KEPAILITAN BANK STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NOMOR : 21/PAILIT/2001/PN.NIAGA.JKT.PST DALAM PERMOHONAN DARI : PT BANK IFI (PEMOHON) TERHADAP PT BANK DANAMON Tbk. (TERMOHON).

(1)

SKRIPSI

KEPAILITAN BANK

STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN

NIAGA NOMOR: 21/PAILIT/2001/PN.NIAGA.JKT.PST

DALAM PERMOHONAN DARI : PT BANK IFI

(PEMOHON) TERHADAP PT BANK DANAMON Tbk.

(TERMOHON).

NI MADE AYU PASEK DWILAKSMI NIM. 1203005034

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

KEPAILITAN BANK

STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN

NIAGA NOMOR: 21/PAILIT/2001/PN.NIAGA.JKT.PST

DALAM PERMOHONAN DARI : PT BANK IFI

(PEMOHON) TERHADAP PT BANK DANAMON Tbk.

(TERMOHON).

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NI MADE AYU PASEK DWILAKSMI NIM. 1203005034

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(3)

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 28 MARET 2016

Pembimbing I

Marwanto, SH.M.,Hum. NIP. 196001011 98602 1 001

Pembimbing II

Ida Ayu Sukihana, SH., MH. NIP. 19570311 1986012 001


(4)

(5)

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur saya panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas rahmat-Nya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Kepailitan Bank

Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Nomor : 21/Pailit/2001/PN.NIAGA.JKT.PST Salam Permohonan Dari : PT Bank IFI

(Pemohon) Terhadap PT Bank Danamon Tbk. (Termohon)”.

Skripai ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Berhasilnya penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan, fasilitas serta bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih yang setulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak Dr Gede Made Swardhana S.H.,M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari S.H.,M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. I Gede Yusa S.H.,M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(6)

vi

5. Bapak Marwanto, SH.M.,Hum., Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam penyusunan skripsi ini.

6. Ibu Ida Ayu Sukihana, SH.,MH.,Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam penyusunan skripsi ini.

7. Ibu Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, SH.,MH., Dosen Pembimbing Akademik yang telah mendidik, mengarahkan dan memberi masukan-masukan selama masa perkuliahan.

8. Segenap Bapak/Ibu Dosen/Asisten Dosen yang telah mendidik dan membekali ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan.

9. Segenap Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam mengurus segala keperluan administrasi baik selama masa perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi ini.

10. Segenap Staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam mencari segala literatur yang bersangkutan terhadap penulisan skripsi ini.

11. Khusus kepada keluarga, Kakek Nenek saya I Nyoman Djirna dan Alm Ni Wayan Ribek dan kedua Orang tua Bapak I Wayan Winatha dan Ibu Ni Nyoman Suratni SE, serta saudara saya I Gede Bagus Pasek


(7)

Swipayana S.Sn, Ni Nyoman Ayu Pasek Satya Sanjiwani yang telah memotivasi dan mendoakan saya selama penulisan skripsi ini.

12. Untuk keluarga penulis, Putu Kartya Pratiwi, Pasek Winastera SE, Pasek Puspa Dewi, Bagus Pasek Putra Jenana, Komang Bagus Pasek Ariana, Kadek Budi Arsana, Pasek Pramana, SH.,MH. dan segenap keluarga besar Percetakan Aksara yang telah memotivasi dan mendoakan saya selama penulisan skripsi ini.

13. Kepada I Gede Indrayatna terimakasih telah memberi motivasi dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

14. Untuk teman penulis, Maria Margaretha, Alit Adnya Sari Dewi, Kadek Ayu Purnama Dewi, Intan Puspa Dewi, Putri Purnama Santhi, Inten Sri Damayanti, Yeyen Karista Putri, Dewi Lestari, Suartami Dewi, Dobi Suandika, Kevin, Aris, Taka, Sabo, Rara, Dimi, Ika serta teman-teman AMP dan teman-teman kelas A serta seluruh teman-teman angkatan 2012 yang selalu memberikan dorongan dan semangat selama perkuliahan dan membantu dalam penyusunan skripsi ini.

15. Untuk seluruh teman-teman KKN Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar tahun 2015 yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

16. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, atas dorongan morilnya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.


(8)

viii

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan, akhir kata penulis harapkan, semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi perkembangan Ilmu Hukum di Indonesia pada umumnya dan pembaca khususnya.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Denpasar, 20 Maret 2016


(9)

(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM... i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM... ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... vi

HALAMAN KATA PENGANTAR... ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN... ... ix

HALAMAN DAFTAR ISI... x

ABSTRAK... xiii

ABSTRACT... ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Ruang Lingkup Masalah... 5

1.4. Orisinalitas Penelitian... 5

1.5. Tujuan Penelitan ... 7

1.5.1 Tujuan umum ... 7

1.5.2 Tujuan khusus ... 7


(11)

1.6.1 Manfaat teoritis ... 7

1.6.2 Manfaat praktis ... 8

1.7. Landasan Teoritis ... 8

1.8. Metode Penelitian ... 10

1.8.1 Jenis penelitian... 11

1.8.2 Jenis pendekatan ... 12

1.8.3 Sumber bahan hukum ... 12

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum... 14

1.8.5 Teknik analisis bahan hukum ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK INDONESIA DAN KEPAILITAN 2.1 Bank ... 17

2.1.1 Pengertian Bank ... 17

2.1.2 Fungsi Bank ... 18

2.2 Bank Indonesia... 19

2.2.1 Pengertian Bank Indonesia ... 19

2.2.2 Tujuan Bank Indonesia ... 21

2.1.3 Tugas Bank Indonesia... 22

2.3 Kepailitan ... 25

2.3.1 Pengertian Kepailitan... 25


(12)

xii

2.3.3 Syarat Permohonan Pailit ... 29

BAB III KEPAILITAN BANK

3.1.1 Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit ... 31 3.1.2 Pihak yang dapat Dinyatakan Pailit ... 33 3.1.3 Mekanisme Mempailitkan Bank... 37

BAB IV KASUS DAN ANALISIS HUKUM DALAM PUTUSANPENGADILAN NIAGA Nomor: 21/Pailit/2001/PN.Niaga.Jkt.Pst

