL)

 Eritrosit 5,4 x 10^6 /µL (normal : 4,0 – 5,2)

 Leukosit 19,6 x 10^3 /µl (normal : 4,4 - 10,1)

 Trombosit 226 x 10^3 /µL(normal : 1,5 – 4,0)

 GFR (Glomerular Filtration Rate) 67 mL /min (normal : 60 – 89)

 Glukosa 108 mg/dL (normal : 70 – 110 mg/dL)

 Hemoglobin 17,0 g/dL (normal : 12,0 – 16,0 g/dL)

 Kalium 4,67 mmol/L (normal : 3,5 – 5,3 mmol/L)

 Natrium 135 mmol/ L (normal : 135 - 145 mmol/L)

 LDH (Lactate Dehidrogenase) 169 U /L (normal : 110- 210 U/L)

 Neutrofil 90% (normal : 50% – 70%)

 Monosit 6% (normal : 4% - 11%)

 Limfosit 4% (normal : 16% - 46%)

 Eosinofil 0% (normal : 0% - 8%)

 Hematokrit 48,4% (normal : 42% - 52%)


(57)

36 Tanggal 12.01.2015 :

 Status urin 0 mg/dL (normal : 0,5 – 1,2 mg/dL)

 Status urin eritrosit 50 /µL (normal : <25)

 Warna urin kecoklatan

Tabel VII. Profil Penggunaan Antibiotika dan Obat Lain Pada Kasus 3 Nama

Antibiotika

Dosis Antibiotika

Aturan Pemakaian

Lama Pemberian

Jalur Pemberian

Metronidazol 400 mg 2x1 sehari 9 hari Oral

Nama Obat Dosis Obat Aturan Pemakaian

Lama Pemberian

Jalur Pemberian

ASS 100 mg 1x sehari 6 hari Oral

Simvahexal 30 mg 1x sehari 6 hari Oral

Bisoprolol 5 mg 1/2 dalam 2x sehari 6 hari Oral


(58)

37

Tabel VIII. Analisis Antibiotika Pada Kasus 3 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens

Antibiotika :

Metronidazol 400 mg

Kategori Gyssens Hasil Assesment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori) Kategori VI Lolos Kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap)

Assessment : Data rekam medis lengkap

Kategori V

Lolos Kategori V (Ada indikasi infeksi bakteri)

Assessment : Adanya indikasi penyakit akibat infeksi bakteri yaitu pada keracunan makanan terdapat clostridium enteritis positif disebabkan oleh clostridium perfringens (Bacilli gram positif) yang menyebabkan infeksi pada usus. Selain itu juga didukung dengan nilai leukosit 19,6 x 10^3 / µl (normal : 4,4-10,1), nilai limfosit 4% (normal : 25-40), nilai neutrofil 90% (normal : 50-70), nilai CRP (Protein C-reaktif) 2,02 mg / dL (normal : < 0,50), nilai GFR/CKD-EPI 67 mL / min (normal : 90-120) yang berada di luar batas normal, warna urin kecoklatan (Kaldhusdal & Lovland, 2002 and Wells et al, 2015).

Kategori IV A

Lolos Kategori IV A (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif)

Assessment : Tidak ada antibiotika yang lebih efektif, antibiotika lini pertama untuk Clostridium enteritis positif yaitu Metronidazol 400 mg bentuk oral yang efektif untuk spesies Clostridium (Hopkins, 2015 and Wells et al, 2015).

Kategori IV B

Lolos Kategori IVB (Tidak ada antibiotika yang lebih aman)

Assessment : Antibiotika ini cukup aman digunakan karena tidak ada kontraindikasi dengan kondisi fisiologis pasien seperti hipersensitivitas terhadap metronidazol dan derivatif nitroimidazol serta tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan kecuali dengan alkohol, busulfan, kolkisin, eplerenon dan antagonis vitamin K (Lacy et al, 2011).


(59)

38 Kategori IVC

Lolos Kategori IVC (Tidak ada antibiotika yang lebih murah)

Assessment : Harga antibiotika metronidazol 400 mg merek Metrolet Perusahaan Harsen adalah Rp 576,00 dibandingkan antibiotika metronidazol merek Trichodazol Perusahaan Sanbe adalah Rp 1.008,00 (MIMS, 2015).

Kategori IVD

Lolos Kategori IVD (Tidak ada antibiotika yang lebih spesifik)

Assessment : Tidak dilakukan kultur bakteri sehingga tidak diketahui jenis bakteri penginfeksi pasien pada awal diagnosa, sehingga pemberian antibiotika secara empiris. Antibiotika metronidazol 400 mg secara oral adalah turunan nitroimidazol yang berspektrum luas sehingga tepat untuk pengobatan keracunan makanan yang terdapat clostridium enteritis positif disebabkan oleh clostridium perfringens (Kaldhusdal & Lovland, 2002 and Wells et al, 2015).

