Evaluasi peresepan antibiotika dengan metode gyssens pada pasien leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Januari-Mei 2015.

(1)

INTISARI

Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira interrogans. Antibiotika berguna dalam menyembuhkan penyakit infeksi, termasuk leptospirosis. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi peresepan antibiotika pada pasien leptospirosis dengan pendekatan kualitatif di salah satu rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul. Penelitian ini adalah penelitian observasional deskriptif dengan menggunakan data retrospektif. Metode Gyssens digunakan untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotika pada pasien leptospirosis pada periode Januari-Mei 2015. Metode Gyssens merupakan suatu diagram alir yang memuat indikator-indikator yang digunakan untuk menentukan ketepatan peresepan antibiotika.

Diperoleh hasil dari 57 peresepan bahwa pasien terbanyak adalah laki-laki dan berasal dari kelompok usia dewasa akhir dengan seftriakson sebagai antibiotika yang paling banyak diresepkan. Penelitian ini menunjukkan hasil untuk peresepan antibiotika yang masuk dalam kategori IIA sebanyak 5 peresepan, kategori IIIA 8 peresepan, kategori IIIB 6 peresepan dan kategori IVA 38 peresepan. Adanya penggunaan antibiotika yang kurang tepat menyebabkan perlunya pengawasan untuk meningkatkan ketetapan peresepan antibiotika.

Kata kunci : antibiotika, leptospirosis, Gyssens


(2)

ABSTRACT

Leptospirosis is a desease which is caused by bacteria leptospira interrogans. Antibiotic is useful in curing infection desease, including leptospirosis. This case was the concern of the research, which was to evaluate the prescription of antibiotic to leptospirosis patients using qualitative approach in one of the regional hospitals in The Special Region on Yogyakarta (DIY)

The reseach was done in RSUD (Regional Hospital) Panembahan Senopati Bantul. This research was a descriptive research with case series design and using retrospective data. Gyssens method was used to evaluate the precision of antibiotic use to leptospirosis patients in the period of January - May 2015. Gyssens Method is a flow chart which have some indicators used to decide the precision of antibiotic prescription.

It was found from the 57 prescribings that the most patients were males and adult. They were mostly prescribed seftriakson as the antibiotic. The result from the research that was considered antibiotic prescription were as follows: 5 prescribings was in IIA category, 8 prescribings was in IIIA category, 6 prescribings was in IIIB category and 38 prescribings was in IVA category. The finding of the inappropriate antibiotic use was thought to be a necessity to give a control. The control is meant to increase the precision of antibiotic prescription.

Keywords : antibiotic, leptospirosis, Gyssens


(3)

EVALUASI PERESEPAN ANTIBIOTIKA DENGAN METODE GYSSENS PADA PASIEN LEPTOSPIROSIS DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI

BANTUL PERIODE JANUARI-MEI 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh: Cresentia Claresta Kasamira

NIM: 128114021

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2016


(4)

ii

EVALUASI PERESEPAN ANTIBIOTIKA DENGAN METODE GYSSENS PADA PASIEN LEPTOSPIROSIS DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI

BANTUL PERIODE JANUARI-MEI 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh: Cresentia Claresta Kasamira

NIM: 128114021

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2016


(5)

iii


(6)

iv


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk : Tuhan Yesus dan Bunda Maria

Keluarga Sahabat

Serta Almamater Universitas Sanata Dharma


(8)

vi


(9)

vii PRAKATA

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Peresepan antibiotika dengan Metode Gyssens pada Pasien Leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Januari-Mei 2015” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) program studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung baik secara moral, materiil maupun spiritual. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya selama ini.

2. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt, PhD. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma sekaligus dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dukungan, waktu, saran, kritik dan pengarahan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

3. Witri Susila Astuti, S.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dukungan, waktu, saran, kritik dan pengarahan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.


(10)

viii

4. Kedua orang tua (Papa Frans dan Mama Dewi) atas doa, kasih sayang, semangat, pengertian dan dukungan hingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

5. Kakak dan adik penulis, Kristoforus Kharisma Janala dan Davin Janala yang telah memberikan dukungan hingga penulis bisa menyelesaikan penelitian ini.

6. Teman-teman seperjuangan, Dewi Anugrah Fitriyani, Christina Ari Listiyani dan Paulina Nugraheni A.P atas kebersamaannya selama proses penelitian dan dalam penyusunan skripsi dari awal hingga akhir.

7. Teman-teman “Konco Tipis” (Ave, Annie, Khaterin, Ella, Irest, Rina, Edo, Indra dan Michael) yang selalu memberikan dukungan dan hiburan.

8. Teman-teman “Aditara Angel” (Ira, Valent, Pho, Rury, Cyndi, Maria, Vicky, Suzan, Jessica) yang selalu memberikan dukungan dan semangat. 9. Tjan, Nikolas Ravenska Wibawa, sahabat sekaligus partner penulis yang

selalu memberikan dukungan, semangat, waktu dan bantuan untuk penulis. 10.Teman-teman FSM A 2012, FKK A 2012 dan seluruh angkatan 2012

untuk kebersamaannya selama ini.

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang turut serta membantu kelancaran penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan karya ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(11)

ix

semua pihak dan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian.

Yogyakarta, 23 November 2015

Penulis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(12)

x


(13)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI ... xvii

ABSTRACT ... xviii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan Masalah ... 2

2. Keaslian Penelitian ... 3

3. Manfaat Penelitian ... 4

B. Tujuan Penelitian ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Leptospirosis ... 6

1. Definisi, gejala dan tanda ... 6

2. Etiologi ... 7

3. Patologi dan patofisiologi ... 8

B. Antibiotika ... 9

1. Definisi antibiotika ... 9

2. Penggolongan antibiotika ... 10

a. Berdasarkan struktur kimia ... 10

b. Berdasarkan mekanisme kerja... 11

c. Berdasarkan aktivitas dan spektrum antibiotika ... 11

d. Berdasarkan pola farmakokinetika antibiotika... 12

C. Prinsip Peresepan antibiotika ... 13

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(14)

xii

D. Terapi Antibiotika untuk Leptospirosis ... 14

E. Evaluasi Peresepan Antibiotika Secara Kualitatif Menggunakan Kriteria Gyssens ... 15

F. Keterangan Empiris ... 17

BAB III. METODE PENELITIAN... 18

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 18

B. Variabel Penelitian ... 18

C. Definisi Operasional... 18

D. Bahan Penelitian... 20

E. Instrumen Penelitian... 20

F. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 21

G. Tata Cara Penelitian ... 22

1. Persiapan ... 22

2. Analisis situasi ... 22

3. Pengumpulan data ... 22

4. Analisis data ... 23

H. Tata Cara Analisis Hasil... 23

I. Keterbatasan Penelitian ... 28

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

A. Profil Pasien ... 29

B. Profil Peresepan Antibiotika ... 31

1. Golongan dan jenis antibiotika ... 31

2. Cara pemberian antibiotika ... 32

3. Durasi peresepan antibiotika ... 33

C. Evaluasi Peresepan antibiotika dengan Metode Gyssens... 34

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

A. Kesimpulan ... 42

B. Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 44

LAMPIRAN ... 47

BIOGRAFI PENULIS ... 222

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(15)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Penggolongan antibiotika berdasarkan struktur kimia ... 10 Tabel II. Kriteria Gyssens ... 15 Tabel III. Distribusi pengelompokan usia pasien leptospirosis

yang menerima antibiotika periode Januari-Mei 2015 di RSUD

Panembahan Senopati ... 31 Tabel IV. Profil Golongan dan Jenis Antibiotika pada Pasien

Leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode

Januari-Mei 2015 ... 32 Tabel V. Durasi Peresepan antibiotika pada Pasien Leptospirosis

di RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Januari-Mei 2015 ... 33 Tabel VI. Distribusi Hasil Evaluasi Peresepan Tiap Jenis Antibiotika Berdasarkan Metode Gyssens di RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Januari-Mei 2015 ... 36


(16)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram alir kualitas peresepan antibiotika berdasarkan

kriteria Gyssens ... 16 Gambar 2. Skema pemilihan bahan penelitian pasien leptospirosis

periode Januari-Mei 2015 di RSUD Panembahan Senopati Bantul ... 22 Gambar 3. Perbandingan jumlah pasien leptospirosis laki-laki dan

perempuan yang menerima antibiotika periode Januari-Mei

2015 di RSUD Panembahan Senopati Bantul. ... 30 Gambar 4. Cara Pemberian Antibitoika pada Pasien Leptospirosis

di RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Januari-Mei 2015 ... 33 Gambar 5. Distribusi Ketepatan Peresepan Antibiotika Berdasarkan Kategori Gyssens di Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul

Periode Januari-Mei 2015 ... 35

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(17)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Rekam Medis Kasus 1 ... 48

