PENGARUH PEER EDUCATION TERHADAP PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA DI SMAN X DENPASAR.

(1)

SKRIPSI

PENGARUH PEER EDUCATION TERHADAP

PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA

DI SMAN

X

DENPASAR

OLEH :

NI PUTU SRI WIRATINI

NIM. 1102105003

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

i

PENGARUH PEER EDUCATION TERHADAP

PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA

DI SMAN “X” DENPASAR

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH :

NI PUTU SRI WIRATINI

NIM. 1102105003

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ni Putu Sri Wiratini

NIM : 1102105003

Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana

Program Studi : Ilmu Keperawatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya aku sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar,...2015 Yang membuat pernyataan,


(4)

iii


(5)

iv


(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas berkat dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi berjudul Pengaruh Peer Education Terhadap Perilaku Merokok Pada Remaja Di SMAN “X” Denpasar.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih ini penulis berikan kepada: 1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, M.Kes, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana yang telah memberikan penulis kesempatan menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.

2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana memberikan pengarahan dalam proses pendidikan.

3. Ns. Ni Luh Putu Eva Yanti M. Kep, Sp. Kep. Kom sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

4. Anak Agung Ngurah Taruma Wijaya, S. KM sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

5. Kepala Sekolah SMAN “X” Denpasar yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian.


(7)

vi

6. Kedua Orang Tua, yang telah memberikan dukungan serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

7. Rekan-rekan sejawat PSIK FK Udayana angkatan 2011 yang telah memberikan dukungan serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian ini tepat waktu.

8. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang membangun. Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Denpasar, Juni 2015


(8)

vii

ABSTRAK

Wiratini, Ni Putu Sri. 2015. Pengaruh Peer Education Terhadap Perilaku

Merokok Pada Remaja Di SMAN “X” Denpasar. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Ns. Ni Luh Putu Eva Yanti, M. Kep, Sp. Kep. Kom.; (2) Anak Agung Ngurah Taruma Wijaya, S. KM.

Perilaku merokok pada remaja saat ini semakin meningkat. Akibat dari perilaku merokok pada remaja akan menyebabkan ketergantungan pada remaja dan sebagai pencetus hal-hal negatif lainnya seperti penggunaan alkohol, narkoba, psikotropika, dan zat-zat adiktif lainnya. Salah satu upaya pencegahan yang digunakan ialah pemberian pendidikan kesehatan yaitu metode peer education. Pemberian pendidikan kesehatan dengan metode peer education ini meliputi pemberian materi tentang rokok; teknik komunikasi dan role play; dan sharing

pengalaman dengan teman-temannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peer education terhadap perilaku merokok pada remaja. Penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan pre-experimental design, yaitu one group pre-post test design. Sampel terdiri dari 60 siswa yang dipilih dengan teknik

probability sampling jenis systematic random sampling. Hasil analisa data menggunakan uji wilcoxon dan didapatkan hasil ada pengaruh peer education

terhadap perilaku merokok pada remaja. Metode ini dapat diterapkan di sekolah sehingga mampu mempengaruhi teman-teman yang lain untuk tidak merokok dan menghindari perilaku merokok. Diharapkan pihak sekolah dapat mengembangkan dan mengaplikasikan metode peer education ini di sekolah sebagai upaya pencegahan perilaku merokok remaja di sekolah.


(9)

viii

ABSTRACT

Wiratini, Ni Putu Sri. 2015. The Effect Of Peer Education Toward Smoking In Adolescents SMAN “X” Denpasar. Minithesis, Study Program Of Nursing Science, Faculty of Medicine, Udayana University Denpasar. Supervisor (1) Ns. Ni Luh Putu Eva Yanti, M. Kep, Sp. Kep. Kom.; (2) Anak Agung Ngurah Taruma Wijaya, S. KM.

Smoking in adolescents currently increasing. The result of smoking in adolescents abuse cause addiction and trigger negative behaviour like alcohol usage, drugs, abuse and etc. One of prevention has been conducted by giving health education with peer education. Peer education is a peer adolescents support group with adolescents as fasilitator who qets education about smoking, communication technique, role play method and sharing experience with their members. This study aims to find out the effect of peer education toward smoking in adolescents. This study has been conducted by using pre-experimental design, that is one group pre-post test design. Sample consists of 60 students selected with probability sampling technique with systematic random sampling. The result of data analysis by using wilcoxon test and the result obtained that there is significant effect of peer education toward smoking in adolescents. The schools should to develop and apply this peer education as preventive of smoking in adolescents.


(10)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ...vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR SINGKATAN ...xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Umum ... 7

1.3.2 Tujuan Khusus ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.4.2 Manfaat Praktis ... 8

1.5 Keaslian Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Proses Kelompok ... 12

2.1.1 Pengertian Proses Kelompok ... 12

2.1.2 Fungsi Peer Group ... 13

2.1.3 Ciri-Ciri Peer Group ... 14

2.1.4 Pengaruh Peer Group ... 15

2.2 Konsep Dasar Peer Education ... 16

2.2.1 Pengertian Peer Education ... 16

2.2.2 Manfaat Peer Education ... 17


(11)

x

2.2.4 Kriteria Pendidik/Fasilitator Sebaya ... 17

2.2.5 Kriteria Pemilihan Anggota Kelompok Sebaya ... 19

2.2.6 Teknik Pemberian Informasi ... 20

2.2.7 Prosedur Pelaksanaan Metode Peer Education ... 21

2.3 Konsep Dasar Perilaku ... 23

2.3.1 Pengertian Perilaku ... 23

2.3.2 Bentuk Perilaku ... 24

2.4 Konsep Dasar Remaja... 29

2.4.1 Pengertian Remaja ... 29

2.4.2 Tahapan Masa Remaja ... 29

2.4.3 Batasan Usia Remaja... 31

2.4.4 Karakteristik Perkembangan Remaja ... 32

2.4.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Merokok Pada Remaja ... 37

2.5 Konsep Dasar Perilaku Merokok ... 41

2.5.1 Pengertian Merokok ... 41

2.5.2 Komponen Racun Dalam Rokok ... 42

2.5.3 Aspek-Aspek Perilaku Merokok ... 44

2.5.4 Tipe-Tipe Perilaku Merokok ... 46

2.5.5 Bahaya Merokok ... 47

2.5.6 Dampak Perilaku Merokok ... 48

2.5.7 Cara Menghentikan Merokok Dan Cara Menghindarinya ... 50

2.6 Pengaruh Peer Education Terhadap Perilaku Merokok Pada Remaja .... 52

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep ... 55

3.2 Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional ... 56

3.2.1Variabel Penelitian ... 56

3.2.3 Definisi Operasional Variabel ... 57

3.3 Hipotesis Penelitian ... 60

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ... 61


(12)

xi

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian ... 63

4.3.1 Tempat Penelitian... 63

4.3.2 Waktu Penelitian ... 63

4.4 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ... 63

4.4.1 Populasi ... 63

4.4.2 Sampel ... 63

4.4.3 Besar Sampel ... 64

4.4.4 Teknik Sampling Penelitian ... 65

4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 66

4.5.1 Jenis Data ... 66

4.5.2 Cara Pengumpulan Data ... 67

4.5.3 Instrumen Pengumpulan Data ... 69

4.5.4 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 71

4.5.5 Etika Penelitian ... 75

4.6 Pengolahan dan Analisa Data... 75

4.6.1 Teknik Pengolahan Data ... 75

4.6.2 Teknik Analisis Data ... 78

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Hasil Pnelitian ... 80

5.1.1 Kondisi Lokasi Penelitian ... 80

5.1.2 Distribusi Umum Sampel Penelitian ... 81

5.1.3 Distribusi Pengetahuan Responden Terhadap Perilaku Merokok Pada Remaja ... 81

5.1.4 Distribusi Sikap Responden Terhadap Perilaku Merokok Pada Remaja . 83 5.1.5 Distribusi Psikomotor Responden Terhadap Perilaku Merokok Pada Remaja.. ... 84

5.1.6 Hasil Analisa Data... 85

5.2 Pembahasan ... 86

5.2.1 Pengetahuan Responden Terhadap Perilaku Merokok Pada Remaja Sebelum dan Setelah Diberikan Peer Education... ... 86 5.2.2 Sikap Responden Terhadap Perilaku Merokok Pada Remaja Sebelum


(13)

xii

dan Setelah Diberikan Peer Education... ... 88 5.2.3 Psikomotor Responden Terhadap Perilaku Merokok Pada Remaja

Sebelum dan Setelah Diberikan Peer Education... ... 90 5.2.4 Pengaruh Peer Education Terhadap Perilaku (Pengetahuan, Sikap dan

Psikomotor) Merokok Pada Remaja ... 92 5.3 Keterbatasan Penelitian ... 97

BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan ... 98 6.2 Saran ... 99


(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Kerangka Konsep Penelitian Pengaruh Peer Education Terhadap

Perilaku Merokok Pada Remaja Di SMAN “X” Denpasar ... 55 Gambar 2 Rancangan Penelitian Pre-experimental Design (One Group Pre-Post

Test Design) ... 61 Gambar 3 Kerangka Kerja Pengaruh Peer Education Terhadap Perilaku Merokok


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Definisi Operasional Pengaruh Peer Education Terhadap Perilaku

Merokok Pada Remaja Di SMAN “X” Denpasar ... 58 Tabel 2 Nilai-Nilai Distribusi t (Lampiran)

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia Responden Terhadap Perilaku Merokok Pada Remaja Di SMAN “X” Denpasar... ... 81 Tabel 5.2 Distribusi Pengetahuan Responden Terhadap Perilaku Merokok

Pada Remaja Sebelum Diberikan Peer EducationDi SMAN “X”

Denpasar... ... 82 Tabel 5.3 Distribusi Pengetahuan Responden Terhadap Perilaku Merokok

Pada Remaja Setelah Diberikan Peer Education Di SMAN “X”

Denpasar... ... 82 Tabel 5.4 Distribusi Sikap Responden Terhadap Perilaku Merokok Pada

Remaja Sebelum Diberikan Peer EducationDi SMAN “X”

Denpasar... ... 83 Tabel 5.5 Distribusi Sikap Responden Terhadap Perilaku Merokok Pada

