POLA KOMUNIKASI ORANG TUA DAN REMAJA DALAM MEMAHAMI RESIKO SEKS PRA NIKAH DI SURABAYA (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Orang Tua Dan Remaja Dalam Memahami Resiko Seks Pra Nikah Di Surabaya).
(Studi Deskriptif Pola Komunikasi Orang Tua Dan Remaja
Dalam Memahami Resiko Seks Pra Nikah Di Surabaya)
SKRIPSI
Oleh :
PENY CATUR RAHAYU
0743010200
PRODI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” SURABAYA
2011
(2)
DALAM MEMAHAMI RESIKO SEKS PRA NIKAH DI SURABAYA
(Studi Deskriptif Pola Komunikasi Orang Tua Dan Remaja
Dalam Resiko Seks Pra Nikah Di Surabaya)
Nama Mahasiswa
: PENY CATUR RAHAYU
NPM
:
0743010200
Jurusan
: Ilmu Komunikasi
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Telah Diuji dan Diseminarkan pada tanggal :
29 Desember 2010
PEMBIMBING
TIM PENGUJI :
1.
DR. Catur Suratnoadji, MSi
JUWITO, S.Sos, M.Si
NPT 3 6804 94 0028 1
NPT 3 6704 95 0036 1
2.
DR. Catur Suratnoadji, MSi
NPT 3 6804 94 0028 1
3.
Ir. Didik Tranggono, Msi
NIP
195812251990011001
Mengetahui,
KETUA JURUSAN
(3)
(Studi Deskriptif Pola Komunikasi Orang Tua Dan Remaja
Dalam Resiko Seks Pra Nikah Di Surabaya)
Nama Mahasiswa
: PENY CATUR RAHAYU
NPM
: 0743010200
Program Studi
: Ilmu Komunikasi
Fakultas
: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Telah disetujui untuk mengikuti seminar proposal
Menyetujui,
Pembimbing
DR. Catur Suratnoadji, MSI
NPT 3 6804 94 0028 1
Mengetahui
Ketua Program Studi
Ilmu Komunikasi
Juwito, S.Sos, MSi
NPT 3 6704 95 0036 1
(4)
(Studi Deskriptif Pola Komunikasi Orang Tua Dan Remaja Dalam Resiko Seks Pra Nikah
Di Surabaya)
Disusun oleh :
PENY CATUR RAHAYU
0743010200
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui,
Pembimbing
DR. Catur Suratnoadji, MSI
NPT 3 6804 94 0028 1
Mengetahui
DEKAN
Dra. Hj. SUPARWATI, M.Si
NIP. 1955 0718 19830 2201
(5)
(Studi Deskriptif Pola Komunikasi Orang Tua Dan Remaja Dalam Resiko Seks Pra Nikah
Di Surabaya)
Disusun oleh :
PENY CATUR RAHAYU
0743010200
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Pada tanggal 31 Februari 2011
PEMBIMBING
TIM PENGUJI :
1.
Ketua
DR. Catur Suratnoadji, MSi
Juwito, S.Sos, M.Si
NPT 3 6804 94 0028 1
NPT 3 6704 95 0036 1
2.
Sekretaris
Drs. Syaifuddin Zuhri, MSi
NPT. 37006 94 0035 1
3.
Anggota
DR. Catur Suratnoadji, MSi
NPT 3 6804 94 0028 1
Mengetahui
DEKAN
(6)
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah
memberi berkat rahmat dan hidayah – Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan
proposal dengan judul : POLA KOMUNIKASI ORANG TUA DAN REMAJA
DALAM MEMAHAMI RESIKO SEKS PRA NIKAH DI SURABAYA (Studi
Deskriptif Pola Komunikasi Orang Tua Dan Remaja Dalam Memahami Resiko
Seks Pra Nikah Di Surabaya).
Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak D.R Catur
Suratnoadji, MSI, sebagai Dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan
dalam penyusunan skripsi ini.
Selama mengerjakan skripsi ini, tak lupa penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung penulis.
Adapun penulis sampaikan rasa terima kasih, kepada :
1.
Tuhan Yesus Kristus, atas karunia-Nya penulis selalu diberikan kesehatan
dan kekuatan baik fisik maupun mental.
2.
Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3.
Bapak Juwito, S.Sos, Msi, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi.
4.
Bapak Drs. Saifuddin Zuhri, Msi, sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu
Komunikasi.
5.
Dosen-dosen Ilmu Komunikasi banyak memberikan ilmu dan dorongan
dalam menyelesaikan skripsi.
(7)
moril maupun materiil. Terima kasih papa yang selalu mensuport penulis jika
sedang dalam keadaan yang labil.
2.
Terima kasih buat kakak - kakak penulis Mas Eko dan Mas Dwi yang selalu
memberi semangat kepada penulis.
3.
Terima kasih untuk Iwan Sandy yang selalu mau membantu penulis jika
membutuhkan bantuan dalam mengerjakan skripsi ini dan keluarganya yang
selalu mendoakan dan mensuport penulis agar cepat selesai dalam
mengerjakan skripsi ini.
4.
Untuk orang-orang terdekat penulis dan selalu memotivasi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini, Inne, Maulia, Ros, Resky, Namira terima kasih
kalian selalu mengingatkan penulis agar terus giat untuk menyelesaikan
skripsi ini.
5.
Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis. Penulis
menyadari masih banyak sekali kekurangan dalam penyusunan laporan
magang ini. Maka penulis mengharapkan diberikan saran dan kritik yang
membangun. Terima kasih.
Penulis menerima kritikan dan saran dengan terbuka untuk kesempurnaan
skripsi ini. Diharapkan hasil laporan ini dapat memberikan manfaat.
Surabaya, Agustus 2010
(8)
LEMBAR PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iii
ABSTRAKSI... vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ...
1
1.2. Perumusan
Masalah ... 8
1.3. Tujuan
Penelitian ... 8
1.4. Manfaat Penelitian ...
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan
Teori ... 9
2.1.1. Keluarga ... 9
2.1.1.1. Pengertian Keluarga...
9
2.1.1.2. Fungsi Keluarga ... 10
2.1.2. Pola Komunikasi ... 14
2.1.2.1. Pengertian Pola Komunikasi... 14
2.1.2.2. Macam – Macam Pola Komunikasi... 15
2.1.2.3. Fungsi Komunikasi Keluarga ... 16
2.1.3
Remaja ... 17
2.1.3.1. Pengertian Remaja ... 17
(9)
2.1.4.2. Kehamilan Remaja ... 22
2.1.4.3 Resiko Seks Pra Nikah………. 26
2.2. Kerangka
Berfikir ... 27
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian ... 31
3.2. Subyek
Penelitian ... 31
3.2.1. Keluarga ... 31
3.2.2. Pola Komunikasi Keluarga ... 32
3.3
Informan ... 35
3.4 Metode Pengumpulan Data... 37
3.5. Teknik Analisis Data ... 38
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian dan Penyajian Data ... 40
4.1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian... 40
4.1.2 Penyajian Data……… 42
4.1.3 Identitas Responden……… 43
4.2. Analisis Data……….. 52
4.2.1. Pola Komunikasi Orang Tua Dan Remaja
Dalam Memahami Resiko Seks Pra Nikah………..… 53
4.2.1.1 Pesan... 53
(10)
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan……… 85
5.2.
Saran………..….... 87
DAFTAR PUSTAKA ... 89
(11)
POLA KOMUNIKASI ORANG TUA DAN REMAJA DALAM
MEMAHAMI RESIKO SEKS PRA NIKAH DI SURABAYA (Studi
Deskriptif Pola Komunikasi Orang Tua Dan Remaja Dalam Memahami
Resiko Seks Pra Nikah Di Surabaya)
Komunikasi adalah inti dari semua perhubungan dimana ada masyarakat
yang melakukan hubungan sosial disitu ada kegiatan komunikasi. Tanggung
jawab orang tua adalah mendidik anak,maka komunikasi yang berlangsung
bernilai pendidikan yang mengandung norma agama, akhlak, sosial, etika, estetika
dan moral. Komunikasi dalam keluarga mengandung dua fungsi yaitu fungsi
sosial dan cultural. Tanpa komunikasi, kehidupan keluarga akan terasa kosong
dan berakibat kerawanan hubungan antara anggota keluarga. Oleh karena itu
komunikasi antar keluarga perlu dibangun secara harmonis dalam rangka
membangun pendidikan yang baik dalam keluarga.
Beberapa teori yang digunakan dalam penilitian ini diantaranya adalah
keluarga, pola komunikasi, remaja dan hamil diluar nikah.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan analisis kualitatif.
Yang menjadi bagian dari penelitian ini adalah remaja usia 16-21 tahun yang
melakukan hubungan seks pra nikah, orang tua remaja yang melakukan yang
melakukan hubungan seks pra nikah, remaja usia 16-21 tahun yang tidak
melakukan hubungan seks pranikah dan orang tua remaja yang tidak melakukan
hubungan seks pra nikah. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui konservasi,
interview dan studi literature. Analisis data menggunakan indepth interview.
Berdasarkan dari hasil penelitian diketahui bahwa keluarga pertama
menggunakan pola keseimbangan terbalik, keluarga kedua menggunakan pola
keseimbangan, keluarga ketiga menggunakan pola keseimbangan, pola keempat
menggunakan pola monopoli, keluarga kelima menggunakan pola keseimbangan,
keluarga keenam menggunakan pola pemisah tidak seimbang, keluarga ketujuh
menggunakan pola komunikasi keseimbangan, keluarga kedelapan menggunakan
(12)
menggunakan pola keseimbangan serta keluarga ke dua belas juga menggunakan
pola keseimbangan.
Saran yang diberikan berkaitan dengan hasil penelitian ini adalah Orang
tua harus berperan aktif dalam melakukan kedekatan dengan anak baik ibu atau
pun ayah agar dapat mengetahui rutinitas anak dan dapat mengontrol anak
remajanya untuk tidal melakukan hal – hal yang bersifat negative. Sesibuk –
sibuknya orang tua dalam bekerja seharusnya ada waktu luang untuk anaknya
supaya bisa mengetahui keluh kesah anak dan dapat saling mengerti satu sama
lain. Memberi kebebasan untuk anak memang perlu dan orang tua harus selalu
memberi arahan dan mengontrol anak remajanya. Kebebasan diberikan tidak
sepenuhnya agar anak tidak salah menggunakan kepercayaan orang tua.
(13)
1.1. Latar Belakang
"Jer Basuki Mawa Bea" merupakan kata-kata simbol Jawa Timur. Artinya, cita - cita hanya dapat dicapai dengan pengorbanan. Hal ini juga menjadi motto utama, khususnya masyarakat Surabaya, kota Pahlawan yang merupakan gambaran sejarah perjuangan melawan penjajah. Kota Surabaya adalah ibukota Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Dengan jumlah penduduk metropolisnya yang mencapai 3 juta jiwa, Surabaya merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan Indonesia timur. Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah.