Kategori IIIA

Tidak Lolos Kategori IIIA (Penggunaan antibiotika terlalu lama)

Assessment : Penggunaan antibiotika metronidazol 400 mg secara oral terlalu lama, waktu yang dianjurkan adalah 4-7 hari. Hal ini tidak sesuai penggunaan antibiotika metronidazol 400 mg secara oral dalam pengobatan keracunan makanan yang terdapat clostridium enteritis positif disebabkan oleh clostridium perfringens pada pasien adalah 9 hari (Lacy et al, 2011).


(1)

139

Tabel LVII. Analisis Antibiotika Pada Kasus 23 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens

Antibiotika :

1. Ampicillin - Sulbactam 1 g

Kategori Gyssens Hasil Assesment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori)

Kategori VI

Lolos Kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap) Assessment : Data rekam medis lengkap.

Kategori V

Lolos Kategori V (Ada indikasi infeksi bakteri)

Assessment : Ada indikasi infeksi bakteri pada pasien ini adalah menderita COPD yang merupakan penyakit paru obstruktif kronis yang disebabkan bakteri gram negatif dan gram positif dengan komplikasi gejala eksaserbasi uncomplicated (Wells et al, 2015).

Kategori IV A

Lolos Kategori IV A (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif)

Assessment : Tidak ada antibiotika yang lebih efektif, antibiotika lini pertama untuk mengatasi eksaserbasi uncomplicated pada COPD (penyakit paru obstruktif kronis) adalah ampicillin - sulbactam (Wells et al, 2015).

Kategori IV B

Lolos Kategori IV B (Tidak ada antibiotika yang lebih aman)

Assessment : Antibiotika ini cukup aman digunakan karena tidak ada kontraindikasi dengan kondisi fisiologis pasien kecuali hipersensitivitas terhadap penisillin dan tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan kecuali dengan probenecid, allopurinol dan methotrexate (Lacy et al, 2011).

Kategori IV C

Lolos Kategori IV C (Tidak ada antibiotika yang lebih murah)

Assessment : Harga antibiotika ampicillin-sulbactam 1 g (vial) merek Viccillin-SX Perusahaan Meiji adalah Rp 5,466,00 lebih murah dibandingkan ampicillin-sulbactam 1 g (vial) merek Cinam Perusahaan Mahakam Sanbe adalah Rp 74,266,00 (MIMS, 2015).


(2)

140 Kategori IV D

Lolos Kategori IV D (Tidak ada antibiotika yang lebih spesifik)

Assessment : Tidak dilakukan kultur bakteri sehingga tidak diketahui jenis bakteri penginfeksi pasien pada awal diagnosa. Tetapi antibiotika ampicillin-sulbactam 1 g bentuk injeksi yang merupakan golongan penisillin yang bersifar bakterid dan berspektrum sempit digunakan untuk mengatasi gejala eksaserbasi uncomplicated pada COPD (Wells et al, 2015)

Kategori III A

Lolos Kategori III A (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama)

Assessment : Penggunaan antibiotika ampicillin-sulbactam 1 g secara intravena tidak terlalu lama, waktu yang dianjurkan 5-10 hari sedangkan penggunaan antibiotika ampicillin-sulbactam 1 g secara intravena dalam mengatasi gejala eksaserbasi uncomplicated pada COPD diberikan selama 6 hari (Lacy et al, 2011).

Kategori III B

Lolos Kategori III A (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama)

Assessment : Penggunaan antibiotika ampicillin-sulbactam 1 g secara intravena tidak terlalu singkat, waktu yang dianjurkan 5-10 hari sedangkan penggunaan antibiotika ampicillin-sulbactam 1 g secara intravena dalam mengatasi gejala eksaserbasi uncomplicated pada COPD diberikan selama 6 hari (Lacy et al, 2011).

Kategori II A

Lolos Kategori II A (Penggunaan antibiotika tepat dosis) Assessment : pasien diberikan antibiotika ampicillin-sulbactam secara intravena dengan dosis 1 gram selama 6 hari. Hal ini sesuai dengan dosis terapi ampicillin-sulbactam untuk dalam mengatasi gejala eksaserbasi uncomplicated pada COPD yaitu 1 gram selama 5-10 hari (Lacy et al, 2011).

Kategori II B

Lolos Kategori II B (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian)

Assessment : pasien diberikan antibiotika ampicillin-sulbactam 1 g secara intravena dengan interval pemberian setiap 8 jam dalam 3x1 gram selama 6 hari. Hal ini tidak sesuai dengan interval pemberian dalam terapi ampicillin-sulbactam 1 g untuk mengatasi gejala eksaserbasi uncomplicated pada COPD yaitu setiap 8 jam dalam 3x1 gram selama 5-10 hari (Lacy et al, 2011).