4.1 Kasus ... 40 4.1.1 Kasus Posisi ... 40 4.1.2 Termohon Pernyataan Pailit mempunyai lebih dari 1 (satu)

kreditor... 43 4.1.3 Pertimbangan Hukum Pengadilan Niaga dalam Putusan

Pernyataan Pailit ... 45 4.2 Analisis pertimbangan Hukum Pengadilan Niaga dalam Putusan

Pernyataan Pailit Nomor: 21/pailit/2001/PN.Niaga.Jkt.Pst ... 55

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 60 5.2 Saran-Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA... ... 63


(13)

ABSTRAK

Perkara kepailitan Bank antara PT Bank IFI yang mengajukan permohonan kepailitan kepada PT Bank Danamon Indonesia Tbk., sehubungan dengan tagihan yang diajukan oleh PT Bank IFI, PT Bank Danamon Indonesia Tbk., telah melakukan penawaran pembayaran, tetapi penawaran pembayaran dimaksud tidak diterima oleh PT Bank IFI karena jumlah yang ditawarkan oleh PT Bank Danamon Indonesia Tbk., tidak sesuai dengan perhitungan yang dibuat dan ditagihkan oleh PT Bank IFI untuk itu PT Bank Danamon Indonesia Tbk., selanjutnya menawarkan pembayaran yang diikuti dengan konsinyasi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dengan ditolaknya tawaran pembayaran yang disertai dengan konsinyasi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Majelis Hakim berpendapat bahwa PT Bank Danamon Indonesia Tbk., masih mempunyai utang kepada PT Bank IFI, PT Bank IFI tidak mempunyai kapasitas sebagai Pemohon Pailit sedangkan yang berkapasitas hanyalah Bank Indonesia.

Penelitian hukum ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, menggunakan pendekatan kasus dengan melakukan studi kasus terhadap Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 21/pailit/2001/PN.Niaga.Jkt.Pst dan menggunakan pendekatan perundang-undangan.

Majelis hakim menolak permohonan pernyataan pailit oleh PT Bank IFI terhadap PT Bank Danamon Indonesia Tbk, berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat 3 UU Kepailitan dan terbukti pemohon tidak mempunyai kapasitas sebagai Pemohon Pailit, dan Bank Indonesia mengakui tidak mengajukan permohonan pailit tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena di dalam ketentuan UU Perbankan beserta Peraturan Pelaksanaan No.125 Tahun 1999 tidak mengenal adanya mekanisme kepailitan dan dalam rangka mekanisme penyelesaian hak dan kewajiban Bank diatur dengan cara pencabutan ijin usaha, pembubaran dan likuidasi.

Mekanisme mempailitkan Bank adalah sebagaimana ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 2 ayat 3 UU Kepailitan, dalam hal mempailitkan Bank tersebut kreditor tidak serta merta dapat mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga melainkan kreditor harus mengajukan permohonan pailit kepada Bank Indonesia, PT Bank IFI tidak dapat mempailitkan PT Bank Danamon Indonesia Tbk., berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 3 UU Kepailitan meskipun debitor telah memenuhi syarat penjatuhan permohonan pernyataan pailit yaitu syarat adanya dua kreditor atau lebih, Syarat harus adanya Utang dan Syarat cukup satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih


(14)

xiv

ABSTRACT

Bank bankruptcy case between PT Bank IFI applying for bankruptcy to the PT Bank Danamon Indonesia, Tbk., In connection with the bill submitted by PT Bank IFI, PT Bank Danamon Indonesia Tbk., Has made an offer of payment, but the offer is not accepted payments by PT. Bank IFI because of the amount offered by PT Bank Danamon Indonesia Tbk., Was not in accordance with calculations made and charged by PT. Bank IFI for the PT Bank Danamon Indonesia Tbk., The next offer payment followed by consignment through the South Jakarta District Court. With the rejection of the offer of payment is accompanied by consignment through the South Jakarta District Court, the judges found PT. Bank Danamon Indonesia Tbk., Still has debts to PT Bank IFI, PT Bank IFI does not have the capacity as Applicant Bankrupt while the capacity is only Bank Indonesia.

This legal research using normative juridical research method, approach the case by conducting a case study of the Commercial Court Decision Number: 21 / bankruptcy / 2001/PN.NIAGA.JKT.PST and approach legislation.

The judges rejected the request for a declaration of bankruptcy by PT Bank IFI to PT Bank Danamon Indonesia Tbk, based on the provisions of Article 1, paragraph 3 of Law Bankruptcy and proved the applicant does not have the capacity as Applicant Bankrupt, and Bank Indonesia recognizes not file a bankruptcy petition to the Central Jakarta District Court for within the provisions of the Banking Act and its Implementing Regulation 125 of 1999 does not recognize the existence of the mechanism of bankruptcy and in the framework of rights and obligations settlement mechanism set up by the Bank of business license revocation, dissolution and liquidation.

Mechanism mempailitkan Bank is as the provisions set out in Article 2 paragraph 3 of the Bankruptcy Law, in terms of mempailitkan bank's creditors will not necessarily be able to file a bankruptcy petition to the Commercial Court but creditors have to file for bankruptcy to Bank Indonesia, PT Bank IFI can not mempailitkan PT Bank Danamon Indonesia Tbk under the provisions of Article 2, paragraph 3 Insolvency Act even though the debtor has qualified the imposition of the declaration of bankruptcy petition that is conditional on the existence of two or more creditors, the Terms and conditions should their debt quite a debt due and billable


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau dalam bentuk lainnya. Pelaksanaan pembangunan harus senantiasa memperhatikan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan berbagai unsur pembangunan, termasuk dibidang ekonomi dan keuangan. Sektor perbankan memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi (financial intermediary) untuk menunjang kelancaran perekonomian.1Meskipun kondisi ekonomi pada saat ini berangsur-angsur membaik tetapi banyak Bank terkena dampak negatif dari krisis moneter pada tahun 1997 dan banyak Bank mengalami kebangkrutan. Bangkrut diidentikan dengan keadaan seseorang yang tidak mampu lagi membayar hutang atau mengalami kegagalan dalam usahanya.2

Menurut O.P Simorangkir,“Bank merupakan salah satu badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa. Ada pun pemberian kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan dana-dana yang dipercayakan

1

Johhanes Ibrahim, 2003,Pengimpasan pinjaman (kompenasasi) dan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kredit bank, Utomo, Bandung, h.1.