Remaja Setelah Diberikan Peer EducationDi SMAN “X”

Denpasar... ... 84 Tabel 5.6 Distribusi Psikomotor Responden Terhadap Perilaku Merokok

Pada Remaja Sebelum Diberikan Peer EducationDi SMAN “X”

Denpasar... ... 84 Tabel 5.7 Distribusi Psikomotor Responden Terhadap Perilaku Merokok

Pada Remaja Setelah Diberikan Peer Education Di SMAN “X”

Denpasar... ... 85 Tabel 5.8 Hasil Rata-Rata Perilaku Merokok Sebelum Dan Setelah Diberikan


(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Penjelasan Penelitian Lampiran 2 : Surat Pengantar Kuesioner

Lampiran 3 : Lembar Permintaan Menjadi Responden

Lampiran 4 : Surat Persetujuan Kesediaan Menjadi Fasilitator Lampiran 5 : Surat Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 6 : Rencana Anggaran Biaya Penelitian Lampiran 7 : Rencana Jadwal Penelitian

Lampiran 8 : Prosedur Peer Education

Lampiran 9 : Kuesioner Perilaku Merokok

Lampiran 10 : Pelaksanaan Kegiatan Peer Education Kepada Responden Lampiran 11 : Kisi-Kisi Kuesioner

Lampiran 12 : Tabel Nilai-Nilai Distribusi t Lampiran 13 : Flip Chart (Lembar Balik)

Lampiran 14 : Materi Rokok, Upaya Mencegah Dan Menghindari Rokok Lampiran 15 : Materi Komunikasi

Lampiran 16 : Uji Validitas Dan Reliabilitas Kuisioner Pengetahuan Lampiran 17 : Uji Validitas Dan Reliabilitas Kuisioner Sikap Lampiran 18 : Uji Validitas Dan Reliabilitas Kuisioner Psikomotor

Lampiran 19 : Master Tabel Perilaku Merokok Pada Remaja Sebelum dan Setelah Diberikan Peer Education Di SMAN “X” Denpasar


(17)

xvi

Lampiran 21 : Distribusi Nilai Pengetahuan Responden Sebelum Dan Setelah Diberikan Peer Education

Lampiran 22 : Distribusi Nilai Sikap Responden Sebelum Dan Setelah Diberikan

Peer Education

Lampiran 23 : Distribusi Nilai Psikomotor Responden Sebelum Dan Setelah Diberikan Peer Education

Lampiran 24 : Hasil Analisa Data Uji Wilcoxon Pengaruh Peer Education

Terhadap Perilaku Merokok Pada Remaja Lampiran 25 : Dokumentasi Penelitian


(18)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

CO : Karbonmonoksida

DEPKES RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

HDL : High Density Lipoprotein

KB : Keluarga Berencana

KESBANGPOL : Badan Kesatuan dan Politik

KISARA : Kita Sayang Remaja

KSPAN : Kelompok Siswa Peduli Aids Dan Narkoba

KTR : Kawasan Tanpa Rokok

Mg : Miligram

Pb : Timah Hitam

PERDA : Peraturan Daerah

PJK : Penyakit Jantung Koroner

PKPA : Pusat Kajian dan Perlindungan Anak

PKPR : Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja

PPTM : Pengendalian Penyakit Tidak Menular

RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SMA : Sekolah Menengah Atas


(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa remaja merupakan periode perkembangan selama individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Potter dan Perry, 2005). Remaja sering mengalami permasalahan karena pribadinya masih labil dan belum terbentuk secara matang (Istiqomah, 2003). Salah satu karakteristik umum perkembangan remaja menurut Ali (2010) adalah memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (high curiosity). Karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi, remaja cenderung ingin berpetualang, menjelajah segala sesuatu dan mencoba segala sesuatu yang belum pernah dialaminya. Perilaku meniru seperti orang dewasa menyebabkan remaja ingin mencobanya.

Remaja sangat rentan terhadap pengaruh lingkungannya. Lingkungan sosial budaya yang tidak positif merupakan faktor risiko bagi remaja dalam perilaku yang tidak sehat (Tarwoto dkk, 2012). Remaja dengan masalah kesehatan berisiko besar untuk mengalami pencapaian yang rendah, masalah kesehatan utama pada remaja seperti merokok, penggunaan alkohol, penggunaan narkoba, seks pra nikah, cedera olahraga, tawuran, pembunuhan, kebut-kebutan di jalan, masalah mental dan emosional (Smeltzer dan Bare, 2002). Kebiasaan merokok pada remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain masa perkembangan anak dalam mencari identitas diri, keluarga, teman sebaya dan tayangan media.


(20)

2

Menurut Mayasari (2007), kebiasaan merokok mulai pada usia 11 dan 13 tahun serta 85-90% mulai merokok sebelum usia 18 tahun.

Perilaku merokok pada usia remaja semakin lama semakin meningkat sesuai dengan tahap perkembangannya yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas merokok (Amelia, 2009). Menurut Salawati dan Amalia (2010), lebih dari separuh perokok mengkonsumsi lebih dari 10 batang per hari, bahkan yang berusia 10–14 tahun sudah didapat sebesar 30,5% yang mengkonsumsi lebih dari 10 batang per hari, bahkan ada 2,6% yang mengkonsumsi lebih dari 20 batang per hari.

Data WHO (2008), menempatkan Indonesia sebanyak 4,8% sebagai negara dengan jumlah perokok tertinggi ketiga di dunia sesudah Cina sebanyak 30% dan India sebanyak 11,2%. Menurut Depkes RI (2003), dari keseluruhan jumlah perokok di Indonesia sekitar 70% memulai merokok sebelum usia 19 tahun. Riskesdas (2010), menyebutkan secara nasional penduduk usia 15 tahun ke atas dengan jumlah merokok setiap harinya sebanyak 28,2%. Dari data diatas, perokok di Indonesia rata-rata mulai merokok pada usia 15-19 tahun, dimana pada usia tersebut merupakan usia sekolah.

Data Riskesdas (2007), menunjukkan jumlah persentase penduduk yang merokok berdasarkan usia mulai merokok tiap hari di kabupaten/kota di Provinsi Bali yaitu dari usia 10-14 tahun 4,6%, usia 15-19 tahun 36,1%, usia 20-24 tahun 17,5%, usia 25-29 tahun 5,7% dan usia ≥ 30 tahun 7,2%. Terdapat tiga dari sembilan kabupaten di Bali dengan jumlah perokok remaja terbanyak, adalah kota Denpasar


(21)

3

pada usia 10-14 tahun 4,7%, usia 15-19 tahun 47,3%, usia 20-24 tahun 16,7%, usia 25-29 tahun 5,3% dan usia ≥ 30 tahun 2,7%. Kabupaten Jembrana pada usia 10-14 tahun 5,4%, usia 15-19 tahun 44,1%, usia 20-24 tahun 23,7%, usia 25-29

tahun 6,5% dan usia ≥ 30 tahun 6,5%. Kabupaten Badung pada usia 10-14 tahun

2,9%, usia 15-19 tahun 38,8%, usia 20-24 tahun 14,6%, usia 25-29 tahun 7,8%

dan usia ≥ 30 tahun 11,7%. Hal ini menunjukkan, perokok remaja terbanyak terdapat di kota Denpasar dengan usia 15-19 tahun.

Menurut Denpost (2013), berdasarkan hasil jajak pendapat, ternyata 40% pelajar di Denpasar pernah merokok. Jajak pendapat tersebut ditindaklanjuti dengan survei terkait iklan promosi dan sponsorship yang dilakukan oleh Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PPTM) Dirjen P2PL Kementerian RI bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia dan Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Survei dilakukan secara acak di 16 SMP/SMA, baik swasta maupun negeri di Denpasar selama delapan hari dari tanggal 17-25 September 2013.

Kelompok remaja usia sekolah merupakan kelompok yang memiliki risiko tinggi terhadap pengaruh buruk dari luar karena belum memiliki kematangan emosional yang stabil (Puspandari, Sunarsi dan Wdyatama, 2008). Berdasarkan penelitian Kemala (2007), perilaku merokok paling banyak disebabkan oleh faktor psikologis dan sebagai upaya untuk mengatasi stres. Jumlah rokok yang dikonsumsi berkaitan dengan stres yang dialami, semakin besar stres yang dirasakan, semakin banyak rokok yang remaja konsumsi.


(22)

4

Menurut Gunawan (2006), kandungan nikotin yang terdapat dalam rokok dapat memberikan rasa nikmat bagi penggunanya dan menimbulkan ketagihan. Dampak negatif yang ditimbulkan dari ketagihan merokok bagi remaja adalah mencoba hal-hal negatif yang dapat memberikan kenikmatan seperti alkohol, narkoba, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya.

Menurut Kusmiran (2012), remaja merupakan suatu kehidupan individu yang terjadi eksplorasi psikologis untuk menemukan identitas diri. Perubahan yang terjadi pada masa transisi dari masa anak-anak ke masa remaja, individu mulai mengembangkan ciri-ciri abstrak dan konsep diri menjadi lebih berbeda. Iskandarsyah (2006), menyebutkan pada masa ini pergaulan terhadap kelompok sebaya memiliki peran penting bagi remaja. Gambaran negatif yang ada dipikiran masyarakat mengenai perilaku remaja mempengaruhi cara remaja berinteraksi, sehingga membuat remaja merasa takut dalam menjalankan perannya dan malu untuk meminta bantuan orang tua atau guru, maka dari itu perlu adanya peran teman sebaya dalam pergaulan remaja yang dapat memberikan informasi.

Salah satu upaya untuk memberikan informasi tentang bahaya merokok pada remaja adalah melalui teman sebaya (peer group). Dalam peer group, individu menemukan dirinya serta dapat mengembangkan rasa sosialnya sejalan dengan perkembangan kepribadiannya. Menurut Aricipta (2013), terdapat sebuah metode yaitu metode peer education yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi kelompok, yang diutamakan dalam pemberian informasi kesehatan adalah antar kelompok sebaya.