Di kota Metropolis banyak kaum remaja yang melakukan kenakalan remaja. Kenakalan remaja dapat berupa Berbohong, Pergi keluar rumah tanpa pamit, Keluyuran, Begadang, membolos sekolah, Berkelahi dengan teman, Berkelahi antar sekolah, Buang sampah sembarangan, membaca buku porno, melihat gambar porno, menontin film porno, Mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM, Kebut-kebutan/mengebut, Minum-minuman keras, Kumpul kebo, Hubungan sex diluar nikah, Mencuri, Mencopet, Menodong, Menggugurkan Kandungan, Memperkosa, Berjudi, Menyalahgunakan narkotika, Membunuh.
(14)
Dalam data yang diperoleh di PPT Jatim (Pusat Pelayanan Terpadu), terdapat 4 kasus yang ditangani dari tahun 2008 – 2010 dalam hal kekerasan masa pacaran. Dalam kasus ini mengakibatkan korban mengalami kehamilan. Dalam data yang dimiliki oleh Kelompok Perempuan Pro Demokrasi Samitra Surabaya pada 24 Desember 2009 – 20 November 2010 terdapat 353 perempuan yang mengalami permasalahan antara lain dalam perkosaan, pelecehan seksual dan kekerasan dalam berpacaran. Dalam data yang dimiliki Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur mulai Tahun 2008 – 2009 terdapat 68 kasus yang menimpa remaja, antara lain kasusnya adalah pemerkosaan,pencabulan, aborsi, dan pernikahan dini.
Kasus terbesar di Surabaya tentang remaja yang hamil diluar nikah, yang mencuat ke hadapan public adalah ditemukan bayi di toilet guru. Seperti yang telah dilakukan salah satu siswi smu 12 Surabaya pada pertengahan Juli 2010. Berita yang telah menggemparkan se-indonesia tentang ditemukan bayi yang sudah tidak bernyawa di toilet guru dan TU dan bayi tersebut sengaja dibunuh dengan melilitkan kabel di leher sang bayi. Di lihat dari persoalan ini dapat disimpulkan bahwa kehidupan remaja di kota besar seperti Surabaya saat ini cenderung ke arah yang negative.
Hal tersebut dapat terjadi karena kurang perhatian orang tua pada anak, sehingga seorang anak mendapatkan perhatian dari orang lain yang dapat mengakibatkan seorang anak tersebut melakukan kenakalan remaja. Agar anak tidak menjadi salah jalan, maka peran serta orang tua harus lebih waspada dalam mendidik anak – anaknya. Ketika seorang anak sudah mengenal dunia luar, orang
(15)
tua harus lebih aktif dalam mengawasi anak – anaknya agar tidak terjun ke dunia bebas. Maka dari itu dibutuhkan kedekatan antara orang tua dan anak terutama komunikasi dari seorang ibu kepada sang anak. Tanggung jawab orang tua adalah mendidik anaknya, maka komunikasi yang berlangsung dalam keluarga bernilai pendidikan. Dalam komunikasi itu ada sejumlah norma yang ingin diwariskan oleh orang tua kepada anaknya dengan pengandalan pendidikan norma – norma itu misalnya, norma agama, norma akhlak, norma sosial, norma etika, norma estetika dan norma moral.
Komunikasi keluarga dilihat dari segi fungsinya tidak jauh berbeda dengan fungsi komunikasi pada umumnya. Paling tidak ada dua fungsi komunikasi dalam keluarga, yaitu fungsi komunikasi sosial dan fungsi komunikasi kultural. Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, untuk menghindarkan diri dari tekanan dan ketegangan. Fungsi komunikasi kultural, para sosiologi berpendapat bahwa komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal baik. Peranan komunikasi disini adalah turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. (Djamarah, 2004:37).
Dalam keluarga, ketika dua orang berkomunikasi, sebetulnya mereka berada dalam perbedaan untuk mencapai kesamaan pengertian dengan cara mengungkapkan dunia sendiri yang khas, mengungkapkan dirinya yang tidak sama dengan siapa pun. Sekalipun yang berkomunikasi itu adalah antara suami – istri, antara ayah dengan anak, antara ibu dan anak, antara anak dan anak, hanya
(16)
sebagian kecil mereka itu sama tahu, sama – sama mengalami, sama pendapat dan sama pandangan. Pada bidang tertentu selalu ada perbedaan, tidak dialami oleh pihak lain. Oleh karena itu, berkomunikasi jauh lebih komunikatif dari pada berkomunikasi mengenai bidang yang berbeda. (Djamarah, 2004:62).
Komunikasi yang diterapkan oleh keluarga sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian seorang anak, terutama bagi remaja usia 12 – 20 tahun karena masa remaja adalah masa yang menyenangkan sekaligus masa yang sulit dalam hidup seseorang. Keluarga khususnya orang tua harus memahami dinamika pertumbuhan remaja sebab anak – anak adalah produk langsung dari orang tua, dan bukan produk langsung dari pendidikan atau sekolah. Tanggung jawab untuk membesarkan anak diletakkan pada pundak orang tua, bukan pada para pendidik sekolah. Jadi harus diakui bahwa kehidupan dan cara orang tua membesarkan anak berdampak besar pada perkembangan remaja, karena orang tua sebetulnya adalah contoh atau model hidup bagi si anak. Maksudnya, banyak hal – hal kecil yang tanpa disadari disampaikan kepada anak melalui gaya hidup atau interaksi orang tua dan anak. Hal tersebut pada akhirnya mempengaruhi masa pertumbuhan anak itu. (http:/www.sabda.org/publikasi/e-konsel/019).
Komunikasi keluarga dapat berjalan bilamana keluarga tersebut dalam keadaan keluarga yang harmonis. Keluarga harmonis yaitu keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan anak. Keluarga harmonis adalah dambaan setiap orang. Keluarga harmonis merupakan tanggung jawab suami - isteri, bukan hanya isteri ataupun suami saja. Masalah tidak ada kecocokan 100 % merupakan hal yang biasa karena suami - isteri adalah dua orang yang berbeda, yang dibesarkan oleh
(17)
keluarga yang berbeda, untuk itu diperlukan saling pengertian kedua belah pihak agar dapat menyesuaikan diri. Wanita harus dapat membuat pasangannya 'merasa' dibutuhkan secara moril, bukan secara materi, janganlah terlalu berharap banyak akan pasangan kita, selagi dia tidak mampu. (http://www.dunia-ibu.org/html/keluarga_harmonis.html)
Rumah tangga yang sudah tidak harmonis, tidak seharusnya menjadi tanggung jawab istri untuk mengharmoniskannya kembali. Jika seorang ibu berpikir demikian karena naluri keibuan merasa tidak rela anak-anak harus menanggung akibat dari kekacauan rumah tangga yang seharusnya bisa kita kendalikan dengan baik. Kalau ketidak cocokan itu memang sudah tidak dapat diperbaiki lagi, dan berpisah dianggap jalan yg terbaik, lebih baik berpisah dari pada anak dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis, anak-anak berhak dibesarkan dalam kedamaian. Perceraian tidak selalu berakibat buruk, apalagi kalau setelah bercerai hubungan ortu masih tetap baik. Anak akan tetap merasakan kasih sayang dan akan belajar menerima kenyataan tanpa merasa terluka. (http://www.dunia-ibu.org/html/keluarga_harmonis.html).
Keluarga yang tidak harmonis dapat mempengaruhi psikis dari seorang anak. Akibatnya, anak akan mengalami kenakalan remaja. Kenakalan remaja merupakan perbuatan pelanggaran norma-norma baik norma hukum maupun norma social, Semua perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan bagi anak-anak merupakan kenakalan jadi semua yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya dan sebagainya. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu untuk menimbulkan keonaran
(18)
dalam masyarakat. Sering kali ditemukan anak – anak yang melakukan kenakalan remaja, terutama anak yang melakukan seks bebas karena sering menonton video porno bahkan cara berpacaran yang terlalu senonoh. Sehingga di kota – kota besar banyak perempuan yang melahirkan anak sebelum menikah atau adanya pernikahan dini yang biasa disebut MBA (married by accident). Remaja yang sudah mengalami hamil diluar nikah pasti mengalami goncangan pikiran yang dapat mengakibatkan dirinya jadi stres. Semakin lama semakin meningkat adanya hamil di luar nikah sehingga menurut pandangan masyarakat hamil di luar nikah sudah menjadi hal yang tidak tabu lagi.
Usia remaja dimulai pada umur 12 tahun. Menurut Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek.
(http://episentrum.com/artikel-psikologi/psikologi-remaja-karakteristik-dan-permasalahannya/#more-190).
Pada penelitian ini, subyek penelitiannya adalah remaja yang hamil diluar nikah. Dipilihnya remaja sebagai subyek penelitian karena pada masa remaja yaitu pada saat usia sekitar 12 – 21 tahun adalah masa dimana seseorang membentuk atau mulai membangun siapa dirinya atau jati dirinya.
(19)
(http://episentrum.com/artikel-psikologi/psikologi-remaja-karakteristik-dan-permasalahannya/#more-190).
Pada penelitian ini dipilih remaja usia sekitar 16 – 20 tahun karena pada usia ini pergumulan remaja biasanya berkaitan dengan penerimaan lingkungan teman – temannya terhadap dirinya ini. Permasalahan yang timbul biasanya seputar hubungan mereka dengan orang tua. Pada fase ini, sangat dibutuhkan peran orang tua dalam membimbing anaknya yang sudah salah jalan dan senantiasa berkomunikasi dengan anak – anaknya sehingga diharapkan keluarga dapat menerima apapun kondisi anak yang sudah salah langkah tersebut dan berusaha baik keluarga dan anak tersebut tidak larut dalam dampak psikologis yang terlalu mendalam.
Dalam penelitian ini, penulis memilih Surabaya untuk cakupan penelitian karena Surabaya sebagai ibukota Jawa Timur dan merupakan kota metropolis dan kota terbesar kedua setelah Jakarta dilihat dari padatnya penduduk dan berbagai permasalahan social yang terjadi.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola komunikasi orang tua dan remaja dalam resiko seks pra nikah di kota Surabaya (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Orang Tua Dan Remaja Dalam Resiko Seks Pra Nikah Di Kota Surabaya).
(20)
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah pola komunikasi orang tua dan remaja dalam resiko seks pra nikah di kota Surabaya.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pola komunikasi orang tua dan remaja dalam resiko seks pra nikah di kota Surabaya.
1.4. Manfaat Penelitian a. Secara teoritis
Dapat digunakan untuk menambah wacana komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi.
b. Secara Praktis
Memberikan gambaran bagi pembaca, khususnya masyarakat umum tentang pola komunikasi dalam keluarga, terutama remaja yang melakukan seks pra nikah.
(21)
2.1. Landasan Teori 2.1.1 Keluarga
2.1.1.1. Pengertian Keluarga
Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan social. Dalam dimensi hubungan darah, merupakan kesatuan yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan yang lainnya. Keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti.
Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan satu kesatuan yang diikat adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi, walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah. (Djamarah, 2004:16).
Menurut Soeleman, secara psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing2 anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling menyerahkan diri. (Djamarah, 2004:17).
Menurut Mulyono (1984:26) keluarga merupakan wadah pembentukan pribadi anggota keluarga terutama untuk anak – anak yang sedang mengalami pertumbuhan fisik dan rohani. Dengan demikian kedudukan keluarga sangat fundamental dan mempunyai peranan yang vital bagi pendidikan seseorang akan
(22)
lingkungan keluarga, secara pontensial dapat membentuk pribadi anak atau seseorang untuk hidup secara lebih bertanggung jawab.