2


(16)

2

oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pembayaran baru

berupa uang giral”.3

Sementara itu, dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (selanjutnya disebut UU Perbankan) menyatakan bahwa “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Bertolak dari berbagai pengertian tentang Bank,maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa Bank adalah badan usaha yang berbadan hukum yang bergerak di bidang jasa keuangan, yang dapat menghimpun dana dari masyarakat secara langsung dan menyalurkannya kembali ke masyarakat melalui pranata hukum perkreditan. Mengingat Bank sebagai lembaga jasa keuangan yang secara langsung dapat menarik dana dari masyarakat, perlu pengaturan secara khusus.4

Mengenai mengatur dan mengawasi Bank diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 setelah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut UUBank Indonesia) Pasal 33 mengatur bahwa dalam

3

Sentosa Sembiring, 2012,Hukum Perbankan, Cv. Mandar Maju, Bandung, h.1.

4


(17)

3

hal keadaan suatu Bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perbankan yang berlaku.

Menurut Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUKepailitan) menyatakan bahwa dalam hal debitor adalah Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Dalam hal ini bank-bank berada dalam pengawasan Bank Indonesia dan harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dan Bank Indonesia selalu mengadakan pengawasan terhadap Bank tertentu. Bank menyangkut kepentingan orang banyak dan Bank Indonesia adalah Bank sentral yang mengadakan pengawasan terhadap bank-bank yang bermasalah maupun yang tidak bermasalah, dengan jelasnya Bank tersebut tidak berhak mengajukan pailit terhadap pengadilan dengan sendirinya. Bank sebagai debitur tidak dapat mengajukan permohonan pailit, baik itu dalam pengawasan Bank Indonesia ataupun telah ditetapkan dan diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam rangka penyehatan bank tersebut.5

Bank Indonesia sebagai induk dari lembaga perbankan yang ada di Indonesia yang salah satu tugasnya adalah untuk memelihara dan menjaga kestabilan sistem

5


(18)

4

moneter maka kecil kemungkinan memailitkan sebuah lembaga perbankan yang bermasalah, hal ini menjadi ganjalan terhadap kreditor Bank sehubungan dengan pasal 2 ayat (3)UU Kepailitan. Bank Indonesia tetap memelihara kestabilan keuangan dan kepercayaan masyarakat sebagai nasabah sekaligus kreditur bagi bank tanpa memailitkan lembaga perbankan yang bermasalah dengan kebijakan yang dibuat. Kedudukan Bank Indonesia yang mandiri tersebut memberikan wewenang yang begitu besar kepada Bank Indonesia.

Salah satu perkara kepailitan Bank yang sangat menarik untuk dikaji adalah perkara PTBank IFI yang mengajukan permohonan kepailitan kepada PT Bank Danamon Indonesia Tbk., sehubungan dengan tagihan yang diajukan oleh PT Bank IFI, PT Bank Danamon Indonesia Tbk., telah melakukan penawaran pembayaran, tetapi penawaran pembayaran dimaksud tidak diterima oleh PTBank IFI karena jumlah yang ditawarkan oleh PT Bank Danamon Indonesia Tbk., tidak sesuai dengan perhitungan yang dibuat dan ditagihkan oleh PT Bank IFI untuk itu PT Bank Danamon Indonesia Tbk., selanjutnya menawarkan pembayaran yang diikuti dengan konsinyasi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dengan ditolaknya tawaran pembayaran yang disertai dengan konsinyasi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Majelis Hakim berpendapat bahwa PT Bank Danamon Indonesia Tbk., masih mempunyai utang kepada PT Bank IFI, PT Bank IFI tidak mempunyai kapasitas sebagai Pemohon Pailit sedangkan yang berkapasitas hanyalah Bank


(19)

5

Indonesia. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum Pengadilan Niaga Jakarta mengadili menolak pemohon pailit PT Bank IFI.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka skripsi ini akan diberi judul :“Kepailitan Bank Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Nomor : 21/Pailit/2001/PN.Niaga.Jkt.Pst Dalam Permohonan Dari : PT Bank IFI (Pemohon) Terhadap PT Bank Danamon Tbk. (Termohon).” Bank IFI telah mengajukan permohonan kepailitan kepada Bank Indonesia agar Bank Danamon dipailitkan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah mekanisme mempailitkan bank ?

2. Bagaimanakah analisis pertimbangan hukum Pengadilan Niaga Jakarta Pusatdalam Putusan Nomor: 21/pailit/2001/PN.Niaga.Jkt.Pst ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, untuk mendapatkan hasil pembahasan yang sistematis dan tidak keluar dari pokok permasalahan, maka perlu kiranya ditetapkan batasan-batasan dalam ruang lingkup tertentu. Oleh karenanya pembahasan dalam penelitian ini hanya berpusat pada Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor: 21/Pailit/2001/PN.Niaga. Jkt. Pst dan Undang-Undang Nomor


(20)

6

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan dari berbagai teori-teori, doktrin-doktrin dan asas-asas hukum.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Usulan penelitian ini diajukan pada bulan September 2015. Ide penelitian ini murni dari hasil pemikiran peneliti yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan ditemukan beberapa penelitian sejenis namun memiliki substansi yang berbeda dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain adalah sebagaimana disebutkan dibawah ini.

NO JUDUL PENELITIAN NAMA PENELITI PERMASALAHAN

1

Tinjauan yuridis tentang kasus Permohonan Pernyataan Pailit PT Bank IFI terhadap PT Bank Danamon Indonesia Tbk.

Andreas Timoty

Bagaimana Putusan Majelis Hakim

Pengadilan Niaga yang mengadili perkara tersebut.


(21)

7

2

Implementasi kewenangan Bank Indonesia dalam kepailitan lembaga perbankan

Ferdinando Emanuel Gudipung

Mengapa Bank

Indonesia tidak pernah menjalankan

kewenangannya dalam kepailitan lembaga perbankan sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang serta apakah pasal

kewenangan Bank Indonesia tidak pernah menjalankan

kewenangannya yang berkaitan dengan memailitkan Bank.