(23)

5

Peer education merupakan pelatihan kader remaja untuk menjadi konselor bagi teman sebayanya, dengan tujuan untuk menyebarluaskan informasi kesehatan kepada kelompok sebayanya (Depkes RI, 2006). Menurut Lundy dan Janes (2009), motode peer education menunjukkan sumber umum untuk pemberian informasi. Dalam motode ini, remaja dilatih untuk memimpin program pencegahan dalam kelompok sebaya.

Menurut Nurhayati (2008), remaja memiliki kecenderungan yang sangat intensif dengan teman sebayanya daripada dengan orang tuanya. Remaja melakukan sesuatu secara bersama-sama dengan temannya daripada melakukannya sendiri dengan kelompok teman sebayanya. Proses pertemanan dalam kelompok sebaya menciptakan remaja merasa dirinya dibutuhkan. Sehingga pemberian informasi kesehatan kepada kelompok sebaya dapat lebih mudah diterima oleh remaja.

Penelitian-penelitian dengan metode peer education sudah banyak yang mengaplikasikannya sebagai metode pendidikan kesehatan. Saat ini yang banyak diteliti adalah penelitian peer education terhadap pengaruh dalam peningkatan pengetahuan, sikap dan psikomotor mengenai kesehatan reproduksi. Berdasarkan penelitian Aricipta (2013), sampel pada penelitian ini adalah siswa SMP kelas delapan yang dilakukan sebanyak tiga kali dengan pemberian informasi terkait kesehatan reproduksi dengan subtopik yang berbeda dengan hasil terdapat perbedaan pengetahuan dan sikap remaja tentang kesehatan reproduksi sebelum dan setelah diberikan metode peer education dengan pengetahuan dan sikap sebelum dan setelah diberikan metode self directed learning. Penelitian Sari (2014), sampel pada penelitian ini adalah siswi SMP kelas tujuh, namun hanya


(24)

6

menggunakan empat kelas saja. Metode penelitian yang dilakukan sebanyak dua kali dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang alat reproduksi wanita dan cara pemeliharaan kebersihan genetalia dalam pencegahan kanker serviks dengan hasil ada perbedaan yang signifikan pengetahuan, sikap dan tindakan antara sebelum dan setelah diberikan peer education.

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat melatih fasilitator peer education

dilakukan sebanyak tiga kali, pada pertemuan pertama dilakukan pemberikan informasi terkait rokok, upaya mencegah dan menghindari rokok. Pertemuan kedua dilakukan pemberian informasi terkait terknik komunikasi dan role play.

Pertemuan ketiga dilakukan role play. Pemberian pendidikan kesehatan oleh fasilitator peer education kepada siswa, dilakukan sebanyak tiga kali, pada pertemuan pertama dilakukan pemberian informasi terkait rokok, upaya mencegah dan menghindari rokok. Pertemuan kedua dilakukan pemberian informasi terkait teknik komunikasi dan tanya jawab. Pertemuan ketiga dilakukan sharing

pengalaman dan upaya pencegahan merokok.

Salah satu SMAN di Denpasar adalah SMAN dengan inisial “X” Denpasar. Lokasinya di tengah kota dengan sosial ekonomi yang bertumpu pada daerah pariwisata sehingga memungkinkan untuk mudah terpengaruh dalam pergaulan bebas yang salah satunya adalah perilaku merokok di usia remaja. Berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 pasal 4 dan PERDA kota Denpasar Nomor 7 Tahun 2013 pasal 3 terdapat peraturan KTR (Kawasan Tanpa Rokok) yang salah satunya meliputi tempat proses belajar mengajar yaitu sekolah. Kawasan sekolah yang termasuk ke dalam PERDA KTR


(25)

7

yaitu tempat/gedung tertutup sampai batas pagar terluar. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di sekolah tersebut, belum pernah diadakannya penelitian kesehatan tentang perilaku merokok dengan metode peer education. Adanya penelitian ini bertujuan untuk mencegah perilaku merokok pada remaja, salah satunya dengan metode peer education. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh PeerEducation Terhadap Perilaku Merokok Pada Remaja Di SMAN “X” Denpasar”.

1.2Rumusan Masalah

“Apakah Ada Pengaruh PeerEducation Terhadap Perilaku Merokok Pada Remaja di SMAN “X” Denpasar?”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh peer education

terhadap perilaku merokok pada remaja di SMAN “X” Denpasar.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi karakteristik remaja berdasarkan usia

2. Mengidentifikasi pengetahuan, sikap dan psikomotor remaja terhadap perilaku merokok sebelum diberikan pendidikan kesehatan melalui peer education.


(26)

8

3. Mengidentifikasi pengetahuan, sikap dan psikomotor remaja terhadap perilaku merokok setelah diberikan pendidikan kesehatan melalui peer education.

4. Menganalisis perbedaan perilaku merokok sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan melalui peereducation.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi pendidikan dan kesehatan mengenai pentingnya pencegahan dan penanggulangan perilaku merokok pada remaja.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Sekolah

Dapat dijadikan masukan bagi sekolah bahwa pemberian informasi melalui

peer education ini merupakan metode pencegahan perilaku merokok remaja. 2. Bagi Puskesmas

Dapat memberikan kesempatan untuk puskesmas agar dapat lebih meningkatkan program dalam pencegahan dan pengurangan jumlah perokok remaja.

3. Bagi perawat

Dapat dijadikan sebagai masukan bagi perawat bahwa kegiatan ini merupakan salah satu metode/tindakan keperawatan dalam mencegah perilaku merokok pada remaja.


(27)

9

5. Bagi peneliti selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat memberikan kerangka pemikiran pada penelitian yang akan datang, khususnya yang berkaitan dengan pengaruh peer education terhadap perilaku merokok pada remaja.

1.5 Keaslian Penelitian

Berdasarkan literatur, penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian ini yaitu : 1. Aricipta, I Gede Sukma (2013) dalam penelitiannya yang berjudul :

“Pengaruh Metode Peer Education Terhadap Pengetahuan dan Sikap

Remaja tentang Kesehatan Reproduksi di SMP Dharma Wiweka Denpasar”. Rancangan penelitian quasi eksperimental (Pretest-Postet Control Group Design), sampel diambil dengan teknik Simple Random Sampling, dengan jumlah sampel 60 orang pada setiap kelompok. Analisa data menggunakan uji Mann Whitney test dengan tingkat kemaknaan p = 0,000. Hasil penelitian ini adalah terdapat perbedaan pengetahuan dan sikap remaja tentang kesehatan reproduksi sebelum dan setelah diberikan metode peer education

dengan pengetahuan dan sikap sebelum dan setelah diberikan metode self directed learning. Perbedaan dengan penelitian ini antara lain terletak variabel bebas yang diteliti dan rancangan penelitian.

2. Musaini, Yeni Nur Ikwal, Icshsan., Burhannudin dan Basuki, Sri Wahyuni. (2011) dalam penelitiannya yang berjudul : “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan dan Sikap Merokok Pada Siswa

Laki-Laki Kelas XI SMK Murni 1 Surakarta”. Rancangan penelitian ini quasi eksperimental (non-randomized pre-test post-test control group design),


(28)

10

jumlah sampel sebanyak 32 siswa pada setiap kelompok. Analisa data menggunakan uji independent t-test dan uji Mann-Whitney test, ada perbedaan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap siswa laki-laki dengan intervensi dan kelompok kontrol. Hasil penelitian ini adalah terdapat pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap merokok pada siswa laki-laki kelas XI SMK Murni 1 Surakarta. Perbedaan dengan penelitian ini antara lain terletak variabel terikat yang diteliti, rancangan penelitian dan salah satu analisa data yang digunakan.

3. Ermawati, Trida (2010) dalam penelitiannya yang berjudul : “Hubungan Antara Peer Group Dengan Kebiasaan Merokok Pada Remaja Laki-Laki Di

SMK Warga Surakarta”. Rancangan penelitian ini observasional analitik

dengan pendekatan cross sectional, jumlah sampel sebanyak 60 siswa. Analisa data menggunakan analisis regresi logistik ganda dengan tingkat kemaknaan p = 0.05, ada hubungan antara peer group dengan kebiasaan merokok pada remaja laki-laki. Hasil penelitian ini adalah terdapay hubungan antara peer group dengan kebiasaan merokok pada remaja laki-laki. Perbedaan dengan penelitian ini antara lain terletak rancangan penelitian dan analisa data yang digunakan.

4. Sari, Ayu Ervyna Novita (2014) dalam penelitiannya yang berjudul :

“Pengaruh Peer Education Terhadap Perilaku Personal Hygiene Genetalia Dalam Pencegahan Kanker Serviks Pada Remaja Putri Di SMP Negeri 10

Denpasar”. Rancangan peneliian ini pre-experimental design dengan one group pre test post test design, jumlah sampel sebanyak 41 siswa. Analisa


(29)

11

data menggunakan uji wilcoxon dua sampel berpasangan dengan tingkat kemaknaan 95% (p  0,05) sehingga ada hubungan pengaruh peer education

terhadap perilaku personal hygiene genetalia dalam pencegahan kanker serviks pada remaja putri. Hasil dalam penelitian ini adalah ada perbedaan yang signifikan pengetahuan, sikap dan tindakan antara sebelum dan setelah diberikan peer education Perbedaan pada penelitian ini antara lain terletak pada variabel bebas yang diteliti.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, terdapat perbedaan penelitian seperti variabel terikat, variabel bebas, rancangan penelitian, analisa data yang digunakan, sampel penelitian dan lokasi penelitian. Selain perbedaan penelitian dengan kedua penelitian diatas adalah mengetahui pengaruh peer education


(30)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Proses Kelompok 2.1.1 Pengertian Proses Kelompok

Menurut Blais, Hayes, Kozier dan Erb (2006), proses kelompok adalah kekuatan dalam situasi kelompok yang menentukan perilaku kelompok dan anggotanya. Proses kelompok dikaitkan dengan kelompok melakukan fungsi, berkomunikasi, menetapkan tujuan dan mencapai sasaran. Menurut Widyanto (2014), dinamika kelompok/proses kelompok adalah suatu bentuk intervensi keperawatan komunitas yang dilakukan bersamaan dengan masyarakat melalui pembentukaan

peer/social support berdasar kondisi dan kebutuhan masyarakat. Jadi, dapat disimpulkan proses kelompok adalah perilaku kelompok dan anggotanya yang dilakukan secara bersamaan melalui pembentukan peer/social support.