Lampiran 2. Rekam Medis Kasus 2. ... 53

Lampiran 3. Rekam Medis Kasus 3 ... 57

Lampiran 4. Rekam Medis Kasus 4 ... 61

Lampiran 5. Rekam Medis Kasus 5 ... 65

Lampiran 6. Rekam Medis Kasus 6 ... 70

Lampiran 7. Rekam Medis Kasus 7 ... 74

Lampiran 8. Rekam Medis Kasus 8 ... 78

Lampiran 9. Rekam Medis Kasus 9 ... 84

Lampiran 10. Rekam Medis Kasus 10 ... 90

Lampiran 11. Rekam Medis Kasus 11 ... 99

Lampiran 12. Rekam Medis Kasus 12 ... 105

Lampiran 13. Rekam Medis Kasus 13 ... 109

Lampiran 14. Rekam Medis Kasus 14 ... 115

Lampiran 15. Rekam Medis Kasus 15 ... 122

Lampiran 16. Rekam Medis Kasus 16 ... 128

Lampiran 17. Rekam Medis Kasus 17 ... 132

Lampiran 18. Rekam Medis Kasus 18 ... 137

Lampiran 19. Rekam Medis Kasus 19 ... 141

Lampiran 20. Rekam Medis Kasus 20 ... 146

Lampiran 21. Rekam Medis Kasus 21 ... 150

Lampiran 22. Rekam Medis Kasus 22 ... 161

Lampiran 23. Rekam Medis Kasus 23 ... 166

Lampiran 24. Rekam Medis Kasus 24 ... 172

Lampiran 25. Rekam Medis Kasus 25 ... 177

Lampiran 26. Rekam Medis Kasus 26 ... 181

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(18)

xvi

Lampiran 27. Rekam Medis Kasus 27 ... 185

Lampiran 28. Rekam Medis Kasus 28 ... 190

Lampiran 29. Rekam Medis Kasus 29 ... 194

Lampiran 30. Rekam Medis Kasus 30 ... 198

Lampiran 31. Rekam Medis Kasus 31 ... 204

Lampiran 32. Rekam Medis Kasus 32 ... 213

Lampiran 33. Surat Keterangan / Izin Penelitian Rumah Sakit ... 218

Lampiran 34. Surat Keterangan / Izin Penelitian Rumah Sakit ... 219

Lampiran 35. Surat Keterangan / Izin BAPPEDA ... 220

Lampiran 36. Surat Keterangan / Izin Sekretariat Daerah ... 221

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(19)

xvii INTISARI

Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira interrogans. Antibiotika berguna dalam menyembuhkan penyakit infeksi, termasuk leptospirosis. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi peresepan antibiotika pada pasien leptospirosis dengan pendekatan kualitatif di salah satu rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan rancangan case series. Bahan penelitian yang digunakan bersifat retrospektif. Metode Gyssens digunakan untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotika pada pasien leptospirosis pada periode Januari-Mei 2015. Metode Gyssens merupakan suatu diagram alir yang memuat indikator-indikator yang digunakan untuk menentukan ketepatan peresepan antibiotika.

Diperoleh hasil dari 57 peresepan bahwa pasien terbanyak adalah laki-laki dan berasal dari kelompok usia dewasa akhir dengan seftriakson sebagai antibiotika yang paling banyak diresepkan. Penelitian ini menunjukkan hasil untuk peresepan antibiotika yang masuk dalam kategori IIA sebanyak 5 peresepan, kategori IIIA 8 peresepan, kategori IIIB 6 peresepan dan kategori IVA 38 peresepan. Adanya penggunaan antibiotika yang kurang tepat menyebabkan perlunya pengawasan untuk meningkatkan ketetapan peresepan antibiotika.

Kata kunci : antibiotika, leptospirosis, Gyssens


(20)

xviii

ABSTRACT

Leptospirosis is a desease which is caused by bacteria leptospira interrogans. Antibiotic is useful in curing infection desease, including leptospirosis. This case was the concern of the research, which was to evaluate the prescription of antibiotic to leptospirosis patients using qualitative approach in one of the regional hospitals in The Special Region on Yogyakarta (DIY)

The reseach was done in RSUD (Regional Hospital) Panembahan Senopati Bantul. This research was a descriptive research with case series design and using retrospective data. Gyssens method was used to evaluate the precision of antibiotic use to leptospirosis patients in the period of January - May 2015. Gyssens Method is a flow chart which have some indicators used to decide the precision of antibiotic prescription.

It was found from the 57 prescribings that the most patients were males and adult. They were mostly prescribed seftriakson as the antibiotic. The result from the research that was considered antibiotic prescription were as follows: 5 prescribings was in IIA category, 8 prescribings was in IIIA category, 6 prescribings was in IIIB category and 38 prescribings was in IVA category. The finding of the inappropriate antibiotic use was thought to be a necessity to give a control. The control is meant to increase the precision of antibiotic prescription. Keywords: antibiotic, leptospirosis, Gyssens


(21)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira interrogans yang bersumber dari tikus. Leptospirosis yang bersifat patogen terhadap manusia dan hewan menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara yang beriklim tropis yang memiliki curah hujan tinggi (Febrian, 2013).

Indonesia merupakan negara ketiga dengan nilai mortalitas tertinggi di dunia setelah China dan India. Secara umum, angka kematian akibat leptospirosis mencapai 2,5-16,5 persen pertahun, dan mencapai 56,0 persen pada usia lebih dari 50 tahun dari total angka kematian akibat leptospirosis. Di Indonesia, leptospirosis tersebar di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 2011 terjadi peningkatan prevalensi leptospirosis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang disebabkan karena terjadinya KLB di Kabupaten Bantul (DirjenPPPL, 2013).

Berdasarkan data 10 besar penyakit di RSUD Panembahan Senopati Bantul tahun 2014, terdapat 4 penyakit infeksi yang termasuk 10 besar penyakit yang ditangani di RSUD Panembahan Senopati Bantul, salah satunya adalah leptospirosis dengan jumlah sebesar 94 kasus.

Antibiotika berguna dalam menyembuhkan penyakit infeksi, termasuk penyakit leptospirosis. Dalam pelaksanaannya, peresepan antibiotika sering kali


(22)

2

kurang optimal terlebih di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini berdasarkan penelitian tim Antimicrobial Resistent in Indonesia (AMRIN) di dua rumah sakit pendidikan di Indonesia dengan hasil peresepan yang tergolong tepat hanya sebesar 21%.

Berdasarkan penelusuran pustaka, penelitian mengenai evaluasi peresepan peresepan antibiotika pada pasien leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul belum pernah dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan studi retrospektif yaitu dengan melihat data yang sudah ada dan kemudian dilakukan evaluasi terhadap data tersebut serta menggunakan metode Gyssens yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi peresepan antibiotika pada pasien leptospirosis seperti ketepatan indikasi, pemilihan berdasarkan efektifitas, spektrum, durasi pemakaian, toksisitas, dosis, interval, harga, cara dan waktu pemberian.

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi informasi terkait ketepatan peresepan antibiotika yang diterima oleh pasien leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul serta dapat digunakan khususnya oleh dokter, apoteker dan perawat dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terkait peresepan antibiotika.

1. Rumusan masalah

Beberapa permasalahan yang memerlukan jawaban sehubungan dengan penelitian ini adalah :


(23)

3

a. Seperti apakah profil pasien dengan penyakit leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul?

b. Seperti apakah profil peresepan antibiotika pada pasien leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul?

c. Seperti apakah ketepatan peresepan antibiotika pada pasien leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul yang dievaluasi dengan metode Gyssens?

2. Keaslian penelitian

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan evaluasi ketepatan peresepan antibiotika pada pasien dengan leptospirosis yang pernah dilakukan antara lain :

a. Evaluasi Penggunaan Kriteria Diagnosis Leptospirosis (WHO SEARO 2009) pada Pasien Leptospirosis di RSUP dr Kariadi Semarang yang dilakukan oleh Andani (2014). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kriteria diagnosis leptospirosis WHO SEARO 2009 memudahkan klinisi untuk menegakkan diagnosis leptospirosis pada kasus demam akut yang teridentifikasi berdasarkan gambaran klinis, riwayat terpejan, dan hasil laboratorium.

b. Kondisi Lingkungan Pemukiman yang Tidak Sehat Berisiko Terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kota Semarang) yang dilakukan oleh Ramadhani dan Yunianto (2010) dengan hasil yang menunjukkan bahwa lingkungan pemukiman berupa rumah tidak sehat dan keberadaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(24)

4

tikus di dalam dan sekitar lingkungan secara statistik berhubungan dengan kejadian leptospirosis.

c. Kajian Literatur Rasionalitas Peresepan Antibiotika Berdasarkan Kriteria Gyssens pada Pasien Pediatrik Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Juli 2013 yang dilakukan oleh Prabawa (2014) dengan hasil yang menunjukkan bahwa 52% penggunaan antibiotika secara rasional dengan sefotaksim sebagai antibiotika yang paling banyak digunakan.

d. Kajian Literatur Rasionalitas Peresepan Antibiotika Berdasarkan Kriteria Gyssens pada Pasien Pediatrik Rawat Inap Puskesmas Mlati II Kabupaten Sleman Periode Januari - Juli 2013 yang dilakukan oleh Dewi (2014) dengan hasil yang menunjukkan bahwa 63,9% penggunaan antibiotika secara rasional dengan kotrimoksazol sebagai antibiotika yang paling banyak digunakan.

Sejauh penelusuran yang peneliti lakukan, penelitian mengenai evaluasi peresepan antibiotika pada pasien dengan leptospirosis belum pernah dilakukan sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada subyek yang diteliti, tempat penelitian, dan waktu pelaksanaan. Persamaan dengan penelitian terdahulu terletak pada topik dan metode penelitianyaitu leptospirosis dan metode Gyssens.

3. Manfaat penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat yaitu : a. Manfaat teoritis


(25)

5

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi dan sumber pembelajaran mengenai evaluasi ketepatan peresepan antibiotika pada pasien dengan leptospirosis.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi RSUD Panembahan Senopati Bantul untuk meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya pada pasien dengan leptospirosis.

B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Tujuan umum

Mengevaluasi peresepan antibiotika pada pengobatan pasien leptospirosis. 2. Tujuan khusus

a. Mendeskripsikan profil pasien dengan penyakit leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

b. Mendeskripsikan profil peresepan antibiotika pada pasien dengan leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

c. Mengevaluasi ketepatan peresepan antibiotika pasa pasien dengan leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul dengan metode Gyssens berdasarkan literatur yaitu Kemenkes (2011), Nasronudin dkk (2007), Departemen Kesehatan RI (2014), Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010), WHO (2003) dan berbagai jurnal terkait.


(26)

6 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Leptospirosis 1. Definisi, gejala dan tanda

Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri gram negatif berbentuk spiral yaitu Leptospira interrogans yang terbawa dalam urine tikus. Penyakit ini juga dikenal dengan nama penyakit Weil, atau istilah yang marak beredar di masyarakat awam adalah penyakit “kencing tikus” (Lestariningsih, 2002).