Penelitianpenulis berjudul Kepailitan Bank Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Nomor : 21/Pailit/2001/PN.Niaga.Jkt.Pst Dalam Permohonan Dari : PT Bank IFI (Pemohon) Terhadap PT Bank Danamon Tbk. (Termohon).

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :


(22)

8

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangan ilmu hukum terkait paradigma science as a process, yang artinya ilmu tidak akan pernah final untuk digali dan tidak akan pernah habis untuk ditelusuri kebenarannya.

1.5.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui mekanisme mempailitkan Bank ditinjau dari Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 21/Pailit/2001/PN.Niaga.Jkt.Pst dalam permohonan Pailit oleh PT Bank IFI terhadap PT Bank Danamon Tbk.

b. Untuk mengetahui bagaimana analisis pertimbangan hukum Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam Putusan Nomor: 21/pailit/2001/PN.Niaga.Jkt.Pst.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang positif bagi semua pihak. Adapun manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut.

1.6.1 Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum sehingga kiranya dapat dipergunakan sebagai bahan pustaka dan rujukan dalam bidang hukum kepailitan dan hukum perbankan.


(23)

9

1.6.2 Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi praktisi hukum yang diharapkan dapat sebagai masukan dalam menangani masalah kepailitan Bank, sebagai bahan dasar pertimbangan hakim dalam memilih dan memutuskan suatu perkara kepailitan Bank.

1.7 Landasan Teoritis

Kepailitan berasal dari kata dasar pailit yang diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan debitor yang berhenti membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo.6Menurut Peter J.M Declerq menekankan bahwa kepailitan lebih ditujukan kepada debitor yang tidak membayar utang-utangnya kepada para kreditor. Tidak membayarnya debitor tersebut tidak perlu diklasifikasikan bahwa apakah ia benar-benar tidak mampu melakukan pembayaran utangnya tersebut ataukah karena tidak mau membayar kendatipun ia memiliki kemampuan untuk itu.7

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUKepailitanmenyatakan bahwa. “Kepailitan

adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimanadiatur dalam Undang-Undang ini”.

6

Zaeni Asyhadie, 2012,Hukum Bisnis Prinsip Dan Pelaksanaanya di Indonesia, Cet.VI, RajaGrafindo Persada, Jakarta,h.341.

7

M. Hadi Shubhan, 2009, Hukum Kepailitan prinsip, norma, dan praktik di peradilan, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat M.Hadi Shubhan II) h.4.


(24)

10

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(selanjutnya disebut KUH Perdata) memberikan dua asas umum mengenai jaminan.8 Asas yang pertama dalam Pasal 1131 KUH Perdata, yang menentukan bahwa segala harta kekayaan debitor, baik yang berupa benda bergerak maupun benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan atau agunan bagi semua perikatan yang dibuat oleh debitor dengan para kreditornya. Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata memberi perlindungan hukum terhadap hak-hak para kreditor. Asas yang kedua dalam Pasal 1132 KUH Perdata, bahwa kekayaan debitor menjadi jaminan atau agunan secara bersama-sama bagi semua pihak yang memberikan utang kepada debitor, sehingga apabila debitor wanprestasi, maka hasil penjualan atas harta kekayaan debitor dibagi menjadi proporsional menurut besarnya piutang masing-masing kreditor, kecuali apabila di antara para kreditor tersebut terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari kreditor-kreditor lain. Untuk merealisasikan kedua asas umum jaminan tersebut dalam penyelesaian utang piutang lahirlah lembaga hukum kepailitan.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitanyang menentukan dalam hal menyangkut debitor yang merupakan Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Dalam hal ini bank-bank berada di dalam pengawasan Bank Indonesia dan harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh

8

Sri Sumantri Hartono, 1981, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Liberty, Yogyakarta, h.3


(25)

11

Bank Indonesia dan Bank Indonesia selalu mengadakan pengawasan terhadap bank tertentu. Pada dasarnya telah dinyatakan bahwa Bank sebagai debitor tidak dinyatakan pailit atas debitor itu sendiri, tetapi harus diajukan oleh Bank Indonesia yang berfungsi sebagai Bank sentral negara, tetapi ada kalanya Bank tersebut mengajukan pernyataan pailit untuk penyelesaian utang-utang terhadap kreditornya-kreditornya, Bank juga berfungsi sebagai “finansial intermediary” dengan kegiatan usaha pokok menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat atau pemindahan dana masyarakat.

Sektor Perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem pembayaran merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses penyesuaian. Sehubungan dengan itu, diperlukan penyempurnaan terhadap sistem Perbankan nasional yang bukan hanya mencakup upaya penyehatan Bank secara individu melainkan penyehatan Bank secara menyeluruh. Upaya penyehatan Perbankan nasional menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, bank-bank itu sendiri dan masyarakat penggunaan jasa Bank. Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang utuh untuk menetapkan perizinan, pembinaan dan pengawasan Bank serta pengenaan sanksi terhadap Bank yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku. Disini Bank Indonesia menerapkan prinsip kehati-hatian agar terjaganya kepercayaan masyarakat terhadap Bank.


(26)

12

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu penelitian ilmiah yang mempelajari suatu gejala hukum tertentu dengan menganalisisnya atau melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atau permasalahan yang timbul dari gejala yang bersangkutan.9Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yuridis, karena dalam penulisan skripsi ini menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepailitan Bank, sedangkan penelitian normatif karena dalam membahas permasalahan penelitian ini menganalisis permasalahan dilakukan dengan cara memadukan bahan-bahan hokum dan pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).10

9

Soerjono Soekanto dalam Bambang Sunggono, 2003,Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pres, Jakarta.h.38.

10

Mukti Fajar ND Yulianto Achmad, 2010,Dualisme Penelitian Hukum Normatif&Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.h.34.


(27)

13

Terdapat beberapa ciri-ciri penelitian hukum normatif, diantaranya :

a. penelitian beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma hukum/asas hukum;

b. tidak menggunakan hipotesa; c. menggunakan landasan teori;

d. menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.11

1.8.2 Jenis Pendekatan

Jenis Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (the case approach), pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dan pendekatan analisa konsep hukum (analitical&conseptual approach). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara meneliti setiap peristiwa hukum, alat bukti, dan pertimbangan hukum yang dinyatakan dalam putusan Pengadilan Niaga Nomor: 21/Pailit/2001/PN.Niaga. Jkt.Pst. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan meneliti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan dan kepailitan.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

11

Amiruddin, Zainal Azikin, 2004,Pengantar Metode Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta,h.166.