Menurut Indanah (2010), dukungan merupakan keterlibatan yang diberikan oleh keluarga dan teman kepada klien untuk mengatur dan merawat diri sendiri. Dukungan dapat berupa hubungan antar individu dalam sikap positif, penegasan dan bantuan. Dukungan sebagai perilaku yang dapat menumbuhkan rasa nyaman dan individu merasa dihargai, dihormati dan dicintai. Dukungan dari peer group

merupakan sumber dari dukungan sosial alami yang berasal dari interaksi yang spontan. Peer group merupakan individu yang memiliki kedekatan, tingkat kedewasaan, usia yang sama dan rasa saling memiliki.


(31)

13

Menurut Musliha dan Fatmawati (2010), kelompok sebaya/peer group, individu merasakan adanya kesamaan seperti dibidang usia, kebutuhan dan tujuan yang dapat memperkuat kelompok. Peer group tidak dipentingkan adanya struktur organisasi, namun diantara anggota kelompok merasakan adanya tanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan kelompoknya. Dalam peer group, individu menemukan dirinya serta dapat mengembangkan rasa sosialnya dengan perkembangan pribadinya.

2.1.2 Fungsi Peer Group

Fungsi dari peer group menurut Santoso (2004), antara lain :

1. Mengajarkan kebudayaan (mengajarkan kebudayaan yang ada di tempat tinggal).

2. Mengajarkan mobilitas sosial, perubahan status.

3. Membantu peranan sosial yang baru, peer group memberi kesempatan bagi anggotanya untuk mengisi peranan sosial yang baru.

4. Peer group sebagai sumber informasi bagi orang tua dan guru bahkan untuk masyarakat.

5. Dalam peer group individu dapat mencapai ketergantungan satu sama lain. 6. Peer group mengajarkan moral orang dewasa.

7. Dalam peer group individu dapat mencapai kebebasan sendiri.


(32)

14

2.1.3 Ciri-Ciri Peer Group

Adapun ciri-ciri dari peer group menurut Musliha dan Fatmawati (2010), adalah : 1. Tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas. Peer group terbentuk secara spontan. Antar anggota kelompok mempunyai kedudukan yang sama, tetapi ada satu di antara anggota kelompok yang dianggap sebagai pemimpin. Semua anggota beranggapan bahwa yang memang pantas dijadikan sebagai pemimpin biasanya anak yang disegani dalam kelompok itu.

2. Bersifat sementara, karena tidak ada struktur organisasi yang jelas, maka kelompok ini kemungkinan tidak bisa bertahan lama, jika yang menjadi keinginan masing-masing anggota kelompok tidak tercapai, atau karena keadaan yang memisahkan mereka seperti pada teman sebaya di sekolah. Yang terpenting dalam peer group adalah mutu hubungan yang bersifat sementara.

3. Peer group mengajarkan individu tentang kebudayaan yang luas. Misalnya teman sebaya di sekolah, pada umumnya terdiri dari individu yang lingkungannya berbeda, di mana mempunyai aturan-aturan atau kebiasaan-kebiasaan yang berbeda pula. Lalu memasukkannya dalam peer group, sehingga mereka saling belajar secara tidak langsung tentang kebiasaan-kebiasaan itu dan dipilih sesuai dengan kelompok kemudian dijadikan kebiasaan-kebiasaan kelompok.


(33)

15

2.1.4 Pengaruh Peer Group

Menurut Santoso (2004) menyatakan pengaruh dari perkembangan peer group

terhadap individu dan kelompok ada yang positif dan negatif, yaitu : 1. Pengaruh positif :

a. Apabila individu di dalam kehidupannya memiliki peer group maka individu akan lebih siap menghadapi kehidupan yang akan datang.

b. Individu dapat mengembangkan rasa solidaritas antar kawan.

c. Bila individu masuk dalam peer group, maka setiap anggota akan dapat membentuk masyarakat yang akan direncanakan sesuai dengan kebudayaan yang mereka anggap baik.

d. Setiap anggota dapat berlatih memperoleh pengetahuan, kecakapan dan melatih bakatnya.

e. Mendorong individu untuk bersikap mandiri.

f. Menyalurkan perasaan dan pendapat demi kemajuan kelompok. 2. Pengaruh Negatif

a. Sulit menerima seseorang yang tidak mempunyai kesamaan. b. Tertutup bagi individu lain yang tidak termasuk anggota.

c. Menimbulkan rasa iri pada anggota satu dengan anggota yang lain yang tidak memiliki kesamaan dengan dirinya.

d. Timbulnya persaingan antar anggota kelompok.

e. Timbulnya pertentangan antar kelompok sebaya, misalnya : antara kelompok kaya dengan kelompok miskin.


(34)

16

2.2 Konsep Dasar Peer Education 2.2.1 Pengertian Peer Education

Peer education (pendidikan sebaya) adalah suatu proses komunikasi, informasi dan edukasi yang dilakukan oleh kalangan sebaya yaitu kalangan suatu kelompok, dapat kelompok sebaya pelajar, kelompok mahasiswa, sesama rekan profesi, jenis kelamin. Kegiatan sebaya dipandang sangat efektif dalam rangka KIE, karena penjelasan yang diberikan oleh seseorang dari kalangannya sendiri akan lebih mudah dipahami (Wahyuningsih dkk, 2000).

Peer education sering disebut dengan pendidikan sebaya, dilaksanakan antar kelompok sebaya dengan dipandu oleh fasilitator yang juga berasal dari kelompok itu sendiri atau yang mengerti kelompok itu. Pendidikan sebaya menjadi istilah konsep yang popular yang memberikan pendekatan, saluran komunikasi, metodologi, fisiologi dan strategi. Istilah ini digunakan pada pendidikan dan pelatihan. Pendidikan sebaya sekarang dilihat sebagai strategi perubahan perilaku yang efektif (Negara, Pawelloi, Jelantik dan Arnawa, 2006).

Pendidikan sebaya biasanya melibatkan pelatihan dan anggota kelompok tertentu. Melakukan perubahan diantara anggota kelompok, pendidikan sebaya sering digunakan untuk efek perubahan dalam pengetahuan, sikap, keyakinan dan perilaku pada tingkat individu (Horizons, 2002).

Jadi dapat disimpulkan, peer education adalah suatu proses komunikasi dalam memberikan informasi antar kelompok sebaya yang dapat dipandu oleh fasilitator dari kelompok sebaya itu sendiri.


(35)

17

2.2.2 Manfaat Peer Education

Peer education dipandang sangat efektif dalam mengatasi berbagai masalah remaja, karena penjelasan yang diberikan oleh seorang kelompoknya sendiri akan lebih mudah dipahami. Pendidikan lebih bermanfaat, karena alih pengetahuan dilaksanakan oleh antar kelompok sebaya mereka sehingga komunikasi menjadi lebih terbuka. Hal-hal yang tidak dapat dibicarakan bersama termasuk yang sifatnya sensitif dapat didiskusikan secara terbuka diantara mereka (Negara, Pawelloi, Jelantik dan Arnawa, 2006).

2.2.3 Penerapan Peer Education Di Sekolah

Menurut Sari (2007), peer education di sekolah dilaksanakan sebagai program yang mandiri. Meyakinkan pihak sekolah tentang keuntungan yang bisa diperoleh dari peer education, khususnya dalam membentuk siswa menjadi agent of change.

Sekolah juga diminta kesediaannya untuk membantu pelaksanaan peer education. Para guru dapat sebagai agen yang dapat memberikan pengetahuan dan mengembangkan keterampilan berpikir dengan menggunakan teknik-teknik yang dikuasai. Peer education ini pada akhirnya akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kesehatan siswa sekolah.

2.2.4 Kriteria Pendidik/Fasilitator Sebaya

Peer education/fasilitator sebaya adalah orang yang menjadi narasumber bagi kelompok sebayanya (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, 2008). Syarat-syarat menjadi peer education antara lain :

1. Aktif dalam kegiatan sosial dan populer di lingkungannya 2. Berminat pribadi menyebarluaskan informasi kesehatan


(36)

18

3. Lancar membaca dan menulis

4. Memiliki ciri-ciri kepribadian antara lain : ramah, lancar dalam mengemukakan pendapat, luwes dalam pergaulan, berinisiatif dan kreatif, tidak mudah tersinggung, terbuka untuk hal-hal baru, mau belajar serta senang menolong.

Menurut Imron (2012), peer education adalah orang yang dipilih karena mempunyai sifat memimpin dalam membantu orang lain, untuk itu pendidik sebaya haruslah seorang yang berasal dari kelompoknya dan mempunyai kriteria sebagai berikut :

1. Peer education mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik dan mampu mempengaruhi teman sebayanya.

2. Peer education mempunyai hubungan pribadi yang baik serta memiliki kemampuan untuk mendengarkan pendapat orang lain.

3. Peer education mempunyai rasa percaya diri dan sifat kepemimpinan. 4. Peer education mampu melaksanakan pendidikan kelompok sebaya.

Menurut Depdiknas (2004), untuk menjadi peer education harus menjalani pelatihan terlebih dahulu. Pelatihan peer education pada dasarnya menggunakan azas pendidikan orang dewasa (andragogi) dan mengikuti pendekatan

partisipatori. Proses pembelajaran yang berdasarkan partisipatori andragogi

menempatkan siswa sebagai orang yang memiliki bekal pengetahuan dan sudah mempunyai sedikit pengalaman, keterampilan serta cenderung untuk menentukan prestasinya sendiri. Pengalaman dan potensi yang ada pada siswa adalah sumber yang perlu digali dalam proses pembelajaran pada pendidikan sebaya.