Gejala leptospirosis berkembang dalam 2-30 hari setelah paparan bakteri. Manifestasi klinis leptospirosis terdiri dari 3 fase, yaitu fase leptospiremia, fase imun dan fase penyembuhan. Fase leptospiremia berlangsung 4-9 hari dan berakhir dengan menghilangnya gejala klinis untuk sementara. Fase leptospiremia ditandai dengan demam yang mendadak dan tinggi sampai menggigil yang disertai dengan sakit kepala, nyeri otot, hiperaestesia pada kulit, mual muntal, ikterus, diare, serta bradikardi relatif. Fase kedua yaitu fase imun yang ditandai dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga manifestasi klinis bervariasi dari demam, gangguan fungsi ginjal, hati, serta gangguan hemostatis dengan manifestasi pendarahan spontan. Fase ketiga yaitu fase penyembuhan yang terjadi pada minggu ke 2-4 dengan patogenesis yang sering ditemukan demam dengan atau tanpa muntah, nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk,


(27)

7

hepatomegali, pendarahan dan menggigil serta splenomegali ( Forbes et al, 2012; Widarso et al., dan Lestariningsih 2002).

2. Etiologi

Leptospirosis disebabkan oleh bakteri genus Leptospira, famili Leptospiraceae, ordo Spirochaetales. Leptospira terdiri dari Leptospira interrogans yang patogen dan Leptospira biflexa yang non patogen. Leptospira merupakan spirochaeta yang motil dengan lebar 0,1µm, panjang 6-20µm dan memiliki hooked pada bagian ujung tubuhnya (Nasronudin, 2007; Speelman, 1998).

Terdapat tiga tipe epidemiologi leptospirosis. Pertama, terjadi pada musim tertentu, dimana transmisi melalui kontak langsung dengan binatang yang terinfeksi. Kedua, terutama pada daerah tropis yang lembab. Pada tipe ini, paparan pada manusia tidak terbatas hanya oleh pekerjaan tetapi lebih sering akibat kontaminasi lingkungan, terutama pada musim hujan. Ketiga, transmisi terjadi melalui rodentborne infection di daerah perkotaan. Sering terjadi di daerah yang mengalami kerusakan, misalnya dampak perang atau bencana alam (Depkes, 2003; Kusmiyati, 2005; Levett, 2001).

Faktor risiko penyakit leptospirosis diantaranya terdapat faktor pekerjaan, faktor perilaku manusia, serta faktor lingkungan yang meliputi lingkungan fisik berupa karakteristik genangan air, sampah, curah hujan, kelembaban udara, jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah, lingkungan biologik berupa vegetasi,


(28)

8

lingkungan kimia berupa pH tanah dan air, serta keberadaan populasi tikus (Depkes, 2003; Rejeki, 2005; Sabroza, 2001; Widarso, 2008).

3. Patologi dan Patofisiologi

Mekanisme patologis pada leptospirosis dapat terjadi akibat efek toksik langsung dari Leptospira, maupun tidak langsung melalui kompleks imun. Leptopira masuk tubuh individu melalui kulit, mukosa yang tidak intak termasuk konjungtiva.

Pada fase septik, patofisiologi leptospirosis diakibatkan oleh efek toksik langsung dari lipopolisakarida (endotoksin) pada dinding sel. Pada permukaan membran luar terdapat komponen lipid A yang memiliki efek toksik bila membran mengalami lisis karena aktivitas komplemen, fagositosis maupun dampak dari pemberian antibiotika. Lipid A mengekspresi sel host untuk memproduksi protein bioaktif termasuk sitokin. Peptidoglikan dari dinding sel Leptospira interrogans menginduksi sekresi TNF-α dari monosit yang menimbulkan respon inflamasi lokal maupun sistemik sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan kapiler dan lesi sistemik pada setiap organ terjadi vaskulitis yang menyeluruh.

Peristiwa kedua adalah aktivasi komplemen. Komplemen C5a berperan menginduksi dan sekresi enzim lisosom yang merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran.

Peristiwa ketiga adalah peran dalam aktivasi kaskade koagulasi. Gangguan pada kaskade koagulasi menyebabkan konsumsi fibrinogen dan trombosit yang


(29)

9

abnormal sehingga mengakibatkan insufisiensi komponen pembekuan dan terjadi manifestasi perdarahan pada berbagai organ.

Pada fase imun, respon imun diawali sewaktu sel B atau sel T berikatan dengan lipoprotein pada membran luar Leptospira yang diidentifikasi sebagai benda asing. Karena dianggap asing maka lipoprotein menstimulasi sel T dan B menjadi aktif lalu terjadi multiplikasi dan berdiferensiasi lebih lanjut.

Respon sel B terhadap lipoprotein pada protein membran luar Leptospira potensial memicu peradangan. Sel plasma yang terdapat di dalam sirkulasi, limpa, segera merespons terhadap lipoprotein Leptospira tersebut dengan menghasilkan antibodi atau imunoglobulin yang kemudian berikatan dengan antigen tersebut sehingga terbentuk kompleks antigen-antibodi.

B. Antibiotika 1. Definisi antibiotika

Antibiotika adalah zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri dan fungi) yang mempunyai kemampuan dalam menghambat dan atau menghentikan suatu proses biokimia mikroorganisme lain. Selain secara mikrobiologi, pembuatan antibiotika dapat dilakukan secara sintesis dan semisintesis. (Tan & Raharja, 2007).

Antibiotika memiliki sifat toksisitas selektif yang artinya bersifat sangat toksik terhadap mikroba tetapi relatif tidak toksis terhadap hospes. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, antibiotika memiliki dua aktivitas yaitu bakterisid dan


(30)

10

bakteriostatik. Bakteriostatik bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, sedangkan bakterisid bersifat membunuh mikroba (Katzung, 2006)

2. Penggolongan Antibiotika a. Berdasarkan struktur kimia

Berdasarkan struktur kimianya, antibiotika digolongkan menjadi (Kasper et al., 2005) :

Tabel I. Penggolongan antibiotika berdasarkan struktur kimia Golongan Jenis Antibiotika

β-laktam penisilin, sefalosporin, karbapenem, dan β-laktam monosiklik

Glikopeptida vankomisin, teikoplanin, dekaplanin dan ramoplanin Aminoglikosida paromisin, gentamisin, kanamisin, neomisin, dan

tobramisin, amikasin

Poliketida makrolida (eritromisin, klaritromisin, roksitomisin, azitromisin), ketolida (telitromisin), tetrasiklin (doksisiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin)

Polimiksin polimiksin dan kolistin

Kuinolon asam nalidiksat, ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin

Steptogramin pristinamicin, virginiamicin, mikamicin, dan kinupristin-dalfopristin

Oksazolidinon linezolid

Sulfonamida sulfamethoxazole-trimethoprim dan trimetoprim Antibiotika lain kloramfenikol, klindamisin dan asam fusidat

b. Berdasarkan mekanisme kerja

1) Inhibisi sintesis protein bakteri. Sel dari bakteri akan mensintesis berbagai macam protein yang berada di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Penghambatan ini terjadi melalui interaksi antara ribosom dengan bakteri, antibiotika yang termasuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(31)

11

kelompok ini adalah aminoglikosida, makrolida, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Selain aminoglikosida, pada umumnya obat ini bersifat bakteriostatik.

2) Inhibisi dinding sel bakteri. Antibiotika golongan ini dapat mengakibatkan lisis sel pada bakteri. Antibiotika yang termasuk golongan ini adalah sefalosporin, penisilin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin yang bersifat bakterisidal.

3) Inhibisi metabolisme bakteri. Antibiotik golongan ini mempengaruhi sintesis asam folat yang dibutuhkan bakteri untuk proses sintesis DNA dan RNA. Antibiotika yang termasuk dalam golongan ini adalah sulfonamida dan trimetprim.

4) Antibiotika yang mempengaruhi permeabilitas membran sel bakteri. Antibiotika yang termasuk golongan ini adalah polimiksin.

(Kasper et al., 2005; Setiabudy, 2007)

c. Berdasarkan aktivitas dan spektrum antibiotika

Berdasarkan spektrum kerjanya, antibiotika dibagi menjadi dua yaitu berspektrum sempit dan luas (Tan dan Rahardja, 2007)

1) Antibiotika spektrum sempit

Antibiotika berspektrum sempit umumnya sangat efektif untuk beberapa jenis bakteri saja, misalnya penisilin dan eritromisin yang digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif. Streptomisin dan gentamisin aktif untuk melawan bakteri gram negatif.


(32)

12

2) Antibiotika spektrum luas

Antibiotika berspektrum luas efektif untuk infeksi yang ditimbulkan oleh bakteri gram positif maupun gram negatif atau yang belum diketahui pasti penyebab infeksinya. Contohnya tetrasiklin dan sefalosporin.

d. Berdasarkan pola farmakokinetika antibiotika

Berdasarkan pola farmakokinetika antibiotika terhadap bakteri, antibiotika dibagi menjadi dua yaitu :

1) Time dependent killing

Pada pola time dependent killing antibiotika akan menghasilkan daya bunuh maksimal jika kadarnya dipertahankan cukup lama di atas kadar hambat minimum bakteri. Beberapa contoh antibiotika yang masuk dalam pola ini diantaranya golongan sefalosporin, penisilin, linezoid dan eritromisin (Gunawan, 2012).

2) Concentration dependent killing

Pada pola concentration dependent killing antibiotika akan menghasilkan daya bunuh maksimal terhadap bakteri apabila kadarnya dipertahankan tetap tinggi, tetapi dengan catatan kadar yang tinggi ini tidak perlu dipertahankan terlalu lama. Contoh antibiotika yang masuk dalam pola ini adalah golongan aminoglikosida, fluorokuinolon dan ketolid (Gunawan, 2012).


(33)

13

C. Prinsip Penggunaan Antibiotika

Menurut Kemenkes (2011), penggunaan antibiotika dapat dibedakan menjadi 3 yaitu penggunaan antibiotika secara empiris, definitif dam profilaksis. 1. Terapi empiris

Terapi empiris merupakan terapi penggunaan antibiotika yang belum diketahui jenis penyebab infeks. Terapi ini bertujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Lama terapi ini berkisar antara 48-72 jam, selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien.

2. Terapi definitif

Terapi definitif merupakan terapi penggunaan antibiotika pada kasus yang telah diketahaui jenis bakteri penginfeksinya. Tujuan terapi ini adalah menghambat pertumbuhan bakteri penyebab infeksi berdasarkan uji mikrobiologi.