2.1.1.2. Fungsi Keluarga
Menurut Djamarah (2004:18) Konsep keluarga sudah banyak diuraikan pada bagian terdahulu, dimana pada hakikatnya keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami – istri, istri dan anak – anaknya, atau ayah dan anak – anaknya, atau ibu dan anaknya.
Hidup berkeluarga sebagai sepasang suami istri tidak bisa sembarangan. Namun nyatanya dalam kasus tertentu masih ada orang tua yang mengawinkan anaknya dalam usia dini. Misalnya seperti yang terjadi dalam masyarakat tradisional, dimana masih ada orang tua yang mengawinkan anaknya dalam keadaan usia dini. Padahal anaknya belum siap lahir batin. Penyaluran nafsu seksual secara sah menurut ajaran agama via perkawinan bukanlah tujuan utama. Karena masih ada tujuan lain yang lebih mulia yang ingin dicapai, yaitu ingin membentuk keluarga sejahtera lahir dan batin. (Djamarah, 2004:18).
Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 21 Tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, Bab I, Pasal I, Ayat 2, disebutkan, bahwa: Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan (Djamarah, 2004:19).
(23)
Untuk menciptakan keluarga sejahtera tidak mudah. Kaya atau miskin bukan satu – satunya indikator untuk menilai sejahtera atau tidak suatu keluarga. Buktinya cukup banyak ditemukan keluarga yang kaya secara ekonomi ditengah kehidupan masyarakat, tetapi belum mendapatkan kebahagiaan. Tetapi tidak mustahil bagi keluarga yang miskin secara ekonomi ditemukan kebahagiaan. Oleh karena itu, kaya atau miskin bukan suatu jaminan untuk menilai kualitas suatu keluarga karena banyak aspek lain yang ikut menentukan, yaitu aspek pendidikan, kesehatan, budaya, kemandirian keluarga dan mental spiritual serta nilai – nilai agama yang merupakan dasar untuk mencapai dasar untuk mencapai keluarga sejahtera. (Djamarah, 2004:19).
Dalam rangka untuk membangun keluarga yang berkwalitas tidak terlepas dari usaha anggota keluarga untuk mengembangkan keluarga yang berkwalitas yang diarahkan pada terwujudnya kualitas keluarga yang bercirikan kemandirian keluarga dan ketahanan keluarga. Sedangkan penyelenggaraan pengembangan keluarga yang berkualitas ditujukan agar keluarga dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil sehingga dapat menjalankan fungsi keluarga secara optimal. Sedangkan fungsi keluarga itu sendiri berkaitan langsung dengan aspek – aspek keagamaan, budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. (Djamarah, 2004:19).
Keluarga adalah ladang terbaik dalam penyemaian nilai – nilai agama. Orang tua memiliki peranan yang strategis dalam menstradisikan ritual keagamaan sehingga nilai – nilai agama dapat bersemi dengan suburnya dalam jiwa anak. Kepribadian yang luhur agamis yang membalut jiwa anak
(24)
menjadikannya insane – insane yang penuh iman dan takwa kepada Allah SWT. (Djamarah, 2004:19).
Keluarga dalam konteks sosial budaya tidak bisa dipisahkan dari tradisi budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam konteks sosial, anak pasti hidup bermasyarakat dan bergerumul dengan budaya yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak agar menjadi orang yang pandai hidup bermasyarakat dan hidup dengan budaya yang baik dalam masyarakat. Sebagai anggota masyarakat, anak dituntut untuk terlibat langsung didalamnya dan bukan sebagai penonton tanpa mengambil peranan. (Djamarah, 2004:20).
Ketika cinta kasih antara orang tua dan anak menyelinap ke relung hati, disana terpatri keinginan untuk selalu bersama, bercengkraman dan bersenda gurau, membicarakan tentang hidup dan kehidupan. Rasa aman dalam kebersamaan mampu menumbuhkan kehangatan cinta kasih secara timbal balik. Cinta kasih yang disemai oleh orang tua mendapat sambutan hangat dari anaknya untuk membalasnya. Anak merindukan orang tua dan orang tua pun merindukan anaknya. Oleh karena itu, perpaduan cinta kasih dan kerinduan dapat mengakrabkan hubungan orang tua dengan anaknya. (Djamarah, 2004:20).
Kerinduan suami – istri untuk selalu bersama, berhubungan berlandaskan cinta kasih membuahkan hasil dengan lahirnya seorang anak. Bagi orang tua, anak adalah buah hati dan harapan di masa depan. Karenanya, sering ditemukan orang tua yang bersedih karena belum diberi anak oleh Tuhan YME. Karena suatu sebab, misalnya karena mandul sehingga reproduksi tidak berfungsi dengan baik,
(25)
karena menderita kanker rahim, keguguran semasa banyi dalam kandungan, dan sebagainya. Dan tidak sedikit orang tua yang merasa sepi tanpa kehadiran seorang anak. Anak adalah penghibur orang tua dalam suka dan duka. Sampai kapan pun kehidupan berumah tangga itu berlangsung, suami – istri selalu mendambakan kehadiran seorang anak disisi mereka. Tak peduli, apakah anak yang akan lahir itu laki – laki atau pun perempuan, yang penting mendapatkan anak sebagai buah dari cinta kasih sepasang suami – istri. (Djamarah, 2004:21).
Kehadiran anak disisi orang tua tidak harus membuat orang tua terbuai dengan kebanggaan. Kebanggaan itu mungkin saja membuat orang tua terlena. Hidup dalam keterlenaan biasa menyebabkan tugas – tugas penting terlupakan. Bangga terhadap anak, boleh saja, asalkan dalam batas – batas yang wajar. Karena tugas lain seperti mendidik anak masih menunggu. Mendidik anak adalah tanggung jawab orang tua. Kalaupun tugas mendidik anak dilimpahkan kepada guru di sekolah, tetapi tugas – tugas guru hanya sebatas membantu orang tua bukan mengambil alih tanggung jawab orang tua sepenuhnya. Oleh karena itu, menyerahkan sepenuhnya tugas orang tua kepada guru sama halnya dengan melepas tanggung jawab. Itulah figur orang tua yang tidak bertanggung jawab terhadap anaknya. Apapun usaha yang dilakukan orang tua dalam mendidik anaknya, yang penting anak menjadi cerdas dan bias menyesuaikan diri dengan alam lingkungannya di masa depan. Orang yang pandai menyesuaikan diridengan lingkungannya berarti dia pandai menempatkan diri secara serasi, selaras dan seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis. (Djamarah, 2004:21).
(26)
2.1.2 Pola Komunikasi
2.1.2.1 Pengertian Pola Komunikasi
Pola diartikan sebagai bentuk atau struktur yang tetap. Sedangkan adalah suatu proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.
Dengan demikian, yang dimaksud pola komunikasi adalah pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Bahri, 2004 : 1). Pemahaman lainnya, pola komunikasi adalah suatu gambaran sederhana dari proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya.
Dimensi pola komunikasi terdiri dari dua macam, yaitu pola yang berorientasi pada social yang mempunyai arah hubungan yang berlainan. (Sunarto, 2006 : 1).
Tubbs dan moss mengatakan bahwa pola komunikasi atau hubungan – hubungan itu dapat dicirikan oleh komplementaris atau simetri. Dalam hubungan komplementer, satu bentuk perilaku akan diikuti oleh lawannya. Contohnya perilaku dominan dari satu partisipan mendatangkan perilaku tunduk dari lainnya. Dalam simetri, tingkatan sejauh mana orang berinteraksi atas dasar kesamaan. Dominasi bertemu dengan dominasi atau kepatuhan dengan kepatuhan (Tubbs dan Moss, 2001 : 26). Disini kita mulai melihat bagaimana proses interaksi menciptakan struktur system. Bagaimana orang merespon satu sama lain menentukan jenis hubungan yang mereka miliki.
(27)
Dari pengertian di atas maka suatu pola komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan yang mengkaitkan dua komponen, yaitu gambaran atau rencana yang meliputi langkah – langkah pada suatu aktifitas, dengan komponen – komponen yang merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan komunikasi antar manusia atau kelompok dan organisasi.
2.1.2.2 Macam – Macam Pola Komunikasi
Empat dasar pola komunikasi akan diperkenalkan dan tiap hubungan perorangan akan menunjukan sebagai suatu perubahan pada satu dari pola dasar. Pola – pola komunikasi menurut Devito (2007:277 - 278) adalah
1. Pola Keseimbangan
Pola keseimbangan ini lebih terlihat pada teori dari pada prakteknya, tetapi ini merupakan awal yang bagus untuk melihat komunikasi pada hubungan yang penting. Pada pola komunikasi keseimbangan ini, masing – masing anggota dalam keluarga membagi sama dalam berkomunikasi.
2. Pola Keseimbangan Terbalik
Dalam pola keseimbangan terbalik, masing – masing anggota keluarga mempunyai otoritas diatas daerah atau wewenang yang berbeda. Masing – masing anggota keluarga adalah sebagai pembuat keputusan. Konflik yang terjadi dalam keluarga dianggap bukan ancaman oleh anggota keluarga karena masing – masing memiliki keahlian sendiri yang menyelesaikannya.
(28)
Contoh : dalam keluarga yang tradisional, ayah memiliki kredibilitas yang tinggi dalam pekerjaan, sedangkan ibu memiliki kredibilitas yang tinggi pula dalam mengurus rumah tangga dan anak.
3. Pola Pemisah Tidak Seimbang
Dalam hubungan terpisah yang tidak seimbang, satu orang dalam keluarga (orang tua atau orang dewasa lainnya dalam keluarga) mendominasi. Maka dari itu, satu orang ini secara teratur mengendalikan hubungan dan hamper tidak pernah meminta pendapat anggota keluarga yang lain. Sedangkan anggota keluarga lainnya yang dikendalikan membiarkan untuk memenangkan argumentasi ataupun membuat keputusan.
4. Pola Monopoli
Dalam pola keluarga monopoli ini, orang tua dianggap sebagai penguasa. Orang tua lebih suka member nasihat dari pada berkomunikasi untuk saling tukar pendapat dengan anggota keluarga yang lainnya. Konflik sering terjadi dalam keluarga yang menganut pola komunikasi, sehingga anak sering merasa tersakiti hatinya karena tidak bias bebas untuk berpendapat.
2.1.2.3 Fungsi Komunikasi Keluarga
Fungsi komunikasi keluarga menurut Devito yaitu: 1. Fungsi menambah atau meneruskan keturunan
Merupakan fungsi komunikasi dalam keluarga untuk meneruskan nama keluarga.
(29)
2. Fungsi Agama
Merupakan komunikasi keluarga yang bertujuan untuk memberikan pengertian agama atau sisi religiusitas ke dalam keluarga.
3. Fungsi ekonomi
Merupakan fungsi komunikasi dalam keluarga sebagai pengatur atau pengelola manajemen keuangan di dalam keluarga.
4. Fungsi social
Merupakan fungsi komunikasi dalam keluarga yang mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, untuk menghindarkan diri dari ketegangan.
5. Fungsi keamanan
Merupakan fungsi komunikasi dalam keluarga yang bermaksud memberikan rasa aman dan nyaman di dalam keluarga.