(37)

19

Fasilitator dalam peer education harus mampu menciptakan suasana belajar diantara sesama siswa dan mampu memotivasi agar dapat berperan aktif dalam proses belajar untuk meningkatkan pengalaman dan penghayatan terhadap suatu materi yang dibahas (Sari, 2007). Peran Peer education/fasilitator sebaya dilakukan dengan merangkum, mengkomunikasikan kembali dan membangun komitmen dan dialog. Fasilitator dalam melakukan fasilitas meletakkan dirinya sebagai sumber informasi yang setara dengan peserta pendidikan, berkontribusi untuk memberikan informasi, menarik kesimpulan, memberikan feed back dan respon sesuai dengan proses pendidikan sebaya (Rahardjo et al, 2008).

2.2.5 Kriteria Pemilihan Anggota Kelompok Sebaya

Stanhope dan Lancaster (2010), pemilihan anggota kelompok dalam peer education antara lain :

1. Pertimbangkan kedudukan ketika membentuk sebuah kelompok baru. 2. Anggota kelompok tertarik kepada teman sebaya yang memiliki latar

belakang yang sama, pengalaman serupa dan minat/kepentingan serta kemampuan yang sama.

3. Individu yang memiliki keahlian memecahkan masalah dan mengutaran pikiran dan perasaan individu.

4. Anggota kelompok terdiri dari 8-12 orang. Suatu kelompok yang terdiri dari 8-12 orang merupakan jumlah yang bagus untuk kelompok yang memfokuskan diri pada perubahan kesehatan individu.


(38)

20

5. Perpaduan sifat-sifat berbeda yang dimiliki oleh setiap anggota sehingga memungkinkan adanya keseimbangan bagi proses pengambilan keputusan serta pertumbuhan.

2.2.6 Teknik Pemberian Informasi

Peer education dapat dilakukan di mana saja asalkan nyaman buat pendidik sebaya dan kelompoknya. Kegiatan tidak harus dilakukan diruangan khusus, tetapi tempat peer education sebaiknya dilakukan di tempat yang tidak ada orang lalu lalang dan jauh dari kebisingan sehingga diskusi bisa berlangsung tanpa gangguan.

Menurut PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, 2008), pemberian informasi agar efektif, pendidik sebaya perlu :

1. Mempelajari dan memahami materi 2. Memahami bahwa pemberian materi :

a. Tidak menggurui, jangan pernah menggurui teman, karena bakal dianggap meremehkannya.

b. Tidak harus mengetahui semuanya, kelompok sebaya bukanlah seorang ahli, maka apabila teman merasa kurang puas atas jawaban yang diberikan.

c. Tidak memutuskan pembicaraan, dalam kegiatan diskusi hendaknya membiarkan teman untuk menyelesaikan pendapatnya atau pertanyaannya dulu walaupun pendidik sebaya sudah tahu maksud dari pendapat atau pertanyaannya.


(39)

21

d. Tidak diskriminatif, pendidik sebaya harus berusaha memberikan perhatian dan kesempatan kepada semua teman, bukan hanya kepada satu atau dua peserta saja, atau dengan kata lain “tidak pilih kasih”.

3. Rasa percaya diri

Pendidik sebaya harus memiliki rasa percaya diri agar penyampaian materi berjalan lancar. Percaya diri dapat tumbuh bila :

a. Materinya dapat dikuasai.

b. Teknik penyampaian informasi tidak monoton. c. Dapat menguasai peserta.

d. Dapat berkomunikasi dengan baik dan jelas. e. Mampu menghayati peran yang dijalankan. 4. Komunikasi dua arah

Komunikasi yang terjadi hendaknya bersifat dua arah, atau terjadi hubungan timbal balik. Dialog sangat efektif menghadapi teman yang sifatnya tertutup, cenderung menolak pandangan lain atau perubahan. Pendidik sebaya harus bisa mendengarkan setiap teman, terbuka dan menghargai pandangan dengan menghindari kesan bahwa pendidik sebaya hendak memaksakan suatu informasi baru pada sasaran.

2.2.7 Prosedur Pelaksanaan Metode Peer Education

Prosedur pelaksanaan peer education menurut Negara, Pawelloi, Jelantik dan Arnawa, (2006), dikembangkan oleh Aricipta (2009) dan dikembangkan oleh peneliti, antara lain :


(40)

22

1. Pendidikan kesehatan dengan metode peer education dimulai dengan peneliti mengumpulkan remaja yang memenuhi kriteria inklusi

2. Satu kelompok peer education terdiri dari 8-12 orang dengan satu orang fasilitator. Menurut Stanhope dan Lancaster (2010), suatu kelompok yang terdiri dari 8-12 orang merupakan jumlah yang bagus untuk kelompok yang memfokuskan diri pada perubahan kesehatan individu. Mengidentifikasi siswa yang dijadikan fasilitator. Setiap kelas dipilih 1 siswa untuk dijadikan fasilitator. Pemilihan ini berdasarkan syarat-syarat menjadi fasilitator dengan berdiskusi terlebih dahulu dengan guru BK dan pendapat anggota kelompok tersebut karena remaja yang lebih banyak dipilih oleh anggota kelompok merupakan remaja yang dianggap lebih bisa dan mampu untuk mempengaruhi dan memimpin teman-temannya.

3. Fasilitator yang telah terpilih kemudian diberi pelatihan oleh pembina KSPAN berupa pemberian informasi baik secara lisan maupun tertulis yang telah mendapatkan pelatihan dan memiliki sertifikat.

4. Pelatihan dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan, pelatihan ini dilaksanakan selama 3 minggu yaitu 1 minggu 1 kali pertemuan, dengan menggunakan waktu formal tanpa menggangu jam pelajaran. Pertemuan pertama dilakukan pre test terlebih dahulu terkait pengetahuan, sikap dan psikomotor fasilitator. Kemudian penyampaian informasi terkait rokok, upaya mencegah dan menghindari rokok, pertemuan kedua dilakukan penyampaian informasi terkait teknik komunikasi dan evaluasi dilakukan latihan role play agar fasilitator mampu menyampaikan informasi kepada


(41)

23

kelompok sebaya, masing-masing pertemuan berlangsung selama 45-60 menit.

5. Pada pertemuan yang ketiga diberikan post test dan role play sehingga fasilitator dianggap mampu untuk menyampaikan informasi tersebut kepada kelompok sebaya.

6. Kegiatan peer education dilaksanakan sebanyak tiga kali pertemuan, kegiatan ini dilaksanakan selama 3 minggu yaitu setiap 1 minggu 1 kali pertemuan. Informasi diteruskan oleh fasilitator kepada kelompok-kelompok kecil yang sudah dibentuk sebelumnya, kemudian dilaksanakan kegiatan meliputi pre test kepada responden pada pertemuan pertama penyampaian informasi terkait rokok, upaya mencegah dan menghindari rokok, pertemuan kedua dilakukan penyampaian informasi terkait teknik komunikasi dilanjutkan dengan sharing, diskusi kelompok dan tanya jawab kepada responden. Pertemuan menggunakan waktu formal selama 30-45 menit.

7. Pertemuan ketiga dilakukan sharing pengalaman dan upaya pencegahan merokok. Kemudian dilakukan post test kepada responden terhadap pengetahuan, sikap dan psikomotor tentang perilaku merokok.

2.3 Konsep Dasar Perilaku 2.3.1 Pengertian Perilaku

Kwik (dalam Mubarak dkk, 2007), mengatakan bahwa perilaku adalah perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat terjadi melalui proses belajar. Menurut Alwi (2007)


(42)

24

perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan dari lingkungan.

Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku manusia adalah semua tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati. Jadi dapat disimpulkan perilaku merupakan tindakan yang dilakukan manusia sehingga terjadi perubahan pada perilaku pada pengetahuan, sikap dan psikomotor manusia menjadi yang lebih baik dari sebelumnya.

2.3.2 Bentuk Perilaku

Teori Bloom (1908) (dalam Notoatmodjo, 2010), membedakan perilaku dalam tiga domain perilaku yaitu : kognitif (cognitive), afektif (affective) dan psikomotor (psychomotor). Untuk kepentingan pendidikan praktis, teori ini kemudian dikembangkan menjadi tiga jenis perilaku yaitu :

A. Pengetahuan (Knowledge)

1. Pengertian

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).

2. Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif (Notoatmodjo, 2007), tercakup dalam enam tingkatan, yaitu :


(43)

25

1. Tahu (know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik.

2. Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan suatu materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (real). 4. Analisis (analysis), yaitu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis), merupakan kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (evaluation), tingkat pengetahuan yang berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

3. Kriteria Pengukuran Pengetahuan

Menurut Arikunto (2006), pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan isi materi yang diukur dari subyek penelitian atau responden. Pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan, yaitu :


(44)

26

a. Pengetahuan baik : hasil persentase baik 76%-100%. b. Pengetahuan cukup : hasil persentase cukup 56%-75%. c. Pengetahuan kurang : hasil persentase kurang < 56%.

B. Sikap (Attitude)

1. Pengertian

Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoadmodjo, 2007). Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.

2. Tingkatan Sikap

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya yaitu :

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan dan mendiskusikan suatu maslah. 4. Bertanggung jawab (responsible)

Pada tingkat ini, sikap individu akan bertanggung jawab dan siap menanggung segala risiko atas segala sesuatu yang telah dipilihnya.


(45)

27

3. Pengukuran Sikap

Menurut Sunaryo (2004), secara garis besar pengukuran sikap dibedakan menjadi dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung

1. Secara langsung

Terdapat dua cara, yaitu langsung berstruktur dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang disusun sedemikian rupa misal dengan skala

Guttman atau skala Likert, sedangkan langsung tak berstruktur dengan pengukuran sederhana seperti wawancara bebas (free interview), pengamatan langsung atau survei.

2. Secara tidak langsung

Cara pengukuran sikap dengan menggunakan tes. Umumnya menggunakan skala sematik-differential yang terstandar.

Menurut Hidayat (2008) (dalam Ariani, 2012), sikap seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan, yaitu :

a. Sikap baik : hasil persentase baik 76%-100%. b. Sikap cukup : hasil persentase cukup 51%-75%. c. Sikap kurang : hasil persentase kurang < 50%.

C. Psikomotor/Tindakan

1. Pengertian

Suatu sikap pada diri individu belum tentu terwujud dalam suatu tindakan. Agar sikap individu terwujud dalam perilaku nyata diperlukan faktor pendukung dan fasilitas (Sunaryo, 2004).