3. Terapi profilaksis

Terapi profilaksis adalah penggunaa antibiotika yang bertujuan untuk mencegah timbulnya infeksi, biasanya diberikan pada operasi pembedahan.

D. Terapi Antibiotika untuk Leptospirosis

Menurut WHO (2003), leptospirosis berat dapat ditangani dengan pemberian injeksi intravena dosis tinggi penisilin, sedangkan untuk yang lebih ringan dapat diberikan antibiotik oral seperti amoksisilin, ampisilin, doksisiklin


(34)

14

dan eritromisin. Golongan sefalosporin generasi tiga seperti seftriakson dan sefotaksim serta golongan kuinolon juga menunjukkan hasil yang efektif dalam pengatasan leptospirosis.

Hampir sama dengan anjuran terapi yang diberikan oleh WHO, terapi leptospirosis menurut Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010) dapat dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu : a. Leptospirosis ringan

Pada kategori leptospirosis ringan, pilihan antibiotik yang menjadi lini pertama adalah doksisiklin dengan dosis 100mg, 2 kali sehari secara peroral selama 7 hari. Pilihan antibiotik alternatifnya adalah amoksisilin dan azithromycin dengan dosis 500mg setiap 6 jam atau 1 gram setiap 8 jam secara peroral selama 7 hari dan 1 gram dosis awal lalu dilanjutkan dengan 500mg secara peroral selama 2 hari.

b. Leptospirosis sedang sampai berat :

Pada kategori leptospirosis sedang sampai berat, pilihan antibiotik yang menjadi lini pertama adalah penisilin G dengan dosis 1,5 juta unit setiap 6-8 jam selama 7 hari. Pilihan antibiotik alternatifnya adalah ampisilin, azithromycin, seftriakson dan sefotaksim dengan dosis ampisilin sebesar 0,5-1 gram tiap 6 jam selama 7 hari, azitromycin sebesar 500 mg selama 5 hari, seftriakson sebesar 1 gram tiap 24 jam selama 7 hari dan sefotaksim sebesar 1 gram tiap 6jam selama 7 hari.

Di Indonesia berdasarkan Departemen Kesehatan RI (2014), terapi antibiotik untuk leptospirosis ringan dapat diberikan doksisikllin, ampisilin,


(35)

15

amoksisilin atau eritromisin, sedangkan pada kasus leptospirosis berat dapat diberikan dosis tinggi penisilin injeksi.

E. Evaluasi Peresepan Antibiotika Secara Kualitatif Menggunakan Kriteria

Gyssens

Kriteria Gyssens merupakan suatu kriteria yang proses penilaiannya berbentuk diagram alir berdasarkan hasil adaptasi dari metode Kunir et al. Dalam proses penilaiannya diagram alir Gyssens merupaan alat yang penting dalam proses penilaian kualitas peresepan antibotika (Van Der Meer, 2000). Penilaian peresepan antibiotika dengan menggunakan metode Gyssens terbagi dalam kategori 0-VI. Metode ini mengevaluasi seluruh aspek mengenai peresepan antibiotika, misalnya seperti penilaian peresepan yang lebih efektif, lebih tidak toksik, lebih murah, spektrum yang lebih sempit, lama penggunaan obat, dosis, interval, rute pemberian serta waktu pemberian (Gyssens, 2001).Kategori pengkajian kualitas peresepan antibiotika menurut kriteria Gyssens yaitu :

Kategori 0 peresepan tepat dan rasional

Kategori I peresepan antibiotika tidak tepat waktu Kategori IIA peresepan antibiotika tidak tepat dosis Kategori IIB peresepan antibiotika tidak tepat interval

Kategori IIC peresepan antibiotika tidak tepat rute pemberian Kategori IIIA peresepan antibiotika terlalu lama

Kategori IIIB peresepan antibiotika terlalu singkat Kategori IVA ada pilihan antibiotika yang lebih efektif Kategori IVB ada pilihan antibiotika yang lebih aman Kategori IVC ada pilihan antibiotika yang lebih murah

Kategori IVD ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum lebih sempit Kategori V peresepan antibiotika tanpa ada indikasi

Kategori VI data rekam medik tidak lengkap untuk dievaluasi Tabel II. Kriteria Gyssens (Kemenkes, 2011)


(36)

16

Diagram alir Gyssens dapat digunakan untuk menilai kualitas penggunaan antibiotika baik secara terapi empiris maupun definitif yang telah melalui pemeriksaan mikrobiologi. Proses penilaian yang dilakukan dengan alur Gyssens akan terbagi dalam beberapa kategori dan disajikan dalam bentuk persentase.

Gambar 1. Diagram alir kualitas peresepan antibiotika berdasarkan kriteria

Gyssens (Kemenkes, 2011a)


(37)

17

F. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai ketepatan peresepan antibiotika pada pasien leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul pada Periode Januari-Mei 2015 dengan metode Gyssens.


(38)

18 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai evaluasi ketepatan peresepan antibiotika dengan metode Gyssens pada pasien leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Januari-Mei 2015 merupakan penelitian deksriptif karena penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran dan evaluasi mengenai ketepatan peresepan antibiotika pada pengobatan pasien dengan leptospirosis. Data yang digunakan adalah data retrospektif, maksudnya berdasarkan data yang sudah ada, yaitu rekam medis pasien leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Rancangan penelitian ini case series karena penelitian ini meneliti banyak kasus dengan indikasi yang sama (Strom and Kimmel, 2006).

B. Variabel Penelitian Variabel penelitian ini adalah :

1. Profil pasien dengan penyakit leptospirosis 2. Profil peresepan antibiotika

3. Evaluasi peresepan antibiotika

C. Definisi Operasional

1. Profil pasien dengan penyakit leptospirosis kategori sedang hingga berat merupakan gambaran umum pasien leptospirosis yang dirawat di RSUD

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(39)

19

Panembahan Senopati Bantul periode Januari-Mei 2015 yang menerima peresepan antibiotika, meliputi jenis kelamin dan usia. Pasien leptospirosis yang dimaksud adalah pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi sebagai berikut :

a. Kriteria inklusi :

Pasien leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul yang dirawat pada periode Januari-Mei 2015 yang menerima terapi antibiotika.

b. Kriteria eksklusi :

1) Data rekam medisnyatidak lengkap (seperti tidak tercantum lama pengobatan, dan diagnosis penyakit pasien),

2) Pasien leptospirosis yangmendapat antibiotika pulang paksa atau meninggal dunia sebelum program pemberian antibiotika selesai, 3) Pasien leptospirosis yang melanjutkan pengobatan di tempat lain. 2. Profil peresepan antibiotika pada penelitian ini meliputi golongan, jenis, cara

pemberian, dan durasi pemakaian

a. Golongan antibiotika adalah nama golongan antibiotika yang diberikan pada pasien leptospirosis, misalnya β-laktam, kuinolon, sulfonamida dan lain-lain.

b. Jenis antibiotika adalah nama jenis antibiotika yang diberikan pada pasien leptospirosis misalnya amoksisilin, ampisilin, sefotaksim dan lain-lain. c. Cara pemberian adalah cara yang digunakan dalam memasukkan

antibiotika ke dalam tubuh, misalnya oral, intravena dan lain-lain.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(40)

20

d. Durasi pemakaian adalah lama waktu pemberian antibiotika pada pasien misalnya 1 hari, 2 hari dan seterusnya.

e. Frekuensi pemberian adalah banyaknya pemberian antibiotika pada pasien dalam sehari misalnya 1 kali, 2 kali dan seterusnya.

3. Ketepatan peresepan antibiotika dalam penelitian ini adalah ketepatan peresepan antibiotika yang dievaluasi secara kualitatif menggunakan kriteria Gyssens (Gyssens & Meers, 2001) yang akan dimasukkan dalam 10 kategori seperti yang dijelaskan sebelumnya pada bab II, tabel II. Kriteria Gyssens. Analisis dilakukan untuk tiap antibiotik pada pasien.

Evaluasi dilakukan dengan menggunakan literatur sebagai referensi. Literatur yang dimaksud seperti Kemenkes (2011), Nasronudin dkk (2007), Departemen Kesehatan RI (2014), Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010), WHO (2003)dan berbagai jurnal terkait.

D. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar rekam medis pasien leptospirosis RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Januari-Mei 2015 yang memenuhi kriteria inklusi.

E. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Form pengambilan data (Lampiran 1) yang digunakan saat proses pengambilan data dari lembar rekam medis pasien dengan leptospirosis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(41)

21

yang dirawat di RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Januari-Mei 2015 diantaranya : identitas pasien, diagnosis pasien, nama antibiotika, dosis pemberian, frekuensi pemberian, lama pemberian, cara pemberian, jenis penggunaan, data klinis, dan data laboratorium.

2. Diagram Gyssens yang merupakan suatu diagram alir yang memuat ketepatan peresepan antibiotika seperti : ketepatan indikasi, pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis, interval, cara dan lama waktu pemberian (Gyssens & Meers, 2001). 3. Literatur sebagai referensi evaluasi ketepatan peresepan antibiotika

sepertiKemenkes (2011), Nasronudin dkk (2007), Departemen Kesehatan RI (2014), Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010), WHO (2003)dan berbagai jurnal terkait.

F. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUD Panembahan Senopati Bantul Jalan dr. Wahidin Sudirohusodo, Trirenggo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Waktu penelitian dilakukan pada Juni tahun 2015.

G. Tata Cara Penelitian 1. Persiapan

Pada tahap ini dilakukan survei jumlah pasien leptospirosis yang menjalani rawat inap di RSUD Panembahan Senopati Bantul pada periode

Januari-PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(42)

22

Mei2015 kemudian dilakukan pengurusan izin untuk melakukan penelitian di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

2. Analisis situasi

Pada tahap ini dipastikan apakah data yang diambil telah memadai untuk dilakukan evaluasi. Hal ini dilakukan dengan menggunakan data yang diambil, kemudian dievaluasi.