(28)

14

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum primer dalam penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan yaitu :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen keempat Pasal 23 D Negara memiliki suatu Bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dalam Undang-Undang.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Terjemahan R. Subekti dan R Tjitrosudibio.

c. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443, Pasal 1 ayat (1) tentang pengertian Kepailitan, Pasal 2 ayat (3) tentang dalam hal debitor adalah Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 setelah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901 Pasal 33 yang mengatur tentang dalam hal keadaan


(29)

15

suatu Bank menurut Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbankan.

e. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182. 2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder terdiri atas buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedia, serta informasi dari media internet yang relevan dan dapat dipercaya.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan dari penulisan skripsi ini, kerena jenis penelitian yang digunakan adalah normatif.Dalam penulisan skripsi ini menggunakan teknik studi kepustakaan, yang mana dengan metode ini mencari, mempelajari dan memahami berbagai pendapat, teori dan konsepsi yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang didapatkan dari literatur-literatur yang tersedia serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Kepailitan Bank.Bahan hukum yang relevan


(30)

16

dikumpulkan dengan sistem kartu (card system), yang kemudian kartu ini disusun berdasarkan pokok bahasan untuk memudahkan analisis dan pada kartu dicatat konsep-konsep yang berkaitan dengan permasalahan atau isu hukum pada tulisan ini.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif analisis dengan menggunakan metode evaluatif, metode sistematis, metode interprestatif dan metode argumentatif. Teknik deskriptif analisis adalah penjabaran data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan.

Metode evaluatif adalah penelitian yang bertujuan mengumpulkan informasi tentang apa yang terjadi yang merupakan kondisi nyata mengenai keterlaksanaan rencana yang memerlukan evaluasi.

Metode sistematis adalah segala usaha menguraikan dan merumuskan sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut obyeknya.

Metode interprestatif adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum.Karena suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang berlaku


(31)

17

sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Metode argumentatif adalah alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta system hukum dan penemuan hukum yang berkaitan dengan obyeknya.


(32)

18

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG BANK INDONESIA DAN KEPAILITAN

2.1 Bank

2.1.1 Pengertian Bank

Pengertian Bank Menurut Prof. G.M. Verryn Stuart ialah badan usaha yang wujudnya ialah memuaskan keperluan orang lain, dengan cara memberikan kredit yang berupa uang yang diterimanya dari orang lain, sekalipun dengan cara dengan menambah uang baru (kertas atau logam).

Menurut O.P Simorangkir, “Bank merupakan salah satu badan usaha lembaga

keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa. Ada pun pemberian kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan dana-danayang dipercayakan oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral.13

Sementara itu, dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 menyatakan bahwa “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

13

Sentosa Sembiring, 2012,Hukum Perbankan, Cv. Mandar Maju, Bandung, h.1.


(33)

19

bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup

rakyat banyak”.

2.1.2 Fungsi Bank

Berbicara tentang fungsi Bank, maka fungsi Bank sebagai berikut :

1. Fungsi Bank Sebagai Agent Of Trust

fungsi Bank sebagai agent of trust ialah suatu lembaga yang berlandaskan pada suatu kepercayaan. Dasar utama pada kegiatan perbankan yaitu kepercayaan, baik itu sebagai penghimpun dana ataupun penyaluran dana. Dalam hal tersebut Masyarakat akan mau menyimpan dana dananya di Bank apabila dilandasi dengan kepercayaan.

2. Fungsi Bank Sebagai Agent Of Development

Fungsi Bank ialah sebagai agent of development ialah suatu lembaga yang memobilisasi dana berguna untuk pembangunan ekonomi suatu negara. Kegiatan Bank tersebut berupa penghimpun dan juga penyalur dana sangatlah diperlukan bagi lancarnya suatu kegiatan perekonomian di sektor riil. Dalam hal tersebut Bank memungkinkan masyarakat untuk melakukan kegiatan untuk investasi, distribusi, dan juga kegiatan konsumsi barang serta jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi , distribusi dan juga konsumsi tidak terlepas dari adanya penggunaan uang.


(34)

20

3. Fungsi Bank Sebagai Agent Of Services

Fungsi Bank sebagai agent of service ialah merupakan lembaga yang memberikan suatu pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal tersebut Bank memberikan jasa pelayanan perbankan kepada masyarakat agar masyarakat tersebut merasa aman dan juga nyaman dalam menyimpan dananya itu. Jasa yang ditawarkan didalam Bank tersbut sangat erat kaitannya dengan suatu kegiatan perekonomian masyarakat secara umum.

2.2 Bank Indonesia

2.2.1 Pengertian Bank Indonesia

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia dan merupakan badan hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. Berdasarkan pasal 4 ayat (2) UUBank Indonesiamemberikan definisi Bank Indonesia sebagai berikut.

“Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur

tangan Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.”

Istilah Bank Sentral dan penggunaanya dalam sejarah ekonomi baru muncul belakangan, paling awal pada permulaan abad ke-20. Perdefinisi, bank sentral adalah banknya Bank, banknya pemerintah, dan penjaga cadangan devisa suatu negara. Bank sentral tumbuh karena dua faktor utama. Pertama, banyak pemerintah (di eropa)


(35)

21

menyadari bantuan finansial yang akan diperoleh jika mereka mendukung Bank sentral baik swasta maupun Bank negara. Kedua, Bank sentral dibutuhkan untuk menyatukan sistem pembuatan dan peredaran mata uang, mengelola dan melindungi cadangan uang negara, dan meningkatkan sistem pembayaran (Swiss, Itali dan Jerman). Bank sebagai lembaga keuangan memberikan kredit dan jasa-jasa keuangan, baik dengan modal sendiri maupun modal pihak ketiga maupun dengan mengedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral.14

Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi perantara antara pihak yang mempunyai kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan atau kekurangan dana. Hermansyah berpendapat bahwa pada prinsipnya sumber dana dari suatu Bank itu terdiri dari 4 (empat) sumber dana, yaitu.15

1. Dana yang bersumber dari Bank sendiri 2. Dana yang bersumber dari masyarakat

3. Dana yang bersumber dari Bank Indonesia sebagai Bank Sentral

4. Dana yang bersumber dari Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan bukan Bank

14

Mohhmad Fajrul Falaakh, 2002,Bank Sentral Dalam Hukum Konstitusi, Jurnal Mimbar Hukum, Universitas Gadjah Mada h.161.