2.1.3 Remaja
2.1.3.1 Pengertian Remaja
Remaja adalah anak – anak yang berusia sekitar 11 – 20 tahun. Masa remaja adalah masa pertumbuhan, jadi anak – anak remaja ini belum mencapai bentuk akhir dari tubuhnya. Masa remaja adalah masa dimana seseorang membentuk atau mulai membangun siapa dirinya atau jati dirinya. (http:/www.sabda.org/publikasi/e-konsel/019).
(30)
2.1.3.2 Karakteristik Remaja
Ada beberapa hal yang terjadi pada remaja :
1. Yang pertama adalah perubahan – perubahan fisik. Secara fisik dia akan mengembangkan tubuhnya dan akan memakan waktu kira – kira dari usia 11 tahun hingga 20 tahun hingga akhirnya dia mencapai bentuk akhir atau bentuk final tubuhnya.
2. Juga aka nada perubahan hormonal, aka nada hormon – hormon seksual yang diproduksi oleh tubuhnya, sehingga dia mulai sekarang mengembangkan ketertarikan kepada lawan jenis. (http:/www.sabda.org/publikasi/e-konsel/019).
Perbedaan masa kanak – kanak dengan masa remaja adalah:
1. Secara fisik anak remaja sudah mengalami beberapa perubahan hormonal misalkan munculnya hormon – hormon seksual yang membuat mereka itu menjadi makhluk atau menjadi manusia yang harus bergerumul dengan gejolak seksualnya.
2. Mereka makin dewasa pola pikirnya bertambah abstrak, pola piker ini membuat mereka mempertanyakan nilai – nilai yang mereka telah anut sebelumnya.
3. Para remaja juga mudah sekali mengikuti trend, mengikuti apa yang sedang in atau trend itu tidak cocok dengan yang kita sukai akibatnya sering kali terjadi pertengkaran, membuat hubungan orang tua – anak sering kali tegang. (http:/www.sabda.org/publikasi/e-konsel/019).
(31)
Sekurang – kurangnya ada tiga tahapan yang harus dilewati oleh seorang remaja :
1. Usia sekitar 12 – 14 tahun. Pada tahap ini pergumulan remaja biasanya berkaitan dengan penerimaan diri secara jasmaniah. Biasanya yang menjadi masalah adalah dia tidak menyukai bagian – bagian tubuhnya atau dia tidak bias menerima dirinya apa adanya. Kegagalan untuk bias menerima diri secara fisik, bissa membuahkan kekurang percayaan diri.
2. Usia sekitar 15 – 18 tahun. Pada usia ini pergumulan remaja biasanya berkaitan dengan penerimaan lingkungan teman – temannya terhadap dirinya ini. Apakah teman – temannya bisa menerimanya sebagai seseorang yang masuk dalam kelompok mereka.
3. Usia 19 tahun hingga 20 tahun atau 21 tahun. Ini memang sudah tumpang tindih dengan tahapan dewasa awal, sebab memang transisinya masuk ke tahapan dewasa awal. (http:/www.sabda.org/publikasi/e-konsel/019).
2.1.4 Hamil Di Luar Nikah 2.1.4.1 Seksualitas Remaja
Remaja memasuki usia subur dan produktif. Artinya secara fisiologis, mereka telah mencapai kematangan organ – organ reproduksi, baik remaja laki – laki maupun remaja wanita. Kematangan organ reproduksi tersebut mendorong individu untuk melakukan hubungan social baik dengan sesame jenis ataupun dengan lawan jenis. Mereka berupaya mengembangkan diri melalui pergaulan, dengan membentuk teman sebanyaknya (peer - group).
(32)
Pergaulan bebas yang tak terkendali secara normative dan etika – moral antar remaja yang berlainan jenis, akan berakibat adanya hubungan seksual di luar nikah (sex pre - material). (Agoes Dariyo, 2004 : 89).
Hal – hal yang mendorong remaja melakukan hubungan seks di luar pernikahan, menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Keluarga Kaiser (Kaiser Family Foundation, dalam Santok, 1998) adalah (a) factor mis-persepsi terhadap pacaran: bentuk penyaluran kasih – sayang yang salah di masa pacaran, (b) factor religiusitas: kehidupan iman yang tidak baik, dan (c) factor kematangan biologis.
a. Hubungan seks: bentuk penyaluran kasah sayang yang salah dalam masa pacaran. Sering kali remaja mempunyai pandangan yang salah bahwa masa pacaran merupakan masa dimana seseorang boleh mencintai maupun dicintai oleh kekasihnya. Dalam hal ini, bentuk ungkapan rasa cinta (kasih sayang) dapat dinyatakan dengan berbagai cara, misalnya pemberian hadiah bunga, berpelukan, berciuman, dan bahkan melakukan hubungan seksual. Dengan anggapan yang salah ini, maka juga akan menyebabkan tindakan yang salah. Karena itu, sebelum pacaran sebaiknya orang tua wajib member pengertian yang benar kepada anak remajanya agar mereka tidak terjerumus pada tindakan yang salah.
b. Kehidupan iman yang rapuh. Kehidupan beragama yang baik dan benar
ditandai dengan pengertian, pemahaman dan ketaatan dalam menjalankan ajaran – ajaran agama dengan baik, tanpa dipengaruhi oleh situasi kondisi apapun. Dalam keadaan apa saja, orang yang taat beragama, selalu dapat
(33)
menempatkan diri dan mengendalikan diri agar tidak berbuat hal – hal yang yang bertentangan dengan ajaran agama. Dalam hatinya, selalu ingat terhadap Tuhan, sebab mata Tuhan selalu mengawasi setiap perbuatan manusia. Oleh karena itu, ia tak akan melakukan hubungan seksual dengan pacarnya, sebelum menikah secara resmi. Ia akan menjaga kehormatan pacarnya, agar terhindar dari tindakan nafsu seksual sesaat. Bagi individu yang taat beragama, akan melakukan hal itu dengan sebaik – baiknya. Sebaliknya, bagi individu yang rapuh imannya, cenderung mudah melakukan pelanggaran terhadap ajaran – ajaran agamanya. Agama hanya dijadikan kedok atau topeng untuk mengelabuhi orang lain (pacar), sehingga tak heran, kemungkinan besar orang tersebut dapat melakukan hubungan seksual pranikah.
c. Factor kematangan biologis. Dapat diketahui bahwa masa remaja ditandai dengan adanya kematangan biologis. Dengan kematangan biologis, seorang remaja sudah dapat melakukan fungsi reproduksi sebagai mana layaknya orang dewasa lainnya, sebab fungsi organ seksualnya telah bekerja secara normal. Hal ini membawa konsekuensi bahwa seorang remaja akan mudah terpengaruh oleh stimulasi yang merangsang gairah seksualnya, misalnya dengan melihat film porno, cerita cabul. Kematangan biologis yang tidak disertai dengan kemampuan mengendalikan diri, cenderung berakibat negative yakni terjadinya hubungan seksual pranikah di masa pacaran remaja. Sebaliknya, kematangan biologis disertai dengan kemampuan
(34)
pengendalian diri akan membawa kebahagiaan remaja di masa depannya, sebab ia tidak akan melakukan hubungan seksual pranikah.
2.1.4.2 Kehamilan Remaja
Salah satu masalah yang cukup pelik yang berkembang di berbagai Negara baik Negara maju maupun Negara berkembang, termasuk Indonesia ialah terjadinya kehamilan di kalangan remaja wanita. Kehamilan merupakan konsekwensi logis dari hubungan pergaulan bebas antar remaja yang berbeda jenis kelamin, yang cenderung tidak dapat dikendalikan dengan baik. Kehamilan di luar nikah merupakan cermin dari ketidakmampuan seseorang remaja dalam mengambil keputusan dalam pergaulannya dengan lawan jenis. (Agoes Dariyo, 2004 : 89).
Juhasz, seorang psikolog remaja (dalam Thornburg, 1982) menyebutkan 2 hal pertimbangan yang harus dihadapi oleh remaja ketika akan mengambil suatu keputusan, yakni apakah dirinya akan memiliki anak atau tidak memiliki anak.
a. Keputusan mempunyai anak. Bila remaja memutuskan untuk
mempunyai anak, maka berarti ia akan melakukan hubungan seksual, mengalami dan merawat kehamilan, melahirkan anak, memelihara dan mendidik anak, dan seterusnya. Keputusan ini dianggap salah, sebab dirinya belum terikat dalam pernikahan yang sah dengan pacarnya.
b. Keputusan untuk tidak mempunyai anak. Sebaliknya, remaja yang tidak
(35)
Hal ini tentu dirinya akan dapat mempertahankan keperawanan maupun keperjakaan seorang remaja. Dengan demikian, ia melakukan keputusan yang tepat (adequate decision making) bagi dirinya.
Lebih lanjut, Thornburg (1982) sendiri, member penjelasan yang cukup mendalam bagi remaja yang hamil. Tentu remaja yang hamil dihadapkan dengan dua (2) pilihan, yakni (a) apakah ia akan melahirkan bayinya atau (b) melakukan aborsi (menggugurkan) janin yang dikandungnya.
a. Pilihan melahirkan bayi yang dikandungnya
Bila remaja memilih untuk melahirkan, maka memiliki 2 konsekwensi yaitu:
1. Ia akan menjadi orang tua dari anak yang di lahirkanya. Sebagai orang tua maka hal – hal yang yang harus dilakukannya, menurut Thonburg ialah: merawat kehamilan, memberi pemenuhan kebutuhan makanan yang bergizi (nutrisi), memiliki ketrampilan untuk merawat kesehatan anak secara teratur, harus merasa siap untuk dimintai kebutuhan – kebutuhan anak (kesehatan, pendidikan, rekreasi, sandang – pangan, perumahan). Setelah melahirkan bayi, remaja dapat pula memberikan anak itu kepada pihak lain agar ada yang merawatnya. Misalnya, kepada orang tua yang tidak mempunyai keturunan, tetapi merasa siap untuk mengadopsi anak tersebut sebagai anaknya sendiri. Bisa juga, bayi diserahkan kepada pihak panti asuhan. Namun ini berarti, remaja tidak mampu menjadi orang yang bertanggung jawabatas semua tindakannya. Ia melanggar dan mengingkari martabatnyasebagai manusia yang beradab.
(36)
b. Pilihan melakukan aborsi.
Bila remaja memilih untuk melakukan aborsi, maka remaja memerlukan pelayanan kesehatan untuk dapat mengeluarkan naninnya secara aman dan biaya murah. Namun dalam hal aborsi pun, remaja dihadapkan pada masalah apakah harus dilakukan secara resmi atau tidak resmi. Aborsi resmi artinya pengguguran janin dilakukan dan disetujui oleh pihak lembaga kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas, dokter, bidan), oleh remaja dan orang tua remaja sendiri. Jadi diakui secara hokum perundang – undangan. Di Amerika Serikat, mungkin aborsi telah disetujui dan diresmikan oleh pemerintah. Namun di Negara berkembang seperti Indonesia, aborsi belum di akui secara resmi. Tindakan aborsi dianggap melanggar nilai – nilai agama dan norma social – masyarakat, karena aborsi berarti melakukan pembunuhan terhadap calon – calon manusia.