3. Pengumpulan data a. Penelusuran data

Tahap ini dilakukan dengan melihat daftar pasien yang didiagnosis leptospirosis dari bagian rekam medis RSUD Panembahan Senopati Bantul yang selanjutnya dilakukan penelusuran berdasarkan nomor rekam medis pasien leptospirosis periode Januari-Mei 2015.

Gambar 2. Skema pemilihan bahan penelitian pasien leptospirosis periode Januari-Mei 2015 di RSUD Panembahan Senopati Bantul b. Pengambilan data

Tahap ini dilakukan dengan mencatat data yang ada di lembar rekam medis pasien leptospirosis rawat inap di RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Januari-Mei 2015 meliputi identitas pasien, diagnosis

46 pasien leptospirosis periode Januari-Mei 2015

36 pasien yang ditemukan lembar rekam medis

32 lembar rekam medis pasien masuk dalam kriteria inklusi


(43)

23

utama, keluhan, tanggal rawat, pemeriksaan fisik, status pulang, hasil laboratorium serta terapi farmakologis yang diberikan kepada pasien. Informasi mengenai terapi farmakologis meliputi nama obat, dosis pemberian, frekuensi pemberian, lama pemberian dan cara pemberian. 4. Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk diagram dan tabel.

H. Tata Cara Analisis Hasil 1. Karakteristik pasien

a. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu laki-laki dan perempuan, dengan menghitung jumlah kasus pada setiap kelompok jenis kelamin per jumlah keseluruhan kasus yang dianalisis dikali 100%.

b. Distribusi pasien berdasarkan usia dibagi menjadi 9 kelompok berdasarkan Depkes RI, yaitu balita (0-5 tahun), kanak-kanak (5-11 tahun), remaja awal (12-16 tahun), remaja akhir (17-25 tahun), dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45 tahun), lansia awal (46-55tahun), lansia akhir (56-65 tahun), dan manula (65 tahun ke atas), dengan menghitung jumlah kasus pada setiap kelompok usia per jumlah keseluruhan kasus yang dianalisis dikali 100%.


(44)

24

2. Profil peresepan antibiotika

Persentase jenis antibiotika yang diberikan pada pengobatan leptospirosis diperoleh dengan menghitung jumlah kasus yang mendapatkan jenis antibiotika tertentu per jumlah keseluruhan kasus yang dianalisis dikali 100%.

3. Evaluasi ketepatan peresepan

Evaluasi ketepatan peresepan dilakukan dengan menggunakan metode Gyssens dimana dilakukan analisa secara deskriptif dengan menguraikan data-data yang ada pada rekam medis. Data yang diperoleh diperiksa kelengkapannya dan dipastikan tidak ada kekeliruan pemasukan data lalu dievaluasi sesuai dengan alur Gyssens.

Proses evaluasi peresepan antibiotika dengan metode Gyssens seperti berikut :

a. Bila data tidak lengkap berhenti di kategori VI.

Data tidak lengkap terjadi saat data rekam medis tanpa anamnesa, diagnosis atau adanya halaman rekam medis yang hilang. Antibiotika yang lolos kategori VI dilanjutkan dengan evaluasi pada kategori V b. Bila tidak ada indikasi penggunaan antibiotika berhenti di kategori V.

Tidak adanya indikasi penggunaan antibiotika terjadi saat pasien tidak menunjukkan tanda-tanda terinfeksi bakteri. Adanya infeksi bakteri dapat dilihat dari gejala, tanda vital pasien, hasil pemeriksaan laboratorium ataupun hasil kultur bakteri. Antibiotika yang lolos kategori V dilanjutkan dengan evaluasi kategori IV.


(45)

25

c. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif berhenti di kategori IVA.

Adanya antibiotika lain yang lebih efektif terjadi saat pasien diberikan antibiotika yang bukan merupakan terapi pengobatan. Pada penelitian ini, adanya antibiotika lain yang lebih efektif ditetapkan dengan acuan Departemen Kesehatan RI (2014), Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010) dan WHO (2003). Antibiotika yang lolos kategori IVA dilanjutkan dengan evaluasi kategori IVB.

d. Bila ada pilihan antibiotika lain yang kurang toksik, berhenti di kategori IVB.

Adanya antibiotika lain yang kurang toksik terjadi ketika antibiotika tersebut memiliki interaksi dengan obat lain yang digunakan oleh pasien atau kontraindikasi dengan kondisi pasien. Pada penelitian ini, adanya antibiotika lain yang kurang toksik ditetapkan dengan acuan Lacy, et al (2011). Antibiotika yang lolos kategori IVB dilanjutkan dengan evaluasi kategori IVC.

e. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah berhenti di kategori IVC.

Adanya antibiotika lain yang lebih murah, contohnya pasien diberi antibiotika dengan merek paten, meskipun tersedia yang generik. Antibiotika yang lolos kategori IVC dilanjutkan dengan evaluasi kategori IVD.


(46)

26

f. Bila ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit berhenti di kategori IVD.

Ada antibiotika lain yang memiliki spektrum lebih sempit terjadi saat sudah diketahui bakteri penyebab penyakit, namun antibiotika yang diberikan bukan antibiotika yang spesifik. Pada penelitian ini, adanya antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit ditetapkan dengan acuan Departemen Kesehatan RI (2014), Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010) dan WHO (2003). Antibiotika yang lolos kategori IVD dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIIA.

g. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu panjang berhenti di kategori IIIA.

Durasi pemberian antibiotika yang terlalu panjang dapat diartikan sebagai pemberian antibiotika yang melebihi durasi yang seharusnya diberikan. Pada penelitian ini, pemberian antibiotik yang lebih lama ditetapkan dengan acuan Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010). Antibiotika yang lolos kategori IIIA dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIIB.

h. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu singkat berhenti di kategori IIIB.

Durasi pemberian antibiotika yang terlalu singkat dapat diartikan sebagai pemberian antibiotika yang kurang dari durasi yang seharusnya diberikan. Pada penelitian ini, pemberian antibiotika yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(47)

27

terlalu singkat ditetapkan dengan acuan Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010). Antibiotika yang lolos kategori IIIB dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIA.

i. Bila dosis pemberian antibiotika tidak tepat berhenti di kategori IIA. Dosis pemberian antibiotika yang tidak tepat dapat terjadi ketika dosis yang diberikan terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Pada penelitian ini, dosis yang tidak tepat ditetapkan dengan acuan Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010). Antibiotika yang lolos kategori IIA dilanjutkan dengan evaluasi IIB.

j. Bila interval pemberian antibiotika tidak tepat berhenti di kategori IIB. Interval pemberian antibiotika yang tidak tepat dapat terjadi ketika interval yang diberikan kurang ataupun berlebih. Pada penelitian ini, interval yang tidak tepat ditetapkan dengan acuan Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010). Antibiotika yang lolos kategori IIB dilanjutkan dengan evaluasi IIC.

k. Bila rute pemberian antibiotika tidak tepat berhenti di kategori IIC. Rute pemberian antibiotika tidak tepat terjadi ketika pasien yang masih memungkinkan diberikan antibiotika secara oral namun diberikan antibiotika secara intravena. Pada penelitian ini, rute pemberian yang tidak tepat ditetapkan dengan acuan Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010). Antibiotika yang lolos kategori IIC dilanjutkan dengan evaluasi kategori I.

l. Bila waktu pemberian antibiotika tidak tepat berhenti di kategori I

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(48)

28

Waktu pemberian antibiotika dievaluasi berdasarkan waktu pemberian setiap harinya. Pada penelitian ini, adanya antibiotika yang tidak tepat waktu pemberian ditetapkan dengan acuan Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010). Antibiotika yang lolos kategori I dilanjutkan dengan evaluasi kategori 0.

m. Bila antibiotika tidak masuk dalam kategori I-VI maka antibiotika tersebut merupakan kategori 0.

I. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu :

1. Dengan menggunakan data yang bersifat retrospektif, terdapat kendala dalam hal kelengkapan dan kesulitan dalam pembacaan rekam medis yang disebabkan oleh tulisan yang kurang jelas.

2. Data yang digunakan juga merupakan data rekam medis, sehingga tidak dapat dilakukan konfirmasi dengan dokter penulis resep, perawat maupun apoteker setempat.

3. Metode yang digunakan untuk evaluasi yaitu metode Gyssens tidak selalu dapat diselaraskan dengan kondisi yang dialami pasien baik dari diagnosis awal sampai dengan outcome terapi pasien. Sangat sulit bila hanya berpatokan dari teoritis metode ini berdasarkan buku-buku pegangan tanpa mengetahui kondisi sebenarnya yang dialami pasien.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(49)

29 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian mengenai “Evaluasi Peresepan antibiotika dengan Metode Gyssens pada Pasien Leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Januari-Mei 2015” dilakukan dengan cara menelusuri kasus pasien yang didiagnosis leptospirosis dan menerima resep antibiotika. Di sini data rekam medis yang digunakan bersifat retrospektif.

Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini akan dibahas menjadi beberapa bagian yaitu mengidentifikasi profil pasien, profil peresepan antibiotika pada pasien dan mengevaluasi ketepatan peresepan antibiotika pada pasien di RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Januari-Mei 2015 yang dievaluasi dari segi kualitas peresepan antibiotika menurut kriteria Gyssens.

A. Profil Pasien

Selama periode Januari-Mei 2015, terdapat 32 pasien yang didiagnosis terkena penyakit leptospirosis dan dipastikan menerima resep antibiotika. Berdasarkan 32 rekam medis tersebut, didapatkan distribusi jenis kelamin dan umur, dapat dilihat pada Gambar 3 dan Tabel III.

Pengelompokan berdasarkan jenis kelamin bertujuan untuk mengetahui proporsi jumlah pasien laki-laki dan perempuan yang menggunakan antibiotika. Dari hasil penelitian didapatkan jumlah pasien laki-laki sebanyak 28 orang (87,5%) dan pasien perempuan sebanyak 4 orang (12,5%) (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Priyanto (2008) bahwa jenis


(50)

30

kelamin laki-laki memiliki risiko terkena leptospirosis lebih besar dibanding perempuan.