15

Hermansyah, 2007,Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.44.


(36)

22

Dana yang terdapat pada Bank merupakan dana yang bersumber dari berbagai pihak. Pihak Bank memperoleh dana tersebut dengan melakukan perjanjian tertentu dengan pihak-pihak yang memiliki dana tersebut. Sehingga ketika Bank menjalankan fungsinya Bank dapat berkedudukan sebagai kreditor dalam hubungannya dengan pihak yang menerima dana dari pihak Bank, dan disisi lain Bank berkedudukan sebagai debitor ketika berhubungan dengan pihak yang memberikan dana.

2.2.2 TujuanBank Indonesia

Di dalam pasal 7 UUBank Indonesiasecara tegas dinyatakan bahwa “tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah”. Kestabilan

nilai rupiah yang diinginkan oleh Bank Indonesia yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa, dan kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa diukur dengan atau tercermin dari perkembangan laju inflasi. Sedangkan kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain diukur dengan atau tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah (kurs) terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah tersebut sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.16

16


(37)

23

Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efesien.

2.2.3 Tugas Bank Indonesia

Bank Indonesia mempunyai tugas sebagaimana tercantum dalam pasal 8 UUBank Indonesia, tugas tersebut terbagi menjadi 3 pilar yang merupakan 3 (tiga) bidang utama tugas Bank Indonesia, yaitu :

1. tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; 2. tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; 3. tugas mengatur dan mengawasi Bank.

Dalam pasal 10 UUBank Indonesiaditegaskan bahwa dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkannya, serta melakukan pengendalian moneter dengan mempergunakan


(38)

24

berbagai cara, antara lain operasi pasar terbuka, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit pembiayaan.

Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia berwenang melaksanakan dan memberikan persetujuan atau izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, mewajibkan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan kegiatannya, serta menetapkan penggunaan alat pembayaran.

a. Pengaturan dan penyelenggaraan kliring serta penyelesaian akhir transaksi terdapat dalam pasal 16 UUBank Indonesia.

Bank Indonesia berwenang mengatur sistem kliring antar bank dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang meliputi sistem kliring domestik dan lintas negara.

b. Mengeluarkan dan mengedarkan uang

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah, serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang dari peredaran. Bank Indonesia juga berwenang menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan, dan penentuan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah (terdapat pada pasal 19 UUBank Indonesia). Sebagai konsekuensinya, Bank Indonesia harus


(39)

25

menjamin ketersediaan uang di masyarakat dalam jumlah cukup dan dengan kualitas memadai.

Pasal 8 UUBank Indonesia menyatakan bahwa salah satu tugas Bank Indonesia adalah pengaturan dan pengawasan Bank. Dalam rangka melaksanakan tugas ini, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu Bank, melaksanakan pengawasan Bank, serta mengenakan sanksi terhadap Bank (terdapat dalam pasal 24 UUBank Indonesia).

Berkaitan dengan kewenangannya, Bank Indonesia dapat. 1. Memberikan dan mencabut izin usaha Bank;

2. Memberikan izin pembukaan, penutupan, pemindahan kantor Bank; 3. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan Bank; 4. Memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan

usaha tertentu (terdapat dalam pasal 26 UUBank Indonesia).17

Guna mendukung tercapainya tujuan Bank Indonesia secara efektif dan efisien, maka ketiga tugas tersebut harus saling mendukung. Untuk mencapai kebijakan moneter yang efektif dan efisien yang dilakukan dengan mengendalikan jumlah uang yang beredar, diperlukan suatu sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan andal. Sementara itu, sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal tersebut juga tidak terlepas dari kondisi sistem perbankannya yaitu sistem

17


(40)

26

perbankan yang sehat.Dalam hal ini, sistem perbankan yang sehat, selain mendukung kinerja sistem pembayaran, juga akan mendukung pengendalian moneter mengingat mekanisme transmisi kebijakan moneter ke kegiatan ekonomi riil terutama berlangsung melalui sistem perbankan. Dengan keterkaitan yang saling mendukung tersebut, maka pencapaian tujuan Bank Indonesia akan berhasil dengan baik.18 Salah satu tugas Bank Indonesia adalah pengaturan dan pengawasan Bank, pengawasan terhadap Bank oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dapat bersifat langsung atau pengawasan tidak langsung. Yang dimaksud pengawasan langsung adalah bentuk pemeriksaan yang disertai dengan pengawasan tindakan tindakan perbaikan. Sedangkan yang dimaksud dengan pengawasan tidak langsung dalam bentuk penelitian, analisis, evaluasi laporan Bank.

2.3 Kepailitan

2.3.1 Pengertian Kepailitan

Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.19 Subekti dan Tjitrosoedibio mengemukakan pengertian pailit sebagai berikut.

“Pailit adalah keadaan di mana seorang debitor telah berhenti membayar

utang-utangnya. Setelah orang yang demikian atas permintaan para

18

F.X.Sugiyono dan Ascarya, 2005,Kelembagaan Bank Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) BI, Jakarta, h.15.

19


(41)

27

kreditornya atau atas permintaan sendiri oleh pengadilan dinyatakan pailit, maka harta kekayaannya dikuasai oleh balai Harta Peninggalan selaku

curatrice(pengampu) dalam urusan kepailitan tersebut untuk dimanfaatkan bagi semua kreditor”.20

Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitor (orang-orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditor-kreditornya ((orang-orang-(orang-orang berpiutang).21

Dalam kepustakaan, Algra mendefinisikan kepailitan adalah “faillissementis een gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van een schuldenaar ten behoeve van zijn gezamenlijke schuldeiser”.22 (Kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap

semua harta kekayaan dari seorang debitor (si berutang) untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditor (si berpiutang)). Istilah pailit bila ditelusuri lebih mendasar dijumpai di dalam pembendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris dengan istilah yang berbeda-beda, didalam bahasa Perancis dijumpai istilah

lefailliyang artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran, untuk arti yang sama didalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillietsedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah to fail,dan didalam bahasa latin dikenal dengan

20

Syamsudin M. Sinaga, 2012,Hukum Kepailitan Indonesia, Tatanusa, Jakarta, h.98.