Dampak lanjutan dari kehamilan remaja ternyata cukup komplek, sehingga membuat remaja merasa tertekan, stress dan sering kali tidak mampu menghadapinya dengan baik. Para ahli dari berbagai bidang pendidikan, sosiologi, ekonomi, kedokteran, hokum menyimpulkan ada 5 masalah konsekuensi logis dari kehamilan yang harus ditanggung oleh remaja, yaitu sebagai berikut:
a) Konsukuensi terhadap pendidikan : putus sekolah (DO). Remaja yang
hamil, umumnya tidak memperoleh penerimaan social dari lembaga pendidikannya, sehingga ia harus keluar dari sekolahnya. Demikian pula
(37)
remaja laki – laki yang menjadi pelaku utama penyebab kehamilan itu, mau tidak mau juga akan mengalami nasib yang sama, yaitu drop-out dari sekolahnya. Hal ini dilakukan karena pihak sekolah tidak mau dicemari oleh tindakan yang tidak terpuji seperti itu.
b) Konsukuensi sosiologis. Orang tua yang anaknya hamil diluar nikah akan merasa malu. Maka untuk menyelesaikan masalah ini, jalan terbaiknya adalah segera menikahkan anaknya yang sedang hamil dengan laki – laki yang menghamilinya. Demikian pula, masyarakat akan mencemooh, mengisolasi atau mengusir terhadap orang – orang yang melanggar norma masyarakat.
c) Konsukuensi penyesuaian dalam keluarga baru. Sebagai orang yang telah menikah, tentu remaja harus dapat menyesuaikan diri dalam keluarga yang baru. Ketidak mampuan dalam menyesuaikan diri, sehingga sering terjadi konflik – konflik, pertengkaran, percek – cokan, maka dapat akan berakhir dengan perceraian. Dengan demikian, ia akan berstatus duda muda atau janda muda.
d) Konsekuensi ekonomis : pemenuhan kebutuhan ekonomis keluarga.
Sebagai orang tua, tentu mereka harus bertanggung jawab untuk member pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Karena itu, mendorong remaja harus bekerja. Namun oleh karena itu tidak memiliki pengetahuan, ketrampilan, atau keahlian khusus sebagai seorang yang professional, maka ia akan memperoleh taraf penghasilan yang rendah. Hal akibat dari pihak lembaga yang memperkerjakan tenaganya pun tidak akan mau untuk
(38)
member bayaran gaji yang layak. Gaji yang kecil akan mempersulit dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dengan penghasilan yang rendah, menyebabkan remaja tak mampu untuk membiayai kebutuhan ekonomi keluarga, ia selalu kekurangan dan uang selalu pas – pasan. Hal ini membawa akibat pada masalah – malah percek – cokan sehingga membawa kearah perceraian, kemiskinan dan ketidak puasan kerja.
e) Konsekuensi hokum. Karena telah hamil, maka untuk memperkuat rasa
tanggung jawab, maka sebaiknya remaja melakukanpernikahan secara resmi yang diakui oleh pemerintah melalui kantor catatan sipil atau kantor urusan agama. Dengan menikah resmi, mereka akan terhindar dari sangsi social, sebab mereka menjadi suami istri yang sah. Sehingga kalau mereka mempunyai anak, maka anak mereka sudah sah secara hokum yang tertuang dalam hokum perkawinan.
2.1.4.3 Resiko Seks Pra Nikah
Istilah seks lebih tepat untuk menunjukkan alat kelamin. Namun, sering sekali masyarakat umum (awam) memiliki pengertian bahwa istilah seks lebih mengarah pada bagaimana masalah hubungan seksual antara dua orang yang berlainan jenis kelamin. Ada pula pengetahuan tentang masalah seksualitas berkaitan dengan anatomi seksual (organ – organ tubuh), fungsi hormone seksual, dan perilaku seksual dalam kehidupan social (Agoes Dariyo, 2004 : 87).
(39)
Seorang remaja yang tidak mampu mengendalikan diri, sehingga terlibat dalam kehidupan seksual secara bebas (di luar aturan norma sosial), misalnya seks pra nikah, kumpul kebo (sommon leaven), prostitusi, akan berakibat negative seperti:
a. Terjangkit STD’s (seksually transmitted diseases), b. Kehamilan (pregnancy) dan
c. Drop out dari sekolah.
Biasanya merekalah yang tidak mempunyai konsistenan antara pengetahuan, sikap dan perilakunya (Agoes Dariyo, 2004 : 88).
2.2 Kerangka Berfikir
Kerangka piker dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Gambar 2.1
Kerangka Pikir Penelitian
Permasalahan : Berkomunikasi itu tidak mudah. Terkadang seseorang dapat berkomunikasi dengan baik kepada orang lain. Di lain waktu seseorang mengeluh tidak dapat berkomunikasi dengan baik kepada orang lain. Apa yang ingin disampaikan tidak dapat dimengerti dengan baik oleh orang lain. Mereka mengeluh tentang kesenjangan komunikasi antara dirinya dan keluarga, terutama dengan orang tuanya. Apalagi bagi seorang anak yang merasakan hidupnya terkekang dan ingin merasakan dunia luar yang tidak
Hubungan Orang Tua Dan Remaja
Remaja Yang Melakukan Kenakalan Remaja
Remaja Yang Melakukan seks
(40)
karuan. Dan sekarang melakukan hubungan seks di luar nikah sudah menjadi hal yang tidak tabu lagi. Karena tertekan, seorang anak ingin merasakan kebebasan dengan cara yang salah. Pada masa ini anak juga harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru dengan hal – hal yang biasanya tidak dirasakan oleh seorang anak ketika ia sudah melakukan hubungan seks di luar nikah.
Dalam hal ini pola komunikasi orang tua terhadap anak sangat berpengaruh, mereka harus bisa meyakinkan pada anak tentang bahaya melakukan hubungan seks di luar nikah. Orang tua juga terkadang belum memberikan penjelasan yang lebih jelas kepada anaknya. Bagi anak yang gagal beradaptasi, ia akan membawa perasaan anak yang gagal, tidak berharga dan tidak dicintai. Perasaan – perasaan itu yang mengakibatkan seorang anak tersebut mengalami stress, trauma hingga mrlakukan pergaulan bebas.
Faktor Penyebab : Peran serta orang tua dalam mendidik anak harus senantiasa diterapkan karena seorang anak pasti mengalami pergolakan batin antara keinginan dan harapan mereka terhadap suatu kenyataan. Apabila seorang anak tidak dapat beradaptasi maka akan mempengaruhi perkembangan psikologisnya, seperti menjadi stress, menjadi seorang anak yang pemurung, ataupun jadi anak yang pemberontak.
Salah satu factor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak adalah perubahan pola interaksi dan pola komunikasi dalam keluarga.Pola komunikasi orang tua terhadap anak sangat bervariasi. Ada yang pola komunikasinya
(41)
menurut apa yang dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja sehingga ada yang bersifat otoriter, memanjakan anak, acuh tak acuh tetapi ada juga yang penuh cinta kasih. Perbedaan pola komunikasi orang tua yang seperti itudapat berpengaruh terhadap perkembangan emosi remaja (Mohammad, 2004). Pola komunikasi sendiri menurut Devito (2007:277-278) terbagi dalam pola keseimbangan, pola keseimbangan terbalik, pola pemisah tidak seimbang dan pola monopoli.
Kajian Teoritis : Teori komunikasi antar pribadi yang digunakan sebagai landasan teori dalam penelitian ini adalah Teori Pertukaran Sosial, merupakan satu teori yang telah dikembangkan oleh pakar psikologi John Thibaut dan Harlod Kelley (1959),ahli sosiologi seperti George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita memasuki dalam hubungan pertukaran dengan orang lain kerana dari padanya kita dapat memperolehi sesuatu ganjaran. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan sesuatu ganjaran. Bagi kita teori pertukaran sosial melihat antara perilaku dengan lingkungan hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). (http://www.scribd.com/doc/20807303/teori-pertukaran-sosial).
Teori pendukung ini mengemukakan bahwa ada banyak pertukaran atau tingkah laku yang dipertukarkan dalam kehidupan sosial. Dengan demikian pendukung teori berpendapat bahwa tingkah laku manusia didasarkan pertimbangan untung dan rugi atau costs and rewards. (Bernard Raho : 2007 : 171). Teori ini berperan penting dalam mengubah perilaku seseorang ketika diterpa media massa. Suatu penelitian menemukan adanya kegiatan informasi melalui dua tahapan dasar. Pertama, informasi bergerak media kepada orang – orang. Kedua, informasi bergerak dari orang – orang melalui saluran antarpribadi
(42)
(interpersonal channels) dan banyak bergantung pada orang lain mengenai informasi. (Onong Uchjayana Effendy : 2003 : 278)
(43)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pola komunikasi yang diterapkan dalam keluarga yang kepada anak remajanya dalam memahami resiko seks di luar nikah di Surabaya. Untuk itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif dan menggunakan analisis kwalitatif. Menggunakan metode deskriptif karena penelitian bertujuan melukiskan secara sistematis fakta dan karakteristik populasi secara factual dan cermat (Rakmat, 1999:22). Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kwalitatif yaitu suatu pendekatan yang tidak menggunakan statistic atau angka – angka tertentu.
Hasil dari penelitian kualitatif ini tidak dapat digeneralisasikan (membuat kesimpulan yang bersifat umum) atau bersifat universal, jadi hanya berlaku pada situasi dan keadaan yang sesuai dengan situasi dan keadaan dimana penelitian serupa dilakukan (Kontur, 2003:29).
3.2 Subyek Penelitian 3.2.1 Keluarga
Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan social. Dalam dimensi hubungan darah, merupakan kesatuan yang
(44)
diikat oleh hubungan darah antara satu dengan yang lainnya. Keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti.
Sedangkan dalam dimensi hubungan social, keluarga merupakan satu kesatuan yang diikat adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi, walau pun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah. (Djamarah, 2004 : 16).
3.2.2 Pola Komunikasi Keluarga
Pola komunikasi adalah pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Bahri, 2004 : 1). Pemahaman lainnya, pola komunikasi adalah suatu gambaran sederhana dari proses komunikasi yang memperlibatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lain.
Dimensi pola komunikasi terdiri dari dua macam, yaitu pola yang berorientasi pada konsep dan pola yang berorientasi pada social yang mempunyai arah hubungan yang berlainan. (Sunarto, 2006 : 1).
Tubs dan Moss mengatakan bahwa pola komunikasi atau hubungan – hubungan itu dapat dicirikan oleh komplementaris atau simetri. Dalam hubungan komplementer, satu bentuk perilaku akan diikuti oleh lawannya. Contoh perilaku dominan dari satu partisipan mendatangkan perilaku tunduk dari lainnya. Dalam simetri, tingkatan sejauh mana orang berinteraksi atas dasar kesamaan. Dominasi bertemu dengan dominasi, atau kepatuhan dengan kepatuhan (Tubbs dan Moss, 2001 : 26). Disini kita mulai melihat bagaimana proses interaksi menciptakan
(45)
struktur system. Bagaimana orang merespon satu sama lain menentukan jenis hubungan yang mereka miliki.