(46)

28

2. Tingkatan Psikomotor

Menurut Notoatmodjo (2007), psikomotor atau praktik memiliki beberapa tingkatan yaitu :

1. Persepsi (persection)

Persepsi adalah mengenal dan memilih berbagai objek sesuai dengan tindakan yang akan dilakukan.

2. Respon terpimpin (guide response)

Respon terpimpin yaitu individu dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai contoh.

3. Mekanisme (mecanisme)

Mekanisme adalah individu dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sudah menjadi kebiasaan.

4. Adaptasi (adaption)

Adaptasi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dan dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran.

3. Pengukuran Psikomotor

Menurut Dewi (2011), hasil pengukuran dapat dikategorikan menjadi baik, cukup, kurang. Psikomotor seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan, antara lain :

a. Psikomotor baik : hasil persentase baik 70%-100%. b. Psikomotor cukup : hasil persentase cukup 40%-69%. c. Psikomotor kurang : hasil persentase kurang < 40%.


(47)

29

2.4 Konsep Dasar Remaja

2.4.1 Pengertian Remaja

Remaja adalah periode perkembangan dimana individu mengalami perubahan atau masa transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa (Perry dan Potter, 2005). Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak menuju dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa (Rumini dan Sundari, 2004).

Remaja merupakan suatu kehidupan individu yang terjadi eksplorasi psikologis untuk menemukan identitas diri. Pada masa transsisi dari masa anak-anak ke masa remaja, individu mulai mengembangkan ciri-ciri abstrak dan konsep diri menjadi lebih berbeda (Kusmiran, 2012). Menurut Depkes RI (2005), masa remaja merupakan suatu proses tumbuh kembang yang berkesinambungan, yang merupakan masa peralihan dari anak-anak ke dewasa muda.

Jadi dapat disimpulkan, remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa muda dengan perubahan yang terjadi di dalam diri dan tubuh remaja.

2.4.2 Tahapan Masa Remaja

Menurut Soetjiningsih (2004), dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati sebagai berikut :


(48)

30

1. Masa Pra Remaja

Masa pra remaja adalah suatu tahap untuk memasuki tahap remaja yang sesungguhnya. Pada masa ini ada beberapa indikator yang telah dapat ditentukan untuk menentukan indentitas gender laki-laki atau perempuan. Ciri-ciri perkembangan seksual pada masa ini antara lain, perkembangan fisik yang masih tidak banyak berbeda dengan sebelumnya. Pada masa ini juga mereka sudah mulai senang mencari tahu informasi tentang seks dan mitos seks baik dari teman sekolah, keluarga atau dari sumber lainnya. 2. Masa Remaja Awal

Merupakan tahap awal remaja sudah mulai tampak ada perubahan fisik yaitu, fisik sudah mulai matang dan berkembang, remaja sudah mulai merasakan rangsangan yang diakibatkan oleh faktor internal yaitu meningkatnya kadar testosteron pada laki-laki dan estrogen pada perempuan.

3. Masa Remaja Menengah

Pada masa ini para remaja sudah mengalami pematangan fisik secara penuh yaitu anak laki-laki sudah mengalami mimpi basah sedangkan anak perempuan sudah mengalami haid.

4. Remaja Akhir

Pada masa ini remaja sudah mengalami perkembangan fisik secara penuh, sudah seperti orang dewasa, mereka telah mempunyai perilaku seksual yang sudah jelas dan sudah mulai mengembangkannya dalam bentuk pacaran.


(49)

31

Pada tahap ini remaja telah mencapai kemampuan untuk mengembangkan cita-citanya sesuai dengan pengalaman dan pendidikannya.

2.4.3 Batasan Usia Remaja

Menurut Monks (2009), semua aspek perkembangan dalam masa remaja secara global berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir. Menurut tahap perkembangan, masa remaja dibagi menjadi tiga tahap yaitu :

1. Masa remaja awal (12-15 tahun), dengan ciri khas antara lain : a. Lebih dekat dengan teman sebaya.

b. Ingin bebas.

c. Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak.

2. Masa remaja tengah (15-18 tahun), dengan ciri khas antara lain : a. Mencari identitas diri.

b. Timbulnya keinginan untuk kencan. c. Mempunyai rasa cinta yang mendalam.

d. Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak. e. Berkhayal tentang aktivitas seks.

3. Masa remaja akhir (18-21 tahun), dengan ciri khas antara lain : a. Pengungkapan identitas diri.

b. Lebih selektif dalam mencari teman sebaya. c. Mempunyai citra jasmani dirinya.


(50)

32

d. Dapat mewujudkan rasa cinta. e. Mampu berfikir abstrak.

2.4.4 Karakteristik Perkembangan Remaja

Menurut Wong (2009), karakteristik perkembangan remaja dapat dibedakan menjadi :

1. Perkembangan Psikososial

Teori perkembangan psikososial menurut Erikson (dalam Wong, 2009), menganggap bahwa krisis perkembangan pada masa remaja menghasilkan terbentuknya identitas. Periode remaja awal dimulai dengan awitan pubertas dan berkembangnya stabilitas emosional dan fisik yang relatif pada saat atau ketika hampir lulus dari SMA. Pada saat ini, remaja dihadapkan pada krisis identitas kelompok versus pengasingan diri. Pada periode selanjutnya, individu berharap untuk mencegah otonomi dari keluarga dan mengembangkan identitas diri sebagai lawan terhadap difusi peran. Identitas kelompok menjadi sangat penting untuk permulaan pembentukan identitas pribadi. Remaja pada tahap awal harus mampu memecahkan masalah tentang hubungan dengan teman sebaya sebelum mereka mampu menjawab pertanyaan tentang siapa diri mereka dalam kaitannya dengan keluarga dan masyarakat.

a. Identitas kelompok

Selama tahap remaja awal, tekanan untuk memiliki suatu kelompok semakin kuat. Remaja menganggap bahwa memiliki kelompok adalah hal yang penting karena merasa menjadi bagian dari kelompok dan kelompok


(51)

33

dapat memberi status. Ketika remaja mulai mencocokkan cara dan minat berpenampilan, gaya mereka segera berubah. Bukti penyesuaian diri remaja terhadap kelompok teman sebaya dan ketidakcocokkan dengan kelompok orang dewasa memberi kerangka pilihan bagi remaja sehingga mereka dapat memerankan penonjolan diri mereka sendiri sementara menolak identitas dari generasi orang tuanya.

b. Identitas individual

Pada tahap pencarian ini, proses perkembangan identitas pribadi merupakan proses yang memakan waktu dan penuh dengan periode kebingungan, depresi dan keputusasaan. Penentuan identitas dan bagiannya di dunia merupakan hal yang penting dan sesuatu yang menakutkan bagi remaja. Difusi peran terjadi jika individu tidak mampu memformulasikan kepuasan identitas dari berbagai aspirasi, peran dan identifikasi.

c. Identitas peran seksual

Masa remaja merupakan waktu untuk konsolidasi identitas peran seksual. Selama masa remaja awal, kelompok teman sebaya mulai mengkomunikasikan beberapa pengharapan terhadap hubungan heterokseksual dan bersamaan dengan kemajuan perkembangan, remaja dihadapkan pada pengharapan terhadap perilaku peran seksual yang matang yang baik dari teman sebaya maupun orang dewasa.


(52)

34

d. Emosionalitas

Remaja mampu menghadapi masalah dengan tenang dan rasional, walaupun masih mengalami periode depresi. Perasaan remaja lebih kuat dan mulai menunjukkan emosi yang lebih matang pada masa remaja akhir. Sementara remaja awal bereaksi cepat dan emosional, sedangkan remaja akhir dapat mengendalikan emosinya sampai waktu dan tempat untuk mengekspresikan dirinya dapat diterima masyarakat.

2. Perkembangan Kognitif

Teori perkembangan kognitif menurut Piaget (dalam Wong, 2009), remaja tidak lagi dibatasi dengan kenyataan dan aktual, yang merupakan ciri periode berpikir konkret. Tanpa memusatkan perhatian pada situasi saat ini, remaja dapat membayangkan suatu rangkaian peristiwa yang mungkin terjadi. Remaja secara mental mampu memanipulasi lebih dari dua kategori variabel pada waktu yang bersamaan.

3. Perkembangan Moral

Teori perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam Wong, 2009), masa remaja akhir dicirikan dengan suatu pertanyaan serius mengenai nilai moral dan individu. Remaja memahami tugas dan kewajiban berdasarkan hak timbal balik dengan orang lain dan juga memahami konsep peradilan yang tampak dalam penetapan hukuman terhadap kesalahan dan perbaikan atau penggantian apa yang telah dirusak akibat tindakan yang salah.


(53)

35

4. Perkembangan Spiritual

Pada saat remaja mulai mandiri dari orang tua atau otoritas yang lain, beberapa diantaranya mulai mempertanyakan nilai dan ideal keluarga. Remaja mungkin menolak aktivitas ibadah yang formal tetapi melakukan ibadah secara individual dengan privasi dalam kamar sendiri.

5. Perkembangan Sosial

Untuk memperoleh kematangan penuh, remaja harus membebaskan diri dari dominasi keluarga dan menetapkan sebuah identitas yang mandiri dari wewenang orang tua. Remaja ingin dewasa dan ingin bebas dari kendali orang tua, tetapi merasa takut ketika mencoba untuk memahami tanggung jawab yang terkait dengan kemandirian.

a. Hubungan dengan orang tua

Selama masa remaja, hubungan orang tua-anak berubah dari menyayangi dan persamaan hak. Proses mencapai kemandirian sering kali melibatkan karena baik orang tua maupun remaja belajar untuk menampilkan peran yang baru dan menjalankannya sampai selesai, sementara pada saat bersamaan, penyelesaian sering kali merupakan rangkaian kerenggangan yang menyakitkan. Pada saat remaja menuntut hak mereka untuk mengembangkan hak-hak istimewanya, mereka sering kali menciptakan ketegangan di dalam rumah.

b. Hubungan dengan teman sebaya

Walaupun orang tua tetap memberi pengaruh utama dalam sebagian besar kehidupan, bagi sebagian besar remaja, teman sebaya dianggap lebih


(54)

36

berperan penting ketika masa remaja dibandingkan masa kanak-kanak. Kelompok teman sebaya memberikan remaja perasaan kekuatan dan kekuasaan.