21

Adrian Sutedi,op.cit, h.24.

22

Algra,Inleiding tot Het Nederlands Privaatrecht (Groningen: Tjeenk Willink, 1974), h.425 dikutip dalam M.Hadi Shubhan, 2009,Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,


(42)

28

istilah fallire. Pailit didalam khasanah ilmu pengetahuan hukum diartikan sebagai keadaan debitor (yang berhutang) yang berhenti membayar hutang-hutangnya.23

Pengertian kepailitan di Indonesia mengacu pada UUKepailitanketentuan

pasal 1 angka 1 mendefinisikan kepailitan sebagai berikut. “sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang

ini.”

Dari penjelasan yang diberikan oleh para ahli dan penjelasan yang diberikan oleh Undang-undang di atas terdapat perbedaan pengertian antara istilah pailit dengan kepailitan. Pailit merupakan keadaan di mana debitor tidak mampu untuk membayar utang-utangnya kepada para kreditornya. Berbeda dengan pengertian pailit, yang dimaksud dengan kepailitan adalah mekanisme atau suatu proses di mana debitor yang tidak dapat membayar utang-utangnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Oleh sebab itu, istilah yang digunakan terhadap debitor dalam kepailitan adalah debitor pailit dan bukan debitor kepailitan, sebab istilah pailit merujuk pada keadaan debitor yang berhenti membayar dan telah diputus pailit oleh pengadilan, sementara istilah kepailitan merujuk pada mekanisme atau serangkaian proses yang digunakan sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan keadaan debitor yang demikian.

2.3.2 Maksud dan Tujuan Hukum Kepailitan

23

Zainal Azikin, 1990,Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Hutang di Indonesia, PT Bina Ilmu, Surabaya, h.22.


(43)

29

Untuk memberi keadilan bagi para kreditor dan untuk melindungi debitor dari perbuatan semena-mena kreditor maka hukum kepailitan sangat dibutuhkan.

Menurut Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of Bankruptcy, sebagaimana dikutip oleh Jordan et al., tujuan semua Undang-Undang kepailitan adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah-milah hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset seorang debitor yang tidak cukup nilainya.24

Dari hal yang dikemukakan di atas itu dapat diketahui tujuan-tujuan dari hukum kepailitan (bankruptcy law), adalah sebagai berikut.

1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor di antara para kreditor.

2. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor.

3. Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.25

Berdasarkan penjelasan umum UUKepailitan, maksud diaturnya hukum kepailitan adalah untuk.

1. Menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.

2. Menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya.

3. Menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk

24

Sutan Remy Sjahdeini, 2002,Hukum Kepailitan memahami Faillissementsverordening Joncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,h.38.

25


(44)

30

memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa maksud dan tujuan utama dibentuknya hukum kepailitan adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada kreditor dan debitor dalam kepailitan. Perlindungan dan kepastian hukum tersebut menjadi jaminan bagi setiap kreditor untuk memperoleh pembayaran atas segala piutang-piutangnya secara adil.

Keadilan dalam kepailitan tersebut diwujudkan melalui ketentuan-ketentuan yang melarang para kreditor untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu guna kepentingannya sendiri yang dapat mengurangi harta kekayaan debitor pailit sehingga merugikan pihak-pihak lain dalam kepailitan hal-hal itulah yang menjadi alasan dilakukannya sita umum atau sita bersama atas harta kekayaan debitor pailit, yaitu untuk memberi keadilan kepada setiap pihak sesuai dengan porsinya masing-masing.

2.3.3 Syarat Permohonan Pailit

Dari ketentuan pasal 2 ayat (1) UUKepailitan, dapat disimpulkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitor hanya dapat diajukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. “Debitor yang mempunyai dua atau lebih

kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.


(45)

31

Pasal 2 ayat (1) UUKepailitan tersebut mengandung pengertian bahwa untuk dapat mengajukan permohonan pailit maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

1) Adanya utang;

2) Utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih; 3) Adanya dua atau lebih kreditor; dan

4) Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang;

Adanya utang merupakaan penyebab adanya kepailitan, oleh karenanya maka adanya utang menjadi syarat mutlak dalam pengajuan permohonan pailit. Pasal 1 angka 6 UUKepailitan mengartikan utang secara luas yang meliputi segala kewajiban yang tidak hanya lahir karena perjanjian saja, namun juga lahir karena undang-undang.

Keberadaan utang saja tidaklah cukup untuk dapat dijadikan alasan pengajuan permohonan pailit, utang tersebut harus jatuh tempo atau telah melewati batas waktu tertentu sehingga dapat ditagih. Utang yang belum melewati batas waktu penagihan tidak dapat dijadikan alasan pengajuan permohonan pailit.

Selain utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, jumlah kreditor juga merupakan salah satu syarat pengajuan permohonan pailit. Debitor yang dapat dimohonkan pailit adalah debitor yang memiliki kreditor lebih dari satu dan debitor yang bersangkutan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang, dengan demikian maka debitor yang hanya memiliki satu kreditor saja tidaklah cukup dapat dimohonkan pailit.


(46)

32

Keseluruhan syarat-syarat yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UUKepailitan tersebut bersifat kumulatif atau tidak dapat dikurangi, dalam artian bahwa untuk dapat mengajukan permohonan pailit maka setiap syarat yang ditetapkan dalam pasal 2 ayat (1) UUKepailitan harus terpenuhi dan terbukti di sidang pengadilan.