Pada hakekatnya, para orang tua mempunyai harapan besar agar anak – anak mereka tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, tahu membedakan apa yang yang baik dan yang tidak baik, tidak mudah terjerumus dalam perbuatan – perbuatan yang dapat merugikan dirinya dan orang lain. Harapan – harapan ini kiranya akan lebih mudah terwujud apabila sejak semula orang tua telah menyadari akan peranan mereka sebagai orang tua yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan moral anak. (Sally S. Adiwardhana : 2008 : 60).
Adapun beberapa sikap orang tua yang perlu mendapat perhatian guna perkembangan moral anaknya adalah :
1. Konsistensi dalam mendidik dan mengajar anak – anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orang tua pada suatu waktu, harus pula dilakukan kembali pada waktu yang lain. Harus ada konsistensi dalam hal – hal apa yang mendatangkan pujian atau hukuman pada anak. Juga antara ayah dan ibu harus ada kesesuaian dalam melarang atau memperbolehkan tingkah – tingkah laku tertentu pada anak. Tidak adanya konsistensi akan mengaburkan pengertian anak tentang apa yang baik dilakukan atau yang tidak baik dilakukan.
2. Sikap orang tua dalam keluarga. Bagaimana sikap ayah ke ibu atau sikap ibu ke ayah, bagaimana sikap orang tua terhadap saudara – saudaranya, terhadap pembantu rumah tangga, terhadap sopir dan lainnya. Semua ini merupakan contoh – contoh yang nyata dan dapat dilihat anak setiap hari. Sikap – sikap ini dapat berpengaruh pula terhadap perkembangan moral anak secara tidak
(46)
langsung, yaitu melalui proses peniruan. Anak meniru sikap dari orang – orang yang paling dekat dengan dirinya dan yang ditemuinya setiap hari. 3. Penghayatan orang tua akan agama yang dianutnya. Orang tua yang sungguh –
sungguh menghayati kepercayaannya kepada Tuhan, akan mempengaruhi sikap dan tindakan mereka sehari – hari. Hal ini akan berpengaruh pula terhadap cara – cara orang tua mengasuh, memelihara, mengajar dan mendidik anak – anaknya. Anak yang banyak dibekali dengan ajaran – ajaran agama, hidup dalam kepercayaan dan kesetiaan kepada Tuhan, semua itu dapat menjadi dasar yang kuat untuk perkembangan moral anak serta keseluruhan kehidupannya di kemudian hari.
4. Sikap konsekuensi dari orang tua dalam mendisiplinkan anaknya. Orang tua yang tidak menghendaki anak – anaknya untuk berbohong, bersikap tidak jujur, harus pula ditunjukan dalam sikap orang tua itu sendiri dalam kehidupan sehari – hari. Memang ada aturan – aturan yang berlaku bagi seluruh keluarga termasuk orang tua. Dalam inilah orang tua perlu menjaga sikapnya. Adanya ketidak sesuaian antara apa yang diajarkan atau dituntut orang tua terhadap anaknya, dengan apa penjelasan pengertian tentang apa yang betul dan apa yang salah, oleh orang tua atau beberapa tokoh yang ada di luar dirinya. Anak diajari untuk mengenal dan mematuhi aturan – aturan yang diberikan orang tua ataupun orang lain yang mempunyai otoritas. Melalui apa yang telah dipelajari anak di rumah atau pada situasi tertentu, diharapkan anak dapat menerapkannya juga pada situasi lain yang lebih luas, yang tidak diawasi skalipun. (Sally S. Adiwardhana : 2008 : 62-65).
(47)
3.3 Informan
Dalam penelitian kualitatif posisi narasumber sangat penting, sebagai individu yang sangat penting. Informan merupakan tumpuan pengumpulan data bagi peneliti dalam mengungkap permasalahan penelitian. Makna informan dan responden berbeda. Responden adalah jenis sumber data yang berupa manusia dalam penelitian. Posisinya sekedar untuk memberi tanggapanpada apa yang diminta atau ditentukanoleh peneliti. Informan adalah tidak sekedar memberi tanggapan pada yang diminta si peneliti, tetapi ia bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang dimilikinya. Dan informan posisi sumber datanya sangat penting perannya sebagai individu yang memiliki informasi. (HP Sutopo : 2006 : 57-58).
Adapun langkah – langkah peneliti untuk mendapatkan informan adalah sebagai berikut :
1. Melakukan kontak awal dan cara masuk.
Tugas untuk melakukan kontak awal pada orang – orang yang diperlukan dilokasi studi serta mendapatkan cara masuk yang dianggap palin tepat adalah merupakan aspek formal ataupun aspek informal. Sehubung dengan hal ini, peneliti harus memahami peta organisasi dengan beragam jabatan ataupun kewenangan.
2. Negoisasi perhatian dan merundingkan kesepakatan.
Kesepakatan adalah penting bagi setiap penelitian untuk menunjukan legalitas dan juga alasan etis. Peneliti juga perlu menjelaskan posisinya dengan pekerjaan dan alamatnya secara jelas hingga bisa menambah
(48)
kepercayaan para informannya dan keterbukaan ini juga akan menimbulkan rasa aman dalam memberikan informan secara jujur.
3. Mengembangkan dan menjaga reliabilitas penelitian.
Kepercayaan dan rasa aman pada informan akan menjadi ketersediaan dan terbeberkannya data yang lengkap, mendalam, bisa dipercaya dan benar. Begitu peneliti mendapatkan kepercayaan maka proses kegiatan penelitiannya akan bisa dilakukan secara lancar.
4. Identifikasi dan pemilihan informan.
Karena peneliti ingin menggali dan mengumpulkan data yang benar dan bisa dipercaya, maka ia perlu memikirkan pilihan informannya secara tepat. Pilihan informan ditentukan oleh pengetahuan mengenai posisi dan akses informasi yang lengkap, belum tentu ia mau atau bisa memberikan informasi secara apa adanya atau berterus terang secara jujur. Dalam hal ini peneliti wajib memahami konteksnya agar bisa memahami sikap informannya. (HB Sutopo : 2006 : 187-189).
Pada penelitian ini, informan kunci yag digunakan adalah :
1. Orang tua yang mempunyai remaja yang pernah melakukan seks pra nikah. 2. Remaja putra dan putri yang pernah melakukan hubungan seks di luar nikah. 3. Orang tua yang mempunyai anak remaja yang tidak melakukan hubungan seks
pra nikah.
(49)
3.4 Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan :
1. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara kepada responden. Jawaban – jawaban responden dicatat dan direkam dengan tape recorder. Wawancara yang dilakukan adalah indepth interview atau wawancara secara mendalam, yaitu mendapatkan informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan, dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap tentang topic yang di teliti (Bugin, 2001:110). Peneliti mengajukan pertanyaan – pertanyaan dan sedetail – detailnya guna mendapatkan informasi yang diharapkan. Daftar pertanyaan untuk wawancara disebut interview schedule. Sedangkan catatan secara garis besar tantang pokok – pokok pertanyaan disebut interview guide (pedoman wawancara) (Soehartono, 2004:67-68).
Adapun langkah – langkah wawancara adalah 1. Menetapkan kepada siapa wawancara itu di lakukan.
2. Menyiapkan pokok – pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan.
3. Mengawali atau membuka alur wawancara. 4. Melangsungkan alur wawancara.
5. Mengkonfirmasikan ikhtisar wawancara dan mengakhirinya. 6. Menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan.
7. Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh. (Sugiyono : 2005 : 76).
(50)
2. Observasi adalah pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan yang tidak mengajukan pertanyaan – pertanyaan (Soehartono, 2004:69). Data yang didapat dengan cara mencatat perilaku subyek (orang), objek (benda), atau kejadian yang sistematik tanpa adanya komunikasi atau pertanyaan dengan individu yang diteliti.
3. Study literature adalah teknik pengumpulan data dengan mencari data penunjang dengan mengolah buku – buku dan nara sumber bacaan lain yang berkaitan dengan masalah penelitian.
3.5 Teknik Analisis Data
Setelah seluruh data diperoleh dari indepth interview, maka peneliti akan menganalisis data tersebut berdasarkan pola komunikasi yang ada. Selanjutnya peneliti akan mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode dan mengkategorikan data secara deskriptip untuk mengetahui bagaimana pola komunikasi orang tua dan remaja dalam memahami resiko seks di luar nikah di kota Surabaya.
Adapun langkah – langkah analisisnya adalah sebagai berikut : 1. Reduksi Data (Data Reduction), yaitu proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyerdehanaan. Abstraksi dan transformasi data kasar yang diperoleh di lapangan studi.
2. Penyajian Data (Data Display), yaitu deskripsi kumpulan informasi tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan dan
(51)
pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif yang lazim digunakan adalah dalam bentuk teks naratif.
3. Penarikan Kesimpulan dan Verivikasi (conclusion drawing and verivication). Dari permulaan pengumpulan data, periset kualitatif mencari makna dari setiap gejala yang diperolehnya di lapangan, mencatat keteraturan atau pola penjelasan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas dan proposisi. Periset yang berkompeten akan menangani kesimpulan – kesimpulan itu secara longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan telah disediakan. Selama penelitian masih berlangsung, setiap kesimpulan yang ditetapkan akan terus menerus diverivikasi hingga benar – benar diperoleh konklusi yang valid dan kokoh. (Agus Salim : 2006 : 22 - 23).
(52)
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian dan Penyajian Data 4.1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan social. Dalam dimensi hubungan darah, merupakan kesatuan yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan yang lainnya. Keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti.
Sedangkan dalam dimensi hubungan social, keluarga merupakan satu kesatuan yang diikat adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi, walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah. (Djamarah, 2004 : 16).
Keluarga merupakan wadah pembentukan pribadi anggota keluarga terutama untuk anak – anaknya yang sedang mengalami pertumbuhan fisik dan rohani. Dengan demikian kedudukan keluarga sangat fundamental dan mempunyai peranan yang vitak bagi pendidikan seorang akan lingkungan keluarga, secara potensial dapat membentuk pribadi anak atau seseorang untuk hidup secara lebih bertanggung jawab.
Dalam hal ini didalam keluarga perlu adanya pola komunikasi. Komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pola komunikasi adalah pola hubungan antara
(53)
dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. (Bahri, 2004 : 1). Pemahaman lainnya, pola komunikasi adalah suatu gambaran sederhana dari proses komunikasi yang memperlibatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lain.
Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 21 Tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, Bab I, Pasal I, Ayat 2, disebutkan, bahwa: Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan (Djamarah, 2004:19).
Untuk menciptakan keluarga sejahtera tidak mudah. Kaya atau miskin bukan satu – satunya indikator untuk menilai sejahtera atau tidak suatu keluarga. Buktinya cukup banyak ditemukan keluarga yang kaya secara ekonomi ditengah kehidupan masyarakat, tetapi belum mendapatkan kebahagiaan. Tetapi tidak mustahil bagi keluarga yang miskin secara ekonomi ditemukan kebahagiaan. Oleh karena itu, kaya atau miskin bukan suatu jaminan untuk menilai kualitas suatu keluarga karena banyak aspek lain yang ikut menentukan, yaitu aspek pendidikan, kesehatan, budaya, kemandirian keluarga dan mental spiritual serta nilai – nilai agama yang merupakan dasar untuk mencapai dasar untuk mencapai keluarga sejahtera. (Djamarah, 2004:19).