Gambar 3. Perbandingan jumlah pasien leptospirosis laki-laki dan perempuan yang menerima antibiotika periode Januari-Mei 2015 di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

Pengelompokan berdasarkan usia dalam penelitian ini didasarkan pada klasifikasi dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009) yang membagi usia menjadi sembilan, yaitu balita dengan kisaran usia 0-5 tahun, kanak-kanak dengan kisaran usia 5-11 tahun, remaja awal dengan kisaran usia 12-16 tahun, remaja akhir dengan kisaran usia 17-25 tahun, dewasa awal dengan kisaran usia 26-35 tahun, dewasa akhir dengan kisaran usia 36-45 tahun, lansia awal dengan kisaran usia 46-55 tahun, lansia akhir dengan kisaran usia 56-65 tahun dan manula dengan kisaran usia 65 tahun ke atas. Kategori usia yang mendapatkan persentase tertinggi adalah kategori dewasa akhir dengan rentang usia 36-45 tahun yaitu 38% (12 orang) diikuti dengan kategori lansia awal 31% (10 orang), lansia akhir 16% (5 orang), dewasa awal 9% (3 orang) dan remaja akhir 6% (2 orang).

87.5% 12.5%

Laki-laki Perempuan


(51)

31

Tabel III. Distribusi pengelompokan usia pasien leptospirosis yang menerima antibiotika periode Januari-Mei 2015 di RSUD Panembahan Senopati

Bantul.

No Kategori umur Jumlah Persentase (%)

1 Masa balita 0 0

2 Masa kanak-kanak 0 0

3 Masa remaja awal 0 0

4 Masa remaja akhir 2 6,25

5 Masa dewasa awal 3 9,38

6 Masa dewasa akhir 12 37,50

7 Masa lansia awal 10 31,25

8 Masa lansia akhir 5 15,62

9 Masa manula 0 0

Jumlah 32 100

B. Profil Peresepan Antibiotika

Pada profil peresepan antibiotika ini akan dijelaskan mengenai golongan, jenis, cara pemberian dan durasi pemakaian antibiotika yang diresepkan pada pasien leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati periode Januari-Mei 2015.

1. Golongan dan Jenis Antibiotika

Pada tabel IV menunjukkan antibiotika yang paling sering digunakan yaitu golongan sefalosporin dengan jumlah 35 satuan resep atau 61, 5% dari jumlah keseluruhan peresepan antibiotika. Dari golongan tersebut, seftriakson paling banyak digunakan yaitu sebanyak 31 satuan resep atau 54,4% dari jumlah keseluruhan resep. Hal ini sesuai dengan jenis penyakit yang diteliti yaitu leptospirosis. Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira interrogans yang merupakan bakteri gram negatif. Lini pertama terapi leptospirosis berat adalah antibiotika golongan penisilin yaitu penisilin G. Pengadaan penisilin G yang susah untuk dilakukan dan ketersediaannya yang tidak menentu menjadikan pilihan


(52)

32

terapi beralih ke ceftriaxone injeksi. Antibiotika yang paling jarang digunakan yaitu dari golongan kuinolon yang berjumlah 2 satuan resep atau sebanyak 3,5%.

Tabel IV. Profil Golongan dan Jenis Antibiotika pada Pasien Leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Januari-Mei 2015

No Golongan dan Jenis Antibiotika

Jumlah satuan

resep

Persentase (%) 1 β-laktam

A Penisilin

Penisilin G 9 15,8

Co-amoxiclav 6 10,5

Ampisilin 2 3,5

B Sefalosporin

Sefotaksim 1 1,8

Seftriakson 31 54,4

Sefiksim 1 1,8

Seftazidim 2 3,5

C Karbapenem

Meropenem 3 5,2

2 Kuinolon

Siprofloksasin 2 3,5

Jumlah 57 100

2. Cara Pemberian Antibiotika

Cara pemberian antibiotika yang paling banyak adalah intravena yaitu sebanyak 89,47%, sedangkan sisanya diberikan secara oral. Hal ini disebabkan karena tercapainya bioavailabilitas yang tinggi pada pemberian secara intravena, selain itu juga dikarenakan onset pemberian intravena yang cepat dan banyaknya kondisi pasien yang mengalami mual, muntah dan lemas sehingga sulit untuk diberikan obat secara oral sehingga banyak peresepan yang diberikan secara intravena. Dari keseluruhan kasus, peresepan antibiotika dilakukan secara empiris karena pasien tidak melakukan uji kultur.


(53)

33

Gambar 4. Cara Pemberian Antibitoika pada Pasien Leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Januari-Mei 2015

3. Durasi Peresepan antibiotika

Tabel V. Durasi Peresepan antibiotika pada Pasien Leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Januari-Mei 2015

Antibiotika Durasi (hari)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Penisilin - - - 3 2 2 - 1 - 1 - - - -

Co-amoksiklav 3 1 1 - - 1 - - - -

Ampisilin - 1 - - - - 1 - - - -

Sefotaksim - - - 1 - - - -

Seftriakson 1 - - 1 4 6 5 6 4 - 1 1 1 1

Sefiksim 1 - - - -

Seftazidim - - 1 - - - - 1 - - - -

Meropenem - - - 1 1 - 1 - - - -

Siprofloksasin - - - 1 1 - - - -

Jumlah 5 2 2 5 7 9 8 9 4 2 1 1 1 1

Berdasarkan data yang diperoleh didapatkan berbagai variasi durasi peresepan antibiotika. Mulai dari 1 hari hingga 14 hari penggunaan. Durasi peresepan antibiotika terlama adalah 14 hari yaitu seftriakson sebanyak 1 kasus atau 1,8% dari jumlah keseluruhan kasus. Sedangkan 8,7% peresepan antibiotika tersingkat selama satu hari yaitu sefiksim, co-amoksiklav dan seftriakson. Durasi

89.47% 10.53%

Intravena Oral

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(54)

34

terbanyak peresepan antibiotika adalah selama 6 hari dan 8 hari (masing-masing 15,8%).

C. Evaluasi Peresepan antibiotika dengan Metode Gyssens

Evaluasi peresepan antibiotika dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan alur Gyssens & Meers (2001) yang terbagi dalam 12 kategori dan dinyatakan dalam persentase.

Gambar 5. didapatkan hasil sebanyak 5 peresepan antibiotika masuk dalam kategori IIA (pemberian antibiotika tidak tepat dosis), 8 peresepan masuk kategori IIIA (pemberian antibiotika terlalu lama), 6 peresepan masuk kategori IIIB (pemberian antibiotika terlalu singkat) dan 38 peresepan masuk kategori IVA (ada alternatif antibiotika lain yang lebih efektif). Tidak ditemukan antibiotika yang termasuk dalam kategori 0 (peresepan tepat), kategori IIB (pemberian antibiotika tidak tepat interval), kategori IIC (pemberian antibiotika yang tidak tepat cara pemberian), kategori IVB (ada antibiotika lain yang lebih aman) kategori IVC (ada antibiotika lain yang lebih murah) dan kategori IVD (ada antibiotika lain dengan spektrum lebih sempit).


(55)

35

Gambar 5. Distribusi Ketepatan Peresepan Antibiotika Berdasarkan Kategori Gyssens di Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul Periode Januari-Mei 2015

n=57

n=0 n=0

n=0 n=0

n=0

n=0 n=0

n=0 n=5 n=5

n=6 n=11

n=8 n=19 n=19 n=19

n=0 ya

n=0 n=0 n=19

n=38 n=57

n=0 n=0

n=57


(56)

36

Tabel VI. Distribusi Hasil Evaluasi Peresepan Tiap Jenis Antibiotika Berdasarkan Metode Gyssens di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Periode Januari-Mei 2015

No Antibiotika Kategori Gyssens Total

0 I II III IV V

1 Co-Amoxiclav - - - - 6 - 6

2 Ampisilin - - - - 2 - 2

3 Penisilin G - - - - 9 - 9

4 Sefotaksim - - 1 - - - 1

5 Seftriakson - - 4 14 13 - 31

6 Sefiksim - - - - 1 - 1

7 Seftazidime - - - - 2 - 2

8 Siprofloksasin - - - - 2 - 2

9 Meropenem - - - - 3 - 3

Jumlah - - 5 14 38 - 57

1. Peresepan antibiotika tanpa indikasi (kategori V)

Peresepan antibiotika tanpa indikasi merupakan salah satu kategori dalam kriteria Gyssens yang disebabkan oleh terapi antibiotika yang tidak memiliki indikasi terhadap kondisi klinis pasien seperti peresepan antibiotika pada pasien dengan infeksi virus. Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus peresepan antibiotika tanpa indikasi.

2. Ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif (Kategori IV A)

Ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif dapat diartikan ada antibiotika lain yang lebih direkomendasikan untuk kondisi pasien karena dinilai akan memberikan outcome therapy yang lebih optimal. Dalam penelitian ini seluruh pasien yang dirawat menerima peresepan antibiotika secara empiris karena tidak dilakukan proses kultur. Oleh karena itu, sebagian besar pemilihan antibiotika adalah yang berspektrum luas meskipun antibiotika yang digunakan berspektrum luas, terdapat peresepan antibiotika yang tidak sesuai dengan


(57)

37

pedoman atau literatur (Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases, 2010) sehingga dalam penelitian ini dikategorikan ke dalam ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif.

Dari hasil evaluasi didapatkan bahwa 38 peresepan (14 kasus) termasuk dalam kategori ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif yaitu pada kasus 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 15, 18, 19, 21, 23, dan 27. Ketidakefektifan dapat berupa pemilihan antibiotika yang tidak sesuai dengan anjuran literatur. Menurut Departemen Kesehatan RI (2014) leptospirosis sedang hingga berat dapat diterapi dengan menggunakan dosis tinggi injeksi penisilin, sedangkan sebagai alternatifnya menurut Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases dapat diberikan ampisilin, azithromycin, seftriakson dan sefotaksim. Seluruh terapi diberikan secara monoterapi. Pada kategori ini ditemukan penggunaan antibiotika yang tidak efektif karena pilihan antibiotika yang digunakan tidak sesuai dengan literatur seperti pada kasus 27 dan penggunaan antibiotika sebagai terapi kombinasi seperti pada kasus 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 15, 18, 19, 21 dan 23. 3. Ada pilihan antibiotika lain yang lebih aman (kategori IVB)

Peresepan antibiotika menjadi tidak aman bisa disebabkan karena adanya interaksi obat serta munculnya efek samping yang tidak diinginkan, misalnya dengan muncul reaksi alergi atau antibiotika yang diterima kontraindikasi dengan kondisi klinis pasien. Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus peresepan antibiotika yang kurang aman.