(1)

kreditornya atau atas permintaan sendiri oleh pengadilan dinyatakan pailit, maka harta kekayaannya dikuasai oleh balai Harta Peninggalan selaku

curatrice(pengampu) dalam urusan kepailitan tersebut untuk dimanfaatkan bagi semua kreditor”.20

Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitor (orang-orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditor-kreditornya ((orang-orang-(orang-orang berpiutang).21

Dalam kepustakaan, Algra mendefinisikan kepailitan adalah “faillissementis een gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van een schuldenaar ten behoeve van zijn gezamenlijke schuldeiser”.22 (Kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari seorang debitor (si berutang) untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditor (si berpiutang)). Istilah pailit bila ditelusuri lebih mendasar dijumpai di dalam pembendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris dengan istilah yang berbeda-beda, didalam bahasa Perancis dijumpai istilah

lefailliyang artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran, untuk arti yang sama didalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillietsedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah to fail,dan didalam bahasa latin dikenal dengan

20

Syamsudin M. Sinaga, 2012,Hukum Kepailitan Indonesia, Tatanusa, Jakarta, h.98.

21

Adrian Sutedi,op.cit, h.24.

22

Algra,Inleiding tot Het Nederlands Privaatrecht (Groningen: Tjeenk Willink, 1974), h.425 dikutip dalam M.Hadi Shubhan, 2009,Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,


(2)

istilah fallire. Pailit didalam khasanah ilmu pengetahuan hukum diartikan sebagai keadaan debitor (yang berhutang) yang berhenti membayar hutang-hutangnya.23

Pengertian kepailitan di Indonesia mengacu pada UUKepailitanketentuan

pasal 1 angka 1 mendefinisikan kepailitan sebagai berikut. “sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang

ini.”

Dari penjelasan yang diberikan oleh para ahli dan penjelasan yang diberikan oleh Undang-undang di atas terdapat perbedaan pengertian antara istilah pailit dengan kepailitan. Pailit merupakan keadaan di mana debitor tidak mampu untuk membayar utang-utangnya kepada para kreditornya. Berbeda dengan pengertian pailit, yang dimaksud dengan kepailitan adalah mekanisme atau suatu proses di mana debitor yang tidak dapat membayar utang-utangnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Oleh sebab itu, istilah yang digunakan terhadap debitor dalam kepailitan adalah debitor pailit dan bukan debitor kepailitan, sebab istilah pailit merujuk pada keadaan debitor yang berhenti membayar dan telah diputus pailit oleh pengadilan, sementara istilah kepailitan merujuk pada mekanisme atau serangkaian proses yang digunakan sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan keadaan debitor yang demikian.

2.3.2 Maksud dan Tujuan Hukum Kepailitan

23

Zainal Azikin, 1990,Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Hutang di Indonesia, PT Bina Ilmu, Surabaya, h.22.


(3)

Untuk memberi keadilan bagi para kreditor dan untuk melindungi debitor dari perbuatan semena-mena kreditor maka hukum kepailitan sangat dibutuhkan.

Menurut Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of Bankruptcy, sebagaimana dikutip oleh Jordan et al., tujuan semua Undang-Undang kepailitan adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah-milah hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset seorang debitor yang tidak cukup nilainya.24

Dari hal yang dikemukakan di atas itu dapat diketahui tujuan-tujuan dari hukum kepailitan (bankruptcy law), adalah sebagai berikut.

1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor di antara para kreditor.

2. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor.

3. Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.25

Berdasarkan penjelasan umum UUKepailitan, maksud diaturnya hukum kepailitan adalah untuk.

1. Menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.

2. Menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya.

3. Menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk

24

Sutan Remy Sjahdeini, 2002,Hukum Kepailitan memahami Faillissementsverordening Joncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,h.38.

25


(4)

memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa maksud dan tujuan utama dibentuknya hukum kepailitan adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada kreditor dan debitor dalam kepailitan. Perlindungan dan kepastian hukum tersebut menjadi jaminan bagi setiap kreditor untuk memperoleh pembayaran atas segala piutang-piutangnya secara adil.

Keadilan dalam kepailitan tersebut diwujudkan melalui ketentuan-ketentuan yang melarang para kreditor untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu guna kepentingannya sendiri yang dapat mengurangi harta kekayaan debitor pailit sehingga merugikan pihak-pihak lain dalam kepailitan hal-hal itulah yang menjadi alasan dilakukannya sita umum atau sita bersama atas harta kekayaan debitor pailit, yaitu untuk memberi keadilan kepada setiap pihak sesuai dengan porsinya masing-masing.

2.3.3 Syarat Permohonan Pailit

Dari ketentuan pasal 2 ayat (1) UUKepailitan, dapat disimpulkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitor hanya dapat diajukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. “Debitor yang mempunyai dua atau lebih

kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.


(5)

Pasal 2 ayat (1) UUKepailitan tersebut mengandung pengertian bahwa untuk dapat mengajukan permohonan pailit maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

1) Adanya utang;

2) Utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih; 3) Adanya dua atau lebih kreditor; dan

4) Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang;

Adanya utang merupakaan penyebab adanya kepailitan, oleh karenanya maka adanya utang menjadi syarat mutlak dalam pengajuan permohonan pailit. Pasal 1 angka 6 UUKepailitan mengartikan utang secara luas yang meliputi segala kewajiban yang tidak hanya lahir karena perjanjian saja, namun juga lahir karena undang-undang.

Keberadaan utang saja tidaklah cukup untuk dapat dijadikan alasan pengajuan permohonan pailit, utang tersebut harus jatuh tempo atau telah melewati batas waktu tertentu sehingga dapat ditagih. Utang yang belum melewati batas waktu penagihan tidak dapat dijadikan alasan pengajuan permohonan pailit.

Selain utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, jumlah kreditor juga merupakan salah satu syarat pengajuan permohonan pailit. Debitor yang dapat dimohonkan pailit adalah debitor yang memiliki kreditor lebih dari satu dan debitor yang bersangkutan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang, dengan demikian maka debitor yang hanya memiliki satu kreditor saja tidaklah cukup dapat dimohonkan pailit.


(6)

Keseluruhan syarat-syarat yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UUKepailitan tersebut bersifat kumulatif atau tidak dapat dikurangi, dalam artian bahwa untuk dapat mengajukan permohonan pailit maka setiap syarat yang ditetapkan dalam pasal 2 ayat (1) UUKepailitan harus terpenuhi dan terbukti di sidang pengadilan.