(54)
Dalam rangka untuk membangun keluarga yang berkwalitas tidak terlepas dari usaha anggota keluarga untuk mengembangkan keluarga yang berkwalitas yang diarahkan pada terwujudnya kualitas keluarga yang bercirikan kemandirian keluarga dan ketahanan keluarga. Sedangkan penyelenggaraan pengembangan keluarga yang berkualitas ditujukan agar keluarga dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil sehingga dapat menjalankan fungsi keluarga secara optimal. Sedangkan fungsi keluarga itu sendiri berkaitan langsung dengan aspek – aspek keagamaan, budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. (Djamarah, 2004:19).
4.1.2 Penyajian Data
Penelitian ini dilakukan di Surabaya selama tiga minggu. Sebagaimana telah ditetapkan sebelumnya, subjek penelitian yang dijadikan informan adalah orang tua yang mempunyai remaja yang pernah melakukan seks pra nikah, remaja putra dan putri yang pernah melakukan hubungan seks di luar nikah, orang tua yang mempunyai anak remaja yang tidak melakukan hubungan seks pra nikah dan remaja putra dan putri yang tidak melakukan hubungan seks pra nikah.
Data diperoleh dengan menggunakan tape recorder wawancara secara mendalam yang dilakukan terhadap orang tua dan remaja dalam memahami resiko seks pra nikah di Surabaya. Wawancara dilakukan untuk menggali informasi sebanyak – banyaknya dari informan, dan observasi dilakukan untuk mengamati perilaku dan perkembangan dari situasi yang diteliti sendiri. Data yang diperoleh
(55)
tersebut akan disajikan secara deskriptip dan dianalisis secara kualitatiif sehingga diperoleh gambaran, jawaban serta kesimpulan dari pokok permasalahan.
4.1.3 Identitas Responden
Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai responden atau informan adalah :
1. Keluarga, khususnya keluarga yang terdiri dari ayah, ibu serta anak remaja. Pemilihan jenis keluarga pada penelitian ini lebih ditujukan pada orang tua yang mempunyai anak remaja yang melakukan seks pra nikah dan remaja yang tidak melakukan seks pra nikah. Untuk member keragaman jawaban atas pertanyaan – pertanyaan yang diajukan dalam wawancara, keluarga yang dipilih yaitu keluarga yang terlalu otoriter dan keluarga yang tidak mengekang remajanya.
2. Remaja, dalam penelitian ini adalah remaja dengan kategori usia 16 – 21 tahun karena pada usia ini pergaulan remaja mulai berkaitan dengan teman – temannya sekolah atau sekitar lingkungannya terhadap dirinya. Narasumber bisa berjenis kelamin laki – laki ataupun perempuan.
3. Identitas Informan I
Informan satu terdiri dari Ayah, yang berusia 54 tahun, Ibu yang berusia 53 tahun dan remaja putri yang berusia 19 tahun. Orang tua informan satu bekerja sebagai wiraswasta. Tempat tinggalnya di daerah Kutisari Surabaya. Seorang ayah bekerja sebagai penjahit dan ibu sebagai pemilik usaha air isi ulang. Sedangkan remaja putri sedang melakukan studi disalah
(56)
satu universitas di Surabaya mengambil jurusan Pariwisata Perhotelan. Karena membuka usaha di rumah, jadi waktu untuk bekerja bisa setiap saat. Agama yang dianut Ayah adalah Islam, ibu dan remaja putri menganut Kristen protestan. Dalam keluarga pertama terdapat lima orang anak. Waktu bertemu remaja dengan keluarga khususnya dengan orang tua terjadi saat jam makan bersama yaitu saat makan pagi dan makan malam. Remaja lebih sering bertemu dengan ibunya karena si ayah selalu keluar rumah untuk mengantar kiriman jaitan atau sedang ada panggilan untuk mengukur ukuran baju dirumah pelanggan. Di dalam keluarga pertama selalu ada bercengkeramah bersama saat ada dimeja makan bersama atau sedang menonton tv bersama saat malam hari. Disitu baru terlihat ada komunikasi antar keluarga. Namun yang diceritakan dalam obrolan bukan masalah pribadi yang dialami keseharian namun menganai tayangan tv yang pasa saat itu diliat, misalnya tentang gossip artis atau mengenai ranah politik. Untuk masalah pribadi, anak remaja selalu menceritakan kepada ibunya.
4. Identitas Informan II
Informan dua terdiri dari Ayah, yang berusia 48 tahun, Ibu yang berusia 44 tahun dan remaja putri yang berusia 21 tahun. Tempat tinggalnya di daerah Trenggilis Surabaya. Seorang ayah bekerja sebagai pengawas SPBU dan ibu sebagai ibu rumah tangga, sedangkan remaja putri sedang melakukan studi disalah satu universitas di Surabaya mengambil jurusan Komunikasi. Ayah bekerja di luar kota dan untuk bertemu dengan anaknya tiap weekend saja. Agama yang dianut keluarga kedua adalah Islam. Dalam keluarga kedua
(57)
terdapat dua orang anak. Komunikasi yang terjalin pada keluarga kedua ini terjadi saat weeken saja ketika si ayah telah pulang atau pada saat satu keluarga ini sedang keluar bersama entah sekedar jalan – jalan atau menghadiri acara keluarga. Jika komunikasi antara ibu dan remaja terjalin jika ibu bertanya lebih dulu kepada putrinya tentang suatu hal, jika ibu tidak menanyai terlebih dulu maka remaja ini tidak akan cerita apapun. Karena remaja ini sering ditinggal ayahnya dan jarang bertemu ayahnya, dia merasa kehilangan sosok ayah dalam hidupnya sehingga remaja ini mencari pacar yang usianya jauh darinya yang hanya pantas menjadi seorang ayahnya. Remaja ini memang nyaman berdampingan dengan pacarnya karena pacarnya bisa mengerti dan dapat memahami remaja ini.
5. Identitas Informan III
Informan tiga terdiri dari Ayah, yang berusia 46 tahun, Ibu yang berusia 44 tahun dan remaja putra yang berusia 20 tahun. Orang tua informan tiga bekerja sebagai wiraswasta. Tempat tinggalnya di daerah Kutisari Surabaya. Seorang ayah bekerja sebagai pengantar air isi ulang dan ibu bekerja sebagai buruh pabrik tremos, sedangkan remaja putra melakukan studi disalah satu universitas di Surabaya mengambil jurusan Teknik Industri. Ayah bekerja mulai pukul 07.30 – 20.00 WIB. Ibu bekerja mulai pukul 07.30 – 16.00 WIB. Remaja putra ini jika pergi kekampus berangkat pukul 08.00 WIB, jika sore terkadang ia membantu ayahnya untuk mengantar air isi ulang ke para pelanggannya. Agama yang dianut keluarga kedua adalah Islam. Dalam keluarga ketiga terdapat dua anak. Dalam keluarga ketiga ini bisa
(58)
tergolong keluarga yang sibuk karena dari pagi sampai sore orang tua bekerja, dan remaja ini juga membantu ayahnya bekerja. Namun memang dibiasakan kalau sore waktu santai diterapkan untuk berkumpul bersama entah itu sekedar ngobrol – ngobrol atau onton tv bareng sebelum tidur. Hal tersebut dilakukan agar hubungan orang tua dan anak tidak terjadi kerenggangan dan anak bisa menganggap orang tua sebagai teman agar ada keterbukaan satu sama lain. 6. Identitas Informan IV
Informan empat terdiri dari Ayah, yang berusia 46 tahun, Ibu yang berusia 32 tahun dan remaja putra yang berusia 21 tahun. Orang tua informan keempat bekerja sebagai wiraswasta. Tempat tinggalnya di daerah Sutorejo Surabaya. Seorang ayah bekerja sebagai pedagang bakso keliling dan ibu bekerja penjahit sprei, sedangkan remaja putra sedang tidak bekerja setelah tamat SMU dan sukanya terus saja pergi nongkrong bersama teman - temanya. Agama yang dianut keluarga keempat adalah Islam. Dalam keluarga keempat terdapat tiga orang anak. Remaja ini orang tuanya sudah bercerai, namun dia tinggal bersama ibu tirinya dan ibu kandungnya ada di luar pulau. Ayahnya tidak terlalu menghiraukan remaja ini, dia hanya sibuk mencari uang tanpa memikirkan anaknya. Dengan gampangnya dia memasukan anaknya ke pondok pesantren demi mendapatkan ajaran yang benar, namun di situlah awal mula ayah ini lepas tangan untuk mengontrol anaknya.
7. Identitas Informan V
Informan lima terdiri dari Ibu yang berusia 41 tahun dan remaja putra yang berusia 21 tahun. Orang tua informan kelima bekerja sebagai wiraswasta.
(59)
Tempat tinggalnya di daerah Mulyosari Surabaya. Seorang ibu bekerja sebagai EO, sedangkan remaja putra bekerja jadi pegawai di salah satu perusahaan swasta. Karena EO adalah pekerjaan yang bisa dikatakan partime, maka setiap saat ibu ini ada dirumah jika tidak ada job. Agama yang dianut ibu pada keluarga kelima adalah islam dan agama yang dianut oleh remaja putra adalah Kristen Protestan. Dalam keluarga kelima terdapat tiga orang anak. Keluarga kelima ini mengalami keluarga yang broken home. Si ayah langsung pergi meninggalkan anak – anaknya setelah bercerai dan tidak ada kabar. Namun disini anak – anak remajanya sangat santun menghadapi orang terlebih mamanya sendiri. Di keluarga ini mama merupakan sahabat serta kakak bagi remaja ini, tidak ada renggang hubungan sedikit pun. Apa yang dilakukan remaja ini, si ibu pun tau, remaja ini pun tidak pernah berbohong kepada ibunya dan berusaha tidak menyakiti hati ibunya. Si ibu tidak pernah marah kepada anak – anaknya dan begitu pula remaja – remajanya tidak pernah membuat ulah yang sampai membuat ibunya marah. Waktu untuk berbincang bersama setiap sore sehabis remaja ini pulang kerja, setiap hari pasti terjadi seperti itu agar tidak ada kerenggangan hubungan antara ibu dengan anak. 8. Identitas Informan VI
Informan keenam terdiri dari Ayah yang berusia 50 tahun dan remaja putri yang berusia 19 tahun. Orang tua informan satu bekerja sebagai wiraswasta. Tempat tinggalnya di daerah Petemon Surabaya. Seorang ayah bekerja sebagai penjaga toko sembako yang selalu mengantarkan pesanan orang via telp dan remaja putri sudah bekerja setelah tamat SMU sebagai
(1)
KELUARGA 11
Informan 11: (Sabtu : Sabtu, 15 Januari 2011 pukul 18.00 )
(REMAJA)
P : Sore dek?
G : Sore
P : Aku minta waktunya bentar bisa? G : Bisa
P : Namanya siapa?
G : Gilang P : Usianya?
G : 16 tahun
P : Sekolah dimana?
G : SMP GIKI 1
P : Kelas berapa? G : 2
P : Dek, kedekatan kamu sama keluarga kamu gimana?