1. Kelompok teman sebaya

Remaja biasanya berpikiran sosial, suka berteman dan suka berkelompok. Untuk memperoleh penerimaan kelompok, remaja awal berusaha untuk menyesuaikan diri secara total dalam berbagai hal seperti model berpakaian, gaya rambut, selera musik, tata bahasa dan sering kali mengorbankan individualitas dan tuntutan diri. Segala sesuatu pada remaja diukur oleh reaksi teman sebayanya.

2. Sahabat

Hubungan personal antara satu orang dengan orang lain yang berbeda biasanya terbentuk antara remaja sesama jenis. Hubungan ini lebih dekat dan lebih stabil daripada hubungan yang dibentuk pada masa kanak-kanak pertengahan dan penting untuk pencarian identitas. Seorang sahabat merupakan pendengar terbaik, yaitu tempat remaja mencoba kemungkinan peran-peran dan suatu peran bersamaan, mereka saling memberikan dukungan satu sama lain.


(55)

37

2.4.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok Pada Remaja

Faktor yang mempengaruhi perilaku merokok menurut Notoatmodjo (2005), antara lain :

1. Faktor Intrinsik a. Kepribadian

Kepribadian merupakan segala bentuk pola pikiran, emosi dan perilaku yang berbeda serta mempunyai karakteristik yang menentukan gaya personal individu dan mempengaruhi interaksinya dengan lingkungan. Orang dengan kepribadian tipe A (introvert) lebih mudah mengalami gangguan akibat adanya stres dari pada orang dengan kepribadian tipe B (ekstrovert).

Adapun ciri-ciri orang dengan kepribadian tipe A (introvert) dan tipe kepribadian B (ekstrovert) menurut Hawari (2001) antara lain :

1. Tipe A (introvert)

Sikap introvert mengarahkan pribadi ke pengalaman subjektif, memusatkan diri pada dunia dalam, cenderung menyendiri, pendiam atau tidak ramah, bahkan antisosial. Seseorang juga mengamati dunia luar, tetapi mereka melakukannya secara selektif dan menggunakan pandangan subjektif mereka sendiri. Ciri-ciri anak dengan tipe

introvert adalah sulit bergaul, hatinya tertutup, sulit berhubungan dengan orang lain dan penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar kurang baik.


(56)

38

2. Tipe B (ekstrovert)

Sikap ekstrovert mengarahkan pribadi ke pengalaman objektif, memusatkan perhatiannya ke dunia luar, cenderung berinteraksi dengan orang disekitarnya, aktif dan ramah. Ciri-ciri anak tipe

ekstrovert biasanya mudah bergaul, hatinya terbuka, hubungan dengan orang lain lancar dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.

b. Karakteristik 1. Jenis kelamin

Laki-laki dan perempuan memiliki pertimbangan yang berbeda dalam berperilaku. Laki-laki lebih cenderung untuk menggunakan pertimbangan rasional dan mudah terpengaruh terhadap perubahan lingkungan sekitarnya. Perempuan lebih cenderung menggunakan pertimbangan emosional atau perasaan dalam berperilaku (Notoatmodjo, 2005).

2. Usia

Tidak ada yang memungkiri adanya dampak negatif dari perilaku merokok tetapi perilaku merokok bagi kehidupan manusia merupakan kegiatan yang fenomenal. Artinya, meskipun sudah diketahui akibat negatif merokok tetapi jumlah perokok bukan semakin menurun tetapi semakin meningkat dan usia semakin bertambah muda (Hurlock, 2001).


(57)

39

c. Kepercayaan tentang rokok

Kepercayaan remaja tentang merokok sangat besar karena perilaku merokok pada remaja sudah menjadi kebiasaan. Remaja menggunakan rokok sama sekali bukan untuk mengendalikan perasaan, tetapi karena benar-benar sudah menjadi kebiasaan rutin. Dapat dikatakan suatu perilaku yang bersifat otomatis, seringkali tanpa dipikirkan dan tanpa disadari karena merokok membuat remaja lebih rileks dan tenang (Finkelstein, Kubzansky dan Goodman, 2006).

2. Faktor Pola Asuh

Pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi (Edwards, 2006).

3. Faktor Budaya

Kebudayaan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap. Apabila remaja hidup dalam lingkungan atau kebudayaan yang menganggap merokok sebagai suatu hal yang wajar dilakukan oleh para remaja, maka kemungkinan besar remaja akan mempunyai sikap bahwa perilaku merokok pada remaja merupakan suatu hal yang wajar dilakukan. Jika remaja tinggal dilingkungan atau kebudayaan yang menganggap perilaku merokok pada remaja itu suatu hal yang kurang baik.


(58)

40

4. Ekonomi

Perilaku merokok pada remaja dipengaruhi oleh uang saku yang diperoleh remaja dan kemampuan keluarga dalam menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Komalasari dan Helmi, 2000). 5. Lingkungan

Faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku merokok diperoleh dari lingkungan keluarga, lingkungan sekitar tempat tinggal dan lingkungan pergaulan remaja (Syamsu, 2008) :

a. Lingkungan keluarga

Remaja yang berasal dari rumah tangga yang kurang bahagia, dimana orang tua tidak memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik secara keras maka remaja tersebut nantinya akan lebih mudah untuk menjadi seorang perokok dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia. Perilaku merokok lebih banyak dijumpai pada remaja yang tinggal dengan satu orang tua (single parent). Remaja akan lebih cepat berperilaku sebagai perokok bila ibu mereka merokok dari pada ayah yang merokok, hal ini lebih terlihat pada remaja putri.

b. Lingkungan sekitar tempat tinggal

Lingkungan mempengaruhi sikap merokok remaja dan lingkungan sekitar tempat tinggal merupakan tempat berkembangnya sikap pada remaja. Lingkungan ini meliputi segala sesuatu yang ada disekitar remaja itu


(59)

41

sendiri, baik fisik, biologis, maupun interaksi sosial yang ada dilingkungan tersebut.

c. Lingkungan sekolah

Lingkungan pergaulan remaja di sekolah banyak dipengaruhi oleh teman sebaya dan kelompoknya. Semakin banyak remaja yang merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya.

6. Iklan

Perilaku merokok pada remaja juga dapat muncul sebagai akibat dari iklan di media massa. Iklan rokok di berbagai tempat dan media massa yang saat ini makin merajarela sangat menarik bagi para remaja. Melihat iklan dimedia massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut.

2.5 Konsep Dasar Perilaku Merokok 2.5.1 Pengertian Merokok

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70-120 mm dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Menurut Poerwadarminta (dalam Nasution, 2007), mendefinisikan merokok sebagai menghisap rokok dan rokok didefinisikan sebagai gulungan tembakau yang berbalut daun nipah atau kertas. Hal ini senada dengan pendapat Armstrong (dalam Nasution, 2007), merokok adalah menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh dan menghembuskannyakembali keluar.


(60)

42

Menurut Subanada (2004), merokok adalah sebuah kebiasaan yang dapat memberikan kenikmatan bagi si perokok, namun dilain pihak dapat menimbulkan dampak buruk baik bagi si perokok itu sendiri maupun orang-orang disekitarnya. Menurut Komalasari dan Alvin (2008), perilaku merokok adalah sebagai aktivitas subjek yang berhubungan dengan perilaku merokoknya, yang diukur melalui intensitas merokok, waktu merokok dan fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi dapat disimpulkan, merokok adalah suatu kebiasaan menghisap asap tembakau yang berbahaya bagi perokok aktif dan perokok pasif.

2.5.2 Komponen Racun Dalam Rokok

Menurut Proverawati dan Rahmawati (2012), komponen dalam rokok terdiri dari : 1. Zat Kimia

Rokok tidak dapat dipisahkan dari bahan baku pembuatannya, yakni tembakau. Tembakau ditambah cengkih dan bahan-bahan lain dicampur untuk dibuat rokok kretek. Selain kretek, tembakau dapat dibuat rokok linting, rokok putih, cerutu, rokok pipa dan tembakau tanpa asap (chewing tobacco atau tembakau kunyah). Komponen gas asap rokok adalah karbon monoksida, amoniak, asam hidrosianat, nitrogen oksida dan formaldehid. Partikelnya berupa tar, oksida, nikotin, karbarzol dan kresol. Zat-zat ini beracun, mengiritasi dan menimbulkan kanker (karsinogen). Asap yang dihembuskan para perokok dapat dibagi atas asap utama (main stream smoke) dan asap samping (side stream smoke). Asap utama merupakan asap tembakau yang dihirup langsung oleh perokok, sedangkan asap samping


(61)

43

merupakan asap tembakau yang disebarkan ke udara bebas, yang akan dihirup oleh orang lain atau perokok pasif.

2. Nikotin

Zat yang paling sering dibicarakan dan diteliti orang, meracuni saraf tubuh, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan penyempitan pembuluh darah tepi, menyebabkan ketagihan dan ketergantungan pada pemakainya. Nikotin mengganggu sistem saraf simpatis dengan akibat meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin, meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, kebutuhan oksigen jantung, serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin mengaktifkan trombosit dengan akibat timbulnya adhesi trombosit (penggumpalan) ke dinding pembuluh darah.

3. Timah Hitam (Pb)

Timah hitam yang dihasilkan oleh sebatang rokok sebanyak 0,5 ug. Sebungkus rokok (isi 20 batang) yang habis dihisap dalam satu hari akan menghasilkan 10 ug. Sementara ambang batas bahaya timah hitam yang masuk ke dalam tubuh adalah 20 ug per hari.

4. Gas Karbonmonoksida (CO)

Karbon monoksida memiliki kecenderungan yang kuat untuk berikatan dengan hemoglobin dalam sel-sel darah merah. Karbon monoksida menimbulkan desaturasi hemoglobin, menurunkan langsung persediaan oksigen untuk jaringan seluruh tubuh termasuk miokard. CO menggantikan tempat oksigen di hemoglobin, mengganggu oksigen dan mempercepat


(62)

44

aterosklerosis (pengapuran/penebalan dinding pembuluh darah). Nikotin, CO dan bahan-bahan lain dalam asap rokok terbukti merusak endotel (dinding dalam pembuluh darah) dan mempermudah timbulnya penggumpalan darah.