(58)

38

4. Ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah (kategori IVC)

Kategori IVC dievaluasi dengan berpatokan pada daftar harga obat yang dikeluarkan oleh pihak rumah sakit. Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus peresepan antibiotika yang lebih murah.

5. Ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit (kategori IVD)

Proses pemilihan antibiotika dengan spektrum yang lebih sempit harus berdasarkan pada hasil kultur dari spesimen yang relevan atau dari pola kultur kuman (Kemenkes, 2011a). Dalam penelitian ini, tidak ditemukan hasil kultur pasien sehingga tidak dapat diketahui jenis bakteri penginfeksi. Oleh karena adanya keterbatasan ini maka tidak dapat ditentukan pemilihan antibiotika dengan spektrum yang lebih sempit.

6. Peresepan antibiotika yang terlalu lama (kategori IIIA) & Peresepan antibiotika yang terlalu singkat (kategori IIIB)

Lama pemberian antibiotika pada tiap jenis antibiotika sangat bervariasi tergantung pada jenis penyakit dan tingkat keparahan. Menurut Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010) lama peresepan antibiotika secara empiris untuk menangani leptospirosis berat dapat dilakukan selama 7 hari kecuali untuk azitromisin dihidrat selama 3 hari.

Dalam penelitian ini lama pemberian antibiotika dihitung sesuai dengan lama pemberian yang tercatat dalam rekam medis. Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan kasus dengan pemberian antibiotika yang terlalu lama maupun terlalu singkat dengan total sebanyak 14 kasus peresepan. Pemberian antibiotika yang


(59)

39

terlalu singkat dengan rentang waktu 1-6 hari terjadi pada kasus 2, 6, 20, 22, 25 dan 28 sedangkan pemberian antibiotika yang terlalu lama dengan rentang waktu 8-14 hari terjadi pada kasus 1, 12, 13, 14, 16, 24, 26 dan 30.

7. Peresepan antibiotika tidak tepat dosis (kategori IIA)

Ketidaktepatan dosis dapat disebabkan oleh dosis antibiotika yang diberikan terlalu tinggi atau terlalu rendah. Dosis yang terlalu rendah akan menyebabkan kurangnya ketersediaan hayati obat sehingga durasi kerja obat menjadi lebih singkat untuk menghasilkan efek terapi yang diharapkan (Cipolle, 2004), sedangkan dosis yang terlalu tinggi dapat menimbulkan toksisitas.

Berdasarkan hasil evaluasi masih ditemukan kasus ketidaktepatan dosis yang terjadi karena dokter menggunakan monograf umum dengan pertimbangan supaya lebih adekuat. Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan 5 peresepan (4 kasus) antibiotika yang tidak tepat dosis yaitu pada kasus 17, 29, 31 dan 32. Ketidaktepatan dosis terjadi dalam bentuk dosis berlebih. Ketidaktepatan dosis yang terjadi adalah dosis berlebih. Menurut Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010), pemberian ceftriaxone dan cefotaxime pada pasien leptospirosis adalah 1x 1gram perhari, sedangkan yang terjadi pada pada kategori ini adalah 2x 1 gram perhari dan 2x 2 gram perhari.

Selanjutnya apabila dilakukan analisis lebih lanjut di luar metode Gyssens, didapatkan ketidaktepatan interval yang terjadi pada salah satu penggunaan seftriakson pada kasus 21. Menurut Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases (2010) seftriakson diberikan 2 kali sehari, sedangkan pada kasus diberikan 3 kali sehari.


(60)

40

8. Peresepan antibiotika tidak tepat interval (kategori IIB)

Ketepatan interval pemberian antibiotika harus disesuaikan dengan sifat obat dan profil farmakokinetikanya agar ketersediaan hayati antibiotika tetap terjaga sehingga dapat dihasilkan efek terapeutik yang diharapkan (Kemenkes, 2011a: Reed 2005). Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus dengan pemberian antibiotika yang tidak tepat interval.

9. Pemberian antibiotika yang tidak tepat rute pemberian (kategori IIC) Rute pemberian antibiotika merupakan salah satu faktor penting dalam proses keberhasilan terapi. Rute pemberian antibiotika harus disesuaikan dengan kebutuhan klinis dan kondisi pasien. Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus dengan pemberian antibiotika yang tidak tepat rute pemberian.

10.Peresepan Antibiotika tidak tepat waktu pemberian (kategori I)

Waktu pemberian antibiotika merupakan hal yang sangat penting karena akan mempengaruhi ketersediaan obat di dalam sirkulasi sistemik yang berdampak pada efek terapetik yang dihasilkan (Yuniftiadi, 2009). Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus dengan pemberian antibiotika yang tidak tepat waktu.

11.Peresepan tepat (Kategori 0)

Terapi pengobatan dikatakan tepat jika telah memenuhi indikator tepat penderita, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat cara pemberian, interval dan lama pemberian (Depkes RI, 2007). Tepat penderita terkait dengan tingkat keparahan infeksi yang akan mempengaruhi dosis, rute, interval dan lama pemberian antibiotika. Tepat indikasi yaitu peresepan antibiotika dengan tujuan


(61)

41

untuk menghentikan infeksi. Tepat obat artinya pilihan antibiotika yang digunakan efektif untuk jenis kuman yang diperkirakan atau berdasarkan hasil kultur. Tepat dosis berarti pasien telah menerima antibiotika dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan klinis dan kondisi fisiologisnya. Berdasarkan hasil evaluasi, tidak ditemukan adanya kasus peresepan antibiotika yang telah tepat.


(62)

42 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian mengenai “Evaluasi Peresepan antibiotika dengan Metode Gyssens pada Pasien Leptospirosis di RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Januari-Mei 2015” meliputi :

1. Karakteristik pasien leptospirosis yang paling banyak ditemui adalah laki-laki, kelompok dewasa akhir dengan persentase masing-masing sebesar 87,5% dan 38%.

2. Karakteristik antibiotika yang paling banyak diresepkan adalah dari golongan sefalosporin dengan persentase sebesar 61,5%. Cara pemberian antibiotika melalui intravena dengan persentase sebesar 89,5% dengan durasi penggunaan 6 dan 8 hari dengan persentase masing-masing sebesar 15,8%.

3. Ketepatan peresepan dengan metode Gyssens didapatkan 5 peresepan masuk dalam kategori IIA, 8 peresepan masuk kategori IIIA, 6 peresepan masuk kategori IIIB dan 38 peresepan masuk kategori IVA.

B. Saran

1. Perlu penulisan rekam medis yang lebih lengkap, sistematis dan jelas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(63)

43

2. Perlu dilakukan wawancara yang lebih mendetail kepada dokter, perawat dan apoteker terkait pertimbangan dalam proses pemilihan antibiotika untuk penanganan infeksi.

3. Perlunya pengawasan peresepan antibiotika oleh tenaga medis di rumah sakit yang bersangkutan yang lebih lanjut guna menjaga dan meningkatkan ketepatan peresepan antibiotika.


(64)

44

DAFTAR PUSTAKA

Ambwani, S., Mathur, A.K., 2006, Rational Drug Use, Health Administrator, pp.1:5-7.

Barbosa, T.M., Levy, S.B., 2000, The Impact of Antibiotic Use on Resistance Development and Persitence, Drug Resistance Updates, p.3.

Depkes RI, 2003, Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta.

Depkes RI, 2014, Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan, Jakarta.

DirjenPPPL, 2013, Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012, Kemenkes, Jakarta, hal 147-149.

Febrian, F., Solikhah, 2013, Analisis Spasial Kejadian Penyakit Leptospirosis di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011, Tesis, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.

Forbes, A.E., Zochowski, W.J., Dubrey, S.W., and Sivaprakasam, V., 2012, Leptospirosis and Weil’s Disease in the UK, QJ Med, 105, 1151-1162. Gunawan, 2012, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Departemen Farmakologi dan

Teraupetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 585-591.

Gyssens I.C., Van der Meers, J.W.M., 2001, Quality of Antimicrobial Drug Prescription in Hospital, Clinical Microbiology Infection, Volume 7, 12-15.

Hadi U., Deurink, D.O., Lestari, E.N., Nagelkerke, N. J., Werter, S., Keuter, M., et al., 2008, Survey Of Antibiotic Use Of Individual Visiting Public

Healthcare Facilities In Indonesia,

http://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/13821/03.pdf.jsessi onid=DBED9A1D38747EBF2D64A500F2183E37?sequence=8 , diakses tanggal 7 Juli 2015.

Jankgent, R., Lashof, A.O., Gould, I.M., Van der Meer, J.W.M., 2000, Antibiotic Use in Dutch Hospital 1991-1996, J. Antimicrob. Chemother, 45:251-256. Jozef, V. K., Hromadova, R., 2007, Analysis of Antibiotic Utilization in

Hospitalized Pediatric Patients, Journal of Chinese Medicine, vol 2, no 9, pp. 496-503.


(65)

45

Kasper, D.L., and Fauci, A.S., 2005, Horriso’s Manual of Medicine, 16th Edition, The McGraw-Hill, New York.

Katzung, B.G., 2006, Farmakologi dan Klinik, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011a, Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi Antibiotik, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, hal. 15, 21, 35-36.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011b, Profil Kesehatan Indonesia , Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, hal. 41.

Kusmiyati, N.S.M., Supar, 2005, Leptospirosis pada Hewan dan Manusia di Indonesia, Wartazoa, 15, 213-220.

Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, N.P., Lance L.L., 2011, Drug Information Handbook, 20th Ed., Lexi Comp, Ohio, pp. 320-323.