G : Ya deket
P : deketnya gimana? G : Ya pokoknya deket banget
P : Lebih dekat mana sama mama atau sama papa? G : Mama
P : Kalau orang tua marah paling parah diapain? G : Nggak dikasih sangu
P : berapa hari itu? G : Seminggu
P : Kalo untuk masalah pribadi suka cerita nggak ke orang tua?
G : Nggak pernah
P : Sedekat apa kamu sama temen – temen kamu? G : Sangat dekat
P : Deketnya kayak apa?
G : Berangkat sekolah bareng, kemana – mana selalu bareng P : Nakalmu paling parah ngapain aja sih?
G : Nggandol mobil pas waktu pulang sekolah
P : Itu lho bahaya, kamu opo’o ko mau nggandol mobil?
G : Asyik ae
P : Makasih atas waktunya ya? G : Iya
(AYAH)
P : Sore om?
(2)
P : Peny mau minta waktunya sebentar nggak papa ya? N : Ya
P : Panggilannya siapa om? N : Nanang
P : Usianya? N : 49
P : Pekerjaan? N : Di PT. SUN MOTOR
P : Om, Peny pengen Tanya kedekatan om sama Gilang seperti apa? N : Kalau menurut saya anak – anak sekarang kan nggak seperti anak
dulu ya, jadi segala sesuatunya upamanya kalau ngasihi sesuatu harus dengan contoh, nggak bisa main perintah. Terus masalah kedekatan saya anggap saya ama anak tidak sebagai orang tua dan anak walau sebenarnya harus ada skat antara anak dengan orang tua Cuma saya harapkan anak itu tidak takut untuk kasih kritikan entah dengan orang tuanya. Misalnya: kalo gini salah pah, seharusnya gini pah. Nggak papa itu masukan bagi orang tua demikian juga orang tua dengan anak kita kasih pengertian gitu P : Kalo untuk jalan – jalan pernah nggak om? Atau sering nggak om? N : Dalam satu bulan kita adakan waktu satu kali dalam satu bulan. Itu
paling jarang sekali
P : Kalo untuk aktivitas Gilang di luar rumah tahu nggak om?
N : Kalo di luar rumah tahu sih, paling biasanya dia harus ijin baik itu ekstra kulikuler atau dia mau main ke rumah temen, mau kemana mesti dia bilang. Nggak pernah dia nggak bilang
P : Kalo aturan yang ditetapkan yang harus ditaati sama anak terutama gilang apa om?
N : Ditaati yang pertama itu karena dia masih belajar ya harus tahu belajar tu jamnya kalo upama malam ya jam tujuh malem. Aturannya ya itu aja
P : Kalo misalnya gilang nglanggar da hukuman nggak?
N : Saya rasa kita nggak pernah ngukum ya Cuma dibilangin aja. Biasanya kalo hukuman untuk anak sekarang nggak bisa. Biasanya kalo gini kita kasih : jangan kayak gini nanti kayak gini akhirnya kejadian seperti yang diomongin, kalo uda kejadian pasti dia mikir, o.. ya ngapain saya langgar
P : Dalam menerapkan aturan, om itu ini nggak? Lebih mengutamakan kebebasan pendapat atau harus yang “kamu harus ini, harus taat sama perintahku pokoknya”
N : Kalau saya sistimnya pengen yang terbuka terus kalo saya sudah terapkan harus kayak gini, kadang anak – anak ini tu apa ya.. punya kebiasaan yang berbeda – beda antara yang satu dengan yang lain. Misalnya gilang saat belajar dia menggunakan handphone kadang saya bilang kamu belajar ko pake handphone? Iya pah, kalo pake ini aku lebih masuk. Anggapan saya kalo pake handphone pasti mendengarkan music nggak mungkin belajar gitu, tapi karena dia
(3)
gitu tinggal lihat hasilnya. Kalo dia belajar IPA, mau ujian, kita lihat seminggu lagi saya tnya, gimana hasilnya. Kalo memang hasilnya bagus, memang cara belajarnya kayak gitu
P : Terima kasih om atas waktunya N : Yuk, sama – sama
(IBU)
P : Selamat sore tante? T : Selamat sore, ada apa ni?
P : Ini mau ganggu waktunya tante sebentar nggak papa ya? T : Nggak papa, da perlu apa se?
P : Ini mau Tanya identitas dulu. Nama tante? T : Namaku.. panggil apa? Ibu apa tante? P : Tante
T : Tante? Ya uda. Theresia Tutuk Hereningtias P : Usia?
T : Usia 44
P : Pekerjaan? T : Ibu rumah tangga
P : Tante, kedekatan tante sama Gilang tu sebenarnya seperti apa sih tante?
T : Ya sebagai anak, sebagai temen, sebagai curhat, gantian kadang P : Kalo untuk aktivitas gilang di luar rumah tante tau nggak?
T : Ya paling – paling dia main PS, ya ikut footsal sama temen - temennya
P : Perhatian yang seperti apa ini yang biasa tante kasih ke Gilang? T : Ya kalo perhatiannya sih apa ya.. Jamnya pulang ya tak cari gitu P : Tante tahu temen – temennya Gilang?
T : Tahu
P : Deket juga sama mereka?
T : Kadang ada noe hp ne tak minta soalnya aku takut larinya kemana, jadi aku bisa hubungi temennya
P : Tante pernah nggak kasih arahan – arahan buat Gilang supaya Gilang nggak terjerumus ke hal yang negative?
T : Ngasih sih namanya orang tua, tapi kadang anaknya bandel P : Petuah seperti apa tante yang biasanya diberikan?
T : Kamu boleh berteman Gilang, tapi ya gitu pilih – pilih temen. Kalo temen ngrokok ya tolong dijauhi, temen itu banyak yang ngajak jelek, nggak mungkin temen tu ngajak baik. Seribu Cuma satu yang ngajak baik
P : Ok tante, makasih atas waktunya ya.. selamat sore T : Sore
(4)
KELUARGA 12
Informan 12: (Sabtu : Minggu, 16 Januari 2011 pukul 12.00 )
(REMAJA)
P : Siang Ne?
I : Siang
P : Aku mau ganggu waktunya bentar nggak papa ya? I : Ya nggak papa kok
P : Mau Tanya identitas dulu. Nama lengkap? I : Inne Rachmawati Fajrin
P : Umur?
I : 21 tahun
P : Disini aku pengen Tanya gimana kedekatan kamu sama ibu kamu? I : Kedekatan sama ibu sih nggak ada masalah ya. Seperti cerita
masalah pribadi dan non pribadi. Masalah pribadi kalo ada masalah sama temen, curhat, masalah kerjaan yang di luar rumah, kegiatan – kegiatan. Jadi nggak ada batasan – batasan gitu selama ini P : Kalo orang tua marah paling parah diapain?
I : Mungkin uda gede ya.. jadi Cuma dinasihati aja yang bisa kita serep, seperti itu sih
P : Kedekatan kamu sama temen – temen kamu gimana?
I : Kedekatan sama temen – temen sih sama deketnya sama orang tua, nggak ada batasan – batasan juga sejauh itu baik ya kita temenin mungkin nggak bertambah buruk untuk diri kita itu aja sih
P : Kalo misalnya dalam mendidik kamu, ibu kamu terlalu mengekang atau member kebebasan buat kamu?
I : Nggak sih. Sejauh ini member kebebasan milih mana yang paling baik buat aku, mereka selalu member kebebasan lebih buat aku bertindak lebih untuk memilih mana yang terbaik untuk aku P : Kalo kenakalan yang paling parah kamu lakuin ngapain? I : Waktu bolos mata kuliah pada waktu kuliah sih..
P : Kenapa?
I : Waktu itu ya diajak han-out bareng, berhubung pengen refreshing ya udah
P : Makasih ya ne ya waktunya ya I : Ok, sama - sama
(IBU)
P : Siang tante
W : Selamat siang
P : Peny mau minta waktunya sebentar ya tante ya W : Iya silahkan
P : Tante, ini saya mau Tanya identitas tante dulu. Dengan tante siapa? W : Ny. Hj. Wiwik Widawati
(5)
W : Usia 56 P : Pekerjaan?
W : Pensiunan BRI
P : Tante, peny mau Tanya kedekatan tante sama ine sampai sekarang itu gimana sih tante?
W : Ya namanya sama anak ya, dia kalo mau tidur saya dekati
konsultasi mengenai bagaimana sekolahnya itu, pendekatan sama temen – temennya itu bagaimana? Kalo untuk temen deketnya itu bagaimana yang baik dijalankan yang jelek jangan dijalankan P : Tante juga deket nggak tante sama temen – temennya ine? W : Temen – temennya ine saya nggak seberapa tahu, jaranglah untuk
ke rumah. Kalau di luar dari rumah saya nggak tahu P : Aktivitas Ine di luar tante tahu nggak?
W : Aktivitas ine ya kuliah aja. Habis kuliah ya pulang
P : Tante kalau dalam mendidik ine terlalu menekan Ine atau bebas aja deh buat Ine
W : Kalau saya tidak pernah menekan, dikasih tahu aja. Mau main apa yang perlu dihindari. Sekarang kan banyak pemuda – pemuda yang narkoba gitu lho. Ya itu saya beri tahu, saya peringatkan jangan sampai tersangkut paut dengan itu, barang – barang yang tidak berguna, yang berbahaya
P : Apa yang membuat tante bangga selama ini yang dilakukan ine itu apa?
W : Kalau saya kasih tahu dia nurut itu saya bangganya, untuk menyelesaikan kuliahnya saya juga bangga. Ya kalau anak itu udah slesai, bebannya kan uda enak ya
P : Tante, sekarang banyak remaja yang melakukan seks pranikah dan banyak remaja yang hamil di luar nikah gitu ya. Petuah apa sih tante yang tante berikan ke Ine?
W : Yang saya beri ke ine ya itu kalau deket sama temen laki – laki, jangan sampai temen laki – laki jaman sekarang sukanya merayu aja, ya biasanya untuk menikah ndak tahunya sudah kejerumus ke situ, Laki – laki jaman sekarang sukanya pembohong. Ke barang – barang yang berbahayalah jadinya jaman sekarang anak laki sudah kena gitu sampai dia hamil atau apa, bukan untuk mencintai akhirnya untuk menjauhi. Soalnya ingin tahu aja sekarang makanya saya sering kasih tahu, sering saya peringati jangan sampai kamu dirayu sama laki – laki gitu lho.. namanya orang laki kalau merayu, orang perempuan jadi lebih lemah dari pada orang laki. Makanya jangan sampai dia berbuat begitu saya bilang gitu. Kalau sudah berbuat gitu seterusnya untuk masa depannya kamu mengenang sampai kamu hamil lebih dulu, barang – barang yang tidak berguna harus sudah harus ati - ati
P : Dan disini tante itu apa ya uda nggak ada renggang sama ine, bener – bener deket sama ine ya tante?
(6)
W : Namanya anak ya kita harus deket sama anak. Sampai mana dia bermain kita harus tahu, pemantauan orang tua jangan sampai kita melalaikan pemantauan orang tua. Namanya anak, kita harus deket sama anak, anak harus di ati – ati untuk orang tua menjaga jangan sampai anak terjerumus ke barang yang berbahaya
P : Tante, makasih atas waktunya ya tante W : Sama - sama