5. Tar

Tar adalah kumpulan dari beribu-ribu bahan kimia dalam komponen padat asap rokok dan bersifat karsinogen. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke dalam rongga mulut sebagai uap padat. Setelah dingin, akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna cokelat pada permukaan gigi, saluran pernapasan dan paru-paru. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg per batang, sementara kadar tar dalam rokok berkisar 24-45 mg.

2.5.3 Aspek-Aspek Perilaku Merokok

Aspek-aspek perilaku merokok menurut Aritonang (dalam Nasution, 2007),yaitu : 1. Fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari

Merokok berkaitan dengan masa mencari jati diri pada diri remaja. Silvans dan Tomkins, fungsi merokok ditunjukkan dengan perasaan yang dialami si perokok, seperti perasaan yang positif maupun perasaan negatif.

2. Intensitas merokok

Menurut Smet mengklasifikasikan perokok berdasarkan banyaknya rokok yang dihisap, yaitu :

a. Perokok berat yang menghisap lebih dari 15 batang rokok dalam sehari.


(63)

45

c. Perokok ringan yang menghisap 1-4 batang rokok dalam sehari.

3. Tempat merokok, tipe perokok berdasarkan tempat ada dua (Mu’tadin, 2002) yaitu :

a. Merokok di tempat-tempat umum/ruang publik

1. Kelompok homogen (sama-sama perokok), secara bergerombol mereka menikmati kebiasaannya. Umumnya mereka masih menghargai orang lain, karena itu mereka menempatkan diri di

smoking area.

2. Kelompok yang heterogen (merokok ditengah orang-orang lain yang tidak merokok, anak kecil, orang jompo, orang sakit, dan lain-lain). b. Merokok di tempat-tempat yang bersifat pribadi

1. Kantor atau di kamar tidur pribadi

Perokok memilih tempat-tempat seperti ini yang sebagai tempat merokok digolongkan kepada individu yang kurang menjaga kebersihan diri dan penuh rasa gelisah yang mencekam.

2. Toilet

Perokok jenis ini dapat digolongkan sebagai orang yang suka berfantasi.

4. Waktu merokok

Remaja yang merokok dipengaruhi oleh keadaan yang dialaminya pada saat itu, misalnya ketika sedang berkumpul dengan teman, cuaca yang dingin, setelah dimarahi orang tua dan lain-lain.


(1)

a. Dampak rokok terhadap paru-paru

Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mucus bertamah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Akibat perubahan anatomi saluran napas, pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru-paru dengan segala macam gejala klinisnya. Rokok merupakan penyebab utama terjadinya kanker paru-paru. Partikel asap rokok, seperti benzopiren, dibenzopiren dan ureten, dikenal sebagai bahan karsinogen. b. Dampak terhadap jantung

Merokok menjadi faktor utama penyebab penyakit pembuluh darah jantung. Bukan hanya menyebabkan penyakit jantung koroner, merokok juga berakibat buruk bagi pembuluh darah otak dan perifer.

1. Penyakit Jantung Koroner (PJK)

Risiko terjadinya penyakit jantung koroner meningkat 2-4 kali pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Risiko ini meningkat dengan bertambahnya usia dan jumlah rokok yang dihisap. Faktor risiko merokok bekerja sinergis dengan faktor-faktor lain, seperti hipertensi, kadar lemak atau gula darah yang tinggi terhadap tercetusnya PJK.


(2)

2. Penyakit (Stroke)

Penyumbatan pembuluh darah otak yang bersifat mendadak atau stroke dan risiko kematian lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok.

2. Dampak pada ekonomi

Merokok dapat juga berdampak negatif pada aspek ekonomi. Perilaku merokok pada setiap individu dan rumah tangga dengan perokok memerlukan biaya ekonomi yang tinggi, pada rumah tangga dengan perokok sebanyak 11,5% dari total pengeluaran bulanan rumah tangga digunakan untuk membeli rokok. Bahkan pada keluarga yang kurang mampu, persentase pengeluaran rumah tangga untuk membeli rokok biayanya lebih besar (Barber, Adieotomo dan Setynoaluri, 2008).

2.5.7 Cara Menghentikan Merokok dan Cara Menghindarinya

Menurut Mu’tadin (2002), dalam upaya prevalensi, motivasi untuk menghentikan perilaku merokok perlu untuk dipertimbangkan dan dikembangkan. Dengan menumbuhkan motivasi dalam diri remaja, berhenti atau tidak mencoba untuk merokok akan membuat mereka mampu untuk tidak terpengaruh oleh godaan merokok yang datang dari teman, media massa atau kebiasaan keluarga/orang tua. Agar terhindar dari kebiasaan merokok, kita harus terbiasa untuk bersikap asertif, untuk tetap mengatakan tidak pada rokok. Apabila telah mampu kita terapkan, maka teman sebaya atau kelompok kita bisa dijadikan kader pendidik sebaya. Bagi para perokok khususnya remaja, untuk berhenti dari kebiasaan merokok bukanlah suatu hal yang mustahil, apabila remaja meninggalkan kebiasaan


(3)

merokok hari ini, maka badan akan terbebas dari nikotin dalam masa delapan jam. Menurut Bangun (2008), menghentikan kebiasaan merokok, bisa tetap dilakukan, antara lain dengan cara :

1. Tekad untuk berhenti merokok dan mulailah dalam waktu dekat. Berhenti merokok tidak mudah, namun dapat dilakukan dengan mengendalikan kemauan untuk merokok.

2. Hindari dan buanglah rokok dari kantong dan semua bekas tembakau. Menjauhlah dari tempat biasa merokok dan menjauhlah dari para perokok. 3. Minumlah air sekurang-kurangnya delapan gelas sehari. Gantilah kopi, teh

dan minuman cola dengan sari buah atau jus. Karena kopi, teh dan minuman cola dapat merangsang untuk merokok lagi.

4. Usahakan untuk melakukan kegiatan seperti olahraga di alam terbuka, gerak badan dan bernafas dalam-dalam.

5. Jagalah makanan, usahakan makan banyak buah-buahan dan sayur-sayuran yang segar. Makanlah secara teratur dan hindari makanan yang banyak bumbunya dan minuman keras.

6. Waktu tidur tujuh-delapan jam sehari, sehari dalam seminggu untuk istirahat. Sering merokok untuk mengurangi ketegangan, tapi tidur dan istirahat menghilangkan ketegangan lebih baik daripada merokok.

7. Membentuk kelompok sebaya

Kelompok ini bisa dibentuk berdasarkan kesamaan prinsip para remaja, yaitu terdiri dari sekelompok remaja yang sama-sama menginginkan berhenti merokok. Selain memberi ruang yang cukup bagi para remaja yang


(4)

ingin berhenti merokok, kelompok ini juga bisa menampung segala permasalahan yang dialami remaja, khususnya yang berkaitan dengan upaya menghentikan kebiasaan merokok.

8. Senantiasa berdoa

Upaya sekeras apapun tidak akan pernah membuahkan hasil, apabila tidak diikuti dengan doa. Selain bisa menambah keyakinan diri, doa bisa memberikan semacam kekuatan pelindung, terutama bagi remaja perokok untuk tetap melanjutkan upaya berhenti merokok dan tidak akan pernah merokok lagi. Selain itu, dukungan keluarga, serta teman-teman dan masyarakat sekitar akan sangat membantu remaja untuk menghentikan kebiasaan merokok.

2.6 Pengaruh Peer Education Terhadap Perilaku Merokok Pada Remaja Masa remaja merupakan periode perkembangan selama individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Potter dan Perry, 2005). Remaja merupakan masa pencarian identitas diri, pada masa ini pergaulan terhadap kelompok sebaya memiliki peran penting bagi remaja (Iskandarsyah, 2006). Remaja sangat rentan terhadap pengaruh lingkungannya. Lingkungan sosial budaya yang tidak positif merupakan faktor risiko bagi remaja dalam perilaku yang tidak sehat (Tarwoto dkk, 2012).

Melalui proses kelompok dapat tercipta interaksi antar individu yang dapat membantu upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Menurut Widyanto (2014), peer group merupakan individu yang memiliki kedekatan dan tingkat


(5)

kedewasaan yang sama. Sehingga hubungan dengan teman sebaya dapat membantu dalam mengatasi masalah.

Perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat terjadi melalui proses belajar. Belajar diartikan sebagai proses perubahan perilaku yang didasari oleh perilaku terdahulu (Notoatmodjo, 2007). Metode peer education dipandang sangat efektif dalam mengatasi berbagai masalah remaja, karena penjelasan yang diberikan oleh seorang kelompoknya sendiri akan lebih mudah dipahami dalam memberikan informasi (Negara, Pawelloi, Jelantik dan Arnawa, 2006). Selain memberi ruang yang cukup bagi para remaja yang ingin berhenti merokok, kelompok ini juga bisa menampung segala permasalahan yang dialami remaja, khususnya yang berkaitan dengan upaya menghentikan kebiasaan merokok.

Kelompok ini bisa dikepalai oleh seorang pendidik yang mampu menggerakkan dan menampung remaja yang ingin berhenti merokok, misalnya psikiater ataupun mahasiswa yang peduli. Secara berangsur-angsur, kelompok ini akan menghasilkan remaja-remaja yang benar-benar telah terbebas dari kebiasan merokok, sehingga hal ini akan berguna bagi remaja yang lain yang mempunyai keinginan yang sama untuk berhenti merokok.

Menurut Albert Bandura (dalam Yusuf, 2008), menyatakan interaksi remaja dalam kelompok sebaya dapat merangsang dan menstimulasi pola-pola respon baru memulai belajar. Dalam hal ini metode peer education dapat memberikan pengetahuan, sikap, keyakinan serta tindakan dalam pemeliharaan dan melindungi kesehatannya. Pendekatan dengan menggunakan metode peer education dapat


(6)

memberikan hasil yang positif terhadap pengetahuan, sikap dan psikomotor remaja tentang perilaku merokok.