Lestariningsih, 2002, Kelainan Ginjal pada Leptospirosis, Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Universitas Diponegoro, Semarang.

Levet, 2001, Leptospirosis, Clinical Microbiology Reviews, pp. 296-326.

Luluk, A., 2014, Evaluasi Penggunaan Kriteria Diagnosis Leptospirosis (WHO SEARO 2009) pada Pasien Leptospirosis di RSUP dr Kariadi Semarang, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang.

Nasronudin, Hadi, U., Vitanata, Bramantono, Suharto, Soewandojo, Eddy., dkk., 2007, Penyakit Infeksi di Indonesia, Solusi Kini dan Mendatang, Airlangga University Press, Surabaya, hal. 145-153.

Permenkes RI, 2014, Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases, 2010, Leptospirosis

Clinical Practical Guideline, Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases, Manila, pp. 31-33.

Ramadhani, T., Yunianto, B., 2010, Kondisi Lingkungan Pemukiman yang Tidak Sehat Berisiko Terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kota Semarang), Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 20, 46-54.

Rejeki, S., 2005, Faktor Risiko Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat (Studi Kasus di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang), Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang.


(66)

46

Sabroza, P.C., Barcellos,C., 2001, The Place Behind the Case : Leptospirosis Risk and Associated Environment Conditions in a Flood-related Outbreak in Rio de Jenero, San Saude Publica, Brazil, pp. 59-67.

Setiabudy, R., 2007, Pengantar antimikroba, in Gunawan, S.G., Setiabudi, R., (Edt), Farmakologi dan Terapi, edisi kelima, Balai Penerbitan FKUI, Jakarta, hal 585-589.

Speelman, P., 1998, Harrison’s Principal of Internal Medicine, edisi 14, Mc-Draw Hill, New York, pp. 1036-1038.

Strom, B.L. and Kimmel, S.E., 2006, Textbook of Pharmacoepidemiology, John Wiley & Sons Ltd., England, pp. 18.

Sutedjo, A.Y., 2012, Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Yogyakarta.

Tan, H.T., dan Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya, edisi VI, Penerbit PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Widarso, H.S., Wilfried, P., 2002, Kebijakan Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia, Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

World Health Organization, 2001, WHO Global Strategy For Containment of Antimicrobial Resistence, WHO, Switzerland.

World Health Organization, 2003, Human Leptospirosis : Guidance for Diagnosis, Surveilance and Control, WHO, Geneva.


(67)

47

LAMPIRAN


(68)

48

Nama : 1 Bp. P

No RM : 55-3x-xx

Jenis Kelamin/BB: L/ 60kg

Usia : 39th

Tgl Masuk : 25/03/2015

Anamnese: pusing, sering merasa haus, BAK lancar warna kepekatan, BAB, riwayat ke sawah

Tgl Pulang : 02/04/2015

Tanda Vital

25/03 26/03 27/03 28/03 29/03 30/03 31/03 01/04 02/04

t 38,8oC 38oC 37,7oC 37,9oC 38,8oC 37,5oC 37,5oC 37oC 37oC

T 90/60

mmHg 100/60 mmHg 100/60 mmHg 100/70 mmHg 110/80 mmHg 110/80 mmHg 120/80 mmHg 120/80 mmHg 120/80 mmHg

N 96x/

menit 93x/ menit 92x/ menit 93x/ menit 98x/ menit 92x/ menit 90x/ menit 90x/ menit 90x/ menit

R 28x/

menit 24x/ menit 23x/ menit 28x/ menit 28x/ menit 22x/ menit 21x/ menit 21x/ menit 21x/ menit Hasil Laboratorium Diagnosa utama : Leptospirosis dd DF/DHF

Hasil Nilai Normal

Satuan 25/03 26/03 27/03 28/03 29/03 30/03 31/03 01/04 02/04

Pemeriksaan Hematologi

Trombosit 150-450 103/uL 42 44 50 112 168 180 Hematokrit 42-52 Vol % 38,6 38 35 38,7 43,4 41,2 38,2 Leukosit 4-11 106/UL 4,43

Pemeriksaan ginjal

Ureum 17-43 mg/dL 59 Creatinin 0,9-1,3 mg/dL 2,45 Pemeriksaan hati

SGOT <37

SGPT <41

Bilirubin <1,3 10,5 Infeksi Lain IGM Leptospira + IGG Leptospira _


(69)

49

Nama Obat dan Dosis Pemberian

Waktu Pemberian

Tanggal Pemberian

25/03 26/03 27/03

Jam pemberian

06 12 14 18 22 24 06 12 14 18 22 24 06 12 14 18 22 24

Inf. RL 10tpm

v v v v v v v v v v v v v v v v v v

Inj. 1g Ceftriaxone

v v v v v v

Paracetamol 500mg

v v v v v v v v v

Dopamin 12mcg

v

Dopamin 10mcg/kgB B

v v

Metoclopra mide 1A

v v v

Ranitidine 1A

v v

Inf. NaCl 20tpm Inj. Rantin Inj. Metolon


(1)

13,03 x 106/UL. Jumlah ini cukup tinggi melebihi nilai rujukan leukosit normal yaitu 4x106/UL sampai 11 x 106/uL. Nilai trombosit juga mengalami penurunan. Diketahui nilai trombosit pasien 98 x 103/uL. Jumlah ini kurang dari nilai rujukan trombosit yaitu 150 x 103/uL sampai 450 x 103/uL. (WHO, 2003). Adanya infeksi bakteri semakin diperkuat dengan munculnya Ig-M Leptospira pada hari keenam yang menunjukkan adanya respon imun akibat bakteri Leptospira.

Kategori IVA Lolos Kategori IVA (tidak ada antibiotika yang lebih efektif)

Assesment: Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif, antibiotik lini pertama untuk leptospirosis berat adalah penisilin G, sedangkan ketersediaan penisilin G tidak menentu dan sulit untuk diadakan, sehingga penggunaan ceftriaxone injeksi sudah tepat untuk terapi leptospirosis ini (Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases, 2010).

Kategori IVB Lolos Kategori IVB (tidak ada antibiotika yang lebih aman)

Assestmen : Antibiotika ini cukup aman digunakan bersama dengan infus RL, meskipun terdapat interaksi, tetapi risiko presipitasinya kecil. (Steadman, 2010)

Kategori IVC Lolos Kategori IVC (tidak ada antibiotika yang lebih murah)

Assesment : untuk obat sejenis tidak ada yang lebih murah

Kategori IVD Lolos Kategori IVD (tidak ada antibiotika yang lebih spesifik)

Assesment : Tidak dilakukan kultur bakteri sehingga tidak diketahui jenis bakteri penginfeksi pasien pada awal diagnosa, sehingga pemberian antibiotika dilakukan secara empiris namun pada hari keenam dilakukannya terapi didapatkan hasil Ig-M Leptospira positif yang menunjukkan adanya infeksi bakteri Leptospira sebelumnya sehingga pemilihan ceftriaxone tepat karena merupakan pilihan terapi leptospirosis (Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases, 2010).

Kategori IIIA Lolos Kategori IIIA (penggunaan antibiotika tidak terlalu lama)

Assesment : penggunaan antibiotika tidak terlalu lama, waktu yang dianjurkan selama 7 hari begitu pula penggunaan antibiotika yang diberikan selama 7 hari.

Kategori IIIB Lolos Kategori IIIB (penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat)

Assesment : penggunaan antibiotika terlalu singkat, waktu yang dianjurkan selama 7 hari begitu pula dengan penggunaan antibiotika yang diberikan selama 7 hari.

Kategori IIA Tidak Lolos Kategori IIA (penggunaan obat tidak tepat dosis)

Assesment : pasien diberikan obat dengan dosis 2 x 1 gram setiap harinya. Hal ini tidak sesuai dengan dosis terapi ceftriaxone untuk leptospirosis berat yaitu 1 x 1 gram setiap harinya (Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases, 2010).


(2)

218

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

(4)

220

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

(6)

222

BIOGRAFI PENULIS

Cresentia Claresta Kasamira merupakan

anak kedua dari pasangan Him Fransiskus G.J. dan

Fransiska Xaveria Ruswati, lahir di Surakarta, 23 November

1993. Penulis menjalani pendidikan di TK PL Bernardus

Semarang (1998-2000), SD Pangudi Luhur Bernardus

Semarang (2000-2006), SMP Pangudi Luhur Domenico

Savio Semarang (2006-2009), SMA Sedes Sapientiae

Semarang (2009-2012). Penulis melanjutkan pendidikan di

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

(2012-2015).

Semasa kuliah, penulis cukup aktif di kegiatan kemahasiswaan, antara lain

sebagai koordinator master of ceremony (Pelepasan Wisuda tahun 2012-2013),

ketua bidang acara (Tiga Hari Temu Akrab Farmasi tahun 2014) dan koordinator

PKM-M di danai DIKTI 2015. Penulis juga merupakan Asisten Praktikum

Farmasi Fisika tahun 2014 dan Praktikum Bentuk Sediaan Farmasi pada tahun

2013, 2014, dan 2015.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


Dokumen yang terkait

Evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada pasien di insatalasi rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul.

1 2 49

Evaluasi peresepan antibiotika pada pasien diare dengan metode gyssens di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015.

0 4 213

Evaluasi interaksi penggunaan obat hipoglikemi pada pasien rawat inap di Bangsal Cempaka RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Agustus 2015.

0 1 92

Evaluasi peresepan antibiotika profilaksis dengan metode gyssens pada pasien yang menjalani operasi sesar pada Bulan April 2015 di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.

2 21 186

Evaluasi interaksi penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat inap di Bangsal Cempaka RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Agustus 2015.

0 4 109

Evaluasi pelayanan informasi obat pada pasien di instalasi farmasi RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.

8 69 110

Evaluasi peresepan antibiotika dengan metode gyssens pada pasien infeksi sepsis neonatal periode Maret-April 2015 di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.

0 7 188

Evaluasi penggunaan obat Hipoglikemia pada pasien di instalasi rawat inap bangsal Bakung RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Agustus 2015.

1 6 117

Evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap Rsud Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.

2 8 201

Studi pustaka interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013.

1 7 142