(3)

141 Kategori I

Lolos Kategori I (Waktu pemberian antibiotika tepat) Assessment : Pasien diberikan antibiotika ampicillin-sulbactam 1 g secara oral dengan waktu pemberian 3x sehari selama 6 hari. Hal ini sesuai dengan waktu pemberian dalam terapi antibiotika ampicillin sulbactam 1 g dalam mengatasi gejala eksaserbasi uncomplicated pada COPD adalah 3x sehari selama 5-10 hari (Lacy et al, 2011).


(4)

142

Tabel LVIII. Analisis Antibiotika Pada Kasus 23 Berdasarkan Diagram Alir Gyssens

Antibiotika :

2. Doxycylin 100 mg Kategori

Gyssens Hasil Assesment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori) Kategori VI

Lolos Kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap) Assessment : Data rekam medis lengkap

Kategori V

Lolos Kategori V (Ada indikasi infeksi bakteri)

Assessment : Ada indikasi infeksi bakteri pada pasien yang menderita COPD yang merupakan penyakit paru obstruktif kronis yang disebabkan bakteri gram negatif maupun gram positif dengan komplikasi eksaserbasi dan penyakit ventilator associated pneumonia yang ada indikasi infeksi bakteri (diduga adanya bacilli gram negatif yang lain) (Wells et al., 2015).

Kategori IV A

Lolos Kategori IV A (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif)

Assessment : Tidak ada antibiotika yang lebih efektif, antibiotika lini pertama untuk pengobatan penyakit COPD dan ventilator associated pneumonia menggunakan doxycyclin 100 mg secara oral sudah tepat (Hopkin, 2015 and Wells et al, 2015).

Kategori IV B

Lolos Kategori IV B (Tidak ada antibiotika yang lebih aman)

Assessment : Antibiotika ini cukup aman digunakan karena tidak ada kontraindikasi dengan kondisi fisiologis pasien kecuali hipersensitivitas terhadap tetrasiklin dan tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan kecuali dengan etanol, agen neuromuskular-blocking dan vitamin K antagonis (Lacy et al, 2011).

Kategori IV C

Lolos Kategori IV C (Tidak ada antibiotika yang lebih murah)

Assessment : Harga antibiotika doxycylin 100 mg merek Dohixat Perusahaan Ifars adalah Rp 759,00 lebih murah dibandingkan doxycylin 100 mg merek Siclidon Perusahaan Sanbe adalah Rp 4.075,00 (MIMS, 2015).


(5)

143 Kategori IV D

Lolos Kategori IV D (Tidak ada antibiotika yang lebih spesifik)

Assessment : Dilakukan kultur darah pada bakteri tetapi hasilnya negatif, maka pemberian antibiotika secara empiris. Pemberian antibiotika doxycylin 100 mg secara oral merupakan golongan tetrasiklin yang berspektrum luas tepat digunakan untuk pengobatan COPD dan ventilator associated pneumonia yang kemungkinan sebagian besar disebabkan bakteri gram negatif tetapi gram positif juga bisa (Wells et al, 2015).

Kategori III A

Lolos Kategori III A (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama)

Assessment : Penggunaan antibiotika doxycylin 100 mg secara oral tidak terlalu lama, waktu yang dianjurkan 14 hari sedangkan penggunaan antibiotika doxycylin 100 mg secara oral pada pasien yang menderita COPD dan ventilator associated pneumonia diberikan selama 4 hari (Lacy et al, 2011).

Kategori III B

Tidak Lolos Kategori III B (Penggunaan antibiotika terlalu singkat)

Assessment : Penggunaan antibiotika doxycylin 100 mg secara oral terlalu singkat, waktu yang dianjurkan 14 hari sedangkan penggunaan antibiotika doxycylin 100 mg secara oral pada pasien yang menderita COPD dan ventilator associated pneumonia diberikan selama 4 hari (Lacy et al, 2011).


(6)

144

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi yang berjudul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien ICU yang Dirawat di RSH Jerman Periode Januari - September 2015” memiliki nama lengkap Sonia Sara Santya. Dilahirkan di Surakarta pada tanggal 26 November 1994 dari pasangan Bapak Anin dan Ibu Tutiek Wijayanti. Penulis telah menyelesaikan pendidikan SD Kristen Widya Wacana Jamsaren Surakarta pada tahun 2007, lalu melanjutkan pendidikan di SMP Kristen Kalam Kudus Surakarta pada tahun 2010. Penulis menempuh Sekolah Menengah Atas di SMA Kristen Kalam Kudus Surakarta pada tahun 2010 hingga 2013. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma pada tahun 2013 hingga 2017. Selama menjadi mahasiswa di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, penulis cukup aktif dalam kegiatan kemahasiswaan dan kepanitia di Universitas Sanata Dharma antara lain: Panitia Divisi Acara dalam Pharmacy USD Badminton Cup 2014, Panitia Divisi Medis dalam acara Festival Sanata Dharma 2015, dan Panitia Divisi Among Tamu dalam acara Sidang Terbuka Pengambilan Lafal Sumpah Apoteker tahun 2016. Penulis juga aktif dalam keanggotaan UKF Badminton Periode 2015/2016.